PENYELESAIAN SENGKETA KEPAILITAN PADA LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH
(ANALISIS PUTUSAN NOMOR : 12/ Pdt.Sus-Pailit/ 2017/ PN Niaga SMG) Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
Adli Kanza NIM : 11150490000105
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1442 H/ 2021 M
ii
iii
iv
v ABSTRAK
Adli Kanza. NIM 11150490000105. Penyelesaian Sengketa Kepailitan Pada Lembaga Keuangan Syariah (Analisis Putusan Nomor : 12/Pdt.Sus- Pailit/2017/PN Niaga SMG). Program studi Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1442 H/
2021 M. Xi + 63 halaman
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana Penyelesaian kepailitan Pada Lembaga Keuangan Syariah setelah diberlakukan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 093/PUU-X/2012, analisis dilakukan dengan studi terhadap suatu putusan kepailitan (Koperasi Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah BMT Fisabilillah),sebagaimana putusan Nomor : 12/Pdt.Sus- Pailit/2017/PN Niaga SMG)
Jenis penelitan ini menggunakan penelitian yuridis normatif, dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statu approach) dan pendekatan kasus (case approach). Sumber data yang digunakan data primer dan data sekunder.
Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan secara Deskriptif yaitu memaparkan data-data yang ada kemudian di analisis secara Yuridis Normatif.
Hasil Penelitian ini menunjukkan Perkara kepailitan Pada Lembaga Keuangan Syariah saat ini masih menjadi kewenangan Peradilan Niaga dalam lingkungan Peradilan Umum hal ini disebabkan tidak adanya rumusan hukum mengenai sengketa ekonomi syariah tentang kepailitan yang dikandung dalam pasal 49 (i) Undang-Undang Nomor 03 Tahun 2006 tentang perubahan pertama atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama Jo. Pasal 55 Undang-Undang nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Jo. Pasal 1 ayat 4 Perma Nomor 14 tahun 2016 tentang tata cara penyelesaian perkara ekonomi syariah, pasca Putusan Mahkamah Konstritusi Nomor 093/PUU-X/2012 sehingga saat penelitian ini dilakukan penulis, penyelesaian sengketa kepailitan yang berbasis akad syariah terjadi kekosongan hukum yang mengaturnya dan akhirnya menimbulkan ketidakpastian hukum, tekait regulasi yang mengatur tentang kepailitan syariah ada beberapa pasal di PERMA Nomor: 02 Tahun 2008, dan faktor lain dikeluarkannya Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor : KMA/032/SK/IV/2006 tentang Pedoman Pelaksanaa Tugas Dan Administrasi Pengadilan, senyatanya hingga saat ini masih merupakan kewenangan Peradilan Niaga di lingkungan Peradilan Umum, walaupun semestinya menjadi kewenangan Peradilan Agama. Disisi lain pertimbangan hukum Peradilan Niaga Semarang dalam putusan Nomor : 12/Pdt.Sus-Pailit/2017/PN Niaga SMG hanya mempertimbangkan hukum matril konvensional tanpa mempertimbangkan prinsip hukum syariah sebagaimana diatur dalam fiqh muamalah dan Fatwa DSN MUI Nomor : 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh) hingga substansi putusan tersebut tidak merumuskan keadilan bagi para pihak.
Kata Kunci : Kepailitan, Lembaga Keuangan Syariah Dosen Pembimbing : Mustolih Siradj, S.H.I.,M.H.
Daftar Pustaka : 1994 – 2019
vi
KATA PENGANTAR
ِمْي ِح هرلا ِنَمْح هرلا ِ هاللَّ ِمْسِب
Puji syukur dipanjatkan ke hadirat ilahi robbi Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang yang telah memberikan karunia, ampunan dan pertolongan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat serta senantiasa tidak lupa tercurahkan kepada junjungan baginda dan suri tauladan Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman kegelapan hingga zaman terang benderang seperti sekarang ini. Semoga kelak kita mendapat syafa’atnya di akhirat.
Penulis skripsi ini bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat mencapai gelar Sarjana Hukum Program Studi Hukum Ekonomi Syariah pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Selanjutnya, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada para pihak yang secara langsung maupun tidak langsung telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini, yaitu sebagai berikut:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag,SH., MH., MA, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. AM Hasan Ali, Ma., Ketua Program Studi Hukum Ekonomi Syariah dan Dr. Abdurrauf, MA., Sekretaris Program Studi Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Mustolih Siradj, S.H.I.,M.H. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu, pikiran dan tenaga serta kesabaran dalam meberikan arahan, motivasi, bimbingan dan saran-saran yang sangat berharga sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
4. Mu’min Rouf, M.A., selaku dosen pembimbing akademik yang telah senantiasa meluangkan waktu untuk memberikan nasihat dan motivsi, selma dalam proses menyelesaikan studi yang penulis tempuh.
5. Segenap bapak dan ibu dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang senantiasa ikhlas dalam menyalurkan ilmunya kepada penulis selama masa perkuliahan.
vii
6. Teristimewa kepada orangtua tercinta Ayahanda Darul Husni dan Ibunda Hanisah yang telah memberi kasih sayang lahir batin teramat besar dan memberikan motovasi serta dorongan dan dukungan tiada henti. Serta kepada kakak tersayang Aulia Adilla dan Adik M. Adlan Tirta yang selalu memberikan semangat untuk segera wisuda.
7. Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) Hukum Ekonomi Syariah, Himpunan Mahasiswa Islam Komfaksy, Mahasiswa Program Studi Hukum Ekonomi Syariah Kelas C, serta Angkatan 2015 yang telah memberikan dukungan sehingga penulis dapat berproses di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
8. Serta terima kasih kepada orang-orang yng telah memberikan semangat dalam menyelesaikan skripsi ini, mohon maaf apabila tidak dapat diucapkan namanya satu persatu, semoga kita selalu dalam lindungan Allah SWT.
Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat khususnya bagi penulis dan pembaca pada umumnya.
Jakarta, 11 Juni 2021 M 30 Syawal 1442 H
Penulis
viii
DAFTAR ISI LEMBAR JUDUL………...………i
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING……….…..ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI………iii
LEMBAR PERNYATAAN………..iv
ABSTRAK………..v
KATA PENGANTAR………...vi
DAFTAR ISI………...vii
DAFTAR TABEL………...………xiii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……….1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah………....…3
1. Identifikasi Masalah……….3
2. Pembatasan Masalah………4
3. Perumusan Masalah………...………..4
C. Tujuan Penelitian………...……4
D. Manfaat Penelitian……….5
E. Review Studi Terdahulu……….………5
F. Metode Penelitian……….……..8
1. Jenis Penelitian………..………...………8
2. Pendekatan Masalah………...………..8
3. Teknik Pengumpulan Data……….………..9
4. Teknik Analisis Data………..……..9
5. Sumber Data………..…...9
6. Teknik Penulisan………..…………..10
G. Sistematika Penulisan……….…….…….10
ix
BAB II TEORI DAN PENYELESAIAN SENGKETA KEPAILITAN MENURUT PERUNDANG-UNDANGAN A. Kerangka Teori Dan Konseptual………...………...12
1. Teori Kewenangan ………...…….12
2. Kerangka Konseptual………..……...15
B. Tinjauan Umum Tentang Kepailitan………17
1. Pengertian Kepailitan……….17
2. Dasar Hukum Kepailitan………18
3. Asas-asas Hukum Kepailitan……….…………19
4. Proses Pernyataan Kepailitan……….………20
5. Akibat Hukum Atas Kepailitan………..22
6. Jenis Kreditur dalam Kepailitan………..………...23
C. Kewenangan Pengadilan Niaga dalam Sengketa Kepailitan……...23
D. Kewenangan Pengadilan Agama dalam Sengketa Kepailitan Syariah………..25
BAB III GAMBARAN UMUM PUTUSAN PAILIT NOMOR : 12 Pdt.Sus Pailit/2017 A. Kronologi Kasus ………..………..29
B. Pertimbangan Hukum……….35
C. Amar Putusan……….37
BAB IV ANALISIS KEWENANGAN / KOMPETENSI MENGADILI ATAS SENGKETA KEPAILITAN KOPERASI SYARIAH A. Kompetensi Absolut Peradilan di Indonesia Dalam Upaya Penyelesaian Sengketa Kepailitan Syariah………..38
B. Proses Penyelesian Sengketa Kepailitan Yang Berbasis Akad Syariah saat Ini………...45
C. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Dalam Perkara Kepailitan Syariah Pada Putusan Nomor : 12/Pdt.Sus-Pailit/2017/PN Niaga SMG…………48
x BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan………55 B. Saran ………..57
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Daftar Kreditor Pada KJKS BMT Fi Sabilillah ………33
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Semakin luas dan berkembangnya pola bisnis berbasis ekonomi syariah, maka aspek perlindungan dan kepastian hukum dalam penerapan asas perjanjian dalam akad atau kontrak di setiap lembaga syariah dan transaksi ekonomi syariah menjadi semakin urgen diupayakan implementasinya. Karena pada tataran pelaksanaan transaksi bisnis ekonomi syariah tidak menutup kemungkinan terjadinya penyimpangan-penyimpangan dari kesepakatan/akad yang telah dibuat oleh kedua belah pihak. Sehingga dalam koridor masyarakat yang sadar hukum, tidak dapat dihindari munculnya perilaku saling tuntut menuntut satu sama lain, yang mengakibatkan kuantitas dan kompleksitas perkara-perkara bisnis akan sangat tinggi dan beragam.1
Pihak nasabah sebagai debitor tidak selamanya mampu menjaga komitmen dalam melakukan pembayaran utang kepada bank sebagai pihak kreditor. Sebenarnya kesepakatan antara nasabah dan bank tertuang dalam suatu perjanjian atau akad notaril yang ditanda tangani kedua belah pihak, sehingga tak jarang nasabah sebagai debitor dipailitkan oleh bank karena gagal bayar atas utangnya. Sebagaimana halnya dengan bank konvensional, maka sengketa antara nasabah dan bank yang terkait dengan kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang sangat mungkin juga terjadi pada perbankan syariah.
