TINJAUAN UMUM A. Kerangka Konseptual
4. Tinjuan Umum Perjanjian Kerja Menurut Hukum Islam a. Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian Kerja (Ijarah)
Menurut Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunah, Al Ijarah berasal dari kata Al-Ajru (upah) yang berarti Al-Iwadh (ganti/kompensasi). Menurut pengertian syara’ ijarah berarti akad pemindahan hak guna dari barang atau jasa yang diikuti dengan pembayaran upah atau biaya sewa tanpa disertai dengan perpindahan hak milik.39
Ulama Hanafiyah berpendapat ijarah adalah akad atau suatu kemanfaatan dengan pengganti. Sedangkan ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa ijarah adalah akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu. Adapun ulama Malikiyyah dan Hanabilah menyatakan bahwa ijarah adalah menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti.40
Dari beberapa pengertian tersebut dapat ditarik pengertian bahwa Ijarah adalah suatu jenis perikatan atau perjanjian yang bertujuan mengambil manfaat suatu benda yang diterima dari orang lain dengan jalan membayar upah sesuai dengan perjanjian dan kerelaan kedua belah pihak dengan rukun dan syarat yang telah ditentukan.
Dasar hukum atau rujukan mengenai ijarah adalah Al-Quran dan Hadist dan Ijma’, sebagai berikut:
1) Al-Qur’an Surat Al-Baqarah: 233
ٔ ُشْعًَناِت ْىُتٍَْتَااَي ْىُتًَّْهَساَرِا ْىُكٍَْهَع َحاَُُج َلاَف ْىُكَدَلا َْٔأ ا ُْٕع ِض ْشَتْسَت ٌَْأ ْىُت ْد َسَأ ٌِْا َٔ ...
tidak dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang
39 Sri Nurhayati dan Wasilah, Akuntansi Syariah Di Indonesia Edisi 3, (Jakarta: Salemba Empat, 2013), h., 228.
40 Rachmat Syafi’i, Fiqh Muamalah, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), h., 121
patut. Bertaqwalah kepada Allah, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
2) Hadist riwayat Ibn Majah dari Abdullah bin Umar, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda:41
إُطْعَأ ىَّهَس َٔ ٍَِّْهَع ُ َّاللَّ ىَّهَص ِ َّاللَّ ُل ُْٕس َس َلاَق : َلاَق َشًَُع ٍِْت ِ َّاللَّ ِذْثَع ٍَْع ٌُّق َشَع َّف ِحٌَ ٌَْأ َمْثَق ُِ َشْجَأ َشٍْ ِجَلأا
ُْهاَوَر (
ُْنْبِإ ْ وَجاَم ْ )
Artinya: “Dari Abdullah bin Umar beliau berkata: Rasulullah SAW bersabda: berikanlah upah pekerja itu sebelum keringatnya kering.”
3) Ijma’
Landasan ijma’ ialah umat Islam pada masa sahabat telah berijma’
bahwa ijarah dibolehkan sebab bermanfaat bagi manusia. Boleh dikatakan bahwa pada dasarnya ijarah itu adalah salah satu bentuk aktivitas antara dua pihak atau saling meringankan, serta termasuk salah satu bentuk tolong menolong yang diajarkan agama.42
b. Rukun dan Syarat Ijarah
Adapun rukun dan syarat ijarah adalah sebagai berikut:43
1) Mu‟jir dan Musta‟jir, yaitu orang yang melakukan akad sewa-menyewa atau upah-mengupah. Mu‟jir adalah orang yang menerima upah dan yang menyewanya, sedangkan Musta‟jir adalah orang yang menerima upah untuk melakukan sesuatu dan yang menyewa sesuatu, di syaratkan pada mu‟jir dan musta‟jir
41 Abi Abdullah Muhammad Ibnu Yazid, Sunan Ibnu Majah, (Libanon: Darul Kutub, Bairut, 2004), h., 817
42 Qamarul Huda, Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Sukses Offset, 2011), h., 79
43 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali pres, 2010), h.,118
38
adalah baligh, berakal, cakap melakukan tasharruf (mengendalikan harta), dan saling meridhai.
2) Sighat (ijab kabul), yaitu ijab kabul antara mu‟jir dan musta‟jir terkait sewa-menyewa dan upah-mengupah.
3) Ujrah (upah), di syaratkan diketahui jumlahnya oleh kedua belah pihak, baik dalam sewa-menyewa maupun upah-mengupah.
