• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADHZAB FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI JAKARTA 1442/2021

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADHZAB FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI JAKARTA 1442/2021"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

IMPLIKASI BATASAN USIA PERKAWINAN DALAM UU NO.16 TAHUN 2019 TERHADAP TINGGINYA DISPENSASI NIKAH DI PENGADILAN

AGAMA TIGARAKSA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar

Sarjana Hukum (S.H)

oleh

Dina Aulia NIM : 11160430000110

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADHZAB

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

JAKARTA

(2)

i

LEMBAR PENGESAHAN

IMPLIKASI BATASAN USIA PERKAWINAN DALAM UU NO.16 TAHUN 2019 TERHADAP TINGGINYA DISPENSASI NIKAH DI PENGADILAN

AGAMA TIGARAKSA Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh Dina Aulia NIM: 11160430000110 Dosen Pembimbing

Dr. H. Supriyadi Ahmad, M.A NIP: 195811281994031001

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(3)
(4)
(5)

iv

ABSTRAK

Dina Aulia NIM 11160430000110 “IMPLIKASI BATAS USIA PERKAWINAN DALAM UU NO.16 TAHUN 2019 TERHADAP TINGGINYA DISPENSASI NIKAH DI PENGADILAN AGAMA TIGARAKSA” Program Studi Perbandingan Mazhab, Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,1441 H/2020 M.

Skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan pertimbangan Majlis Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa Tangerang Banten, dalam menetapkan perkara dispensasi nikah yang belum memasuki usia perkawinan, dan setelah di ubahnya UU Perkawinan No.1 tahun 1974 menjadi UU No.16 Tahun 2019, perubahan yang terjadi pada angka usia perkawinan bagi wanita yang di setarakan dengan laki-laki menjadi 19 tahun, dan aturan tersebut di lakukan untuk mengatasi kondisi darurat perkawinan anak yang terjadi di Indonesia. namun, kenaikan jumlah perkara permohonan dispensasi nikah tidak di barengi dengan aturan yang ketat, sehingga mayoritas yang mengajukan permohonan tersebut justru di kabulkan oleh hakim, paraturan yang telah ada, baik UU No. 16 Tahun 2019 maupun PERMA No. 5 Tahun 2019 memiliki celah hukum yang membuat izin dispensasi kawin masih terbuka lebar dengan menggunakan alasan apapun

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian empiris sosiologi dengan pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan perundang-undangan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka dan mengumpulkan data perkara dispensasi nikah dan jenis penelitiannya mengunakan empiris sosiologi yaitu data yang diambil langsung dari pengadilan sebagai sumber pertama dengan mengamati gejala-gejala sosial di Pengadilan Agama Tigaraksa, dalam perkara dispensasi nikah dan respon pengadilan terhadap peraturan Mahkamak Konstitusi No.5 Tahun 2019

Dan dari hasil penelitian penulis penemukan bahwa majlis hakim di Pengadilan Agama Tigaraksa dalam mempertimbangkan perkara permohonan dispensasi nikah masih terpaut pada kondisi fisik pemohon, seharusnya pengadilan agama tigaraksa juga mengikuti acuan peraturan dari Mahkamah Agung, bahwasannya perma no.5 tahun 2019 di buat untuk menyeimbangkan permohonan dispensasi nikah, akibat dari keterlambatan pengadilan agama tigaraksa dalam merespon surat edaran Mahkamah Agung menjadi masalah baru terhadap masyarakat yang belum mengetahui peraturan tersebut hingga terjadinya peningkatan yang terus meningkat dalam perkara dispensasi nikah

Kata Kunci : Batas Usia Perkawinan, Dispensasi Nikah, Pengadilan Agama Tigaraksa, Tangerang Banten

Pembimbing : Dr. H.Supriyadi Ahmad, M.A Daftar Pustaka : Tahun 1985 s/d Tahun 2020

(6)

v

ميحّرلا نمحّرلا الله مسب

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT, karena berkat rahmat, hidayah, serta inayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Shalawat serta salam selalu tercurah kepada Baginda Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman jahiliah ke zaman ilmiah seperti sekarang ini.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak sedikit hambatan dan kesulitan yang penulis hadapi, namun pada akhirnya selalu ada jalan kemudahan, tentunya tidak terlepas dari beberapa individu yang sepanjang penulisan skripsi ini banyak membantu dan memberikan bimbingan dan masukan yang berharga kepada penulis hingga terselesaikannya skripsi ini.

Dengan kesempatan yang berharga ini penulis mengungkapkan rasa hormat serta ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H.,M.H.,M.A., Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum serta para jajaran Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Ibu Siti Hanna, M.A. ketua program studi Perbandingan Mazhab, dan bapak Hidayatullah, MH. sebagai sekretaris program studi Perbandingan Mazhab. 3. Bapak Dr. H. Supriyadi Ahmad, M.A. sebagai dosen pembimbing skripsi,

yang penulis anggap sebagai orang tua dan telah meluangkan waktu serta memberikan arahan, saran, dan ilmunya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mendidik dan memberikan ilmu yang tak ternilai harganya, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 5. Kedua orang tua tercinta Ayahanda Alm. Bapak Ansori semoga ayah

(7)

vi

merawat dan mendidik dengan baik sampai saat ini. Dengan kasih sayang, do’a, kesabaran untuk selalu memberikan penulis dukungan, baik dari segi moril maupun materil. Terima kasih atas segala didikkan, jerih payah, serta nasihat yang selalu mengalir tiada henti tanpa pernah jemu hingga penulis dapat menyelesaikan studi. Juga kepada kaka dan adik tersayang yang telah memotivasi dan mendoakan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

6. Sahabat-sahabat tercinta dengan keindahan pertemuan di UIN Jakarta Siti Nur Hanifatul khusna yang telah banyak membantu saya dalam penelitian, Nurfitri Kuncitra putra S.H, dan Desi Rosidah, terima kasih sudah menjadi sahabat terbaik. Semoga kalian Sehat Selalu sehingga kita dapat terus bersilaturrahim dan sukses pada masing-masing keahliannya.

