• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2021

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2021"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK KARYAWAN ATAS PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA AKIBAT MENOLAK MUTASI DALAM PERSPEKTIF HUKUM KETENAGAKERJAAN DAN HUKUM

ISLAM

(Analisis Putusan Nomor 25/Pdt.Sus-PHI/2019/PN Jkt.Pst)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum Untuk Memenuhi Salahsatu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

Fahmi Pajrianto NIM:11140430000031

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2021

(2)

ii

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK KARYAWAN ATAS PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA AKIBAT MENOLAK MUTASI DALAM PERSPEKTIF HUKUM KETENAGAKERJAAN DAN HUKUM

ISLAM

(Analisis Putusan Nomor 25/Pdt.Sus-PHI/2019/PN Jkt.Pst) SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh : Fahmi Pajrianto NIM. 11140430000031

Pembimbing :

Dr. H. Abdul Rahman Dahlan, M.A NIP. 195811101988031001

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1442 H/2021

(3)

iii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

Skripsi ini berjudul “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK KARYAWAN ATAS PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA AKIBAT

MENOLAK MUTASI DALAM PERSPEKTIF HUKUM

KETENAGAKERJAAN DAN HUKUM ISLAM (ANALISIS PUTUSAN NOMOR 25/PDT.SUS-PHI/2019/PN JKT.PST)” telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 09 Juli 2021. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) pada Program Studi Perbandingan Mazhab.

Jakarta, 09 Juli 2021 Mengesahkan

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag., S.H., M.H., M.A NIP. 197608072003121001

PANITIA UJIAN MUNAQASYAH

1. Ketua : Siti Hana, S.Ag., L.C., M.A NIP. 197402162008012013

(………)

2. Sekretaris : Hidayatullah, S.H., M.H NIP. 198708302018011002

(………)

3. Pembimbing : Dr. Abdul Rahman Dahlan, M.A NIP. 195811101988031001

(………)

4. Penguji I : Dr. Ahmad Mukri Aji, M.A NIP. 195703121985031003

(………)

5. Penguji II : Ali Mansur, M.A

NIP. 197605062014111002

(………)

(4)

iv

LEMBAR PERNYATAAN Yang bertanda tangan di bawah ini, saya:

Nama : Fahmi Pajrianto

NIM : 11140430000031

Tempat, Tanggal Lahir : Rembang, 10 November 1996

Program Studi/Fakultas : Perbandingan Mazhab/Syariah dan Hukum

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Strata Satu (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan kenyataan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika kemudian hari terbukti hasil karya saya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 20 Juni 2021

Fahmi Pajrianto NIM. 11140430000031

(5)

v

(6)

vi ABSTRAK

Fahmi Pajrianto, NIM 11140430000031, Perlindungan Hukum Terhadap Hak Karyawan Atas Pemutusan Hubungan Kerja Akibat Menolak Mutasi Dalam Perspektif Hukum Ketenagakerjaan Dan Hukum Islam (Analisis Putusan Nomor 25/Pdt.Sus-Phi/2019/Pn Jkt.Pst) Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1442 H/2021 M.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis membahas tentang perlindungan hukum terhadap hak karyawan atas pemutusan hubungan kerja akibat menolak mutasi dalam perspektif hukum ketenagakerjaan dan hukum Islam (Analisis Putusan Nomor 25/Pdt.Sus-Phi/2019/Pn Jkt.Pst). Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui perlindungan hukum hak karyawan atas pemutusan hubungan kerja akibat menolak mutasi menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan Hukum Islam.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis-normatif. Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual, dan pendekatan kasus. Adapun sumber data yang digunakan yaitu, bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum non hukum. Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik pengumpulan data secara library research (studi kepustakaan) dan menganalisi data secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu masalah yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi.

Hasil penelitian menunjukan perusahaan sewenang-wenang dalam memutasi pekerja, serta telah melanggar ketentuan dengan melakukan PHK tanpa adanya penetapan dari lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

Putusan Majelis Hakim pada perkara Nomor 25/Pdt.Sus-Phi/2019/Pn Jkt.Pst dalam pertimbangannya tidak menerapkan dan tidak sesuai dengan Undang- Undang Ketenagakerjaan. Perlindungan hukum terhadap pekerja dalam undang- undang ketenagakerjaan dengan memberikan hak berupa uang pesangon. uang penghargaan masa kerja serta uang pengganti hak. Sedangkan dalam hukum Islam perlindungannya lebih menekankan pada akad perjanjian.

Kata Kunci : Perlindungan Hukum, Pemutusan Hubungan Kerja, Mutasi Pembimbing : Dr. Abdul Rahman Dahlan, M.A

Daftar Pustaka : 1968 - 2018

(7)

vii

PEDOMAN TRANSLITERASI

Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan asing (terutama Arab) ke dalam tulisan Latin. Pedoman ini diperlukan terutama bagi mereka yang dalam teks karya tulisnya ingin menggunakan beberapa istilah Arab yang belum dapat diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup masih penggunaannya terbatas.

a. Padanan Aksara

Berikut ini adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara Latin:

Huruf

Arab Huruf Latin Keterangan

ا Tidak dilambangkan

ب b be

خ t te

ث ts te dan es

ج j Je

ح h ha dengan garis bawah

خ kh ka dan ha

د d de

ر dz de dan zet

س r Er

ص z zet

س s es

(8)

viii

ش sy es dan ye

ص s es dengan garis bawah

ض d de dengan garis bawah

ط t te dengan garis bawah

ظ z zet dengan garis bawah

ع koma terbalik di atas hadap

kanan

غ gh ge dan ha

ف f ef

ق q Qo

ك k ka

ل l el

و m em

ٌ n en

ٔ w we

ِ h ha

ء apostrop

ي y ya

(9)

ix b. Vokal

Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti dalam bahasa Indonesia, memiliki vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal atau monoftong, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab

Tanda Vokal Latin

Keterangan

ـــــَـــــ a fathah

ـــــِـــــ i kasrah

ـــــُـــــ u dammah

Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab

Tanda Vokal Latin

Keterangan

َي

ـــــَـــــ ai a dan i

ـــــَـــــ ٔ au a dan u

c. Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Arab

Tanda Vokal Latin

Keterangan

ــــَـا â a dengan topi diatas

ــــِـى î i dengan topi atas

ـــُــٔ û u dengan topi diatas

(10)

x d. Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan huruf alif dan lam )لا), dialih aksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah atau huruf qamariyyah. Misalnya: دآثجلإا = al-ijtihâd حصخشنا = al-rukhsah, bukan ar-rukhsah

e. Tasydîd (Syaddah)

Dalam alih aksara, syaddah atau tasydîd dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya: حعفشنا = al-syuî

„ah, tidak ditulis asy-syuf „ah f. Ta Marbûtah

Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na‟t) (lihat contoh 2), maka huruf ta marbûtah tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihasarakan menjadi huruf “t”

(te) (lihat contoh 3).

No Kata Arab Alih Aksara

1 حعٌشش syarî „ah

2 حٍيلاسلإا حعٌششنا al- syarî „ah al-islâmiyyah 3 ةْازًنا حَساقي Muqâranat al-madzâhib

g. Huruf Kapital

Walau dalam tulisan Arab tidak dikenal adanya huruf kapital, namun dalam transliterasi, huruf kapital ini tetap digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu diperhatikan bahwa jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka huruf yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Misalnya, يساخثنا= al-Bukhâri, tidak ditulis Al-bukhâri.