Pasca lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 093/PUU/2012, quo vadis tentang dualisme kewenangan penyelesaian sengketa ekonomi syariah telah berakhir. Peradilan Agama secara legal konstitusional menjadi satu-satunya institusi yang berwenang menyelesaikan sengketa ekonomi syariah melalui jalur litigasi. Namun kewenangan ini tidak sepenuhnya berjalan, masih ada sengketa ekonomi syariah lain yang penyelesaiaannya
1Syukri Iska, Sistem Perbankan Syariah di Indonesia (Yogyakarta: Fajar Media Press, 2012), h.286.
2
diputus oleh Pengadilan Niaga dalam lingkup Peradilan Umum yaitu sengketa kepailitan dan PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) pada lembaga Keuangan Syariah.2
Secara normatif, seharusnya pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 tanggal 29 Agustus 2013, tidak lagi dimungkinkan penyelesaian sengketa lembaga keuangan syariah secara litigasi melalui pengadilan niaga dalam lingkup peradilan umum, semua jenis sengketa lembaga keuangan syariah seharusnya sudah menjadi kewenangan absolut pengadilan Agama untuk mengadilinya termasuk sengketa kepailitan dan PKPU pada lembaga keuangan syariah.3
Namun demikian saat ini telah terjadi distorsi dan bahkan dualisme penegakan hukum dalam penyelesaian perkara ekonomi syariah, dimana meskipun menurut ketentuan hukum bahwa penegakan hukum sengketa ekonomi syariah dengan berbagai macam dan bentuknya itu merupakan kewenangan Peradilan Agama, akan tetapi senyatanya, mengenai perkara yang semula mengandung unsur wanprestasi ataupun perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Mudharib (Pelaku Usaha) dan atau shahibul Mal (Investor) dalam suatu akad, telah dibawa ke ranah perkara Kepailitan yang penundukan hukumnya tarik menarik secara dikotomi antara Peradilan Agama yang merupakan kompetensi absolutnya sesungguhnya dengan penundukan diri menjadi kewenangan Peradilan Umum.
Kondisi penegakan hukum kepailitan transaksional keuangan yang berbasis akad syariah seperti ini telah menjadikan ketidakpastian hukum dalam penegakan hukum ekonomi syariah, sekaligus menjadikan lembaga peradilan agama tidak mandiri dalam mwujudkan kompetensi absolutnya, hingga menggiring opini pada penegakan hukum ekonomi syariah yang semu, dimana menimbulkan ketidak mandirian lembaga Peradilan Agama dan menghambat lajunya legislasi hukum mu’amalat, sekaligus memunculkan kondisi
2Amran Suadi, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Teori dan Ekonomi, (Jakarta: Penerbit Kencana, 2017), h.329.
3Terdapat data yang penulis telusuri dari aplikasi SIPP Mahkamah Agung pada Tanggal 15 Januari 2020
instabilitas penerapan hukum syariat Islam bidang mu’amalah Al- Iqtishadiyyah (Ekonomi), bersamaan dengan kebijakan pemerintah yang memacu tumbuh suburnya pembangunan ekonomi dan kemudahan dalam dunia usaha saat ini.
Berdasarkan uraian diatas permasalahan yang telah penulis paparkan diatas, maka penulis akan membahas masalah ini dengan mengangkat judul penelitian “Penyelesaian Sengketa Kepailitan Pada Lembaga Keuangan Syariah” (Analisis Putusan Nomor : 12/ Pdt.Sus-Pailit/ 2017/ PN Niaga SMG)
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Identifiksi Masalah
Dari pemaparan latar belakang diatas, penulis akan memaparkan segala aspek permasalahan yang dapat dikaji sebagai bahan penelitian, antara lain :
a. Faktor yang mempengaruhi berkembangnya bisnis berbasis Ekonomi Syariah dan konvensional telah mendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia
b. Aspek perlindungan dan kepastian hukum pelaku bisnis yang bertransaksi di lembaga bisnis Ekonomi Syariah/ berbasis akad syariah belum terjamin secara pasti dan akuntabel
c. Mekanisme Penyelesaian sengketa Kepailitan dan PKPU berbasis akad syariah yang timbul di dalam bisnis syariah
d. Kewenangan Pengadilan Niaga atau Negeri dan pengadilan Agama dalam penyelesaian sengketa bisnis
e. Faktor yang mempengaruhi pelaksanaan sengketa kepailitan berbasis akad syariah di pengadilan Niaga/Negeri
f. Masalah Kompetensi absolut kepailitan syariah belum diatur secara tersendiri dalam Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009, hingga terjadi kekosongan Hukum dalam penyelesaian sengketa kepailitan
4
g. Adanya karakteristik dan prinsip khusus akad syariah bila dibandingkan dengan akad/perjanjian konvensional, yang harus ditegakkan nilainya dalam suatu perkara ekonomi syariah
2. Pembatasan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi ini, penulis membatasi masalah yang akan dibahas sehingga pembahasannya lebih jelas dan terarah sesuai dengan yang diharapkan penulis. Di sini penulis hanya akan membahas penyelesaian sengketa kepailitan pada lembaga Keuangan Syariah
3. Perumusan Masalah
Rumusan masalah tersebut penulis rinci dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana Kompetensi absolut Peradilan Indonesia dalam upaya penyelesaian sengketa Kepailitan Syariah ?
2. Bagaimana proses penyelesaian sengketa Kepailitan yang berbasis akad syariah saat ini ?
3. Bagaimana pertimbangan hukum majelis hakim dalam perkara kepailitan syariah pada putusan nomor: 12/ Pdt.Sus-Pailit/ 2017/ PN Niaga SMG ?
C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah peneliti uraikan diatas, maka tujuan diadakan penelitian adalah:
1. Menganalisa bagaimana Kompetensi absolut Peradilan dalam rangka penyelesaian sengketa Kepailitan Syariah ?
2. Menganalisis bagaimana penyelesaian sengketa kepailitan yang berbasis akad syariah saat ini ?
3. Menganalisis bagaimana pertimbangan Hukum hakim dalam penyelesaian sengketa kepailitan dalam putusan Nomor: 12/ Pdt.Sus- Pailit/ 2017/ PN Niaga SMG ?