7. Untuk keluarga serta Sahabat di Asrama Putri Uin Jakarta, Aan, Azki, Diana, Dina dan Choi, dan terimakasih untuk 4 tahun menemani dan mewarnai kehidupan penulis selama berjuang di ciputat semoga kita bisa terus bersilaturrahim

8. Dan untuk sahabat-sahabat masa di Pesantren, Ambar Siti Wilujeng, S.Si, Nabila Wulan sari, dan Nafisatu Zuhro yang terus menemani saya dari awal perkuliahan sampai dengan Akhir dari Semester Ini, semoga kalian semua selalu mendapat kemudahan dalam menjalankan aktivitas sehari-hari dan selalu sukses dalam menjalankan pekerjaan masing-masing dan semoga kita bisa terus ber silaturrahim, dalam keadaan apapun,

9. Abdurraffi S.T, Andi Johan Pakan, S.Kom, yang telah banyak membantu serta memotivasi penulis, doa dan support dalam hal apapun, semoga kebaikan dan keberkahan selalu menyertai setiap langkahnya. Dan semoga kita bisa terus menjalin silaturrahmi dengan baik

10. Teman-teman seperjuangan Prodi Perbandingan Mazhab Hukum angkatan 2016, yang mengajarkan akan arti kehidupan sesungguhnya. Terimakasih sudah memberikan arti dari sebuah persahabatan tanpa melihat harta, tahta, dan lainnya, Penghargaan kepada mereka yang membaca dan berkenan memberikan saran, kritikan atau bahkan koreksi terhadap kekurangan dan

(8)

vii

kesalahan yang pasti masih terdapat dalam skripsi ini. Semoga dengan saran dan kritik tersebut, skripsi ini dapat diterima dikalangan pembaca yang lebih luas lagi dimasa yang akan datang. Semoga karya yang sangat sederhanaini dapat bermanfaat bagi pembaca. Akhir kata semoga Allah SWT membalas semua kebaikan atas bantuan yang telah diberikan kepada penulis. Semoga kebaikan kalian menjadi berkah dan amal jariyah untuk kita semua. Dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis serta pembaca pada umumnya.

Jakarta, 20 November, 2020

Penulis

(9)

viii

DAFTAR PUSTAKA

BAB I ... 1

PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG MASALAH ... 1

B. Indentifikasi Masalah, Pembatasan Masalah, Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ... 5

D. Metode Penelitian ... 6

E. Teknik Pengumpulan Data, Teknik Pengolahan Data,Metode Analisis Data,Teknik Penulisan ... 7

F. Tinjauan (Riview) Kajian Terdahulu ... 9

4. Kerangka Teori ... 10

G. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II ... 14

URGENSI BATAS USIA PERKAWINA DI INDONESIA ... 14

A. Tinjauan Umum Perkawinan ... 14

B. Adapun tujuan dari perkawinan dapat dilihat dari 3 diantaranya : ... 17

C. Batas usia perkawinan menurut hukum positif ... 18

D. Batas Usia Perkawinan dalam Hukum Islam ... 24

a. Faktor yang menyebabkan perkawinan di bawah umur ... 31

b. Akibat Perkawinan di Bawah umur ... 34

BAB III ... 36

PEMBAHARUAN BATAS USIA PERKAWINAN PASCA DIUBAHNYA UNDANG-UNDANG NO.1 TAHUN 1974... 36

A. Faktor penyebab terjadinya perubahan Undang-undang no.1 tahun 1974 ... 36

B. Pembaharuan Batas Usia Perkawinan dalam Undang-undang No.16 Tahun 2019 ………39

C. Dispensasi Nikah Pasca Lahirnya PERMA No.5 Tahun 2019 ... 42

a. Pengajuan dan permohonan dispensasi nikah ... 48

b. Permeriksaan Perkara dalam Pengajuan dispensasi nikah ... 48

Bab IV ... 50

STANDAR BATAS USIA PERKAWINAN TERHADAP KEBIJAKAN HAKIM DALAM PENGABULAN DAN PERMOHONAN PENGAJUAN DISPENSASI NIKAH DIPENGADILAN AGAMA TIGARAKSA ... 50

A. Ketentuan Pelaksanaan dispensasi nikah di Pengadilan Agama Tigaraksa ... 50

(10)

ix

C. Analisa penulis dalam permohonan dispensasi nikah di Pengadilan Agama

Tigaraksa ... 59

BAB V ... 62

SIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 62

A. SIMPULAN ... 62

B. REKOMENDASI ... 63

(11)