(11)

xi

Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal.

Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kara nama tersebut berasal dari bahasa Arab. Misalnya: Nuruddin al-Raniri, tidak ditulis Nûr al-Dîn al-Rânîrî.

h. Cara Penulisan Kata

Setiap kata, baik kata kerja (fi‟l), kata benda (ism) atau huruf (harf), ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:

No Kata Arab Alih Aksara

1 خاسٕظحًنا حٍثت جسٔشضنا al-darûrah tubîhu al- mahzûrât 2 ًيلاسلإا داصتقلإا al-iqtisâd al-islâmî

3 ّقفنا لٕصأ usûl al-fiqh

4 ححاتلإا ءاٍشلأا ىف مصلأا al-„asl fi al-asyyâ‟ al- ibâhah

5 حهسشًنا ححهصًنا al-maslahah al-mursalah

(12)

xii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, dengan izin Allah SWT, penulis dapat menyelesaikan tugas akhir Jurusan Perbandingan Mazhab, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Saya bersyukur dapat membuat skripsi ini dengan baik. Shalawat serta salam selalu tercurah kepada Baginda Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman jahiliah ke zaman ilmiah seperti sekarang ini,

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak sedikit hambatan dan kesulitan yang penulis hadapi, namun pada akhirnya selalu ada jalan kemudahan. Penulis sangat berterimakasih kepada pihak-pihak yang terus mendukung, membantu serta memberikan masukan dalam proses saya menyelesaikan tugas akhir ini. Pada kesempatan yang berharga ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., M.A. Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag., S.H., M.H., M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Ibu Siti Hanna, S.Ag., Lc., M.A., Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab. Bapak Hidayatullah S.H., M.H., Sekertaris Program Studi Perbandingan Mazhab.

4. Bapak Dr. Abdul Rahman Dahlan, M.A., selaku pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan serta arahan selama penulisan skripsi ini.

5. Seluruh staf pengajar atau dosen program studi Perbandingan Mazhab, yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu namun tidak mengurangi rasa hormat saya. Tidak lupa pula kepada pimpinan dan seluruh staff perpustakaan yang telah menyediakan fasilitas untuk keperluan studi kepustakaan, terutama perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum.

(13)

xiii

6. Kedua Orang Tua, Kakak dan adik-adik yang telah memberikan segalanya baik materiil maupun moril, serta doa dan dukungan tiada henti sehingga penulis dapat menyelesaikan Studi S1.

7. Nur Asiah yang turut andil besar dalam memotivasi penggarapan skripsi ini.

8. Kawan-kawan Senasib, Ulpan Anggi, Ari Maulana, Zein Yudha, Zein Hadi, Akbar Wijaya, Dimas Permadi, Ade Yusron, Angga Yudha, Sahrul Fauzi, dan Khalil Gibran.

9. Kawan-kawan Asrama beda Kampus, Rizki Irwansyah, Imron Rosadi, dan Naepis Maulana.

10. Kawan-kawan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat, Himpunan Mahasiswa Banten (HMB) Jakarta dan Perbandingan Madzhab 2014 terimakasih atas kebersamaannya, semoga panjang umur perkawanan.

11. Seluruh pihak yang membantu dalam penulisan skripsi ini.

Akhir kata semoga Allah SWT membalas semua kebaikan atas bantuan dan juga doa yang telah diberikan kepada penulis. Semoga kebaikan kalian menjadi berkah dan amal jariyah untuk kita semua. Dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi saya penulis serta pembaca pada umumnya. penulis memohon maaf atas segala kekurangan dan kesalahan dalam penulisan skripsi ini.

Ciputat, 20 Juni 2021

Fahmi Pajrianto NIM. 11140430000031

(14)

xiv

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iiii

ABSTRAK ... v

PEDOMAN LITERASI ... vi

KATA PENGANTAR ... xi

DAFTAR ISI ... xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi, Pembatasan Dan Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Metode Penelitian ... 8

E. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II TINJAUAN UMUM A. Kerangka Konseptual ... 12

1. Tinjauan Umum Perjanjian Kerja ... 12

2. Tinjauan Umum Mutasi ... 20

3. Tinjauan Umum Pemutusan Hubungan Kerja ... 22

4. Tinjauan Umum Hukum Perjanjian Kerja Menurut Hukum Islam ... 36

B. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ... 43

BAB III PROFIL PERUSAHAAN DAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEKERJA YANG DIPUTUS HUBUNGAN KERJA A. Tinjauan Umum PT. Laxmirani Mitra Garmindo ... 46

(15)

xv

1. Profil PT. Laxmirani Mitra Garmindo ... 46 2. Visi dan Misi PT. Laxmirani Mitra Garmindo ... 46 B. Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Yang Di PHK ... 47 BAB IV ANALISIS PUTUSAN NOMOR 25/PDT.SUS-PHI/2019/PN

JKT.PST

A. Kronologi Kasus ... 53 B. Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia ... 57 C. Analisis Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

Nomor 25/Pdt.Sus-PHI/2019/PN Jkt.Pst ... 60 1. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

Tentang Ketenagakerjaan ... 61 2. Berdasarkan Hukum Islam ... 70 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 76 B. Rekomendasi ... 78 DAFTAR PUSTAKA ... 79

(16)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Konstitusi telah memberikan jaminan terhadap warga Negara dalam mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi masyarakatnya, ini tercantum dalam pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kemudian dipertegas pula pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dalam pasal 38 yang menyatakan setiap orang baik pria maupun wanita yang melakukan pekerjaan yang sama, sebanding, setara atau serupa, berhak atas upah serta syarat-syarat perjanjian kerja yang sama.1 Ini berarti bahwa setiap orang tanpa memandang fisik berhak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dan adil tanpa adanya diskriminasi.

Demi melindungi hak tersebut maka diperlukan Perlindungan terhadap pekerja, ini dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha dan kepentingan perusahaan. Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perlindungan bagi pekerja yakni Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan peraturan pelaksana dari perundang-undangan dibidang ketenagakerjaan.2

Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan mengatur mengenai hak dan kewajiban tenaga kerja agar tenaga kerja sebagai pelaksana pembangunan dapat terjamin hidupnya. Segala sesuatu yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama dan setelah selesainya masa

1 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 38

2 Barzah Latupono, “Perlindungan Hukum Dan Hak Asasi Manusia Terhadap Pekerja Kontrak (Outsourcing) Di Kota Ambon”, Jurnal Sasi Vol. 17 No. 3 ,Bulan Juli-September 2011, h., 59

(17)

2

hubungan kerja disebut sebagai ketenagakerjaan. Sedangkan tenaga kerja itu sendiri adalah objek yang mampu melakukan pekerjaan itu sendiri untuk menghasilkan barang atau jasa bagi diri sendiri maupun orang lain.3

Kedudukan pekerja dengan pengusaha sebagai manusia adalah sama, tetapi karena ada keterikatan dalam perjanjian kerja maka mau tidak mau buruh akan tunduk pada peraturan dan perintah kerja dari pengusaha.

