• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

PROFIL PERUSAHAAN DAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEKERJA YANG DIPUTUS HUBUNGAN KERJA SEPIHAK

B. Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia

1. Analisis Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

a. Aspek Pemutusan Hubungan Kerja

Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh PT.

Laxmirani Mitra Garmindo bermula pada adanya kesalahan dalam bekerja yang dilakukan Juanita dengan terjadinya keterlambatan pengiriman barang berupa jaket dari PT. Cristal ke PT. Laxmirani Mitra Garmindo sehingga mengakibatkan kerugian perusahaan.

Akibat dari kejadian tersebut Juanita dipanggil oleh pihak Manager dan HRD perusahaan untuk diberhentikan kerja.

Pemberhentian tersebut dilakukan secara lisan. Atas pemberhentian tersebut, Juanita diberi uang kompensasi sebesar Rp.18 juta namun ia tolak. Kemudian pihak HRD menawarkan mutasi kerja kepada Juanita, tawaran tersebut juga ia tolak. Namun pihak perusahaan mengabaikan surat penolakan dari Juanita. Pada akhirnya pihak perusahaan mengeluarkan SK PHK kepada Juanita karena tidak pernah masuk bekerja setelah dimutasi. Surat PHK tersebut dikeluarkan oleh perusahaan tanpa adanya surat pemberitahuan kepada Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

Dari persoalan tersebut, menurut Sastrohadiwiryo perintah mutasi merupakan kewajiban yang harus diikuti oleh pekerja.

Namun dalam keadaan tertentu mutasi dapat ditolak. Ada beberapa faktor penolakan mutasi diantaranya faktor logis atau rasional, faktor psikologis, dan faktor sosiologis.69

Penolakan mutasi yang dilakukan oleh Juanita termasuk faktor psikologis, karena penolakan tersebut didasari dengan alasan kondisi fisik yang lemah sehingga khawatir jika jauh dari keluarga,

69 Sastrohadiwiryo, Manajemen Tenaga Kerja Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), h., 214

62

kemudian kekhawatiran keamanan bekerja mengingat mutasi yang dilakukan terjadi setelah Juanita menolak perintah perusahaan.

Seperti dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Pasal 31 dan Pasal 32 dijelaskan mengenai aturan mutasi bahwa:

Pasal 31:

“Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di luar negeri”70

Pasal 32 :

“Penempatan tenaga kerja dilaksanakan berdasarkan asas terbuka, bebas, obyektif, serta adil, dan setara tanpa diskriminasi.”71

Majelis Hakim berpendapat bahwa hak dan kewenangan Perusahaan (Tergugat) untuk memutasikan karyawan/pekerjanya sesuai kebutuhan perusahaan dan menolak perintah mutasi yang dilakukan Penggugat dapat dikategorikan telah melanggar tata tertib kerja dan disiplin kerja di perusahaan.

Dari pendapat tersebut terdapat beban pembuktian yang harus dilakukan oleh pengusaha dan pekerja. Pertama, pengusaha harus menjelaskan mengapa memutasi pekerja dan apa kebutuhan perusahaan. Kedua, pekerja harus menjelaskan alasan penolakan mutasi.

Dalam putusan hanya terdapat argumentasi penolakan mutasi dari Penggugat yang terlampir pada bukti P-2. Sedangkan pihak tergugat tidak mendalilkan mengapa harus memutasi Penggugat dan kenapa harus dimutasi ke tempat kerja yang baru. Ini menunjukan bahwa pendapat hakim yang mengkategorikan

70 Pasal 31 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

71 Pasal 32 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

penggugat telah melanggar tata tertib kerja dan disiplin kerja perlu ditinjau ulang.

Kemudian mengenai surat PHK yang dikeluarkan oleh perusahaan tanpa terlebih dahulu adanya penetapan dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial jelas menyalahi aturan. Pasal 151 Ayat 13 Undang-undang 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menyebutkan:

“Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan persetu-juan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial”72

Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh PT.

Laxmirani Mitra Garmindo terhadap Juanita belum memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, maka sesuai ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 155 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 Tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi:

“Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) batal demi hukum.”73

Maka dengan ini, pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh PT. Laxmirani Mitra Garmindo terhadap Juanita adalah batal demi hukum, yang artinya secara hukum hubungan kerja antara Juanita dan PT. Laxmirani Mitra Garmindo belum terputus.