1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku pada semua makhluk Allah, baik pada manusia hewan dan tumbuh-tumbuhan, perkawinan merupakan cara yang di pilih allah sebagai jalan bagi manusia untuk berkembang biak dan melestarikan kehidupannya setelah masing-masing pasangan siap melakukan peran positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan, Allah tidak menjadikan manusia seperti makhluk lainnya yang hidup bebas mengikuti nalurinya dalam hubungan secara anarki tanpa aturan. Demi menjaga kehormatan dan martabat manusia. Islam mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan secara terhormat dan berdasarkan saling meridhai.1

Perkawinan merupakan suatu hal yang di lakukan dengan serius yang mengakibatkan seseorang akan terikat seumur hidup dengan pasangannya, oleh Karena itu perkawinan membutuhkan persiapan yang sangat matang yaitu kematangan fisik dan kedewasaan mental, pada dasarnya kematangan jiwalah yang sangat berarti untuk memasuki gerbang rumah tangga, yang perlu di pikirkan ialah batas usia yang di katagorikan masuk dalam katagori dewasa, karena dengan usia yang mencapai katagori dewasa akan terlaksana rumah tangga yang harmonis.2 Dan dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia, apabila seseorang sudah siap untuk melakukan perkawinan, maka seseorang telah mencapai ukuran dewasa, dewasa menurut Undang-undang perkawinan nomor 1 Tahun 1974 pada pasal 6 ayat 2,seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin dari orangtua dan Pengadilan Agama,3 dan adanya

1 Amir Syarifuddin. hukum perkawinan islam di Indonesia,(Jakarta,pranada media,2006) hal.65

2 A zhuhdi mahdlor, Memahami Hukum Perkawinan, Nikah, Talak, Cerai, dan Rujuk (Bandung al-bayan, 1995) hlm,18

3 Pasal 6 ayat 2 uu no.1 tahun1974 mengatakan : untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua

(12)

2

pembatasan usia minimal seseorang untuk dapat melaksanakan perkawinan,yaitu kedua pasangan harus mencapai Umur 19 tahun, karena negara dan pemerintah mempunyai kepentingan dan kewajiban untuk mengarahkan perkawinan untuk institusi sosial, yang melindungi sekaligus mengangkat harkat dan martabat perempuan.4

Di negara Indonesia masih banyak terjadi perkawinan di bawah umur, semua itu terjadi karena pengaruh lingkungan atau karena didikan orang tua sejak kecil yang di tanamkan kepada anak-anak mereka hingga mendekati masa dewasa, kebiasaan yang masih sering berlaku seperti itu, memang baik-baik saja, namun di samping itu ada kebaikannya juga ada segi mudaratnya, Rasulullah pun menganjurkan umatnya bagi para pemuda untuk segera melangsungkan perkawinan apabila segala sesuatunya sudah memungkinkan,5

Agama Islam tidak menentukan batas usia perkawinan dengan jelas, namun dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan, memberikan ketentuan atau kriteria-kriteria tersendiri terhadap batas usia seseorang yang akan melangsungkan perkawinan, ketentuan itu jelas dan telah di perbarui menjadi Undang-undang no.16 Tahun 2019 tentang batasan usia perkawinan, yaitu: “Perkawinan hanya di izinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun, walaupun telah di atur sedemikian rupa, dan akan terjadi kemungkinan dalam penyimpangan, dan sebab itu di tambahkan dengan ayat 2 : “Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur sebagaimana di maksud pada ayat (1), orang tua pihak pria dan atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan Agama dengan alasan sangat mendesak di sertai bukti-bukti pendukung yang cukup.6

Berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat 2 Undang-undang Perkawinan Tahun 2019, jika terjadi penyimpangan dari persyaratan usia perkawinan

4 Yusuf Hanafi,Kontroversi Perkawinan anak di bawah umur. (Jakarta, Pranata Media, 2004) h.10

5 Syeikh abd aziz bin Abdurrahman. Perkawinan dan Masalahnya.(Jakarta :Pustaka al-Kautsar,cet ll 1993) hal.28-31

6 https://m.hukumonline.com/berita/baca/lt5d84a7d22409c/revisi-uu-perkawinan--disetujui-dua-putusan-mk-ini-terlewat dikutif pada 20 januari 08.00

(13)

3

tersebut di atas, maka perkawinan baru dapat di langsungkan setelah mendapat dispensasi dari pengadilan. Sejauh ini, sering kali orang tua calon mempelai pria dan atau calon mempelai wanita mengajukan permohonan dispensasi ke Pengadilan Agama agar anaknya yang belum mencapai usia perkawinan dapat di berikan dispensasi untuk menikah di sebabkan berbagai pertimbangan yang bersifat mendesak. Di antara alasan yang sering di kemukakan di dalam permohonan dispensasi nikah adalah hubungan di antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita sudah sangat erat, sehingga tidak di mungkinkan lagi untuk menunda pelaksanaan perkawinan, atau bahkan keduanya telah terlanjur melakukan hubungan suami istri di luar nikah. Sehingga orang tua khawatir jika anak-anak mereka tersebut akan semakin dalam terjerumus ke dalam perbuatan yang bertentangan dengan syariat Islam.7