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat bagi penulis, untuk mengembangkan ilmu yang telah didapatkan selama perkuliahan, serta memberikan wawasan bagi penulis dalam memahami bagaimana seharusnya, Kompetensi absolut peradilan dalam rangka penyelesaian sengketa Kepailitan Syariah, pasca diberlakukannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 093/PUU- X/2012.
2. Manfaat bagi praktisi, memberikan pandangan teknis yustisial kepada pelaku bisnis syariah, praktisi hukum syariah dan lembaga penegak hukum syariah, dalam penyelesaian sengketa kepailitan berbasis akad syariah di pengadilan niaga saat ini dengan melihat penyesuaian dan harmonisasi hukum kompetensi absolut Peradilan Agama saat ini.
3. Manfaat bagi akademis, memberikan referensi dan informasi dalam upaya mengembangkan kurikulum Fakultas syariah dan Hukum pada Bidang Study “ lembaga Keuangan Syariah dan permasalahannya” serta memberikan materi dasar Penyelesaian Kepailitan Lembaga keuangan syariah untuk melakukan penelitian selanjutnya.
E. Review Studi terdahulu
Penelitian terdahulu merupakan acuan dalam sebuah penelitian, penelitian terdahulu dapat berfungsi sebagai pembanding antara penelitian yang sedang dibuat dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Berikut adalah penelitian terdahulu yang dapat dijadikan pembanding penelitian ini:
1. Tesis, Oleh Siti Kadariah tahun 2018 dengan judul, “Analisis Penyelesaian Kepailitan Perbankan Syariah di pengadilan Niaga Dalam Putusan No.01/Pdt-Sus PKPU/2015/PN Niaga Mdn ditinjau dari
6
Perspektif ekonomi Islam”.4 Dalam Penelitian ini menjelaskan tentang landasan hukum dalam penyelesaian kepailitan perbankan syariah di Pengadilan Niaga dalam putusan No.01/Pdt-SusPKPU/2015/PN Niaga Mdn, juga bertujuan untuk menjelaskan Apakah dalam putusan No.01/Pdt-Sus-PKPU/2015/PN Niaga Mdn sudah sesuai dengan prinsip syariah yang berlandaskan pada teori ekonomi Islam. Yang menjadi pembeda dengan penelitian sebelumnya, penulis lebih mengarah kepada kompetensi dualisme antar peradilan niaga/umum dan agama dalam penyelesaian sengketa kepailitan berbasis akad syariah.
2. Jurnal, Oleh Sufiarina, “Kompetensi Pengadilan Niaga Dalam Penyelesaian sengketa Bisnis Di Indonesia”.5 Dalam penelitian ini memaparkan bahwa penyelesaian sengketa bisnis melalui Pengadilan Niaga lebih unggul dibandingkan dengan pengadilan lainnya, namun kewenangan penyelesaian sengketa bisnis di Pengadilan Niaga saat ini masih terbatas pada masalah kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang serta sengketa tertentu di bidang hak kekayaan intelektual. Ada baiknya mengingat keunggulan pengadilan Niaga dalam penyelesaian sengketa bisnis, kewenangan Pengadilan Niaga dapat diperluas termasuk dalam bidang wanprestasi dan perbuatan melawan hukum bagi sengketa bisnis lainnya.
3. Skripsi, Oleh Dennis Eka Pratama, “Sengketa kepailitan Antara Nasabah Pribadi Dan Lembaga Keuangan Bukan Bank”.6 Dalam Skripsi ini membahas bahwa pihak-pihak dalam sengketa kepailitan antara nasabah pribadi dan LKBB antara lain adalah Nasabah Pribadi, LKBB dan OJK. Berdasarkan Pasal 55 ayat (1) UU OJK untuk
4 Siti Kadariah, “ Analisis Penyelesaian Kepailitan Perbankan Syariah di pengadilan Niaga Dalam Putusan No.01/Pdt-Sus PKPU/2015/PN Niaga Mdn ditinjau dari Perspektif ekonomi Islam”, Mahasiswa UIN Medan. (Tahun 2018).
5 Sufiarina, “Kompetensi Pengadilan Niaga Dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis Di Indonesia, (Universitas tama jagakarsa E-journal Jakarta Selatan)
6 Dennis Eka Pratama,“Sengketa kepailitan Antara Nasabah Pribadi Dan Lembaga Keuangan Bukan Bank”, (Mahasiswa Universias Lampung, Tahun 2017)
mengajukan permohonan pailit kewenangan yang dimiliki Menteri Keuangan dan BAPEPAM beralih kepada OJK. Tujuan tidak diberikannya wewenang kepada nasabah pribadi untuk mengajukan permohonan pailit karena untuk menghindari suatu perusahaan LKBB agar tidak mudah dipailitkan mengingat banyaknya kepentingan dari pemegang polis lainnya. Proses pengajuan permohonan pailit oleh nasabah pribadi kepada LKBB tidak dapat langsung diajukan melalui pengadilan niaga. Permohonan pailit oleh nasabah pribadi harus diajukan melalui OJK.
4. Jurnal, Oleh Asep Saepullah, “Kewenangan Peradilan Agama di dalam Perkara ekonomi Syariah”.7 Bahwa dalam jurnal ini berisikan tentang Peradilan agama merupakan salah satu badan peradilan pelaku kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan penegakan hukum dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan dalam perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam dibidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, sedekah, dan ekonomi syariah. Yang menjadi pembeda disini penulis meneliti Penyelesaian sengketa Kepailitan pada lembaga keuangan syariah.
5. Skripsi, Oleh Daffa Albari Naufal, “Kompetensi Peradilan Agama Dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah (sebelum dan sesudah putusan Mahkamah Konstitusi No 93/PUU-X/2012).8 Skripsi ini meneliti tentang Keabsolutan penyelesaian sengketa ekonomi syariah melalui jalur litigasi yaitu pengadilan agama dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012, dualisme penyelesaian sengketa ekonomi syariah pada saat itu membuat ketidakpastian hukum dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama (yang pada saat ini sudah
7 Asep Saepullah, “Kewenangan Peradilan Agama Di Dalam Perkara ekonomi Syariah”, (Mahkmah: Jurnal Kajian Hukum Islam Vol. 1 No.2 2016)
8 Daffa Albari Naufal, “Kompetensi Peradilan Agama Dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah (sebelum dan sesudah putusan Mahkamah Konstitusi No 93/PUU-X/2012), (Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun 2018)
8
direvisi menjadi Undag-Undang Nomor 5 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama) memberikan kekuasaan penuh terhadap Peradilan Agama dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah namun dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah memberikan keleluasaan kepada Peradilan Umum dalam penyelesaian sengketa yang dimana bisa dilakukan asal akad pada saat itu mencantumkan Peradilan Umum sebagai temat dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah.
F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Metode penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah pendekatan yuridis normatif. Menurut Soerjano Soekanto pendekatan yuridis normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder sebagai bahan dasar untuk diteliti dengan cara mengadakan penelusuran terhadap peraturan-peraturan dan literatur-literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.9 2. Pendekatan Masalah
a. Pendekatan Perundang-Undangan (statute approach)
Pendekatan ini digunakan dengan menelaah norma-norma hukum seperti undang-undang dan regulasi yang bersangkutan dengan isu hukum yang ditangani. Sehingga hasil telaah tersebut berupa argumentasi dapat memecahkan masalah yang dihadapi.
b. Pendekatan kasus (case approach)
Pendekatan kasus (case approach) dalam penelitian normatif bertujuan untuk mempelajari kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum. Terutama mengenai kasus-kasus yang telah diputus sebagaimana yang dapat dilihat dalam yurisprudensi terhadap perkara-perkara yang menjadi fokus penelitian
9 Soerjono Soekanto & Sri Mahudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat). (Rajawali Pers, jakarta, 2001), h. 13-14
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data melalui studi dokumen. Pengumpulan data dengan studi dokumen atau kepustakaan yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan seperti buku-buku, jurnal, putusan pengadilan, salinan perundang-undangan dan artikel dari internet.10
4. Teknik Analisis Data
Setelah mengumpulkan data berupa teori dibaca dengan membandingkan dan mengamati dengan pengamatan konten analisis.