Demikian juga pengusaha dalam memerintah buruh tidak boleh semena- mena, tetapi harus seirama dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku bahkan harus sesuai dengan keadaan sarana-sarana pendukungnya.4 Tidak dapat disangkal bahwa pengusaha dapat juga menempatkan buruh pada posisi-posisi yang telah diaturnya, namun hal ini harus disertai dengan kelayakan, sehingga buruh dapat sebagai partner usaha akan dapat menunjukkan loyalitasnya. Walaupun antara buruh dan pengusaha telah diatur berbagai hak dan kewajiban, itu kurang dapat dipenuhi sepenuhnya sehingga dapat menimbulkan perselisihan.

Ketentuan mengenai mutasi pada umumnya sudah diatur dalam ketentuan undang-undang serta sudah disepakati oleh para pihak. Pada praktiknya seringkali terjadi masalah dalam mutasi yang dilakukan oleh pengusaha terhadap pekerja. Mutasi sering dijumpai yang dilakukan oleh pengusaha terhadap pekerja menyalahi ketentuan yang ada. kondisi seperti ini akan berpengaruh bagi kehidupan si buruh maupun keluarganya. Melihat keadaan seperti ini perlu diadakan ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja dengan memperhatikan kepentingan kedua belah pihak, baik pengusaha maupun buruh dengan mengadakan penyelesaian yang layak. Jika suatu

3 Asri Wijayati, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h., 6

4 Y.W. Sunindhia, Masalah Pemutusan Hubungan Kerja dan Pemogokan, Cetakan ke-1, (Jakarta: Bina Aksara, 1988), h.,163

(18)

perusahaan tidak dapat menghindari pemutusan hubungan kerja, maka pihak pengusaha mesti membayar pesangon sesuai ketentuan yang berlaku.5

Pasal 32 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa penempatan tenaga kerja diarahkan untuk menempatkan tenaga kerja pada jabatan yang tepat sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi, dan perlindungan hukum. Penjelasan diatas menggambarkan bahwa dapat dipahami bahwa penempatan tenaga kerja yang dilakukan oleh pengusaha harus sejalan dengan ketentuan Pasal 32 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pengusaha tidak bisa menempatkan tenaga kerja di tempat yang tidak sesuai dengan keterampilan yang ia miliki.

Mutasi dibeberapa kasus sering disalahgunakan oleh Pengusaha untuk menghindari kewajibannya membayarkan pesangon, biasanya pekerja dimutasi ke tempat yang jauh supaya pekerja dibuat tidak nyaman dan kemudian mengundurkan diri. Dalam praktik dilapangan pekerja atau buruh seringkali di mutasi tidak berdasarkan Pasal 32 undang-undang ketenagakerjaan, akan tetapi pekerja dimutasikan ke tempat atau ke bagian yang bukan keahliannya atau ke tempat yang jauh dari keluarganya. Apabila pekerja tersebut tidak hadir selama dua kali berturut-turut pasca mendapatkan surat mutasi maka pekerja tersebut dapat dikualifikasikan mengundurkan diri, sehingga pekerja tidak mendapat haknya berupa uang pesangon.6

Dalam hukum Islam, hubungan industrial termasuk kedalam Ijarah atau sewa-menyewa. Al- ijarah berasal dari kata al-ajru yang berarti al- iwadhu (ganti). Dari sebab itu ats-tsawab (pahala) dinamai ajru (upah).

Menurut pengertian syara‟, al-ijarah adalah suatu jenis akad untuk

5 Y.W. Sunindhia, Masalah Pemutusan Hubungan Kerja dan Pemogokan, Cetakan ke-1, (Jakarta: Bina Aksara, 1988), h., 164

6 Deden Muhamad Surya, “Pemutusan Hubungan Kerja Akibat Menolak Mutasi Ditinjau Dari Perspektif Asas Kepastian Hukum Dan Keadilan”, Jurnal Wawasan Yuridika Vol.2 No.2 September 2018, h., 181

(19)

4

mengambil manfaat dengan jalan penggantian. Sedangkan ijarah menurut istilah adalah mengambil manfaat tenaga orang lain dengan jalan memberi ganti menurut syarat-syarat tertentu.7

Hubungan industrial dalam Islam adalah prinsip hubungan kesetaraan dan keadilan. Ini berarti Islam sangat menjunjung prinsip adil dan setara.

Setara dalam arti antara majikan dan karyawannya memiliki posisi yang setara, sama-sama membutuhkan. Mempunyai hak dan kewajiban yang setara, majikan dapat memperoleh hak dari karyawannya berrupa jerih payah dalam pekerjaannya, sedangkan majikan juga harus memenuhi kewajibannya bagi karyawan, yaitu memberikan gaji atas pekerjaannya. Sedangkan keadilan, dalam hal ini antara majikan dan karyawan harus sama-sama mentaati perjanjian yang telah mereka buat dalam suatu perjanjian kerja.8 Buruh tidak boleh dibayar secara tidak adil, tetapi majikan juga tidak boleh dipaksa untuk membayar upah buruh melebihi dari kemampuan mereka.

Islam menegaskan upah setiap orang harus ditentukan berdasarkan kerja dan sumbangsihnya dalam proses produksi dan untuk itu harus dibayar tidak kurang dan tidak juga lebih dari apa yang telah dikerjakannya.9

Mengenai upah terhadap pekerja, perusahaan wajib membayarkan upah kepada pekerja. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad S.A.W:

ْْنَع

ِْدْبَع ْ

ْ

ِْالل

ِْنْب ْ

ْْرَمُع ْ

َْلاَق ْ

ْ

َْلاَق ْ:

ُْلْوُسَر ْ

ْ

ِْالل ىَّلَص ْ

ُْالل ْ

ِْوْيَلَع ْ مَّلَسَو ْ

ْ

َْرْ يِجَلأااْوُطْعُأ

ُْهَرْجَأ ْ

َْلْبَ ق ْ

ْْنَا ْ

َّْفَِيَ ْ

ُْوقَرَع ْ

ُْهاَوَر ْ(

ُْنْبِإ ْ وَجاَم ْ )

7 Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), h., 115

8 Ismed Batubara, “Perspektif Hukum Islam Tentang Dinamika Hubungan Industrial Di Indonesia ”. Miqot. Vol. XXXVII No. 2 (Juli-Desember 2013), h., 360

9 Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam Jilid I, (Jakarta: Dana Bhakti Waqah, 1995), h., 363-364

(20)

“Dari Abdullah bin Umar r.a. beliau berkata: Rasulullah SAW.

bersabda: “Berikanlah upah buruh itu sebelum kering keringatnya”.

(H.R. Ibnu Majah)10

Kemudian Perusahaan hendaknya dapat memenuhi segala hak pekerja sesuai perjanjian kerja yang telah disepakati bersama. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT surat Al – Maidah ayat 1 yang berbunyi :

ُْفْوَأْاوُنَماَءَْنيِذَّلااَهُّ يَيَ

ِْدوُقُعلِبِْاو

ْ الما(

ئ هد / 3

ْ:

ْ 1 )

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu…”11

Perintah yang terdapat dalam ayat dan hadits di atas merupakan suatu kewajiban bagi mereka yang mengadakan perjanjian. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi :

ًْلَلَحَْمَرَحْوَاْاًماَرَحَْلَحَاْاًطْرَشَْلاِاْْمِهِطوُرُشْىَلَعَْنوُمِلْسُم ْْلا

ْ

Artinya : ”kaum muslimin harus memenuhi setiap syarat (perjanjian) diantara mereka selama syaratnya tidak menghalalkan yang haram dan tidak mengharamkan yang halal”.