Pengadilan Agama dalam mengadili perkara permohonan dispensasi nikah sering kali mempertimbangkan antara dua kemudaratan, kemudaratan yang terjadi akibat perkawinan di usia anak-anak (perkawinan dini) dan kemudaratan yang akan terjadi jika dispensasi perkawinan tersebut di tolak. Majelis Hakim sering kali menerima permohonan dispensasi nikah karena memandang bahwa kemudaratan yang akan terjadi jika dispensasi perkawinan di tolak lebih besar di bandingkan kemudaratan yang terjadi akibat perkawinan dini, dimana besar kemungkinan akan rusak keturunan (al-nasl) serta kehormatan (al- ‘irdl) kedua calon mempelai tersebut.8

Indonesia pada saat ini masuk dalam situasi darurat perkawinan anak, sehingga perlu di naikkan batas usia umur untuk melangsungkan perkawinan bagi perempuan dari 16 Tahun menjadi 19, padahal kenaikan batas umur itu bukan satu-satunya jalan untuk menghambat terjadinya perkawinan anak-anak. Naiknya batas umur ini malah semakin menambah jumlah perkara Dispensasi nikah pada Pengadilan, jadi akar masalahnya

7 Hasan Bastomi, Pernikahan dini dan dampaknya tijauan batas umur perkawinan

menurut hukum isla dan hukum perkawinan Indonesia, YUDISIA, Vol. 7, No. 2, Desember 2016 8 Rio Satria. Dispensasi kawin dipengadilan agama pasca revisi undang-undang

(14)

4

bukan pada batas umur tetapi pada budaya masyarakat, pendidikan dan tersedianya lapangan pekerjaan9

Dengan demikian dari latar belakang di atas penulis merasa termotivasi untuk mengetahui batas usia perkawinan yang berimplikasi pada tingginya pengajuan dispensasi nikah di Pengadilan Agama Tigaraksa dari latar belakang diatas penulis mengambil projek penelitian “IMPLIKASI BATASAN USIA PERKAWINAN DALAM UU NO.16 TAHUN 2019 TERHADAP TINGGINYA DISPENSASI NIKAH DI PENGADILAN AGAMA TIGARAKSA”

B. Indentifikasi Masalah, Pembatasan Masalah, Rumusan Masalah 1. Indentifikasi Masalah

Dari latar belakang diatas penulis hanya memfokuskan permasalahan-permasalahan yang akan di bahas dalam penelitian ini sebagai berikut :

a. Tinjauan Undang-undang perkawinan dan hukum Islam terkait batasan usia perkawinan

b. Batasan usia perkawinan pasca pembaharuan undang-undang perkawinan

c. Majlis hakim Pengadilan Agama Tigaraksa dalam memutus perkara dispensasi nikah

d. Proses pemeriksaan dalam mengadili permohonan dispensasi nikah pasca lahirnya Perma No.5 Tahun 2019

2. Pembatasan Masalah

Untuk mendapatkan hasil yang sesuai dengan tujuan penulis untuk mempermudah pembahasan dalam skripsi ini, penulis membatasi masalah yang lebih jelas sesuai harapan penulis, maka dari itu penulis hanya membatasi batas usia perkawinan yang berpengaruh akan tingginya dispensasi nikah di Pengadilan Agama

Secara spesifik, pembatasan masalah dapat di uraikan sebagai berikut:

9 https://www.pta-semarang.go.id/index.php/ptajateng/488-pasca-naiknya-batas-umur- perempuan-menikah-perkara-permohonan-dispensasi-kawin-pada-pengadilan-agama-se-jawa-tengah-naik-286-2-pada-november-2019 dikitif pukul 08.00 pada 15 januari 2020

(15)

5

a. Pembatasan usia perkawinan di batasi pada umur dalam perkawinan yang belum memasuki usia perkawinan yang layak

b. UU NO.16 TAHUN 2019 di batasi pada batasan usia perkawinan perempuan yang di setarakan dengan laki-laki

c. Dispensasi nikah di batasi pada hasil dari data penelitian yang di dapat pada saat observasi

d. Pengadilan Agama Tigaraksa di batasi pada komplek perkantoran Pemda Kabupaten Tangerang. Jl.Atik Soeardi Tigaraksa,

3. Rumusan Masalah

a. Bagaimana batas usia perkawinan di dalam undang-undang perkawinan ?

b. Bagaimana implikasi batasan usia perkawinan dalam undang-undang no.16 tahun 2019 ?

c. Bagaimana pertimbangan hakim Pengadilan Agama Tigaraksa pada batasan usia perkawinan ?

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini untuk menambah pengetahuan, wawasan atau pemahaman mengenai permasalahan pada penulisan ini, sehingga penulis dapat pencapai tujuan penelitian, adapun tujuan utamanya:

a. Untuk membandingkan perspekti Undang-Undang Perkawinan dan Hukum Islam dalam hal batasan usia perkawinan.

b. Untuk menjelaskan sebab terjadinya perubahan batas usia perkawinan pada undang-undang perkawinan

c. Untuk mengindentifikasi faktor yang menyebabkan terjadinya tingginya dispensasi nikah di Pengadilan Agama

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Akademis : penelitian kali ini di harapkan untuk menambah wawasan dan pengetahuan para akademisi dalam memahami batas usi Perkawinan, dan mengetahui pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara dispensasi nikah di

(16)

6

Pengadilan Agama, dan menjadi tambahan belajar mahasiswa dalam melakukan penelitian, dan kemudian untuk menambah literature perpustakaan, khususnya dalam bidang perbandingan mazhan.

b. Manfaat praktis :di harapkan hasil penelitian ini bisa penjelaskan kepada masyarakat tentang pembaruan batas usia perkawinan, perkara dispensasi batas usia perkawinan, dan hakim dalam memutuskan perkara dispensasi nikah.

