• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III KEDUDUKAN JABATAN HAKIM DI INDONESIA

D. Kekuasaan Kehakiman Bukan Kekuasaan Eksekutif

Di Indonesia, yang dimaksud Lembaga yudikatif adalah lembaga kekuasaan kehakiman yang memegang penuh kekuasaan untuk menyelenggarakan peradilan. Kekuasaan kehakiman dalam konteks negara Indonesia adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menekan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya negara Republik Indonesia. Salah satu agenda penting yang perlu dihadapi di masa depan penegakan hukum di Indonesia, dan hal utama dalam penegakan hukum adalah masalah kekuasaan kehakiman yang merdeka.

Kekuasaan kehakiman tidak mungkin dapat terlepas dari konstitusi yang berlaku di Indonesia, yaitu UUD 1945. Pada hakekatnya kekuasaan kehakiman hanyalah merupakan suatu sistem yang lebih luas, yaitu sistem konstitusional yang berlaku disuatu negara, yang menjadi lembaga-lembaga negara, fungsi, kewenangan serta tanggungjawab masing-masing lembaga tersebut dan bagaimana hubungan negara dengan warga negara. Dalam konteks ini UUD 1945 menempatkan, kekuasaan kehakiman dalam kaitannya dengan susunan ketatanegaraan. Apa yang merupakan susunan ketatanegaraan itu meliputi segala sesuatu yang berkaitan dengan peraturan, susunan dan kedudukan lembaga-lembaga negara serta tugas-tugas dan wewenangnya.

Menurut Moch. Koesnoe10 dengan melihat konstruksi kekuasaan seperti yang terdapat dalam UUD 1945 ini menarik kesimpulan bahwa tatanan kekuasaan dalam negara RI adalah sebagai berikut :

1. Kekuasaan primer yang dinamakan kedaulatan. Jika dilihat dari ilmu hukum positif kedaulatan itu merupakan sumber dari segala sumber macam hukum haka tau kekuasaan yang ada dalam tata hukum. Sri

9 Achmad Miftah Farid, dkk., Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Terhadap Perilaku Hakim Oleh Mahkamah Agung, Jurnal S.L.R. Vol. 2, No. 1, h. 104.

10 Moch. Koesnoe, Konfigurasi Politik dan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, (Jakarta ; ELSAM, 1997), h. 9.

Soemantri mengartikan kedaulatan itu sebagai kekuasaan tertinggi. Karena dalam negara RI, yang berdaulat adalah rakyat, maka kekuasaan tertinggi tetap di tangan rakyat (pasal 1 ayat (2) UUD 1945).

2. Kekuasaan subsidair, yaitu kekuasaan untuk melaksanakan kedaulatan yang lahir dari kedaulatan tersebut. Kekuasaan subsidair ini adalah kekuasaan yang integral artinya ia meliputi semua jenis kekuasaan yang akan mewujudkan ketentuan-ketentuan hukum dasar yang termuat dalam cita hukum dan cita hukum itu tercantum dalam pembukaan UUD 1945.

Dalam praktek kehidupan bangsa dan negara, kekuasaan subsidair in merupakan kekuasaan yang diserahkan atau dilimpahkan oleh kedaulatan rakyat kepada suatu badan yang disebut Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

3. Kekuasaan melakukan kedaulatan itu oleh hukum dasar atau UUD 1945 dirinci lagi kedalam cabang-cabang kekuasaan untuk melakukan kedaulatan dengan tetap memperhatikan jalan dan tata cara yang harus ditempuh untuk meweujudkan secara nyata ketentuan hukum dasar sebagai isi atau kandungan dalam cita hukum negara Republik Indonesia.

Dalam hal ini, kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yudikatif yang bersifat independent dan terpisah dari kekuasaan eksekutif.

Berdasarkan teori pemisahan kekuasaan yang disampaikan oleh Montesquieu bahwa kekuasaan pemerintahan dibagi dalam 3(tiga) cabang, yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif.