Namun karena Tergugat sudah tidak berkeinginan hubungan kerja ini terus berlangsung dan Penggugat juga tidak berkeberatan di PHK, maka Majelis Hakim dengan alasan yang cukup menyatakan PUTUS hubungan kerja antara Penggugat dengan

72 Pasal 151 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

73 Pasal 155 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

64

Tergugat terhitung sejak dikeluarkannya SK PHK yaitu sejak tanggal 26 Oktober 2018.

b. Aspek Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja

Perselisihan antara Juanita dan PT. Laxmirani Mitra Garmindo telah menempuh upaya untuk menyelesaikannya, baik secara mediasi maupun melalui triparti pada Kantor Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Administrasi Jakarta Pusat, namun tidak tercapai kesepakatan, oleh karenanya Mediator Hubungan Industrial mengeluarkan anjuran tertulis No.171/-1.835.3 pada tanggal 17 Januari Desember 2019. Sesuai dengan ketentuan Pasal 152 ayat 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi:

“Penetapan atas permohonan pemutusan hubungan kerja hanya dapat diberikan oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika ternyata maksud untuk memutuskan hubungan kerja telah dirundingkan, tetapi perundingan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan.”74

Mediator menganjurkan dalam diktum anjurannya agar PT.

Laxmirani Mitra Garmindo memberikan uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 Ayat (2), 1 (satu) uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 Ayat (3) dan 1 (satu) penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan kepada Penggugat dan memberikan upah Penggugat yang belum dibayarkan oleh Tergugat.

Berdasarkan ketentuan pemutusan hubungan kerja yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 telah tepat langkah-langkah yang diambil oleh pihak penggugat dengan melakukan mediasi meskipun tidak mencapai hasil kesepakatan, akan tetapi sangat disayangkan pihak tergugat tidak mengindahkan

74 Pasal 152 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

ketentuan dari surat anjuran yang ditetapkan oleh Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, sehingga perkara ini berlanjut ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

c. Aspek Perlindungan Hukum bagi Pekerja

Seperti yang tertera dalam perkara a quo, pada posisinya penggugat merasa bahwa dirinya di PHK lisan oleh tergugat sebagaimana yang didalilkan penggugat dengan dasar bahwa pada tanggal 13 September 2018 Penggugat dipanggil oleh Bapak Kamal dan Mr. Ashfak sebagai Manajer yang menyampaikan adanya barang yang disubcon berupa Jaket dan lain-lain dari PT. Cristal ke Tergugat mengalami keterlambatan pengiriman yang mengakibatkan timbulnya kerugian, karenanya disampaikan untuk membubarkan bagian QC Subcon. Namun disisi lain pihak tergugat menganggap pihak penggugat telah diskualifikasi pengunduran diri akibat tidak mengindahkan surat panggilan secara tertulis 2 (dua) kali berturut-turut, sebagaimana Pasal 168 Ayat 1 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

“Pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri.”75

Berdasarkan fakta-fakta yang ada dipersidangan, Tindakan Tergugat memPHK penggugat tanpa adanya penetapan terlebih dahulu oleh Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dianggap telah menyalahi aturan dan selain itu mengkualifikasikan Penggugat telah mengundurkan diri menurut Majelis Hakim masih memerlukan pembuktian lebih lanjut,

75 Pasal 168 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 2003 Tentang Ketenagakerjaan

66

Fakta pertama, telah dibenarkan oleh saksi Bapak Kamal sebelum memPHK penggugat, bahwa pengugat telah dipanggil secara tertulis 2 (dua) kali oleh saksi pada tanggal 3 Oktober 2018 dan tanggal 22 Oktober 2018 dengan menawarkan kebijakan untuk memilih uang kompensasi atau mutasi ke PT. Laxmirani Mitra Garmindo Sukabumi, namun penggugat tidak pernah datang dan hanya mengirim surat ke perusahaan yang berisikan pada intinya menolak dimutasikan ke PT. Laxmirani Mitra Garmindo Sukabumi yang diajukan saksi.

Fakta kedua, telah dibenarkan bahwa saksi mengeluarkan surat PHK akibat penggugat tidak pernah hadir ke perusahaan dengan mengirim surat PHK dikualifikasikan mengundurkan diri pada tanggal 26 Oktober 2018 karena Penggugat sudah 5 (lima) hari lebih berturut-turut Penggugat tidak masuk bekerja tanpa adanya penetapan terlebih dahulu oleh Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

Maka dari itu, Majelis Hakim berkesimpulan yang menjadi penyebab terjadinya PHK dalam perkara a quo bukan PHK lisan sebagaimana dalil Penggugat maupun Pengkualifikasian pengunduran diri Penggugat oleh Tergugat, melainkan adanya penolakan mutasi yang dilakukan oleh Penggugat.