D. Metode Penelitian

Pada Sub bab metode penelitian, ada beberapa hal metode yang harus di paparkan yakni :

1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang di gunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan serta norma-norma hukum yang ada di masyarakat. bertujuan untuk menggambarkan keadaan sementara dengan mempaparkan hasil penelitian yang bersumber dari data atau dokumen maupun wawancara

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian empiris sosiologi yaitu data yang di ambil langsung dari sumbernya di Pengadilan Agama Tigaraksa dengan melalui penelitian lapangan, penelitian ini juga melakukan pengamatan atau Observasi, wawancara langsung dengan hakim Pengadilan Agama Tigaraksa, serta memusatkan perhatian pada prinsip umur yang bersumber pada fakta di lapangan dalam perkara dispensasi nikah, dan penulis juga melakukan pengumpulan data perkara dispensasi nikah di Pengadilan Agama Tigaraksa dalam kurang waktu 3 tahun belakangan,

3. Sumber Data

Dalam menyusun skripsi ini penulis mengunakan dua jenis data, yaitu :

(17)

7

a. Data primer

Sumber ini merupakan sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data. Data ini di peroleh melalui penelitian lapangan, melalui wawancara langsung terhadap pihak-pihak yang terkait dengan penelitian ini, khususnya para hakim yang memutuskan perkara Dispensasi Nikah di Pengadilan Agama Tigaraksa

b. Data Skunder

Data ini di dapat dari bahan pustaka yang berisikan informasi tentang bahan primer peraturan perundang-undangan, Al-qur’an, Hadits, data-data resmi dari instansi pemerintah yang berwenang, buku-buku literatur, karangan ilmiah, jurnal, dan bacaan lain yang berkaitan dengan judul penelitian.10

E. Teknik Pengumpulan Data, Teknik Pengolahan Data,Metode Analisis Data,Teknik Penulisan

1. Teknik Pengumpulan Data

Dalam rangka mengumpulkan, mengelola dan menyajikan bahan-bahan yang di perlukan, maka di lakukan pengolahan data dengan cara sebagai berikut:

a. Studi Pustaka

Dalam studi Pustaka ini data di kumpulkan yang berhubungan dengan penulisan skripsi, Dengan cara mengumpulkan data-data dari literature, Undang-undang, Buku-buku, Jurnal, dan sumber bacaan lainnya

b. Studi Dokumentasi

Dengan penelitian ini, penulis memfokuskan untuk dapat menelaah bahan-bahan atau data-data yang di ambil dari

10 Made pasek diatha,metode penelitian hukum normative dalam justifikasi teori hukum, (Jakarta, Prenada Media Grup.cet.2,2017) h,142-145

(18)

8

dokumentasi dalam perkara dispensasi nikah di Pengadilan Agama Tigaraksa

c. Observasi (pengamatan),

teknik pengumpulan data ini untuk melakukan pengamatan secara sistematis, sehingga dapat memperhatikan pada tujuan penelitian sehingga kwalitas dan kwantitas dapat teruktur untuk mendapatkan data yang valid.

d. Wawancara,

sebuah dialog yang dil akukan secara intensif untuk memperoleh informasi terkait resitensis batas minimal perkawinan dalam kasus dispensasi nikah, seta mengkaji sikap hakim terhadap ragam usia dalam kasus dispensasi nikah dan dalam hal yang tekait dalam penelitian ini. 2. Teknik Pengolahan Data

Setelah memperoleh data-data di atas, penulis mengolah data dengan metode Deskriptif dan Komparatif. Dan kemudian dalam penyajian tersebut di komparatifkan antara data yang tertera pada teori yang di ambil dari studi pustaka dan kenyataan sesungguhnya yang di dapatkan dari penelitian di lapangan dan data-data yang menyangkut masalah dispensasi nikah

3. Metode Analisis Data

Setelah data terkumpul dari Metode analisis data di atas, maka peneliti akan menganalisis data tersebut, dengan mengunakan analisis kualitatif, yaitu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis, yang tujuannya untuk menggambarkan masalah-masalah yang terkait terhadap kasus-kasus yang di teliti, dan kemudian analisis ini di dasarkan pada dokumen pemerintah, wawancara, buku-buku serta sumber data yang di teliti secara menyeluruh tentang keadaan saat itu.

(19)

9

4. Teknis Penulisan

Secara teknis penulisan ini berpedoman penulis pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017”.