Sehingga ditemukan langkah strategis untuk menghindari berbagai risiko yang mungkin timbul. Pengolahan data dan analisis dilakukan dengan :
a. Metode Deskriptif, yaitu dengan cara memaparkan data-data yang ada secara apa adanya.
b. Analitis, setelah data dipaparkan secara deskriptif kemudian dianalisis secara Yuridis Normatif
5. Sumber Data a. Data Primer
Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung dari sumbernya. terdiri atas peraturan perundang-undangan yaitu : Undang Undang No 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 093/PUU-X/2012, Undang Undang Peradilan Agama Nomor 3 Tahun 2006, Undang- undang Perbankan Syariah Nomor 21 tahun 2008, Peraturan Mahkamah Agung No 14 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah, PERMA Nomor 02 Tahun 2008 Tentang
10 Mamudji Sri dkk, Metode penelitian dan penulisan hukum, (Depok: Badan penerbit fakultas hukum Universitas Indonesia, 2005)
10
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : KMA/032/SK/IV/2006 tentang Pedoman Pelaksanaa Tugas Dan Administrasi Pengadilan, Putusan Pailit Nomor : 12/ Pdt.Sus-Pailit/ 2017/ PN Niaga SMG, yang diurut berdasarkan hierarki Undang-Undang, serta putusan-putusan hakim b. Data Sekunder
Adapun bahan hukum sekunder adalah semua referensi hukum yang tidak termasuk dalam dokumen resmi negara seperti buku, disertasi, tesis dan lain sebagainya yang bersinggung dengan tema penelitian.
6. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan skripsi ini adalah menggunakan “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2017”
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan penelitian dibagi menjadi :
BAB I PENDAHULUAN : Bab ini membahas latar belakang masalah, identifikasi, Pembatasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan (review) Studi terdahulu, Metode Penelitian dan Rancangan Sistematika Penulisan.
BAB II TEORI DAN PENYELESAIAN SENGKETA KEPAILITAN MENURUT PERUNDANG-UNDANGAN : Bab ini membahas mengenai Kerangka Teori teori-kewenangan, dan Konseptual, yang berupa pengertian dan definisi Kepailitan dan macam-macamnya, yang diambil dari kutipan buku dan jurnal serta beberapa review studi terdahulu.
BAB III GAMBARAN UMUM PUTUSAN PAILIT NOMOR: 12/
Pdt.Sus-Pailit/ 2017/ PN Niaga SMG: Berisi tentang uraian persoalan utama hakim Pengadilan Niaga dalam menyelesaikan perkara kepailitan
ekonomi syariah, yang meliputi Duduk Perkara dan Pertimbangan Hakim beserta Amar Putusan.
BAB IV ANALISIS KEWENANGAN/KOMPETENSI MENGADILI ATAS SENGKETA KEPAILITAN KOPERASI SYARIAH Berisi tentang hasil dan analisa dari penelitian yang dilakukan menganalisis kompetensi absolut Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang serta Kompetensi Absolut Pengadilan Agama dalam hal Kepailitan, dilanjutkan dengan analisa penulis tentang pertimbangan hukum Hakim dalam penyelesaian perkara kepailitan berbasis akad syariah di Pengadilan Niaga Semarang.
BAB V PENUTUP : Berisi tentang kesimpulan dan saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian.
12 BAB II
TEORI DAN PENYELESIAN SENGKETA KEPAILITAN MENURUT PERUNDANG-UNDANGAN
A. Kerangka Teori dan Konseptual 1. Teori Kewenangan
Kata kewenangan dapat dimaknai dengan kekuasaan, dalam istilah hukum kata ini sering disebut juga dengan kompetensi, yang berasal bahasa Belanda yaitu competentie, yang sering diterjemahkan juga dengan kata kewenangan, sehingga ketiga kata tersebut dianggap semakna.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, kata wewenang disamakan dengan kata kewenangan, yang diartikan sebagai hak dan kekuasaaan untuk bertindak, kekuasaan membuat keputusan, memerintah dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang/badan lain.1
Kewenangan adalah hak menggunakan wewenang yang dimiliki sesorang pejabat atau institusi menurut ketentuan yang berlaku, dengan demikian kewenangan juga menyangkut kompetensi tindakan hukum yang dapat dilakukan menurut kaedah-kaedah formal, jadi kewenangan merupakan kekuasaan formal yang dimiliki oleh pejabat atau institusi.
Kewenangan memiliki kedudukan yang penting dalam kajian hukum tata negara dan hukum administrasi negara. Begitu pentingnya kedudukan kewenangan ini, sehingg F.A.M Sroink dan J.G. Steenbeek menyebut sebagai konsep inti dalam hukum tata negara dan hukum administrasi negara.2
Berbicara tentang kekuasaan peradilan dalam kaitannya dengan hukum acara perdata, biasanya menyangkut dua hal, yaitu tentang Kekuasaan Relative dan Kekuasaan Absolut, sekaligus dibahas pula di
1 Kamal Hidjaz, Efektifitas Penyelenggaraan kewenangan Dalam Sistem Pemerintahan Daerah Di Indonesia (Makasar: Pusat Refleksi,2010), h.35.
2 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Rajawali Press, 2011), h. 99
dalamnya tentang tempat mengajukan gugatan atau permohonan serta jenis perkara yang menjadi kekuasaan pengadilan.3
a. Kekuasaan Relative
Kekuasaan Relative diartikan sebagai kekuasaan pengadilan yang satu jenis dan satu tingkatan, dalam perbedanya dengan kekuasaan pengadilan yang sama jenis dan sama tingkatan lainnya, misalnya antara Pengadilan Agama Kabupaten Malang dan Pengadilan Agama Surabaya, atau antara Pengadilan Agama Medan dan Pengadilan Agama Padang.
Pengadilan Negeri Malang dan Pengadilan Negeri suarabaya satu jenis, yaitu sama-sama lingkungan Peradilan Umum dan sama-sama pengadilan tingkat pertama. Demikian juga Pengadilan Agama Medan dan Pengadilan Agama Padang juga sama-sama satu jenis, yaitu sama- sama lingkungan peradilan agama dan satu tingkatan, sama-sama tingkat pertama.4
Pada Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 -Undang Nomor 7 Tahun 1989 ditegaskan bahwa : “ Pengadilan Agama berkedudukan di kotamadya atau di ibu kota kabupaten, dan daerah hukumnya meliputi kotamadya atau kabupaten.
Yurisdiksi Relative ini mempunyai arti penting, terutama dalam hal domisili penggugat dan tergugat dalam suatu perkara. Lebih lanjut tentu sangat menentukan sehubungan dengan Pengadilan Agama mana orang akan mengajukan perkaranya dan sehubungan dengan hak eksepsi tergugat dalam penyelesaian suatu sengketa.
b. Kekuasaan Absolut
Kekuasaan Absolut artinya kekuasaan pengadilan yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan, dalam perbedaannya dalam jenis perkara atau jenis
3 Cik Hasan Bisri, MS. Peradilan Agama di Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 2000, hlm. 217
4 Erfaniah Zuhriah, M.H. Peradilan Agama Indonesia, Setara Press, Malang, 2014.
Hlm.129
14
pengadilan atau tingkatan pengadilan lainnya, misalnya : Pengadilan Agama berwenang atas perkara perkawinan bagi orang-orang yang beragama Islam sedangkan bagi yang selain Islam menjadi kekuasaan peradilan umum. Pengadilan Agamalah yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara dalam tingkat pertama, tidak boleh langsung berperkara di pengadilan tinggi agama atau di Mahkamah Agung.
Demikian juga, perkara banding dari Pengadilan Agama diajukan ke pengadilan tinggi agama, tidak boleh diajukan ke pengadilan tinggi.