Menurut Majelis Hakim adalah hak dan kewenangan Perusahaan (Tergugat) untuk memutasikan karyawan atau pekerjanya termasuk Penggugat sesuai kebutuhan perusahaan.

kemudian tindakan Penggugat yang menolak perintah mutasi ke Sukabumi, menurut Majelis Hakim tetap dapat dikategoirikan telah melanggar tata tertib kerja dan disiplin kerja di perusahaan. Namun karena Ketidakhadiran Penggugat di tempat kerja setelah dikeluarkannya surat mutasi menjadi dasar untuk memPHK penggugat, Majelis Hakim berpendapat hal ini menjadi bukti kuat

bahwa tidaklah tepat untuk dijadikan alasan Tergugat mengkualifikasikan Penggugat telah mengundurkan diri.

Berdasarkan pertimbangan hakim bahwa yang menjadi penyebab terjadinya PHK adalah penolakan mutasi penggugat dianggap telah melanggar tata tertib dan disiplin kerja perusahaan, hal ini berdasarkan Pasal 161 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa:

“Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut.”76

Majelis Hakim menghukum Tergugat untuk membayar kompensasi kepada Penggugat berupa Uang Pesangon sebesar 1 (Satu) kali Ketentuan Pasal 156 ayat (2), Uang Penghargaan Masa Kerja sebesar 1 (Satu) kali Ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan Uang Penggantian hak sesuai Ketentuan Pasal 156 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003. Hal ini sesuai dengan merujuk pada Pasal 161 ayat 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi:

“Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memperoleh uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).”77

Dengan demikian, hak kompensasi PHK yang harus dibayarkan oleh Tergugat kepada Penggugat dengan masa kerja selama 18 tahun 1 bulan (tanggal 20 September 2000 s/d tanggal 26 Oktober 2018) dengan upah/gaji sebesar Rp.4.500.000,- perbulan.

76 Pasal 161 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

77 Pasal 161 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

68

Selain itu Majelis Hakim juga mengabulkan petitum penggugat dengan memerintahkan agar Tergugat membuat dan memberikan Surat Keterangan Bekerja (Verklaring) atas nama Penggugat, mengingat petitum ini beralasan hukum meskipun tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 akan tetapi hal ini dapat ditemukan dengan mengacu pada Pasal 1602z Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pada paragraf awal yang berbunyi:

“Si majikan diwajibkan pada waktu berakhirnya perhubungan kerja, atas permintaan si buruh, memberikan kepadanya sepucuk surat pernyataan yang ditandatangani olehnya.”78

Padahal jika diamati hasil putusan Majelis Hakim yang menyatakan Tergugat wajib memberikan pesangon sesuai pada ketentuan Pasal 161 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan sebab dan besaran pesangon yang diberikan akibat dianggap telah melanggar tata tertib dan disiplin kerja perusahaan tidak tepat. Persoalan yang dialami Penggugat bukan pada pelanggaran tata tertib dan disiplin kerja, melainkan PHK karena pengusaha tidak menerima pekerja di perusahaannya dengan mengucapkan PHK secara lisan yang dilakukan Tergugat sebelum Tergugat menawarkan uang kompensasi atau mutasi ke PT. Laxmirani Mitra Garmindo Sukabumi.

Meskipun PHK secara lisan secara hukum tidak mempunyai akibat hukum dalam artian PHK tersebut tidak berlaku sehingga pekerja masih memiliki haknya untuk dapat bekerja dan menerima upah, namun efek apabila PHK secara lisan dianggap sebagai hal yang dapat dibenarkan oleh para pekerja yang tidak mengerti prosedur PHK yang harus dilalui tentu menjadi masalah besar.

78 Pasal 1602z Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Berdasarkan keterangan Tergugat yang menyatakan sudah tidak berkeinginan hubungan kerja ini terus berlangsung dan Penggugat juga tidak berkeberatan di PHK, maka Majelis Hakim dengan alasan yang cukup menyatakan PUTUS hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat. Seharusnya Penguggat mendapatkan uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Masa Kerja, Uang Penghargaan 1 (satu) kali ketentuan Masa Kerja, dan Uang Pengganti Hak 1 (satu) kali ketentuan Masa Kerja. Sesuai dengan anjuran dari mediator yang mengeluarkan surat anjuran No.171/-1.1.835.3 merujuk pada Pasal 163 ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan karena perusahaan tidak lagi bersedia menerima pekerja diperusahaannya.