F. Tinjauan (Riview) Kajian Terdahulu

Berdasrkan penelusuran yang penulis lakukan, terhadap beberapa penelitian, penulis menemukan beberapa penelitian yang telah di lakukan sebelumnya dan mempunyai kesamaan dalam penelitian, beberapa penelitian tersebut antara lain :

1. Skripsi karya khalifatun nur mustofa program studi magister hukum islam fakultas syariah dan hukum UIN sunan kalijaga jogyakarta 2018 dengan judul “Konservatisme dan Resistensi terhadap pembaruan usia minimum perkawinan dan praktik dispensasi nikah di Pengadilan Agama. Dalam penelitian ini terjadi pembentrokan dalam undang, dalam undang-undang perkawinan dan undang-undang-undang-undang perlindungan anak, yang dimana dalam undang-undang perlindungan anak, bahwa anak yang masih berumur 18 tahun masih dapat perlindungan, sementara dalam undang-undang perkawinan 16 tahun menjadi batas maksimal anak untuk melanjutkan pernikahan, sehingga dalam undang-undang tersebut belum mencapai kemaslahatan bagi masyarakat dan lebih banyak mudharatnya.

2. Skripsi Karya Ohan Wahyu Nurjaman Program Pasca Sarjana Universitas Islam Negri Sunan Gunung Djati 2015 dengan judul “Implikasi Batas Usia Perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 terhadap pelaksanaan perkawinan di kecamatan Cikancung, dalam penelitian ini terdapat banyaknya pernikahan di bawah umur, di karenakan banyaknya masyarakat yang kurang mengetahui adanya batas usia perkawinan di undang-undang, dan masyarakan hanya terfokus pada masalah batas usia perkawinan dalam fiqih, dimana dalam melangsungkan perkawinan hanya berfokus pada masalah

(20)

10

baligh dan berakal, di situ udah memasuki kebolehan dalam melangsung perkawinan menurut masyarakat yang masih minim pengetahuan akan batas usia perkawinan,

3. Skripsi karya Hotmartua Nasution program Studi Akhwalu Syakhsiyah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Negri Sumatra Utara Medan, dengan judul “ Pembaruan Hukum Keluarga Islam Tentang Usia Perkawinan di Indonesia ( Studi atas Undang-Undang No.16 Tahun 2019 tentang perubahan Undang-Undang no.1 tahun 1974 tentang Perkawinan), dalam penelitian ini bahwa sebelum Indonesia merdeka, telah banyak hukum yang berlaku di negara ini, ada yang tertulis dan ada yang tidak tertulis, dan Islam telah mengupayakan menyusun banyak konsep yang di pakai secara kolektif, dan setelah Indonesia merdeka dan setiap pembaruan hukum keluarga Islam selalu di perbarui dan batas usia perkawinan semenjak tahun 1974 baru tahun 2019 di perbarui, sementara dalam kondisi seperti ini masih banyak perdebatan terkait hukum positf dan hukum Islam

4. Kerangka Teori

Perkawinan adalah suatu ikatan sakral, baik menurut ajaran Islam maupun kedudukan Undang-undang No.1 tahun 1974 Tentang Perkawinan, dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Perkawinan Adalah antara seorang Pria dan seorang Wanita sebagai Suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah Tangga) yang bahagia dan kekal Berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa,11 kata Nikah berasal dari bahsa Arab Zawaj, secara Etimologi (Bahasa) “berkumpul dan Menindih” atau dengan ungkapan lain bermakna “aqad dan setubuh” yang secara syara’ berarti akad pernikahan secara terminologis (istilah) Nikah atau zawaj berarti akad yang di tetapkan oleh Allah bagi seorang laki-laki atas diri

11 Bakri A. Rahman dan A. Sukarja. hukum perkawinan menurut islam,UU perkawinan

(21)

11

seorang perempuan atau sebaliknya untuk dapat menikmati secara biologis antar keduanya. Akad nikah yang telah di lakukan akan memberikan status kepemilikan bagi kedua belah pihak (suami-istri) dimana status kepemilikan akibat akad tersebut bagi laki-laki (suami) berhak memperoleh kenikmatan biologis dan segala yang terkait dengan itu secara sendirian tanpa di campuri atau di ikuti oleh lainnya, yang dalam fiqh disebut “milku al-intifa” yaitu berhak memiliki kegunaan atau pemakaian dalam suatu benda (istri) yang di gunakan untuk dirinya sendiri, pernikahan salah satu sunatullah yang bersifat umum dan berlaku bagi semua makhluk termasuk di dalamnya hewan dan tumbuh-tumbuhan serta keberadaan malam di ganti dengan siang,12

Tujuan perkawinan dalam Islam selain untuk memenuhi kebutuhan hidup jasmani dan rohani manusia, juga sekaligus untuk membentuk keluarga dan memelihara serta meneruskan keturunan dalam menjadikan hidupnya di dunia ini, juga mencegah perzinahan agar tercipta ketenangan dan ketentraman jiwa bagi yang bersangkutan, ketentraman keluarga dan masyarakat

Adapun tujuan perkawinan ialah :

a. Membentuk keluarga yang bahagia dan kekal untuk itu keduanya harus saling membantu dan melengkapi, agar keduanya dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materi

b. Membentuk suatu keluarga atau rumah tangga yang bahagia sakinah, mawaddah, wa rahmah

c. Menuruti perintah Allah untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan di dirikannya rumah tangga yang damai dan teratur

12 Ahmad sudirman abbas “Pengantar Pernikahan Analisa Perbandingan antar 4

(22)