Terhadap kekuasaan absolut ini, Pengadilan Agama diharuskan untuk meneliti perkara yang diajukan kepadanya apakah termasuk kekuasaan absolutnya atau bukan. Jika jelas-jelas tidak termasuk kekuasaan absolutnya, Pengadilan Agama dilarang menerimanya. Jika Pengadilan Agama menerimanya juga, maka pihak tergugat dapat mengajukan keberatan yang disebut eksepsi absolut dan jenis eksepsi ini boleh diajukan sejak tergugat menjawab pertama gugatan bahkan boleh diajukan kapan saja, bahkan sampai di tingkat banding atau di tingkat kasasi.5
Berkaitan dengan Kewenangan yang dimaksud Penulis dalam skripsi ini adalah kewenangan atau yang lebih populer dalam dunia hukum disebut dengan Kompetensi Absolut Lembaga-lembaga peradilan Indonesia khususnya Peradilan Agama sebagai salah satu lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia, yang didelegasikan oleh negara kepada lembaga penegakan hukum tersebut untuk mewujudkan penegakan dan kepastian hukum yang berkeadilan terhadap para pencari keadilan yang mengajukan perkara/sengketa kepada badan Peradilan itu.
5 Rohain A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Rajawali Press, Jakarta, 2006, hlm. 26
2. Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual akan menjelaskan beberapa konsep terkait dengan istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini:
a. Kepailitan, adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.6
b. Pengadilan Niaga, Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, selain memeriksa dan memutus permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran Utang, berwenang pula memeriksa dan memutus perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya dilakukan dengan undang-undang.
c. PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), adalah Debitor yang tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang, dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditor.7
d. Pengadilan Agama, adalah pengadilan tingkat pertama yang melaksanakan kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Agama yang berkedudukan di ibu kota kabupaten atau kota.
Pengadilan agama dibentuk dengan keputusan presiden.
e. Peradilan Agama, menurut Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama adalah salah satu badan peradilan pelaku
6 Undang-Undang No.37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU Pasal 1 ayat (1)
7 Undang-Undang No.37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU Pasal 222 ayat (2)
16
kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan penegakan hukum dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah.
f. Ekonomi Syariah, adalah ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam.
g. Akad Ekonomi Syariah/Perjanjian Syariah, sebagaimana dimaksud PERMA 14 tahun 2016 adalah “Perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih atas dasar sukarela yang menimbulkan hak dan kewajiban berdasarkan prinsip Syariah, yang meliputi : bank syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, obligasi syariah, surat berharga berjangka syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pensiun lembaga keuangan syariah, bisnis syariah, termasuk wakaf, zakat, infaq, dan shadaqah yang bersifat komersial, baik yang bersifat kontensius maupun volunteer.
B. Tinjauan Umum Tentang Kepailitan 1. Pengertian Kepailitan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Sengketa adalah sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat pertengkaran, pembantahan, perselisihan dalam suatu perkara tertentu di dalam lingkup pengadilan.8 Achmad Ali berpendapat sengketa atau konflik merupakan setiap situasi dimana dua atau lebih pihak yang memperjuangkan tujuan-tujuan pokok tertentu dari masing-masing pihak, saling memberikan tekanan dan satu sama lain gagal mencapai satu pendapat dan masing-masing pihak saling berusaha untuk memperjuangkan secara sadar tujuan-tujuan pokok mereka.9
Kepailitan secara etimologi berasal dari kata pailit. Istilah pailit berasal dari kata Belanda yaitu failliet yang mempunyai arti ganda yaitu sebagai benda dan sebagai kata sifat. Istilah failliet sendiri berasal dari Prancis yaitu faillite yang berarti pemogokan atau kemacetan pembayaran.10 Dalam Bahasa Indonesia pailit diartikan bangkrut. Pailit adalah suatu keadaan dimana seorang Debitor tidak membayar utang- utangnya yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.11 Menurut R, Subekti dan R. Tjitrosudibio, Pailit adalah keadaan seseorang Debitor apabila ia telah menghentikan pembayaran utang-utangnya. Suatu keadaan yang menghendaki campur tangan Majelis Hakim guna menjamin kepentingan bersama dari para kreditornya.12
Sebagaimana Pengertian Kepailitan terdapat pada Pasal 1 angka (1) Undang-Undang No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), menjelaskan bahwa
8 https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/sengketa diakses tanggal 03 agustus 2020
9 Achmad Ali, SosiologiHukum Kajian Empiris Terhadap Pengadilan, STIH IBLAM, Jakarta, 2004, hlm. 64.
10 Victor Situmorang & Soekarso, Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1994, hlm. 18.
11 Zaeny Asyhadie, Hukum Bisnis Proses dan Pelaksanaannya di Indonesia, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 225.
12 Sentosa Sembiring, Hukum Kepailitan dan Peraturan Perundang-Undangan yang Terkait dengan Kepailitan, CV. Nuansa Aulia, Bandung, 2006, hlm. 12.
18
“Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan penyelesaiaannya dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan hakum pengawas sebagaimana diatur dalam undang- undang ini.13
Bilamana suatu perusahan dapat dikatakan pailit, menurut UU Kepailitan adalah jika suatu perusahaan memenuhi syarat-syarat yuridis kepailitan. Syarat-syarat tersebut menurut Pasal 2 UU Kepailitan meliputi adanya debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit denga putusan pengadilan.
2. Dasar Hukum Kepailitan
Peraturan mengenai Kepailitan pada masa lampau adanya dua buah peraturan Kepailitan yaitu: Buku Ketiga KUH Dagang dan yang mengatur tentang Kepailitan bagi pedagang/pengusaha dan ketentuan dalam Rv bagi mereka yang bukan pedagang/pengusaha dalam pelaksanaanya telah menimbulkan banyak kesulitan diantaranya ialah :
1. Banyak Formalitas yang harus ditempuh 2. Biaya tinggi
3. Terlalu sedikit bagi kreditur untuk dapat ikut campur terhadap jalannnya proses kepailitan
4. Pelaksaann kepailitan memakan waktu yang lama. Dengan berlakunya Faillismentverodening/Peraturan Kepailitan (S.
1905-217 juncto S. 1906-348) tersebut, maka dicabutlah seluruh buku ketiga WvK/KUHDagang dan Reglement op de Rechtsvordering/Rv buku ketiga, Bab Ketujuh, Pasal 899 sampai dengan Pasal 915
Di indonesia, pada saaat ini, Undang-Undang yang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan Kepailitan adalah Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
13 UU no 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU Pasal 1 Angka (1)
Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 31
3. Asas-asas Hukum Kepailitan
Dalam sistem kepailitan terdapat beberapa prinsip, antara lain prinsip debt collection dan prinsip debt forgivenes, prinsip debt collection merupakan konsep pembalasan dari kreditor terhadap debitor pailit dengan menagih klaimnya terhadap debitor atau harta debitor.
Sementara prinsip debt forgivenes merupakan prinsip pengampunan kepailitan berupa penghapusan utang serta dimungkinkannya debitor melakukan usaha baru dengan tanpa beban utang-utang yang lama.
UUKPKPU menganut prinsip debt collection. hal ini dapat diketahui dari ketentuan-ketentuan mengenai kepailitan yang mennyebabkan sita umum terhadap harta kekayaan debitor untuk selanjutnya terhadap harta kekayaan debitor tersebut akan dilakukan pemberesan.14
Sementara untuk asas-asas hukum Kepailitan di Indonesia, pada Undang-Undang Kepailitan dan PKPU di dalam penjelasannya menyebutkan bahwa Undang-Undang Kepailitan mendasarkan pada sejumlah asas-asas dalam Kepailitan, yaitu:
a. Asas Keseimbangan
Undang-undang ini mengatur beberapa ketentuan yang merupakan perwujudan dari asas keseimbangan, yaitu disatu pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh debitor yang tidak jujur, di lain pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh kreditor yang tidak beritikad baik.
14 “Kajian Yuridis Atas Putusan Kepailitan Koperasi Di Indonesia (Studi Kasus Putusan Nomor : 01/PAILIT/2008 Pengadilan Niaga Semarang,” h. 39-40
20
b. Asas Kelangsungan Usaha
Dalam Undang- undang ini terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan debitor yang prospektif tetap dilangsungkan.
c. Asas Keadilan
Dalam kepailitan asas keadilan mengandung pengertian bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap debitor, dengan tidak memedulikan kreditor lainnya.
d. Asas Integrasi
Asas integrasi dalam undang-undang ini mengandung pengertian bahwa sistem hukum formil dan materilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional
4. Proses Pernyataan Kepailitan
Pernyataan pailit tidak dapat dilakukan secara serta-merta, namun harus berdasarkan putusan pengadilan yang diawali dengan beberapa proses yang telah diatur oleh peraturan perundang-undangan yang ada seperti yang disebutkan dalam Undang-Undang No 37 Tahun 2004.