Menurutnya, ketiga jenis kekuasaan tersebut haruslah terpisah satu sama lain, baik mengenai tugas maupun mengenai alat perlengkapan (organ) yang menyelenggarakannya, terutama adanya kebebasan badan yudikatif yang ditekankan oleh Montesquieu yang mempunyai latar belakang sebagai hakim, karena disinilah letak kemerdekaan individu dan hak asasi manusia perlu dijamin dan dipertaruhkan. Kekuasaan legislatif menurutnya adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang, kekuasaan

eksekutif meliputi penyelenggara undang-undang, sedangkan kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang.11

11 Suparto, Pemisahan Kekuasaan, Konstitusi dan Kekuasaan Kehakiman yang Independen Menurut Islam, Jurnal Selat, Vol. 4 Nomor 1, 2016, h. 116.

47

HAKIM SEBAGAI PEJABAT NEGARA A. Status Kedudukan Jabatan Hakim

Era reformasi telah mendudukan hakim sesuai dengan jiwa independensinya, yaitu menetapkan status jabatannya sebagai pejabat negara sehingga dipandang setara dan tidak dikekang dalam penguasaan kekuasaan negara lainnya (eksekutif dan legislative). Namun, meski berstatus sebagai pejabat negara, terdapat perbedaan dalam pengelolaan dan sistem manajerial hakim. Tidak sepenuhnya sistem pejabat negara umum diterapkan terhadap hakim. Misalnya proses seleksi hakim yang masih melibatkan Lembaga negara lain.

Penulis menemukan 3 (tiga) undang-undang yang berlaku yang menyatakan bahwa kedudukan jabatan hakim adalah sebagai pejabat negara, yaitu pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Pejabat negara adalah seseorang atau badan yang menjalankan tugas dan fungsi negara.

Sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme menyatakan bahwa :1

“Penyelengara negara adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.”

Jadi menurut Undang-Undang tersebut, pejabat negara adalah lembaga yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif serta lembaga lain yang memiliki tugas dan fungsi sebagai penyelenggara negara. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara

1 Undang-Undang Nomr 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

menyebutkan bahwasannya hakim merupakan penyelenggara negara.2 Dalam ketentuan tersebut, hakim yang dimaksud adalah hakim yang berada pada semua tingkat peradilan.

Kedudukan jabatan hakim sebagai pejabat negara merupakan eksistensi kekuasaan kehakiman, baik di Indonesia maupun di negara lain.

Oleh karena itu, status kedudukan jabatan hakim ini disebutkan dalam pasal 19 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

“Hakim dan Hakim Konstitusi adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Undang-Undang.”

Sedangkan dalam pasal lain yaitu pasal 31 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman berbunyi :

“Hakim pengadilan di bawah Mahkamah Agung merupakan pejabat negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang berada pada badan peradilan di bawah Mahkamah Agung.”

Meskipun dalam pasal 19 dan pasal 31 berbeda, namun secara makna terdapat persamaan bahwa hakim merupakan pejabat negara.

Pasal 122 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara menyebutkan salah satu pejabat negara adalah hakim.3 Hakim bersifat independent, namun tidak dalam undang-undang ini. Beberapa hak

2 Pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, menyebutkan bahwa yang termasuk penyelenggara negara yaitu : (1) Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara; (2) Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara; (3) Menteri; (4) Gubernur; (5) Hakim; (6) Pejabat Negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan (7) Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggara negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3 Pasal 122 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara: pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 121 UU ASN yaitu : (a) Presiden dan Wakil Presiden;

(b) Ketua, Wakil Ketua dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat; (c) Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat; (d) Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Daerah; (e) Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung, serta Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc; (f) Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Mahkamah Konstitusi; (g) Ketua,, Wakil Ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan; (h) Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Komisi Yudisial; (i) Ketua dan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi; (j) Menteri dan jabatan setingkat Menteri; (k) Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh; (l) Gubernur dan wakil Gubernuir; (m) Bupati/walikota dan wakil bupati/walikota; dan (n) Pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-Undang.

dan kewajiban hakim masih ikut diatur dalam Undang-Undang Aparatur Sipil Negara. Sebagaimana kita ketahui bahwa Aparatur Sipil Negara merupakan pegawai pemerintah yang mana dalam hal ini masuk dalam wilayah eksekutif.