12

d. Untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia 13

Untuk mewujudkan tujuan perkawinan tersebut, maka di perlukan suatu pembatasan usia perkawinan, perkawinan yang sukses tidak akan dapat di harapkan dari mereka yang masih kurang matang fisik maupun mental, untuk itu perkawinan harus di masuki dengan persiapan yang matang. Islam sebagai agama yang rahmatan lilaalamin dan sangat mengedepankan kemaslahatan bagi umatnya, hal itu di implementasikan di dalam hukum syara yang terdapat dalam al-qur’an dan hadist. Sebagai sumber ajaran al-qur’an dan hadist tidak memuat secara terperinci tentang peraturan-peraturan yang menyangkut permasalahan ibadah dan muamalah, hal ini mengadung arti bahwa sebagian besar permasalahan-permaslahan hukum Islam oleh allah hanya di berikan dasar-dasar atau prinsip-prinsip yang global14

Masalah batasan usia dalam perkawinan itu sangat penting karena untuk mencegah terjadinya praktek perkawinan yang terlalu muda atau perkawinan yang usianya belum mencapai apa yang telah di tentukan, dimana hal ini di karenakan kurangnya informasi dan penyuluhan yang di terima oleh masyarakat sehingga menyebabkan terjadinya perkawinan yang masih di bawah usia minimum15.

G. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah penulisan dalam membahas permasalahan ini, agar lebih terarah dari setiap sub babnya maka penulis menyusun dengan sistematika sebagai berikut :

13 Mardani “Hukum keluarga Islam di Indonesia “(Jakarta :2017 cet.2 PT fajar Interpratama mandiri) 26-28

14 Khoirudin Nasution, perlindungan terhadap anak dalam hukum keluarga Islam

Indonesia,(Jurnal Al-Adalah Vol.XIII, No.1 Juni 2016) h.5

15 Kememtrian pemberdayaan perempuan RI dan departemen sosial RI,UU RI no.23 thn 2002 tentang perlindungan anak,(Jakarta:kemetrian pemberdayaan perempuan RI dan departemen sosial RI,2003)hal.3

(23)

13

a. BAB I PENDAHULUAN. Dalam Bab ini Penulis membahas latar belakang masalah, identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, studi terdahulu, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penelitian

b. BAB II PEMBAHASAN dari landasan teori perkawinan dalam bab ini akan diuraikan pengertian perkawinan secara umum, batas usia perkawinan dalam undang-undang perkawinan, dan batasan usia menurut fiqih.

c. BAB III : pembahasan terkait batas usia perkawinan di Indonesia sebelum di revisi Undang-undang perkawinan,dan pasca di ubahnya Undang-undang perkawinan, serta persatuan antara undang-undang perkawinan dengan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PERMA) No.5 Tahun 2019 dan tatacara dalam Pengajuan Dispensasi Nikah

d. BAB IV : bab ini menjelaskan tentang penyajian data dari hasil penelitian serta pandangan hakim setelah berubahnya batas usia perkawinan sehingga meningkatnya perkara dispensasi nikah di Pengadilan Agama Tigaraksa dan Pertimbangan Hakim Dalam memutuskan perkara Dispensasi Nikah

e. BAB V : Penutup, berisi kesimpulan dan saran atas akhir dari seluruh pembahasan

(24)

14 BAB II

URGENSI BATAS USIA PERKAWINA DI INDONESIA A. Tinjauan Umum Perkawinan

Perkawinan atau upacara pengikatan janji perkawinan yang di rayakan atau di laksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara norma agama, norma hukum, dan norma sosial, upacara perkawinan memiliki banyak sekali ragam dan variasi menurut tradisi suku bangsa, agama dan budaya maupun kelas sosial serta pengguna adat, aturan tertentu kadang-kadang berkaitan dengan hukum agama yang di anutnya masing-masing16.

Menurut undang-undang perkawinan pasal 1 No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa17. Sesuai dari pasal tersebut bahwasannya perkawinan merupakan satu perbuatan hukum di samping perbuatan keagamaan, sebagai perbuatan hukum karena perbuatan hukum itu menimbulkan akibat-akibat hukum, baik berupa hak atau kewajiban bagi keduanya, sedangkan sebagian dari perbuatan keagamaan, karena dalam pelaksanaanya selalu di kaitkan dengan ajaran-ajaran dari masing-masing agama dan kepercayaan yang sejak dahulu sudah memberi aturan-aturan sebagaimana perkawinan itu harus di laksanakan18.

Menurut para sarjana hukum memberikan beberapa pengertian tentang perkawinan:

1. Subekti : mengemukakan bahwa perkawinan merupakan pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama 2. Wirjono Prodjodikoro : mengemukakan arti perkawinan adalah suatu hidup

bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang memenuhi

16 Dewi Iriani, analisa terhadap batasan usia pernikahan dalam uu no.1 tahun 1974 (Jurnal, Justitia Islamica, Vol.12/No.1/Jan-Jun. 2015)

17 Pasal 1 ayat 1 uu no.1 tahun 1974 tentang perkawinan

(25)

15

syarat-syarat yang termasuk dalam peraturan agama maupun aturan hukum negara19.

Sedangkan menurut pandangan Mazhab dalam mendefinisikan perkawinan diantaranya :

1. Menurut golongan Hanafiyah, mendefinisikan bahwa perkawinan ialah suatu akad yang memberi faedah untuk memiliki perempuan seutuhnya dan laki-laki dapat menguasai perempuan dengan seluruh anggota badanya untuk mendapatkan kenikmatan atau kepuasan.