Terdapat beberapa tahapan atau langkah untuk menyatakan pailit, yaitu dengan melalui proses sebagai berikut:
a. Proses pertama adalah adanya pemohon, dalam hal ini pemohon dapat saja terdiri dari:
1) Dua kreditur atau lebih yang debiturnya yang tidak membayar utangnya
2) Kejaksaaan dengan alasan kepentingan umum 3) Bank Indonesia jika debiturnya perbankan
4) Otoritas jasa keuangan (OJK), jika debiturnya adalah lembaga keuangan seperti perusahaan efek
5) Menteri keuangan, jika debiturnya perusahaan asuransi, reasuransi, dana pensiun.
Langkah selanjutnya tentu saja pemohon tersebut mengajukan perkaranya ke pengadilan niaga, yaitu daerah hukum yang meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitur, atau tempat terakhirnya jika debitur meninggalkan wilayah negara Republik Indonesia.15
b. Setelah permohonan didaftarkan di kepaniteraan, maka paling lambat dalam waktu dua hari, permohonan tersebut sudah disampaikan kepada ketua pengadilan. Kemudian sebelum persidangan dimulai juru sita atas perintah ketua pengadilan melakukan pemanggilan para pihak dengan surat kilat tercatat paling lambat tujuh hari sebelum sidang pemeriksaan pertama diselenggarakan. Penetapan sidang pertama ditetapkan dalam jangka waktu paling lambat tiga hari setelah permohonan didaftarkan.
c. Sidang pemeriksaan diselenggrakan paling lambat 20 hari setelah permohonan didaftarkan dan atas alasan yang dapat dibenarkan seperti debitur sakit, maka pengadilan dapat menunda pemeriksaan paling lama 25 hari sejak permohonan didaftarkan. Bilamana suatu perusahaan dapat dikatakan pailit, menurut Undang-Undang kepalilitan adalah jika suatu perusahaan memenuhi syarat-syarat yuridis kepailitan. Syarat tersebut menurut pasal 2 Undang-Undang Kepailitan.
d. Selama pemeriksaan, maka pemohon dapat mengajukan sita jaminan atau menunjuk kurator sementara untuk mengawasi pengelolaaan usaha debitur atau pembayaran, pengalihan atau pengagunan kekayaan debitur.
15 Ivada Dewi Amrih Suci dan Herawati Poesoko, Hukum Kepailitan, Laksbang Presindo, Yogyakarta, 2016, hlm.63.
22
e. Putusan pengadilan harus diucapkan paling lambat 60 hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan, diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan disampaikan pada debitur paling lambat tiga hari setelah putusan diucapkan.16
5. Akibat Hukum Atas Kepailitan
Akibat Hukum Pernyataan Pailit secara umum dengan adanya pernyataan pailit berlakulah hal-hal sebagai berikut :
1. Terjadi sitaan umum terhadap harta kekayaan debitur pailit 2. Kepilitan ini semata-mata hanya mengenai harta kekayaan saja
dan tidak mengenai diri pribadi si debitur pailit
3. Segala perikatan debitur pailit yang timbul setelah putusan pailit yang diucapkan tidak dapat dibayar dari harta pailit. Harta pailit diurus dan dikuasai kurator untuk kepentingan semua para kreditur dan debitur
4. Tuntutan dan gugatan mengenai hak dan kewajiban harta pailit harus diajukan oleh atau terhadap kurator (Pasal 26 ayat (1) UUK)
5. Semua tuntutan atau gugatan yang bertujuan mendapatkan pelunasan dari harta pailit selama kepailitan harus diajukan dengan laporan untuk pencocokan utang (Pasal 27 UUK) 6. Kreditor yang dijamin dengan Hak Gadai, Hak Tanggungan,
Hak Hipotik, jaminan Fidusia, dapat melaksanakan hak agunannya seolah-olah tidak ada Kepailitan (Pasal 55 Ayat (1) UUK) Pihak kreditor yang mempunyai hak menahan barang milik debitor pailit sampai dibayar tagihannya (hak retensi), tidak kehilangan hak untuk menahan barang debitor pailit tersebut meskipun ada putusan pailit (Pasal 61 UUK) 9) Hak
16 Jono, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta, 2015, hlm. 87-91
eksekusi Kreditor yang dijamin sebagaimana disebut dalam Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan (Kreditor Separatis/Kreditor dengan jaminan khusus) dan pihak ketiga untuk menuntut hartanya yang berada dalam penguasaan debitur pailit atau kurator.
6. Jenis Kreditur dalam Kepailitan
Terdapat 3 jenis kreditur dalam kepailitan dimaksud, yaitu :
a. Kreditur Separatis : Kreditur Pemegang hak jaminan kebendaan yang dapat bertindak sendiri atau memperoleh posisi paling utama, artinya hak- hak eksekusi mereka tetap dapat dijalankan, seperti tidak adanya penetapan kepailitan debitur. Secara praktik, kreditur separatis banyak terdapat pada pemegang gadai, pemegang jaminan fidusia, dan pemegang jaminan hak tanggungan
b. Kreditur Preferen : kreditur yang memperoleh hak istimewa atau prioritas yaitu hak yang diberikan oleh undang-undang kepada seseorang berpiutang sehingga tingkatnya lebih utama dari pada orang yang berpiutang lainnya
c. Kreditur konkuren : kreditur yang harus berbagi dengan para kreditur lainnya secara proporsional sesuai dengan perbandingan besarnya masing-masing tagihan
A. Kewenangan Pengadilan Niaga dalam Sengketa Kepailitan
Pengadilan Niaga Sebagai Lembaga Penyelesaian Perkara Kepailitan Pembentukan Peradilan Niaga yang pertama adalah Pengadilan Niaga jakarta Pusat pada tahun 1998. Pada awalnya, kompetensi Absolut Pengadilan Niaga terbatas hanya mengadili perkara-perkara berdasarkan Undang-Undang Kepailitan yang baru. Namun pada tahun 2001, Kompetensi tersebut diperluas sehingga mencakup kewenangan untuk mengadili perkara Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI).
24
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat merupakan satu diantara lima Pengadilan Niaga lainnya di Indonesia. Pengadilan Niaga Jakarta Pusat adalah pengadilan Niaga pertama yang dibentuk berdasarkan Pasal 306 Undang-Undang No 37 Tahun 2004 jo Undang-Undang No 4 Tahun 1998 jo Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 1998 tentang Kepailitan, Keempat lainnya yaitu di Semarang, Surabaya, Medan, dan Makassar yang didirikan berdasarkan keputusan presiden No 97 Tahun 1999. Persidangan perkara di Pengadilan Niaga adalah meliputi perkara Kepailitan, PKPU dan gugatan dalam perkara perlindungan hak atas kekayaan intelektual yaitu : hak cipta, merek, desain industri, desain letak sirkuit terpadu dan paten.
Tugas dan Wewenang pengadilan Niaga ini sesuai dengan Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1998 diatur dalam pasal 280, sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 diatur pada pasal 300. Pengadilan Niaga merupakan lembaga peradilan yang berada di bawah lingkungan peradilan Umum yang mempunyai tugas sebagai berikut :
1. Memeriksa dan memutuskan Permohonan Pernyataan Pailit 2. Memeriksa dan memutuskan permohonan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang
3. Memeriksa perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya ditetapkan dengan undang-undang misalnya sengketa di bidang HAKI.
1. Wilayah Hukum Pengadilan Niaga
Sesuai dengan Putusan Presiden Republik Indonesia Nomor 97 Tahun 1999 Tentang Pembentukan Pengadilan Niaga Pada Pengadilan Negeri Ujung Pandang, Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Negeri Surabaya, Pengadilan Negeri Semarang,17adalah sebagai berikut :
17 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 97 Tahun 1999 Tentang Pembentukan Pengadilan Niaga Pasal 1 Ayat (1,2,3,4) & Pasal 5
1. Pasal 2 (1) Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Ujung Pandang meliputi Wilayah Propinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, dan Irian Jaya.