4) Barang yang disewakan atau sesuatu yang dikerjakan dalam upah-mengupah, disyaratkan pada barang yang disewakan dengan beberapa syarat berikut ini:44
a) Hendaklah barang yang menjadi objek akad sewa-menyewa dan upahmengupah dapat dimanfaatkan kegunaannya.
b) Hendaklah barang yang menjadi objek akad sewa-menyewa dan upahmengupah dapat diserahkan kepada penyewa dan pekerja berikut kegunaannya (khusus dalam sewa-menyewa).
c) Manfaat dari benda yang disewakan adalah perkara yang mubah (boleh) menurut Syara‟ bukan hal yang dilarang (diharamkan)
d) Benda yang disewakan disyaratkan hingga waktu yang ditentukan menurut perjanjian dalam akad.
c. Berakhirnya Akad Ijarah
Ijarah adalah jenis akad lazim, yaitu akad yang tidak membolehkan adanya fasakh pada salah satu pihak, karena ijarah merupakan akad pertukaran, kecuali bila didapati hal-hal yang mewajibkan fasakh. Ijarah akan menjadi batal (fasakh) dan berakhir bila ada hal-hal sebagai berikut:45
1. Objek hilang atau musnah, seperti rumah yang terbakar atau baju yang dijahitkan hilang
44 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali pres, 2010), h.,118
45 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h., 663.
2. Habisnya tenggang waktu yang disepakati dalam akad ijarah.
Apabila yang disewakan itu rumah, maka rumah itu dikembalikan kepada pemiliknya, dan apabila yang disewa itu adalah jasa seseorang, maka ia berhak menerima upahnya. Kedua hal ini disepakati oleh seluruh ulama fiqih.
3. Menurut ulama Mazhab Hanafi, wafatnya salah seorang yang berakad, karena akad ijarah tidak dapat diwariskan. Akan tetapi menurut jumhur ulama, akad ijarah tidak batal dengan wafatnya salah seorang yang berakad, karena manfaat bisa diwariskan dan akad ijarah sama dengan jual beli, yaitu mengikat kedua belah pihak yang berakad.
4. Ulama Mazhab Hanafi memperbolehkan memfasakh ijarah, karena adanya uzur sekalipun dari salah satu pihak. Seperti seseorang yang menyewa toko untuk berdagang, kemudian hartanya terbakar, atau dicuri, atau dirampas atau bangkrut, maka ia berhak memfasakh ijārah. Akan tetapi, menurut jumhur ulama, uzur yang bisa membatalkan akad ijārah tersebut hanyalah apabila objeknya mengandung cacat atau manfaat yang dituju dalam akad itu hilang.
d. Terminasi Akad Dalam Hukum Perjanjian Islam
Yang dimaksud terminasi akad adalah tindakan mengakhiri perjanjian yang tercipta sebelum dilaksanakan atau sebelum selesai pelaksanaannya. Terminasi akad dibedakan dengan berakhirnya akad, dimana berakhirnya akad berarti telah selesainya pelaksanaan akad karena para pihak telah memenuhi segala perikatan yang timbul dari akad tersebut sehingga akad telah mewujudkan tujuan yang hendak dicapai oleh para pihak.46 Sedangkan terminasi akad adalah berakhirnya akad
46 Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat, (Yogyakarta: Bag Penerbit Fakultas Hukum UII, 2000), h., 166
40
karena difasakh (diputus) oleh para pihak dalam arti akad tidak dilaksanakan karena suatu atau lain sebab.47
Istilah yang digunakan ahli-ahli hukum Islam untuk pemutusan akad ini adalah Fasakh. Fasakh ialah melepaskan ikatan kontrak atau menghilangkan atau menghapuskan ikatan kontrak secara menyeluruh seakan-akan kontrak tidak pernah terjadi. Dengan fasakh, para pihak yang berkontrak kembali status semulaa sebelum terjadi kontrak.48 Secara umum fasakh akad dalam hukum Islam meliputi:
1) Fasakh terhadap akad fasid, yaitu akad yang tidak memenuhi syarat-syarat keabsahan akad, menurut ahli-ahli hukum Hanafi, meskipun telah memenuhi rukun dan syarat terbentuknya akad.
2) Fasakh terhadap akad yang tidak mengikat, baik tidak mengikatnya akad tersebut karena adanya hak khiyar (opsi) bagi salah satu pihak dalam akad tersebut maupun karena sifat akad itu sendiri yang sejak semula memang tidak mengikat.
3) Fasakh terhadap akad karena kesepakatan para pihak untuk memfasakhnya atau karena adanya urbun.
4) Fasakh terhadap akad karena salah satu pihak tidak melaksanakan perikatannya, baik karena tidak ingin untuk melaksanakannya maupun karena akad mustahil untuk dilaksanakan.