Dari dalil-dalil di atas dapat disimpulkan bahwasanya dalam perjanjian kerja, para pihak yang melakukan perjanjian (pekerja dan perusahaan) tersebut hendaklah harus sesuai dan taat terhadap isi dari perjanjian yang telah dibuat bersama. Apabila salah satu pihak ingkar terhadap apa yang telah diperjanjikan, maka perjanjian yang telah dibuat gugur atau batal.

Dari permasalahan diatas dapat dipahami bahwa pemutusan hubungan kerja dengan cara merekayasa mutasi yang dilakukan oleh perusahaan

10 Abi Abdullah Muhammad Ibnu Yazid, Sunan Ibnu Majah, h., 817

11 Departemen Agama RI, Terjemah dan Tafsir Al-Qur’an, h., 217

(21)

6

memiliki celah untuk menghindari pembayaran pesangon. Ini lah yang kemudian menjadi perhatian penulis untuk mengkaji perihal perlindungan hukum terhadap pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja akibat menolak mutasi tersebut.

Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk mengkaji dalam bentuk skripsi yang berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Hak Karyawan Atas Pemutusan Hubungan Kerja Akibat Menolak Mutasi Dalam Perspektif Hukum Ketenagakerjaan Dan Hukum Islam (Analisi Putusan Nomor 25/Pdt.Sus-PHI/2019/PN Jkt.Pst)”

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang yang penulis uraikan diatas, maka dapat diidentifikasi beberapa masalah dalam penelitian ini, di antaranya :

a. Urgensi undang-undang ketenagakerjaan terhadap kegiatan hubungan industrial

b. Benturan antara hak pekerja dalam menolak mutasi dengan kewajiban mengikuti aturan perusahaan dalam perjanjian kerja c. Hilangnya hak pekerja untuk bekerja dengan layak dan sesuai

keahlian

d. Terjadinya pemutusan hubungan kerja secara lisan

e. Terjadinya penyogokan uang kepada pekerja agar mau diberhentikan kerja

f. Pengabaian perlindungan pada hak pekerja untuk mendapatkan pesangon setelah diputus hubungan kerjanya oleh perusahaan g. Kurangnya pemahaman pekerja mengenai penyelesaian

perselisihan hubungan industrial

2. Pembatasan Masalah

Sehubungan dengan banyaknya permasalahan yang timbul dalam penelitian ini, maka penulis perlu membatasi maslah yang hendak

(22)

dibahas secara lebih terperinci, hal ini dimaksudkan agar pembahasan tidak terlalu meluas dan sesuai dengan sasaran yang dituju. Maka dalam penelitian ini penulis membatasi permasalahannya pada perlindungan hukum terhadap hak karyawan atas pemutusan hubungan kerja akibat menolak mutasi ditinjau dari Aspek Yuridis dan Hukum Islam.

3. Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah diatas, penulis dapat merumuskan masalah agar mempermudah pembahasan serta sebagai kerangka kerja yang dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut.

a. Apakah Pemutusan Hubungan Kerja dalam Putusan Nomor 25/Pdt.Sus-Phi/2019/Pn Jkt.Pst telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan hukum Islam?

b. Bagaimana perlindungan hukum bagi pekerja yang diberhentikan hubungan kerja akibat menolak mutasi dalam perspektif Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan hukum Islam?

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Adapun manfaat penelitian disesuaikan pada perumusan masalah di atas yang meliputi :

a. Untuk mengetahui perlindungan hukum hak karyawan atas pemutusan hubungan kerja akibat menolak mutasi menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan b. Untuk mengetahui perlindungan hukum hak karyawan atas

pemutusan hubungan kerja akibat menolak mutasi menurut hukum Islam

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dalam melaksanakan penelitian ini adalah :

(23)

8

a. Manfaat Akademis. Memberi sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan khususnya terkait masalah perlindungan hukum terhadap hak karyawan atas pemutusan hubungan kerja akibat menolak mutasi. Selain itu dapat dijadikan perbandingan dalam penyusunan penelitian selanjutnya dan sebagai informasi bagi masyarakat. Kemudian menambah literatur perpustakaan khususnya dalam bidang perbandingan mazhab dan hukum.

b. Manfaat Praktis. Untuk memberi sumbangan informasi kepada khalayak umum mengenai perlindungan hukum terhadap hak karyawan atas pemutusan hubungan kerja akibat menolak mutasi.

D. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian sebagai berikut:

1. Pendekatan Penelitian

Kajian penelitian ini dilakukan melalui pendekatan Yuridis- normatif. Penyusun akan menilik persoalan perlindungan hukum bagi pekerja yang di PHK akibat menolak mutasi dengan seluruh perangkat peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia dan juga Hukum Islam. Sehingga akan diketahui konsep dasar dari keberadaan hukum tersebut.

2. Jenis Penelitian

Adapun jenis penelitian yang penulis gunakan bersifat kualitatif, yakni mendeskripsikan data yang diperoleh dari dokumen, kemudian dianalisa yang dituangkan kedalam bentuk skripsi untuk memaparkan permasalahan dengan judul yang dipilih yaitu Perlindungan Hukum Terhadap Hak Karyawan Atas Pemutusan Hubungan Kerja Akibat Menolak Mutasi (Analisi Putusan Nomor 7/Pdt.Sus-PHI/2018/PN Gto).

3. Data Penelitian

(24)

Sumber data penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber penelitian yang berupa data primer, data sekunder, dan data tersier.12 Adapun sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah:

a. Bahan primer : Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisilah Hubungan Industrial, Dan Putusan Nomor 25/Pdt.Sus-PHI/2019/PN Jkt.Pst

b. Bahan sekunder : buku-buku, jurnal dan Karya ilmiah lainnya yang berhubungan dangan judul penelitian yang dilakukan.

c. Bahan tersier : Kamus Hukum dan Media Internet.

4. Metode Pengumpulan Data

Didalam penelitian ini peneliti menggunakan metode pengemupulan data, yaitu menggunakan studi pustaka (library research).

Metode kepustakaan dilakukan dengan cara dengan cara menelusuri, membaca, dan mencermati pengetahuan yang ada dalam pustaka dan sumber bacaan yang berkaitan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini dan berkaitan dengan permasalahan yang dibahas.

5. Teknik Analisis Data

Data yang telah terkumpul akan dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif komparatif. Penyusun terlebih dahulu menggambarkan data yang berkaitan dengan permasalah yang penyusun bahas kemudian dikomparasikan antara hukum positif dan hukum Islam. Sedangkan penalaran yang digunakan untuk menganalisa masalah menggunakan metode sebagai berikut:

a. Metode Deduktif

Penyusun akan menganalisa masalah dengan menampilkan pernyataan yang bersifat umum kemudian ditarik suatu kesimpulan yang bersifat khusus. Metode ini diperuntukan bagi pembahasan

12 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2005), h., 141

(25)

10

mengenai analisis hukum Islam terhadap perlindungan hukum bagi karyawan yang diputus hubungan kerja akibat menolak mutasi.

b. Metode Induktif

Penyusun menggunakan penalaran yang berangkat dari norma- norma khusus yang digeneralisasi untuk ditarik asas atau doktrin umum hukum. Metode ini dipergunakan untuk mengetahui konsep yuridis dari perlindungan hukum bagi karyawan yang di PHK akibat menolak mutasi dalam Undang-undang Nomor 13 tahun 2013 Tentang Ketenagakerjaan.