2. Pasal 2 (2) Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Medan meliputi Wilayah Propinsi Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, Bengkulu, Jambi, dan Daerah Istimewa Aceh.
3. Pasal 2 (3) daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Niaga Surabaya meliputi Wilayah Propinsi Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan tengah, Kalimantan Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Timor Timur.
4. Pasal 2 (4) Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang meliputi Wilayah Propinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
5. Pasal 5, Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat meliputi Wilayah Daerah Khusus Ibukota jakarta, Propinsi jawa Barat, Sumatera Selatan, Lampung, dan Kalimantan Barat.
B. Kewenangan Pengadilan Agama dalam Sengketa Kepailitan Syariah Pengadilan Niaga yang ruang lingkupnya adalah Peradilan Umum adalah institusi yang berhak dan mempunyai kewenangan dalam memeriksa, memutus, dan mengadili perkara kepailitan. Hal ini didasari oleh pasal 300 ayat (1) Undang-Undang No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU:
“ Pengadilan sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang ini, selain memeriksa dan memutus permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban Pembayaran Utang, berwenang pula memeriksa dan
26
memutus perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya dilakukan dengan undang-undang.”18
Pengadilan Agama atau Mahkamah Syariah yang berwenang mengadili perkara dibidang ekonomi syariah tentu sebenarnya dapat pula menyelesaikan perkara taflis atau pailit, baik secara perseorangan maupun secara badan hukum atau al-syirkah. Kewenangan ini mendapat dukungan berkenaan dengan objek pinjam-meminjam yang berbasis syariah telah ada fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN), sehingga Pengadilan Agama dapat memalitkan debitur.
Ketika memasuki perkara kepailitan yang objeknya adalah syariah maka hal itu sering disebut perkara kepailitan syariah. Dalam kewenangan mengadili terdapat berbagai pendapat institusi mana yang memiliki kewenangan memeriksa dan mengadili perkara ini. Ada 2 institusi yang memiliki dasar kewenangan yaitu pengadilan niaga pada pengadilan negeri yang ruang lingkupnya peradilan umum dan pengadilan agama.19
Berdasarkan Pasal 49 huruf i UndangUndang No 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang sekarang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 menyatakan:20
“ Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang orang yang beragama islam di bidang :
a. Perkawinan b. Waris c. Wasiat d. Hibah e. Wakaf
18 UU No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU Pasal 300 Ayat (1)
19 Syamsudin Manan Sinaga, Arbitrase dan kepailitan dalam Sistem Ekonomi Syariah, Makalah yang disampaikan pada Seminar Nasional yang diselenggarakan BPHN Departemen Hukum dan HAM di Semarang, pada tanggal 6-8 Juni 2006
20 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama Pasal 49 I
f. Zakat g. Infak h. Shadaqah
i, Ekonomi syariah.”
Jenis Perkara Ekonomi Syariah di dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Pada Pasal 1 Ayat 4 menyebutkan bahwa Perkara Ekonomi Syariah adalah perkara di bidang : Bank Syariah, Lembaga Keuangan Mikro Syariah, Asuransi Syariah, Reasuransi Syariah, Reksadana Syariah, Obligasi Syariah, Surat Berharga Berjangka Syariah, Sekuritas Syariah, Pembiayaan Syariah, Pegadaian Syariah, Dana Pensiun Lembaga Keuangan Syariah, Bisnis Syariah, termasuk wakaf, Zakat, Infaq, dan Shadaqah yang bersifat komersial, baik yang bersifat kontensius maupun Volunteer. 21
Adapun Prinsip di dalam Ekonomi Syariah yaitu : Al-‘Adalah (Keadilan), Al-Ihsan (Kebaikan), Al-Mas’uliyyah (Tanggung Jawab), Al- Kifayah (Kecukupan / Sufficiency), Wasathiyyah (Keseimbangan), Al- Shidq (Kejujuran), Al-Manfa’ah (Kemanfaatan), Al-Kitabah (Tertulis).
Dan berdasarkan Pasal 3A Undang-undang No 3 Tahun 2006 diperkuat, bahwa lingkungan pengadilan agama dapat diadakan pengkhususan pengadilan yang diatur dengan undang-undang. Artinya, bahwa pada pengadilan Agama dapat didirikan pengadilan khusus yakni pengadilan niaga berdasarkan undang-undang seperti halnya pengadilan niaga pada pengadilan negeri yang berada di lingkungan peradilan umum, yang hakim-hakim dan paniteranya memiliki keahlian khusus di bidang ekonomi syariah. Pengadilan niaga pada Pengadilan Agama dimaksud, yang didirikan secara bertahap di kota-kota besar yang banyak kegiatan ekonomi syariah seperti di Jakarta, Medan, Bandung, Semarang, Surabaya, dan
21 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah Pasal 1 Ayat 4
28
Makassar, berwenang memeriksa dan memutus perkara ekonomi syariah.
Oleh sebab itu Pengadilan Agama tidak boleh menolak perkara Kepailitan tersebut dengan alasan apa pun, termasuk dengan alasan belum ada aturannya, padahal hakim wajib menemukan hukum (to creat the law).22
Hal-hal diatas di perkuat dengan Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah pasca putusan MK Nomor 93/PUU—
X/2012 bahwa pengadilan agama berwenang menyelesaikan sengketa ekonomi syariah termasuk didalamnya perbankan syariah. Akan tetapi walaupun banyak argumentasi yang menyatakan pengadilan agama juga memiliki kewenangan mengadili dalam perkara kepailitan syariah hal ini tidak dapat dibuktikan dalam prakteknya. Hal ini diperkuat oleh kenyataan empiris di lapangan bahwa sejak diberikannya kewenangan penyelesaian sengketa ekonomi syariah pada 2006, pengadilan agama di Indonesia sama sekali belum pernah menerima permohonan kepailitan. Karena setiap perkara kepailitan syariah selalu diajukan ke pengadilan niaga pada pengadilan negeri yang ruang lingkupnya peradilan umum, seperti perkara PT. BNI Syariah (2013), PT. Bank Muamalat Indonesia Tbk (2012) dan Bank Cimb Niaga.
Selain itu sampai saat ini belum terdapat ketentuan peraturan perundang-undangan yang secara khusus membahas kepalitan syariah, sehingga penyelesaiannya masih harus berpedoman pada Undang-Undang No 37 Tahun 2004 tentang Kepalitan dan PKPU. Dan juga belum adanya pengadilan khusus yang didirikan di pengadilan agama terkait kepailitan syariah seperti halnya pengadilan khusus niaga pada pengadilan negeri.
Maka seluruh perkara kepailitan baik umum atau syariah masih disesuaikan oleh pengadilan niaga pada pengadilan negeri dalam ruang lingkup peradilan umum.23
22 Syamsudin Manan Sinaga, Arbitrase dan kepailitan dalam Sistem Ekonomi Syariah, Makalah yang disampaikan pada Seminar Nasional yang diselenggarakan BPHN Departemen Hukum dan HAM di Semarang, pada tanggal 6-8 Juni 2006
23 Ahmad Saprudin dan Ahmad Satri, Teknik Penyelesaian Perkara Kepailitan Ekonomi Syariah (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2018)
29 BAB III
GAMBARAN UMUM PUTUSAN PAILIT NOMOR: 12/Pdt.Sus Pailit/2017
A. Kronologi Kasus 1. Para Pihak
Pada tanggal 21 Agustus 2017, Soeparno Hadi Martono Selaku Kreditur dan merupakan perseorangan yang menjadi anggota, bertempat tinggal Ngerjopuro, RT/RW: 001/003, kelurahan Slogohimo, Kecamatan Slogohimo, Kabupaten Wonogiri sebagai Pemohon mendaftarkan permohonan pernyataan pailit,1 ke Kepaniteraan Pengadilan Niaga Semarang yang ruang lingkupnya Pengadilan Negeri. Terhadap
Koperasi Simpan Pinjam Pembiayaaan Syariah BMT FI SABILILLAH Yang merupakan Badan Hukum Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) dengan lingkup usaha Penyimpanan Dana, Investasi (Mudharabah dan Musyarakah), Jual Beli (Murabahah, Istisna, Salam), Jasa (Pinjaman Kebajikan / Al Qord, Sewa (Ijarah), Hawalah. yang beralamat di Ngerjopuro, Rukun Tetangga 001, Rukun Warga 003, Desa Slogohimo, Kecamatan Slogohimo, )
2. Duduk perkara
Pemohon Pailit mengajukan permohonannya ke Kepaniteraaan Pengadilan Niaga Semarang yang ruang lingkupnya Pengadilan Negeri, sebagaimana Berdasarkan pasal 3 ayat (1) dan ayat (5) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang, tentang ketentuan prihal kompetensi pengajuan permohonan pailit:
Pasal 3 ayat (1) UU No 37/2004:
“Putusan atas pemohonan pernyataan pailit dan hal-hal lain yang berkaitan dan/ diatur dalam undang-undang ini, diputuskan oleh
1 Putusan Pailit Nomor : 12/Pdt.Sus-Pailit/2017/PN Niaga SMG
30
pengadilan yang dearah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan debitor.” 2
Pasal 3 ayat (5) UU No. 37/2004:
“Dalam hal Debitor merupakan badan hukum, tempat kedudukan hukumnya adalah sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasarnya.”