Ada beberapa faktor yang menjadi pertimbangan penulis, diantaranya; Pertama, PHK secara lisan tanpa adanya surat peringatan satu dan dua terlebih dahulu sebagaimana ketentuan Pasal 161 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Kedua, PHK tidak dilakukan seperti dalam prosedur pemutusan hubungan kerja seperti harus ada surat penetapan terlebih dahulu dari lembaga atau dinas ketenagakerjaan setempat sebagaimana ketentuan Pasal 151 ayat 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Ketiga, meskipun mutasi adalah kewenangan perusahaan akan tetapi mutasi yang dilakukan pengusaha harus berdasarkan argumentasi logis atau berdasarkan asas objektifitas yang mestinya memiliki alasan kenapa pekerja harus dimutasi dan apa kebutuhan perusahaan yang ingin ditempatkan sebagaimana ketentuan Pasal 32 ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

Maka dari itu ketentuan Pasal 161 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang digunakan Majelis

70

Hakim dirasa tidak tepat karena dipandang tidak sesuai dengan prosedur pemutusan hubungan kerja dalam pasal tersebut. Mestinya hakim dalam memutuskan perkara tidak hanya berdasarkan pertimbangan yuridis tetapi melihat juga pertimbangan sosiologis yang mengarah pada latar belakang terjadinya perselisihan.

Sehingga dalam pengambilan keputusan ini hendaknya majelis hakim dapat melihat dengan cermat kesesuaian fakta-fakta yang ada dan alat bukti yang dihadirkan (fakta persidangan) dengan pasal yang akan diterapkan.

2. Berdasarkan Hukum Islam

a. Aspek Pemutusan Hubungan Kerja

Tindakan mengakhiri perjanjian yang disepakati sebelum dilaksanakan atau sebelum selesai pelaksanaannya yang biasa disebut dengan terminasi akad. Terminasi akad merupakan suatu yang berbeda dengan berakhirnya akad, terminasi akad terjadi akibat diputus (fasakh) oleh para pihak dalam artian akad tidak dilaksanakan karena sesuatu atau lain sebab.79

Menurut ulama Hanafiyah akad ijarah boleh diputus sepihak karena adanya udzur atau sebab lain yang menimbulkan kemudharatan bagi akad. Adapun jumhur ulama dalam hal ini berpendapat bahwa akad bersifat mengikat dan tidak boleh diputus kecuali cacat atau barang tidak dimanfaatkan.80

Berdasarkan pertimbangan hakim yang menyatakan bahwa putusnya hubungan kerja yang dialami Penggugat bukan karena PHK lisan sebagaimana yang didalilkan ataupun Pengkualifikasian pengunduran diri Penggugat kepada Tergugat melainkan merupakan akibat dari penolakan mutasi dari Penggugat.

79 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), h., 340

80 Abdul Rahman Ghazaly dkk, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Prenada Media Grub, 2010), h., 285

Berdasarkan perspektif Islam dijelaskan dalam hadist yang berhubungan dengan penempatan khususnya mutasi yang diriwayatkan dalam kitab Shohih Bukhori yaitu:

َِّْللَّاْ َلْوُسَرَيَْاَهُ تَعاَضِأَْفْيَكَْلَقَْةَعاَسلاِْرِظَتْ ناَفُْةَناَمَلأاْ ِتَعِّيُضاَذِا

ْ َلَِاُْرْمَلأاَْدِنْسُأاَذِاَْلَق

َْتْ ناَفِْوَلْىَأِْْيَْغ

ِْةَعاَّسلاِْر ِْظ

ْ )ىراخبلاْهاور(

Artinya: “ketika engkau menyia-nyiakan amanah, maka tunggulah kehancuran”, dikatakan “Wahai Rasulullah apa yang membuat sia-sia?” Rasul bersabda, “Ketika sesuatu pekerjaan/jabatan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kerusakan/kehancuran.”81

Hadist ini menunjukan bahwa betapa Rasul mengingatkan untuk tidak sembarangan menugaskan pekerja melakukan pekerjaan yang bukan keahliannya. Mutasi dalam pandangan Islam harus dilakukan dengan hati-hati agat setiap pekerja dapat bekerja sesuai dengan keahliannya dan mengerti bagaimana mengerjakan tugas-tugasnya.