6. Teknik Penulisan

Teknik penulisan dan pedoman yang digunakan oleh Penulis dalam skripsi ini disesuaikan dengan kaidah-kaidah penulisan karya ilmiah pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2017”.

E. Sistematika Penulisan

Skripsi ini dimulai dari menjelaskan latarbelakang sebagaimana layaknya satu karya ilmial. Maka uraian skripsi ini dimulai dengan menjelaskan prosedur standar suatu penelitian dalam bentuk skripsi karena itu penulis memulai uraian ini yang terdiri dari lima bab. Yang mana pada bab pertama menjelaskan latar belakang masalah mengapa penelitian ini dilakukan. Kemudian identifikasi, pembatasan dan perumusalan masalah.

Kemudian penulis juga menjelaskan tujuan dan manfaat penelitian, serta menentukan metode yang digunakan dalam penelitian ini. Uraian ini ditempatkan pada Bab I dengan judul Pendahuluan.

Selanjutnya pada Bab II penulis memberikan gambaran secara umum tentang teori konseptual mengenai ruang lingkup ketenagakerjaan seperti pengertian perjanjian kerja, pekerja atau buruh, hubungan kerja dan pemutusan hubungan kerja. Kemudian untuk memahami dasar dan

(26)

menganalisis pembahasan, penulis menggunakan kerangka teori perlindungan hukum dan kaidah .

Kemudian Bab III menjelaskan tentang objek penelitian yang akan dibahas meliputi pembahasan duduk perkara dan pertimbangan hukum yang dikeluarkan dalam putusan ini.

Adapun Bab IV yakni melakukan analisis terhadap perlindungan hukum bagi pekerja yang di PHK akibat menolak mutasi dengan menganalisa putusan Nomor 25/Pdt.Sus-PHI/2019/PN Jkt.Pst. Pada bab ini penulis menjelaskan kesesuaian dari putusan ini dalam sudut pandang hukum positif dan hukum Islam.

Pada Bab V yang mana merupakan penutup yang berisi tentang kesimpulan yang menjawab rumusan masalah dan kemudian diakhiri dengan saran yang berguna untuk pembahasan penelitian ini di masa yang akan datang.

(27)

12 BAB II

TINJAUAN UMUM A. Kerangka Konseptual

1. Tinjauan Umum Perjanjian Kerja a. Pengertian Perjanjian Kerja

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan pengertian perjanjian kerja sebagai perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat- syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. Perjanjian kerja antara buruh dan pengusaha menimbulkan hubungan hukum antara kedua belah pihak yang disebut dengan hubungan kerja dan mengandung tiga ciri khas, antara lain adanya pekerjaan, adanya perintah dan adanya upah.13

Para Pakar Hukum juga memberikan pengertian perjanjian kerja, antara lain menurut R. Subekti Perjanjian kerja itu adalah suatu perjanjian antara orang perorang pada satu pihak dengan pihak lain sebagai majikan untuk melaksanakan suatu pekerjaan dengan mendapatkan upah.14

Menurut Imam Soepomo Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak pertama, buruh, mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah pada pihak lainnya, majikan yang mengikatkan diri untuk mengerjakan buruh itu dengan membayar upah. Perjanjian antara seorang buruh dengan seorang majikan yang mana ditandai oleh ciri-ciri, adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya hubungan diperatas (dierstverhanding) yaitu suatu hubungan berdasarkan mana pihak yang satu (majikan) berhak memberikan perintah-perintah yang harus ditaati oleh pihak yang lain (buruh).15

13 Munir Fuady III, Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, (Bandung: PT.

Citra Aditya Bhakti, 2001) h., 45

14 R. Subekti, Aneka Perjanjian, ( Bandung: Alumni, 1977 ), h., 63

15 Imam Soepomo, Hukum Perburuhan Bagian Pertama Hubungan Kerja, (Jakarta:

PPAKRI Bhayangkara, 1968), h., 57

(28)

Di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perjanjian kerja dapat berbentuk tertulis dan berbentuk lisan. Pembuatan perjanjian kerja secara tertulis harus sesuai dengan aturan perundang-undangan, khususnya yang menyangkut tentang hukum perjanjian kerja. Perjanjian kerja dibuat dengan memperhatikan syarat sahnya perjanjian yang telah diatur secara khusus dalam Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

b. Syarat Sah Perjanjian Kerja

Perjanjian kerja harus memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian, seperti diatur Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan bahwa perjanjian kerja dibuat atas dasar:16

1) Kesepakatan kedua belah pihak

Kesepakatan kedua belah pihak yang lazim disebut kesepakatan bagi yang mengikatkan dirinya maksudnya bahwa pihak-pihak yang mengadakan perjanjian kerja harus setuju atau sepakat, seia- sekata mengenai hal-hal yang akan diperjanjikan. Apa yang dikehendaki pihak yang satu dikehendaki pihak yang lain. Pihak pekerja menerima pekerjaan yang ditawarkan, dan pihak pengusaha menerima pekerja tersebut untuk dipekerjakan. Dengan kata lain tidak adanya unsur terjadinya penipuan, paksaan, dan kekhilafan dalam kesepakatan kedua belah pihak.

2) Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum

Kemampuan atau kecakapan kedua belah pihak yang membuat perjanjian maksudnya pihak pekerja maupun pengusaha cakap membuat perjanjian. Seseorang dipandang cakap membuat perjanjian jika yang bersangkutan telah cukup umur. Ketentuan hukum ketenagakerjaan memberi batasan umur minimal 18 Tahun

16 Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Edisi Revisi, (Jakarta:

Rajawali Pers, 2003), h., 64

(29)

14

bagi seseorang dianggap cakap membuat perjanjian kerja, sebagaimana diatur didalam ketentuan Pasal 1 ayat (26) Undang- Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal 69 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberi pengecualian bagi anak yang berumur 13 Tahun sampai dengan umur 15 Tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak menggangu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial. Selain itu juga seseorang dikatakan akan cakap membuat suatu perjanjian kerja jika seseorang tersebut tidak dibawah pengampuan yaitu tidak terganggu jiwanya/sehat.

3) Adanya pekerjaan yang diperjanjikan

Adanya pekerjaan yang diperjanjikan, artinya bahwa adanya hal tertentu yang diperjanjikan. Pekerjaan yang diperjanjikan merupakan objek dari perjanjian kerja antara pemberi kerja/pengusaha dengan pekerja/buruh, yang akibat hukumnya melahirkan hak dan kewajiban para pihak.

4) Pekerjaan yang diperjanjikan tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku.

Pada dasarnya obyek perjanjian (pekerjaan) harus halal yang artinya bahwa tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Jika pekerjaan yang diperjanjikan merupakan salah satu unsur perjanjian kerja yang harus disebutkan secara jelas.