Dalam kaitannya dengan akad ijarah yang telah memenuhi rukun dan syarat-syaratnya, penyusun mengesampingkan bentuk fasakh pada huruf (a) dan (b). Dan bentuk fasakh pada angka (c) dan (d) meliputi 4 hal yaitu:49
47 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syari‟ah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), h., 340
48 Ruslan Abdul Gofur, “Akibat Hukum Dan Terminasi Akad Dalam Fiqh Muamalah”, Jurnal Asas, Vol 2, No.2 Juli, 2010, h., 12
49 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syari‟ah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), h., 341
1) Terminasi akad berdasarkan kesepakatan (al-iqalah)
Terminasi akad dengan kesepakatan (al-iqalah) adalah tindakan para pihak berdasarkan kesepakatan bersama untuk mengakhiri suatu akad yang telah mereka tutup dan menghapus akibat hukum yang timbul, sehingga status para pihak kembali seperti sebelum terjadinya akad yang diputuskan tersebut. Agar pemutusan akad sah, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:50
a) Iqalah terjadi atas akad yang termasuk jenis akad yang dapat di fasakh
b) Adanya persetujuan kedua belah pihak.
c) Bahwa objek akad masih utuh atau ada dan ada di tangan salah satu pihak
d) Tidak boleh menambah harga dari pokok
2) Terminasi akad melalui urbun
Ada kalanya suatu akad disertai semacam tindakan hukum para pihak yang memberikan kemungkinan kepada masing-masing untuk memutuskan akad bersangkutan secara sepihak dengan memikul suatu kerugian tertentu. Ini tercermin dalam pembayaran yang dalam hukum Islam dinamakan urbun (semacam uang panjar atau cekeram). Di kalangan ahli-ahli hukum Islam klasik, urbun merupakan institusi yang diperdebatkan apakah sah atau bertentangan dengan hukum Islam. Jumhur ahli hukum Islam klasik berpendapat bahwa urbun tidak sah menurut hukum Islam.
Di lain pihak, mazhab Hambali termasuk Imam Ahmad sendiri memandang urbun sebagai sesuatu yang sah dan tidak bertentangan dengan hukum Islam.51
50 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syari‟ah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), h., 341
51 Ibn Qudamah, Al-Mughni wa Asy-Syarh Al-Kabir (Beirut: Daral-Fikr,1405 H), Juz 4, h.,160.
42
Urbun memiliki dua tujuan. Pertama, urbun dimaksudkan sebagai bukti untuk memperkuat akad dimana akad tidak boleh diputuskan secara sepihak oleh salah satu pihak selama tidak ada persetujuan atau adat kebiasaan yang menentukan lain. Dengan demikian, urbun merupakan bagian dari pelaksanaan perikatan salah satu pihak, dan merupakan bagian pembayaran yang dipercepat. Kedua, urbun juga dimaksudkan sebagai pemberian hak kepada masing-masing pihak untuk memutuskan akad secara sepihak dalam jangka waktu yang ditentukan dalam adat kebiasaan atau yang disepakati oleh para pihak sendiri dengan imbalan urbun yang dibayarkan.
Apabila yang memutuskan akad adalah pihak pembayar urbun, maka ia kehilangan urbun tersebut (sebagai kompensasi pembatalan akad) yang dalam waktu yang sama menjadi hak penerima urbun. Sebaliknya, apabila pihak yang memutuskan akad adalah pihak penerima urbun, ia wajib mengembalikan urbun yang telah dibayar mitranya, di samping tambahan sebesar jumlah urbun tersebut sebagai kompensasi kepada mitranya atas tindakannya membatalkan akad.52
Dari penjelasan di atas tampak bahwa akad yang semula mengikat bagi kedua belah pihak berubah menjadi akad yang tidak mengikat karena adanya urbun yang ditujukan untuk menjadi imbalan atas pemutusan akad secara sepihak. Dengan demikian, tampak pula bahwa urbun merupakan sarana melalui pemutusan akad dilakukan.53
52 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syari‟ah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), h., 348-349
53 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syari‟ah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), h., 348
3) Terminasi akad karena salah satu pihak menolak melaksanakannya Pada asasnya, dalam fiqih klasik dijelaskan bahwa akad muawadah54 yang bersifat lazim dan tidak mengandung khiyar (opsi), apabila salah satu pihak tidak melaksanakan perikatannya, pihak lain dalam rangka membebaskan dirinya dari kewajibannya yang tidak diimbangi oleh mitra janjinya, tidak dapat meminta fasakh akad atas dasar pihak mitra tersebut cedera janji, namun akadnya tetap berlangsung, yang dapat ia lakukan adalah menuntut mitra janji tersebut untuk melaksanakan Perikatannya atau menuntut daman keadaan, dan dasar penuntutan daman (ganti kerugian) sesuai dengan tersebut adalah akad itu sendiri.
4) Terminasi akad karena mustahil dilaksanakan
Apabila tidak dilaksanakannya perikatan oleh salah satu pihak disebabkan oleh alasan eksternal, maka akad batal dengan sendirinya tanpa perlu putusan hakim karena akad mustahil untuk dilaksanakan. Dan akibat hukum dari putusnya akad karena sebab luar, seperti keadaan memaksa atau keadaan darurat karena adanya bencana, maka para pihak dikembalikan kepada keadaan seperti sedia kala, yaitu seperti seolah-olah tidak pernah terjadi akad.55