Pada dasarnya hakim sebagai pejabat negara yang independent memiliki standarisasi khusus mengenai fasilitas, hak, dan protokoler berlaku.

Sebagaimana disebutkan oleh Montesquieu mengenai teori pemisahan kekuasaan, bahwasannya Montesquieu membagi kekuasaan dalam 3 (tiga) cabang, yaitu kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif, dan kekuasaan yudikatif. Menurutnya, ketiga jenis kekuasaan tersebut haruslah terpisah satu sama lain, baik mengenai tugas maupun mengenai alat perlengkapan (organ) yang menyelenggarakannya, terutama adanya kebebasan badan yudikatif yang ditekankan oleh Montesquieu yang mempunyai latar belakang sebagai hakim, karena disinilah letak kemerdekaan individu dan hak asasi manusia perlu dijamin dan dipertaruhkan. Kekuasaan legislatif menurutnya adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang, kekuasaan eksekutif meliputi penyelenggaraan undang-undang, sedangkan kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang.4

Secara gramatikal, Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan Pejabat Negara sebagai orang yang memegang jabatan penting dalam pemerintahan, seperti Menteri, sekretaris negara, dll.5 Pada istilah pejabat negara ini sesungguhnya lebih luas dibandingkan pejabat di lingkungan pemerintahan yang diidentifikasi sebagai jabatan dalam kekuasaan eksekutif, karena mencakup pejabat pada lingkungan kekuasaan lainnya seperti legislatif, yudikatif dan kekuasaan lainnya yang dijalankan oleh Lembaga-lembaga negara pendukung (auxiliary state bodies/agencies).6 Artinya tidak semata pejabat dalam lingkungan atau bidang kekuasaan eksekutif tetapi juga

4 Suparto, Pemisahan Kekuasaan, Konstitusi dan Kekuasaan Kehakiman yang Independen Menurut Islam, Jurnal Selat, Vol. 4, Nomor 1, 2016, h. 116.

5 Kamus Besar Bahasa Indonesia Dalam Jaringan,

https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/pejabat%20negara, diakses pada 14 Oktober 2021

6 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XII/2014, h. 24.

meliputi alat kelengkapan negara dan bahkan juga melingkupi pejabat yang ada pada Lembaga negara penunjang.

Berdasarkan perspektif demikian pejabat negara dapat dibedakan menjadi beberapa jenis itu sesuai pengaturan dan fungsinya. Karenanya jenis pejabat negara dapat dibedakan setidaknya dalam 3 (tiga) jenis yaitu:7

1. Pejabat negara yang diatur secara eksplisit jabatannya baik secara organic maupun fungsinya pada suatu Lembaga negara yang diatur secara langsung oleh UUD 1945.

2. Pejabat negara yang diatur secara implisit status jabatan pejabat negaranya karena secara organic tidak disebutkan secara tegas namun fungsinya diatur secara langsung oleh UUD 1945 sehingga dalam implementasinya dibutuhkan Undang-Undang sebagai penjelasannya.

3. Pejabat negara yang tidak diatur baik secara organ maupun fungsinya dalam UUD 1945 tetapi diatur oleh Undang-Undang sebagai pejabat negara.

Sesuai dengan ajaran Montesquieu tentang pemisahan kekuasaan negara yang membedakan antara kekuasaan eksekuti, legislatif, dan yudikatif, maka pembagian tersebut sesungguhnya didasarkan atas eksistensi jabatan hakim yang disebutkan sebagai pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman.