Keempat syarat kerja tersebut bersifat kumulatif yang artinya bahwa harus dipenuhi semuanya baru dapat dikatakan bahwa perjanjian tersebut sah. Syarat kemauan bebas kedua belah pihak dan kemampuan atau kecakapan kedua belah pihak dalam membuat perjanjian lebih bersifat syarat subyektif karena menyangkut mengenai orang yang membuat perjanjian. Syarat sahnya adanya pekerjaan yang diperjanjikan

(30)

dan pekerjaan yang diperjanjikan harus halal disebut sebagai syarat obyektif karena menyangkut obyek perjanjian. Apabila syarat obyektif tidak dipenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum artinya bahwa dari semula perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada. Jika yang tidak dipenuhi merupakan syarat subyektif, pihak-pihak yang tidak memberikan persetujuan secara tidak bebas, atau orang tua/wali atau pengampu bagi yang tidak cakap membuat perjanjian dapat meminta pembatalan perjanjian kepada hakim. Dengan demikian, perjanjian tersebut mempunyai kekuatan hukum selama belum dibatalkan oleh hakim.17

c. Jenis-jenis Perjanjian Kerja

Menurut Pasal 56 ayat (1) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan perjanjian kerja dapat dibuat untuk waktu tertentu dan untuk waktu tidak tertentu. Dalam Pasal 56 ayat (2) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan mengatur bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu didasarkan atas jangka waktu atau selesainya satu pekerjaan tertentu. Berikut merupakan jenis- jenis perjanjian kerja:

a. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)

Berdasarkan ketentuan didalam Pasal 56 ayat (2) Undang- Undang No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang dimaksud dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) merupakan Perjanjian kerja waktu tertentu yang selanjutnya disebut PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerja atau buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerja tertentu. Lazimnya disebut dengan perjanjian kerja kontrak atau perjanjian kerja tidak tetap.

Ketentuan lain menyebutkan dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.KEP-100/MEN/VI/2004

17 Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Edisi Revisi, (Jakarta:

Rajawali Pers, 2003), h., 65

(31)

16

perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dilakukan hanya untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya adalah PKWT yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu, sehingga berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja tersebut pada ketentuannya tidak semua jenis pekerjaan dapat dilakukan hanya pekerjaan yang jangka waktunya tertentu atau dengan kata lain sekali selesai dan sifatnya sementara.

Berdasarkan ketentuan Pasal 57 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yang berisi bahwa:

1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin.

Kewajiban menuangkan perjanjian kerja jenis ini ke dalam bentuk tertulis adalah untuk melindungi salah satu pihak apabila ada tuntutan dari pihak lain setelah selesainya perjanjian kerja. Pada dasarnya bukan tidak mungkin jika salah satu pihak misalnya pekerja/buruh tetap minta dipekerjakan setelah selesainya perjanjian kerja waktu tertentu yang telah diperjanjikan bersama. Apabila tidak ada perjanjian tertulis yang dibuat sebelumnya maka pihak pengusaha dapat dituntut untuk terus memperkerjakan pekerja/buruh sehingga hubungan kerja berubah menjadi hubungan kerja untuk waktu tidak tertentu (PKWTT) yang biasa disebut pekerja/buruh tetap.

2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat tidak tertulis bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan sebagai perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu.

Perjanjian kerja untuk waktu tertentu (PKWT) yang tidak dibuat dalam bentuk tertulis dengan huruf latin dan tidak menggunakan bahasa Indonesia dinyatakan sebagai

(32)

perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu (PKWTT) sejak terjadinya hubungan kerja.

3) Dalam hal perjanjian kerja dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing, apabila kemudian terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya, maka yang berlaku perjanjian kerja yang dibuat dalam bahasa Indonesia.

Hal ini wajar karena bahasa Indonesia digunakan dalam beracara pada sidang perselisihan hubungan industrial, sehingga semua dokumen pendukung dalam beracara penggunaanya juga dalam bahasa Indonesia.

Perjanjian kerja ini hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:18

1) pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya 2) pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya tidak terlalu

lama dan paling lama tiga tahun 3) pekerjaan yang bersifat musiman

4) pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.

b. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tentu (PKWTT)

Pengertian Perjanjian kerja tidak tertentu (PKWTT) dapat ditemukan dalam Pasal 1 ayat (1) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: KEP- 100/MEN/VI/2004 tentang ketentuan pelaksanaan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) yang mendefinisikan bahwa perjanjian kerja tidak tertentu (PKWTT) merupakan perjanjian

18 Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja: Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja, Cet.

III, (Depok: Raja Grafindo Persada, 2012), h., 61

(33)

18

kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap. Pengertian tersebut memberikan arti bahwa perjanjian kerja yang dilakukan tidak ada batasan waktunya karena perjanjian kerja waktu tidak tetap dilakukan dengan jangka waktu yang tidak terbatas yakni sifatnya tetap.

Berdasarkan ketentuan didalam Pasal 60 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur syarat- syarat perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu (PKWTT) yakni:

1) Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3 (tiga) bulan

2) Dalam masa percobaan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengusaha dilarang membayar upah dibawah upah minimum yang berlaku.\

Dalam membuat perjanjian kerja pada ketentuannya semua sama yaitu tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengertian tersebut memberikan maksud bahwa apabila dalam suatu perusahaan telah memiliki peraturan kerja bersama, isi perjanjian kerja, baik kualitas dan kuantitasnya tidak boleh lebih rendah pada peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama yang ada dalam perusahaan yang bersangkutan.19

d. Bentuk dan Isi Perjanjian Kerja

Unsur yang penting dalam pembuatan perjanjian kerja adalah adanya kesepakatan yang ditunjukan dengan dilakukannya pekerjaan oleh pihak penerima kerja, baik itu berbentuk tertulis atau lisan.

19 Sehat Damanik, Outsourcing dan Perjanjian Kerja Menurut Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, (Jakarta: DSS Publishing, 2006), h., 22

(34)

Ciri perjanjian kerja yang diadakan secara tertulis adalah perjanjian yang dituangkan dalam suatu akta yang ditandatangai oleh kedua belah pihak. Sedangkan perjanjian kerja yang diadakan secara lisan tidak perlu formalitas tertentu dari kedua belah pihak, cukup diawali dengan melakukan pembicaraan dan diakhiri dengan jabat tangan yang menandai telah terjadinya kesepakatanuntuk melaksanakan perjanjian kerja.

Isi perjanjian kerja dibuat secara lengkap dan jelas, oleh karena itu dalam Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang- kurangnya memuat:

1) Nama, alamat perusahaan, dan jenis perusahaan 2) Nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja 3) Jabatan atau jenis pekerjaan

4) Tempat pekerjaan

5) Besarnya upah dan cara pembayarannya

6) Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja

7) Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja 8) Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat

9) Tanda tangan para pihak dalam perjanjian

Secara normatif perjanjian kerja bentuk tertulis menjamin kepastian hak dan kewajiban para pihak, sehingga jika terjadi perselisihan akan sangat membantu dalam proses pembuktian.

e. Berakhirnya Perjanjian Kerja

Perjanjian kerja dapat berakhir berdasarkan ketentuan Pasal 61 ayat (1) UU Ketenagakerjaan. Diantaranya apabila:

1) Pekerja buruh meninggal dunia

2) Berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja

(35)

20

3) Adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap

4) Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.

Sedangkan berdasarkan ketentuan Pasal 61 ayat (2) Undang- Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan perjanjian kerja tidak berakhir karena meninggalnya pengusaha atau beralihnya hak atas perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan, atau hibah.