Mutasi dengan kata lain harus berdasarkan kesanggupan si pekerja, apabila tidak menyanggupi maka dalam hal ini mutasi tidak boleh dipaksakan. Seperti yang didalilkan Penggugat dalam surat penolakan mutasi yang tidak menyanggupi permintaan perusahaan untuk dimutasi disebabkan kondisi fisik yang sering sakit sehingga khawatir jika berada jauh dari keluarga.

Namun penolakan mutasi tersebut berakhir dengan pemutusan hubungan kerja yang dilakukan Tergugat kepada Penggugat. Dalam pembahasan ijarah telah jelas bahwa dilarang

81 Muhammad Bin Ismail, Abdullah al-Bukhori al-ja’fi, Jami al-Shahih al-Mukhtashar Cet-1, (Beirut: Dar Tauq an-Najah, 1422 H), h., 21

72

memutus akad secara sepihak tanpa adanya sebab yang mengakibatkan terputusnya akad atau berakhirnya akad.

b. Aspek Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja

Upaya mediasi maupun triparti yang dilakukan penggugat terkait persoalan pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh Tergugat secara mekanisme telah sesuai dengan aturan pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

Begitu pula dalam Islam, upaya untuk menyelesaikan permasalahan dengan cara musyawarah tersebut dengan pihak-pihak terkait telah dibenarkan. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam surat Ali Imron ayat 159:

َِّْللَّاْىَلَعْْلَّكَوَ تَ فَْتْمَزَعْاَذِإَفِْرْمَلااْ ِفِْْمُىْرِواَشَو...

نارمعْلا(

ْ:

3 / 151 )

Artinya : … Dan bermusyarawahlah dengan mereka dalam urusan itu, kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakal kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepadaNya.”

Musyawarah merupakan suatu kelaziman fitrah manusia dan termasuk tuntunan stabilitas suatu masyarakat. Musyawarah bukanlah tujuan pada asalnya, tetapi disyariatkan dalam agama Islam untuk mewujudkan keadilan diantara manusia.

c. Aspek Perlindungan Hukum

Ada kalanya suatu akad disertai semacam konsekuensi para pihak yang memberikan kemungkinan kepada masing-masing untuk memutuskan akad bersangkutan secara sepihak dengan

memikul suatu kerugian tertentu. Hal tersebut dimaksudkan sebagai bukti untuk memperkuat akad di mana akad tidak boleh diputuskan secara semena-mena oleh salah satu pihak selama tidak ada persetujuan atau adat kebiasaan yang menentukan lain.82

Untuk itulah dalam pola hubungan kerja, Islam mewajibkan dikuatkannya akad-akad atau perjanjian kerja demi terjaminnya hak-hak dan tegaknya keadilan di antara sekalian manusia, dan Islam juga memperhatikan agar akad-akad dilaksanakan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan dan disepakati.83 Sebagaimana Firman Allah SWT surat Al – Maidah ayat 1 yang berbunyi :

ِْدوُقُعلِبِْاوُفْوَأْاوُنَماَءَْنيِذَّلااَهُّ يَيَ

Apabila dikaitkan dengan uang pesangon dapat ditarik persamaan dalam hal tujuan diadakannya akad yang disertai konsekuensi. Ketentuan kewajiban membayar uang pesangon dapat dimaksudkan sebagai jaminan untuk memperkuat perjanjian kerja, di mana perjanjian kerja tidak boleh diputuskan secara sepihak tanpa persetujuan pihak lain. Apabila perjanjian kerja di putus oleh pengusaha, maka pengusaha harus memberikan pesangon kepada pekerja. Apabila perjanjian kerja diputus akibat pengunduran diri dari pekerja, maka pekerja tidak mendapatkan pesangon dari pengusaha.