Perkembangan hukum positif terkini yang menempatkan hakim sebagai pejabat negara ini patut diapresiasi. Jika dibandingkan dengan status jabatan hakim di masa lalu yang notabene hakim ditempatkan sebagai pegawai pemerintah (eksekutif), maka pengaturan jabatan hakim sebagai pejabat negara ini telah sesuai dengan konsep pemisahan atau pembagian kekuasaan negara dan independensi peradilan. Meskipun demikian sebagian konstruksi dalam sistem manajemen Hakim sebagai PNS masih belum lepas secara mutlak. Sejalan dengan pendapat Suwardi, bahwa perubahan dan penegasan dari status hakim tersebut tentu saja harus disambut dengan gembira, karena

7 Budi Suhariyanto, dkk., Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Jabatan Hakim, (Jakarta : Balitbang Diklat KumDil Mahkamah Agung RI, 2015), h. 38.

hal tersebut sudah lama diperjuangkan oleh Mahkamah Agung maupun Ikatan Hakim Indonesia. Akan tetapi meski sudah ada perubahan dan penegasan dari Undang-Undang, ternyata dalam kenyataannya timbul ketidak sesuaian antara status hakim sebagai pejabat negara dengan status PNS Hakim yang hingga kini tetap disandangnya. Seperti misalnya masalah kenaikan pangkat, dan hal-hal lain yang masih melekat dan merupakan kewajiban yang harus dilaksanakannya.8

Jabatan hakim ini diibaratkan satu kakinya berada di wilayah eksekutif sedangkan satu kaki yang lain berada di wilayah yudikatif. Atas penetapan status jabatan yang demikian, senyatanya negara telah bersikap inkonsisten dalam penerapan pemisahan atau pembagian kekuasaan secara konstitusionalism. Selain itu, secara fungsional status dan kedudukan antara sebagai pejabat negara dan sebagai pegawai negeri sipil ini memiliki berbagai perbedaan yang sangat mendasar. Perbedaannya antara lain terletak pada sistem dan pola rekrutmen, pengangkatan, gaji dan tujangan, hak dan kewajiban, pembinaan, promosi dan mutase, maupun protokolernya.9

Berdasarkan pengamatan penulis, diakuinya seorang hakim sebagai pejabat negara merupakan suatu hal yang sangat diharapkan sejak lama oleh lembaga peradilan di negara kita, Indonesia. Karena dengan adanya kejelasan status kedudukan jabatan hakim di Indonesia ini menjadi angin segar terhadap hakim sebab pada akhirnya ada kejelasan mengenai status kedudukan hakim di Indonesia. Namun, amat disayangkan ketika hadirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang menyebutkan bahwasannya salah satu pejabat negara adalah seorang hakim. Akan tetapi beberapa ketentuan hak dan kewajiban seorang hakim masih ikut diatur dalam undang-undang tersebut, sehingga dalam keadaan ini secara tidak langsung hakim masuk dalam wilayah eksekutif atau pemerintahan dan hakim yang

8 Suwardi, Rekrutmen dan Pembinaan Hukum : Tantangan, Kendala dan Konsep, (Jakarta:

Makalah, 2014). h. 3.

9 Siti Nurjannah, Mewujudkan Visi MA Tentang Badan Peradilan yang Agung Melalui Undang-Undang Jabatan Hakim (Realize The Vision of The Supreme Court Through The Agency Law Judge Position), Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 4, No. 1, (Maret, 2015), h. 66.

bersifat merdeka dan terbebas dari lembaga manapun belum sepenuhnya tercapai. Dengan demikian, aturan mengenai hakim di Indonesia belum efektif dan kepastian hukum terhadap hakim pun belum secata utuh ditegakkan, sehingga dapat dikatakan status jabatan hakim masih dalam status ganda atau dualism.

Lawrence M. Friedman mengemukakan bahwa efektif dan berhasil tidaknya penegakan hukum tergantung tiga unsur sistem hukum, yakni struktur hukum (structure of law), substansi hukum (substance of the law), dan budaya hukum (legal culture). Teori tersebut dikembangkan lagi oleh Soerjono Soekanto, bahwasannya efektif tidaknya suatu hukum dapat dilihat dari lima faktor, yaitu : faktor undang-undang, faktor penegak hukum, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegak hukum, faktor masyarakat, dan faktor budaya.10 Kaitannya dengan pembahasan penulis, belum efektifnya hukum karena terjadi pada struktur hukumnya atau faktor undang-undangnya.