2. Tinjauan Umum Mutasi

Sastrohadiwiryo menjelaskan mutasi adalah rotasi jabatan yang berhubungan dengan proses pemindahan fungsi, tanggung jawab dan status ketenagakerjaan tenaga kerja ke situasi tertentu dengan tujuan agar tenaga kerja yang bersangkutan memperoleh kepuasan kerja yang mendalam dan memberikan prestasi kerja yang semaksimal mungkin kepada perusahaan.20

Pengaturan mengenai mutasi tidak secara eksplisit diatur, namun salah satu pasal dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur perihal penempatan tenaga kerja yang erat kaitannya dengan mutasi.

Pasal 32 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa penempatan tenaga kerja diarahkan untuk menempatkan tenaga kerja pada jabatan yang tepat sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi, dan perlindungan hukum.

Mutasi dapat dilakukan atas permintaan diri sendiri atau oleh perusahaan. Perusahaan yang melakukan mutasi atau alih tugas produktif (ATP) biasanya bersifat vertikal (promosi atau demosi). Namun ada beberapa

20 Sastrohadiwiryo, Manajemen Tenaga Kerja Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), h., 9

(36)

faktor pertimbangan dalam melaksanakan mutasi terhadap pekerja yang dianggap objektif dan rasional,21 diantaranya:

a. Mutasi disebabkan oleh kebijakan dan peraturan pemerintah b. Mutasi atas dasar prinsip The right man on the right place c. Mutasi sebagai dasar untuk meningkatkan profesionalitas kerja d. Mutasi sebagai media kompetisi yang maksimal

e. Mutasi sebagai langkah untuk promosi f. Mutasi untuk mengurangi labour turn over g. Mutasi harus terkoordinasi

Dalam pelaksanaannya, perintah mutasi merupakan kewajiban yang harus diikuti oleh pekerja. Namun dalam keadaan tertentu mutasi dapat ditolak. Sastrohadiwiryo mengemukakan ada tiga jenis penolakan pekerja terhadap mutasi, yaitu:22

a. Faktor Logis atau Rasional

Penolakan ini dilakukan dengan pertimbangan waktu yang diperlukan untuk menyesuaikan diri, upaya ekstra untuk belajar kembali, kemungkinan timbulnya situasi yang kurang diinginkan seperti penurunan tingkat keterampilan karena formasi jabatan tidak memungkinkan, serta kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh perusahaan.

b. Faktor Psikologis

Penolakan berdasarkan faktor psikologis ini merupakan penolakan yang dilakukan berdasarkan emosi, sentimen, dan sikap. Seperti kekhawatiran akan sesuatu yang tidak diketahui sebelumnya, rendahnya toleransi terhadap perubahan, tidak menyukai pimpinan atau agen perubahan yang lain, rendahnya kepercayaan terhadap pihak lain, kebutuhan akan rasa aman.

21 Sudarwan Danim, Motivasi Kepemimpinan dan Efektivitas Kelompok, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), Cet-1, h., 56

22 Sastrohadiwiryo, Manajemen Tenaga Kerja Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), h., 214

(37)

22

c. Faktor Sosiologis (Kepentingan Kelompok)

Penolakan terjadi karena beberapa alasan antara lain konspirasi yang bersifat politis, bertentangan dengan nilai kelompok, kepentingan pribadi, dan keinginan mempertahankan hubungan (relationship) yang terjalin sekarang.

3. Tinjauan Umum Pemutusan Hubungan Kerja a. Pengertian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

Menurut Prof. Imam Supomo S.H memberikan definisi tentang pemutusan hubungan kerja yaitu dimana pengakhiran suatu hubungan kerja baik oleh pihak perusahaan maupun oleh pihak pekerja serta baik perseorangan atau secara masal.23

Menurut Pasal 1 Ayat (23) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.

Pada prinsipnya hubungan kerja yang diatur dalam undang- undang ini adalah menganut prinsip kemitraan, dimana baik pekerja maupun pengusaha dapat melakukan pengakhiran hubungan kerja, tentunya dengan catatan para pihak yang mengakhiri hubungan kerja tersebut harus melakukannya sesuai dengan aturan yang berlaku.24

b. Sebab-Sebab Terjadinya PHK

Terdapat beberapa hal yang menyebabkan terjadinya PHK. Dalam Undang-undang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa suatu hubungan kerja atau perjanjian kerja berakhir apabila:25

23 Imam Supomo, Hukum Perburuhan Indonesia Bidang Hubungan Kerja, (Jakarta:

Djambatan, 1982), h., 195

24 Oktavian P. Zamani, “Menyelesaikan PHK Tanpa Gejolak” Dalam Merancang PHK Yang Menguntungkan Semua Pihak, (Jakarta: PPM, 2006), Cet-1, h., 143

25 Pasal 61 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

(38)

1) Pekerja meninggal dunia

2) Berakhirnya jangka waktu perjanjian

3) Adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap

4) Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.

Menurut prakteknya di masyarakat, PHK dapat pula terjadi disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya sebagai berikut:26

1) Pensiun

2) Meninggal dunia 3) Salesainya PKWT

4) Calon kerja tidak lulus masa percobaan 5) Pengunduran diri secara sukarela 6) Pekerja yang meminta di-PHK 7) Efisiensi perusahaan

8) Perusahaan tutup 9) Perusahaan relokasi 10) Perusahaan pailit 11) Keadaan memaksa

12) Pekerja tidak masuk kerja selama 5 (lima) hari berturut-turut tanpa ada keterangan dan bukti yang sah

13) Pekerja melakukan tindak pidana, dan ditahan oleh yang berwajib 14) Pekerja sakit terus-menerus lebih dari 12 (duabelas) bulan

15) Perubahan status perusahaan, pemilik saham, dan sebagainya 16) Pengusaha yang melakukan perbuatan-perbuatan sebagai berikut:27

26 Edy Sutrisno Sidabutar, Pedoman Penyelesaian PHK, (Tangerang: Elpress, 2008). h., 23

27 Edy Sutrisno Sidabutar, Pedoman Penyelesaian PHK, (Tangerang: Elpress, 2008). h., 23

(39)

24

a) Melakukan penganiayaan, menghina secara kasar, atau mengancam pekerja

b) Membujuk dan/atau menyuruh pekerja untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang- undangan

c) Dalam masa 3 (tiga) kali berturut-turut atau lebih tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan d) Melalaikan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja e) Memerintahkan pekerja untuk melaksanakaan pekerjaan di

luar yang diperjanjikan

f) Memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan pekerja, sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan dalam perjanjian kerja 17) Pekerja melakukan pelanggaran berat, antara lain:28

a) Penipuan, pencurian, dan penggelapan barang/uang milik perusahaan

b) Memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan

c) Mabuk, minum minuman keras, memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja

d) Melakukan perbuatan asusila atau melakukan perjudian di lingkungan kerja

e) Menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi pengusaha atau teman sekerja di lingkungan kerja

f) Membujuk pengusaha atau teman sekerja untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang- undangan

28 Edy Sutrisno Sidabutar, Pedoman Penyelesaian PHK, (Tangerang: Elpress, 2008). h., 24

(40)

g) Dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan

h) Dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja

i) Membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara Perusahaan tidak bisa melakukan PHK terhadap pekerja dengan alasan Kesalahan Berat terkecuali setelah adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Jika perusahaan tetap melakukan PHK dengan alasan Kesalahan Berat tanpa adanya putusan pengadilan, maka PHK tersebut batal demi hukum.29

c. Jenis-Jenis PHK

Ada beberapa macam Jenis-jenis PHK yang dikenal dalam ketenagakerjaan, yaitu:30

1) Hubungan kerja putus demi hukum

Merupakan hubungan kerja yang putus dengan sendirinya tanpa diperlukan adanya tindakan dari salah satu puhak. Contohnya seperti berakhirnya Perjanjian kerja waktu tetap (PKWT), pekerja memasuki usia pensiun, atau pekerja meninggal dunia,

2) Pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha

Ini yang paling sering terjadi serta penyebab dan pemicunya bisa bermacam-macam, mulai dari perselisihan antar buruh atau perusahaan, pekerja melakukan kesalahan berat hingga masalah kondisi perusahaan yang kesulitan keuangan sehingga tidak mampu membayar gaji pekerja.