Dalam kasus ini penggugat diputus hubungan kerjanya oleh perusahaan karena menolak untuk dimutasikan, padahal penolakan tersebut memiliki dasar. Pertama, mengingat kondisi fisik yang

82 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), h., 346

83 Yusuf al-Qardhawi, Peran Nilai dan Moral Ekonomi Islam, alih bahasa Didin Hafiduddin (Jakarta: Rajawali Press, 1997), hlm. 187-188

84 Departemen Agama RI, Terjemah dan Tafsir Al-Qur’an, h., 217

74

sering sakit bila jauh dari keluarga. Kedua, aturan mutasi tidak dicantumkan dalam perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama maupun peraturan perusahaan. Meskipun pekerja berada di bawah kekuasaan (tanggungjawab) pengusaha. Namun demikian, bukan berarti pengusaha bisa dengan seenaknya memperlakukan pekerja dengan membebaninya pekerjaan diluar batas kemampuan.

Sehubungan dengan PHK yang dilakukan oleh tergugat pada putusan Nomor 25/Pdt.Sus-PHI/2019/PN Jkt.Pst Majelis Hakim memutus perkara dengan :

1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian

2. Menyatakan Putus hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat terhitung sejak tanggal 26 Oktober 2018

3. Menghukum Tergugat untuk membayar kompensasi PHK kepada Penggugat berupa Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Uang Penggantian Hak serta Upah bulan Oktober 2018 yang seluruhnya sebesar Rp.

87.300.000,-

4. Memerintahkan Tergugat untuk memberikan Surat Keterangan Bekerja (Verklaring) atas nama Penggugat

5. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya 6. Membebankan biaya perkara kepada Negara sebesar Rp.

306.000,-

Dengan adanya putusan diatas, dianggap telah sesuai dan senapas dengan apa yang dinginkan oleh hukum Islam, yang artinya dalam hal ini Hakim dalam putusannya telah ikut bertanggung jawab atas memberikan rasa keadilan dan kesejahteraan pekerja, dimana PHK yang dilakukan tergugat terhadap penggugat bertentangan dengan hukum Islam karena salah satu syarat dalam pemutusan hubungan kerja harus ada kesepakatan antara pekerja dan pemberi pekerjaan, dan juga Hakim telah

memberikan hukuman dengan memerintahkan pengusaha membayar upah kepada pekerja.

76 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan bab-bab sebelumnya dan dari hasil penelitian maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Perlindungan Hukum bagi pekerja atau buruh yang diberhentikan hubungan kerja akibat menolak mutasi dalam perspektif Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

Berdasarkan perkara a quo PHK yang dilakukan perusahaan sangat bermasalah. Pertama, PHK secara lisan tanpa adanya surat peringatan satu dan dua terlebih dahulu. Meskipun tidak memiliki akibat hukum namun tetap saja hal tersebut dianggap sebagai keputusan yang sewenang-wenang kepada pekerja. Kedua, meskipun pihak perusahaan telah mengupayakan untuk menghindari PHK dengan menawarkan mutasi sebagaimana terdapat dalam kewenangan perusahaan, namun upaya tersebut tidaklah benar-benar bertujuan untuk memperbaiki hubungan kerja. Sebab mutasi yang dilakukan tidak berdasarkan pada asas objektifitas, terbuka dan adil sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 32 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Ketiga, prosedur pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh pihak perusahaan tanpa terlebih dahulu adanya penetapan dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial jelas menyalahi aturan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Meskipun akibat hukumnya adalah batal demi hukum, namun berdasarkan keterangan di persidangan dari Tergugat yang sudah tidak berkeinginan hubungan kerja ini terus berlangsung dan Penggugat

Berdasarkan perkara a quo PHK yang dilakukan perusahaan sangat bermasalah. Pertama, PHK secara lisan tanpa adanya surat peringatan satu dan dua terlebih dahulu. Meskipun tidak memiliki akibat hukum namun tetap saja hal tersebut dianggap sebagai keputusan yang sewenang-wenang kepada pekerja. Kedua, meskipun pihak perusahaan telah mengupayakan untuk menghindari PHK dengan menawarkan mutasi sebagaimana terdapat dalam kewenangan perusahaan, namun upaya tersebut tidaklah benar-benar bertujuan untuk memperbaiki hubungan kerja. Sebab mutasi yang dilakukan tidak berdasarkan pada asas objektifitas, terbuka dan adil sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 32 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Ketiga, prosedur pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh pihak perusahaan tanpa terlebih dahulu adanya penetapan dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial jelas menyalahi aturan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Meskipun akibat hukumnya adalah batal demi hukum, namun berdasarkan keterangan di persidangan dari Tergugat yang sudah tidak berkeinginan hubungan kerja ini terus berlangsung dan Penggugat