Dan Ketentuan pasal 2 ayat (3) keputusan Presiden Republik Indonesia N0 97 Tahun 1999 yang secara lengkap menjelaskan sebagai berikut:
Pasal 2 ayat (3) Keppres No 97/1999 :
“Daerah hukum pengadilan Niaga pada pengadilan Negeri Semarang meliputi wilayah Propinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta”3
Dan secara lengkap menjelaskan :
“Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang meliputi Wilayah Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta”
Berdasarkan Dasar Hukum dan Dasar Fakta bahwa Pemohon Pailit mendaftarkannya di kantor Pengadilan Niaga Semarang Tepat dan Berdasarkan Hukum.
Pemohon Pailit ditawarkan diri secara sukarela menjadi investor (deposan) dengan menyetorkan sejumlah dana yang nantinya akan dikelola oleh Termohon Pailit untuk membantu mensejahterakan masyarakat sekitar dengan sistem simpan pinjam dan Pemohon Pailit akan mendapatkan bagi hasil atau nisbah dari pengelolaan dana tersebut.
2 Undang-Undang N0 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU Pasal 3 ayat (1) & (5)
3 Keppres No 97 tahun 1999 tentang Pembentukan Pengadilan Niaga Pada Pengadilan Negeri Ujung Pandang, Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Negeri Surabaya, dan Pengadilan Negeri Semarang pasal 2 ayat (3)
Rincian dana yang diserahkan kepada TERMOHON PAILIT sebagai berikut:
1. Tabungan Sukarela sejak tanggal 17 Februari 2011 sebesar Rp. 8.512.847,24 (P-2)
2. Tabungan sebesar Rp. 13.664.827,00 (P-3)
3. Deposito sebesar total Rp. 60.000.000,00 yang terpecah dalam 6 sertifikat bukti kepemilikan
Sejak bulan September 2016, dan meminta haknya untuk pencairan dana deposit, baik melalui ketua pengurus, maupun kepada pengurus lainnya. Namun Termohon Pailit menunda-nunda, telah gagal melakukan pencairan dana, bahkan Ketua Pengurus berdalih bahwa “Dana Hanya Dapat dicairkan apabila Termohon Pailit sudah mendapatkan Dana Pinjaman dari Pihak Lain”.
Dan Termohon Pailit telah mengakui melalui kuasa hukumnya, sejak bulan oktober tahun 2016 tidak dapat membayar tabungan, simpanan, pencairan deposito, membayar tagihan bank dan tagihan-tagihan lain termasuk gaji para karyawan dengan total Rp.20.488.731.314, dengan rincian sebagai berikut:
1. Simpanan Tabungan Pokok : Rp. 5.499.482.028,- 2. Simpanan Tabungan Berjangka : Rp. 237.491.900,- 3. Deposito : Rp. 10.973.990.000,- 4. Hutang Bank : Rp. 3.165.858.236,- Total nilai uang yang wajib dibayarkan oleh Termohon Pailit kepada Pemohon Pailit sebesar Rp. 82.177.674,24 dengan kewajiban pembayaran yang telah jatuh tempo sebesar Rp. 60.000.000,00 dengan rincian sebagai berikut:
1. SBK-SIB No 1608.05/IJABAH/SBL-I 2016 tanggal 7 Januari 2016, sebesar Rp. 10.000.000,- yang telah jatuh tempo tanggal 7 januari 2017 (P-4)
32
2. SBK-SIB No 1662.05/IJABAH/SBL-II 2016 tanggal 29 Februari 2016, sebesar Rp. 10.000.000,- yang telah jatuh tempo tanggal 29 Februari 2017 (P-5)
3. SBK-SIB No 1665.05/IJABAH/SBL-III 2016 tanggal 7 Maret 2016, sebesar Rp. 10.000.000,- yang telah jatuh tempo tanggal 7 Maret 2017 (P-6)
4. SBK-SIB No 1683.05/IJABAH/SBL-IV 2016 tanggal 1 April 2016, sebesar Rp. 10.000.000,- yang telah jatuh tempo tanggal 7 April 2017 (P-7)
5. SBK-SIB No 1409.05/IJABAH/SBL-V 2016 tanggal 26 Mei 2016, sebesar Rp. 10.000.000,- yang telah jatuh tempo tanggal 26 Mei 2017 (P-8)
6. SBK-SIB No 1757.05/IJABAH/SBL-VII 2016 tanggal 12 Juli 2016, sebesar Rp. 10.000.000,- yang telah jatuh tempo tanggal 12 Juli 2017 (P-9)
Meskipun beberapa kali upaya mediasi dilakukan dan di fasilitasi oleh dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan ukm kabupaten Wonogiri (Disperindag) selain itu juga Termohon Pailit Telah melakukan praktik penghimpunan dana anggota dan nasabah sejak tahun 2010 dengan total sebesar Rp. 20.400.000.000,-
Pemohon Pailit melalui kuasa hukumnya memberikan surat teguran hukum atau Somasi dan bahkan sampai berlanjut ke Somasi ke-2 kalinya dan Termohon Pailit tetap tidak mengindahkan serta melaksanakan kewajibannya tersebut dan belum mendapatkan jawaban atau solusi dan jalan keluar terhadap permasalahan likuiditas tersebut.
Selain itu Termohon Pailit terbukti memiliki lebih dari satu Kreditor, yang masih mempunyai tanggungan pemenuhan kewajiban pencairan dan deposito yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih kepada anggota-anggota atau kreditor-kreditor Termohon Pailit yang lainnya. Mengingat ketentuan
Pasal 2 Ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU Nomor 37 Tahun 2004 mengatur dengan jelas tentang syarat-syarat Permohonan Pailit yaitu :
“Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas setidaknya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonanannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya”4
Kreditor-kreditor lain tersebut yang akan diuraikan dibawah ini :
4 Undang-Undang N0 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU Pasal 2 ayat (1)
N o
Nama Nomor Sertifikat Jumlah Jatuh Tempo
1 Satimin (bukti P-12)
1406.05/IJABAH/SBL- XII-2015 (bukti P-13)
Rp. 80.000.000,- 11 Juni 2016
1674.05/IJABAH/SBL- III-2016 (bukti P-14)
Rp. 80.000.000,- 17 Juni 2016
2
Untung Subandi (bukti P-15)
1620.05/IJABAH/SBL- I-2016 (bukti P-16)
Rp. 100.000.000,- 15 Januari 2017
1136.05/IJABAH/SBL- XII-2016 (bukti P-17)
Rp. 250.000.000,- 02 Juni 2017
1741.05/IJABAH/SBL- VI-2016 (bukti P-17)
Rp. 80.000.000,- 13 Juni 2017
3
Ira Sarmanti (bukti P-19)
1147.05/IJABAH/SBL- VI-2016 (bukti P-20)
Rp. 12.500.000,- 23 Juni 2017