Yang dalam hal ini pengaturan hakim masih belum jelas mengenai kedudukan, kenaikan pangkat, hak-hak, dan lain sebagainya. Sebagaimana saat ini pengaturan hakim masih diatur dalam dua undang-undang, yaitu dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.

Oleh karena itu, pengaturan mengenai hakim ini dinyatakan belum berjalan dengan efektif.

Salah satu indikasi seorang hakim masih diperlakukan sebagaimana layaknya perlakuan terhadap Pegawai Negeri Sipil (PNS) pun tidak hanya pengaturan hak dan kewajibannya yang masih diatur dalam Undang-Undang Aparatur Sipil Negara, namun terdapat pula dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2002 tentang Kenaikan Jabatan dan Pangkat Hakim. Konsideran Peraturan Pemerintah tersebut menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan

10 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegak Hukum, (Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada, 2008), h. 8.

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, demi terselenggaranya negara berdasarkan atas hukum. Dalam rangka lebih menjamin kebebasan dan kemandirian hakim serta mencegah intervensi dari pihak lain terhadap pelaksanaan tugas hakim, maka perlu diatur pembinaan karier hakim secara tersendiri.11

Pembinaan karier hakim yang diatur tersendiri dengan peraturan perundang-undangan sesuai dengan amanat pasal 32 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa pangkat, gaji, dan tunjangan hakim diatur dengan peraturan tersendiri. Ketentuan tersebut ditegaskan kembali dalam pasal 10 dan pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 99 tahun 2000 tentang Kenaikan Pangkat Pegawai Negeri Sipil yang menduduki jabatan tertentu yang pengangkatannya ditetapkan dengan Keputusan Presiden diberikan dalam batas jenjang pangkat yang ditentukan untuk jabatan yang bersangkutan dan diatur tersendiri dengan peraturan perundang-undangan.12

Peraturan Pemerintah tersebut didalamnya mengatur tentang jenjang jabatan, pangkat dan golongan ruang hakim dan pimpinan pengadilan, masa kenaikan jabatan dan pangkat, jenis kenaikan jabatan dan pangkat, dan syarat-syarat untuk dapat dipertimbangkan kenaikan jabatan dan pangkat hakim.

Namun pengaturan tersendiri tersebut ternyata hanya dimaknai sebatas PP yang terpisah dari yang lain, sementara isi dan paradigmanya tetap sama, yaitu mengikuti pola PNS.13

11 Penjelasan atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2002 Tentang Kenaikan Jabatan dan Pangkat Hakim, Poin 1 Umum.

12 Penjelasan atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2002 Tentang Kenaikan Jabatan dan Pangkat Hakim, Poin 1 Umum.

13 Novianto Murti Hantoro, dkk., Hakim: Antara Pengaturan dan Implementasinya.

(Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2017), h. 6.

Pasal yang menunjukan hakim masih seperti Pegawai Negeri Sipil (PNS) dapat dilihat dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2002, yang menyatakan sebagai berikut :

“Hakim yang diberhentikan dari jabatan sebagai hakim dan berkedudukan sebagai Pegawai Negeri Sipil, kenaikan pangkatnya diberikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil.”

Jadi, dapat terlihat jelas bahwasannya status kedudukan jabatan hakim ini masih bersifat dualism, yaitu antara sebagai pejabat negara dan sebagai Pegawai Negeri Sipil. Hal ini tentunya akan berpengaruh pada kemandirian hakim dalam menjalankan tugasnya yang merdeka, karena masih ada ikut campur tangan kekuasaan eksekutif dalam mengatur hak dan kewajiban hakim. Dengan demikian, masih belum ada payung hukum tetap yang mengatur hakim secara terpadu. Hakim di negara-negara Eropa Kontinental yang hukumnya civil law, jabatan karir yang dibangun dari level paling bawah, yaitu pada pengadilan-pengadilan tingkat pertama. Oleh karena itu, tidak mengherankan image hakim di negara-negara Eropa Kontinental adalah sebagai pegawai negeri yang cenderung memiliki mentalitas birokrat melaksanakan fungsi yudikatif tetapi tidak menunjukkan kreativitas yang berarti.14