29 Edy Sutrisno Sidabutar, Pedoman Penyelesaian PHK, (Tangerang: Elpress, 2008). h., 25

30 G. Kartasapoetra, Hukum Perburuhan Indonesia Berdasrkan Pancasila, (Jakarta: Sinar Grafika, 1992), h., 290

(41)

26

3) Pemutusan hubungan kerja oleh pekerja sendiri

Pekerja memiliki wewenang untuk melakukan pemutusan hubungan kerja dengan persetujuan dari pihak pengusaha. tentunya dengan melalui mekanisme pengunduran diri yang sesuai dengan ketentuan.

4) Pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan

Yaitu adanya penetapan pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan perdata biasa atas permintaan pihak yang bersangkutan berdasarkan alasan yang dianggap penting.

d. Prosedur PHK

Dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, jika terjadi perselisihan PHK maka penyelesaiannya dapat diupayakan melalui mekanisme sebagai berikut:

a. Penyelesaian melalui Biparti

Penyelesaian perselisihan industrial melalui mekanisme biparti diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang pada pokoknya diatur sebagai berikut:31

1) Perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan secara musyawarah kekeluargaan untuk mencapai mufakat

2) Penyelesaian harus selesai paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal dimulainya perundingan

3) Apabila tidak mencapai kesepakatan maka salah satu pihak dapat mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti penyelesaiian biparti telah dilakukan

31 Edy Sutrisno Sidabutar, Pedoman Penyelesaian PHK, (Tangerang: elpress, 2008), h., 29

(42)

4) Setiap perundingan biparti harus dibuat risalah perundingan yang ditandatangani oleh para pihak, dengan berisikan sekurang-kurangnya:

a) Nama lengkap dan alamat para pihak b) Pokok dan tempat perundingan

c) Pokok masalah atau alasan perselisihan d) Pendapat para pihak

e) Kesimpulan atau hasil perundingan

f) Tanggal serta tanda tangan para pihak yang melakukan perundingan

5) Bilamana dalam perundingan biparti tercapai kesepakatan, maka dibuatkan perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak, dan perjanjian bersama ini didaftarkan oleh para pihak pada pengadilan hubungan industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah para pihak mengadakan perjanjian bersama 6) Bila perjanjian bersama tersebut tidak dilaksanakan oleh satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada pengadilan hubungan industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah perjanjian bersama didaftarkan

b. Penyelesaian Melalui Mediasi

Jika penyelesaian perselisihan tidak dapat diselesaikan melalui perundingan biparti, maka upaya selanjutnya penyelesaian melalui mediasi. Penyelesaian perselisihan melalui mediasi dilakukan oleh mediator yang berada disetiap kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.32 Disebutkan dalam Pasal 1 Angka 12 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 bahwa mediator adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat sebagai mediator

32 Pasal 1 ayat 12 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian perselisihan Hubungan Industrial

(43)

28

yang ditetapkan menteri untuk melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberi anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja yang hanya dalam satu perusahaan.

Mekanisme penyelesaian perselisihan melalui mediasi dilaksanakan dengan mengikuti ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial sebagai berikut:33

1) Penyelesaian dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan

2) Mediator dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir dalam sidang mediasi guna diminta dan didengar keterangannya

3) Bilamana dalam sidang mediasi tercapai kesepakatan, maka dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak dengan disaksikan oleh mediator untuk kemudian didaftarkan di pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak yang berselisih

4) Bilamana mediasi tidak tercapai kesepakatan, maka mediator mengeluarkan anjuran tertulis

5) Mediator harus mengeluarkan anjuran selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah sidang mediasi dilaksanakan 6) Para pihak yang berselisih sudah harus menyampaikan

tanggapan atau jawaban secara tertulis terhadap anjuran

33 Edy Sutrisno Sidabutar, Pedoman Penyelesaian PHK, (Tangerang: elpress, 2008), h., 33-34

(44)

mediator selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah anjuran mediator diterima

7) Bilamana pihak-pihak yang berselisih tidak memberikan tanggapan atau jawaban tertulis, maka dianggap menolak anjuran mediator

8) Bilamana pihak-pihak yang berselisih dapat menerima anjuran mediator, maka selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sudah harus dibuatkan perjanjian bersama untuk kemudian didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak yang berselisih untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.

Dalam hal tidak tercapainya kesepakatan dan atau pihak-pihak menolak anjuran mediator, maka salah satu pihak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan dengan mengajukan permohonan atau gugatan ke Pengadilan Negeri di wilayah domisili hukum pihak-pihak yang berselisih.34

c. Penyelesaian Melalui Konsiliasi

Apabila penyelesaian melalui mediasi ternyata tidak mencapai kesepakatan, maka pihak-pihak yang berselisih memiliki 2 (dua) opsi untuk penyelesaian selanjutnya yaitu mekanisme konsiliasi atau Pengadilan Hubungan Industrial. Penyelesaian melalui konsiliasi dilakukan oleh konsiliator yang terdaftar pada kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.

Konsiliator adalah seseorang yang dipandang memiliki kompetensi dan berpengalaman di bidang ketenagakerjaan yang kemudian diangkat menjadi konsiliator.

34 Pasal 14 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

Referensi

Dokumen terkait

Temuan tentang tingginya kadar logam berat Cr dalam bulu sejalan dengan penelitian kandungan Trace Element dalam organ bulu dan internal ayam di beberapa peternakan

Tahun 2019 Bank Muamalat Indonesia memperoleh CAMEL sebesar 83% kategori (Sehat) hal ini diperoleh dari rasio CAR sebesar 9,76% yaitu mampu mencukupi modal dalam

Adapun ketentuan Ketentuan Hukum Tentang Penahanan Anak Pelaku Tindak Pidana terdapaat dalam Pasal 32 ayat 1, 2, dan 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian Normatif dilaksanakan dengan menggunakan metode kualitatif sumber data yang digunakan dalam penelitian ini Bahan

Bahwa proses penyelesaian sengketa kepailitan yang berbasis akad syariah saat penelitian ini dilakukan penulis, oleh karena terjadi ketidak jelasan rumusan hukum tentang

Hasil penelitian menunjukan bahwa berlakunya Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 22 Tahun 2018 tentang Pengharmonisasian Rancangan Peraturan

66 Azman Abdul Rahman, ”The Concept of Al-Adah Muhakkamah in the Inheritance of Customary Land According to Adat Perpatih in Malaysia”, Malaysian Journal of Syariah and Law,

1) Memasukkan informasi yang didapat melalui pendengaran. 2) Bersuara keras ketika menghafal. 3) Senang mendengarkan musik atau lagu-lagu ketika belajar. 4)