Dari pernyataan tersebut, sejalan dengan pembahasan penulis bahwasannya cara pengangkatan hakim di Indonesia ini masih melibatkan syarat-syarat dari lembaga eksekutif, yang mana calon hakim harus daftar menjadi CPNS terlebih dahulu, kemudian akhirnya pengaturan pun ikut dalam aturan eksekutif atau pemerintahan, sehingga nantinya akan berpengaruh pada kemandirian seorang hakim. Hakim-hakim Mahkamah Agung di negeri Amerika Serikat yang merupakan sistem common law atau anglo saxon diangkat oleh Presiden dengan persetujuan Kongres dan Senat, untuk masa jabatan seumur hidup, dan banyak berasal dari pengacara senior yang berpengalaman. Syarat terpenting adalah sarjana hukum dengan strata

14 Haris Kurnia Anjasmara, Implikasi Pengisian Jabatan Hakim Sebagai Pejabat Negara Terhadap Sistem Peradilan, Tanjung Pura Law Journal, Vol. 5, Issue 1, Januari 2021, h. 15.

Pendidikan tiga (S3) atau Doktor Ilmu Hukum dan berpengalaman 25 tahun di bidang hukum.15 Perbandingan pengangkatan hakim di Indonesia dan Amerika Serikat sangat berbeda sekali. Di Amerika Serikat, pengangkatan hakim sangat minim melibatkan kekuasaan eksekutif untuk mengangkat hakim, hanya diangkat oleh Presiden saja dengan persetujuan Kongres dan senat. Pun dengan komitmennya para calon hakim dalam menjalankan proses pengangkatan hakim dengan fokus pada jabatan profesi saja. Sehingga akan sedikit terpengaruh oleh kekuasaan-kekuasaan lain yang mengganggu jiwa kemandirian hakim dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Dengan demikian, kekuasaan kehakiman akan bermakna sebagai jaminan adanya kemerdekaan hakim.

Zainal Asikin, dalam bukunya yang berjudul Pengantar Tata Hukum Indonesia, ia mengutip pendapat Sudikno Mertokusumo, bahwasannya kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.16

Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kedudukan jabatan hakim sebagai pejabat negara pelaku kekuasaan kehakiman dan realisasi hak serta fasilitas terhadapnya, bukanlah untuk kepentingan hakim dan pengadilan semata. Akan tetapi juga menjadi kebutuhan dari terselenggaranya negara hukum Indonesia. Karena jika semua hak dan fasilitas hakim sudah sesuai dengan kedudukannya sebagai pejabat negara terpenuhi, maka akan berfungsi memperkokoh independensinya sehingga keadilan yang diselenggarakan oleh hakim pengadilan semakin berkualitas dan berwibawa.

Hal ini pun menjadikan teori efektifitas hukum berjalan sesuai praktiknya.

15 Al-Habsy Ahmad, Analisis Pengaruh Penerapan Sistem Hukum Eropa Kontinental dan Anglo Saxon Dalam Sistem Peradilan di Negara Republik Indonesia. Jurnal Petitum, Vol. 9, No.

1, April 2021, h. 59. https://uit.e-journal.id/JPetitum diakses pada 2 November 2021.

16 Zainal Asikin, Pengantar Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2012), h. 13.

B. Hakim dalam Menjalankan Profesi yang Merdeka

Saat ini status kedudukan jabatan hakim berada pada dua identitas, yaitu sebagai pejabat negara dan sebagai PNS. Meskipun secara normatif menegaskan bahwa hakim sebagai pejabat negara, akan tetapi peraturan perundang-undangan lainnya masih menempatkan hakim dalam sistem pengaturan jabatan dan fasilitas hak PNS. Dalam praktiknya, dualism pada diri hakim tersebut cenderung berpotensi mempengaruhi independensi hakim.

Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Kemerdekaan atau independensi sudah menjadi suatu hal yang melekat bahkan menjadi salah satu sifat kekuasaan

Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Kemerdekaan atau independensi sudah menjadi suatu hal yang melekat bahkan menjadi salah satu sifat kekuasaan

Dokumen terkait