2. Menurut golongan Syafi’iyyah, mendefinisikan bahwa perkawinan adalah suatu akad dengan menggunakan lafadz nikah atau jauz yang menyimpan arti memiliki, artinya pernikahan seseorang dapat memiliki atau mendapatkan kesenangan dari pasanganya.20

3. Menurut golongan Malikiyah, menyebutkan bahwa perkawinan adalah suatu akad yang mengandung makna “ Mut’ah” untuk mencapai kepuasan dengan tidak mewajibkan adanya harga artinya dengan adanya akad tersebut seorang laki-laki bisa atau di perbolehkan untuk mencapai kepuasan terhadap seorang perempuan.

4. Menurut golongan Hambali, menyebutkan bahwa perkawinan adalah akad dengan menggunakan lafadz inkahu atau at-tazwiju untuk mendapatkan kepuasan, artinya seorang laki-laki dapat memperoleh kepuasan dari seorang perempuan dan sebaliknya.21

Dari berbagai definisi perkawina di atas baik yang di kemukakan oleh para fuqaha (pakar-pakar hukum Islam) dan para sarjana hukum maupun yang di kutif dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dan di berlakukan di Indonesia (Hukum Positif) dapatlah di simpulkan bahwa perkawinan bukan semata-mata legalisasi, dari kehidupan bersama antara seorang laki-laki dan perempuan tetapi lebih dari itu hakikat dari perkawinan ialah akad (ikatan perjanjian) lahir batin antara seorang pria sebagai suami dan seorang perempuan sebagai istri dalam membina keluarga berdasarkan niat dan tujuan bersama

19 Helmi Karim, Kedewasaan untuk menikah problematika hukum Islam dan Kontenporer, (Jakarta,Pustaka Firdaus1996)h,70

20 Abdurracman Al-Jaziri, Kitab Fiqh ‘Ala Mazahib Al-Arba’ah, (Mishr: Al-Maktabah at-Tijariyyatul Kubra), Juz IV, h. 2.

(26)

16

keluarga untuk membentuk suatu rumah tangga yang bahagia kekal berdasarkan prinsip-prinsip hukum Islam.22

Dalam Undang-undang perkawinan di tentukan prinsip-prinsip atau asas-asas mengenai perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan. Undang-undang Perkawinan menganut asas monogami, bahwa pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami dalam waktu yang bersamaan. Artinya dalam waktu yang bersamaan, seorang suami atau istri di larang untuk menikah dengan wanita atau pria lain. Selain itu dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terdapat asas-asas lainnya yaitu :

a. Asas Kesepakata terdapat dalam Pasal 6 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yaitu harus ada kata sepakat antara kedua calon suami dan isteri.

b. Perkawinan bukan semata ikatan lahiriah melainkan juga batiniah untuk menjalankan rumah tangga yang sesungguhnya.

c. Supaya sah perkawinan harus memenuhi syarat yang di tentukan undang-undang dalam Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan

d. Perkawinan mempunyai akibat terhadap pribadi, anak/keturunan,harta suami dan isteri selama lamanya dalam menjankan ikatan perkawinan.23 A. Hukum Perkawinan

Dalam menetapkan hukum suatu asal perkawinan terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Jumhur ulama berpendapat bahwa hukum perkawinan adalah Sunnah, golongan Zhahiri mengatakan bahwa menikah itu wajib. Para ulama Maliki Muta’akhir berpendapat bahwa menikah wajib untuk sebagaian orang dan Sunnah untuk sebagaian orang lainnya dan mubah. Hal ini ditinjau berdasarkan kekhawatiran terhadapkesulitan dirinya. Untuk lebih jelasnya hukum perkawinan akan di bagi 5 sebagai berikut :

22 Muhamad Amin Suma, Kawin Beda Agama Di Indonesia Telaah Syari’ah Dan Qanuniah, (Tangerang: Lentera Hati. Cet.1, 2015), h.23-24.

23Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia,(Jakarta,Sinar Grafika, 2006,)h. 265

(27)

17

1. Wajib : perkawinan menjadi wajib bagi yang memiliki kemampuan untuk melakukannya (secara finansial dan fisikal) dan sangat kuat keinginannya untuk menyalurkan hasrat seksual dalam dirinya, sedangkan ia khawatir terjerumus kedalam perzinaan apabila tidak menikah. Hal ini di sebabkan menjaga kesucian diri dan menjauhkannya dari perbuatan haram adalah wajib hukumnya, sedangkan hal ini tidak dapat terpenuhi kecuali menikah24 2. Sunnah ( Mustahab atau di anjurka) : pernikahan tidak menjadi wajib tetapi

sangat dianjurkan bagi yang memiliki hasrat atau dorongan seksual untuk menikah dan memiliki kemampuan untuk melakukannya (secara fisikal maupun finansial) walaupun merasa yakin akan kemampuannya mengendalikan dirinya sendiri sehingga tidak khawatir akan terjerumus dalam perbuatan yang di haramkan Allah

3. Haram : pernikahan menjadi haram bagi yang mengetahui dirinya tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi kewajibannya sebagai suami, bagi dalam nafkah lahiriah maupun nafkan bathiniah yang wajib di berikan kepada istri

4. Makruh : pernikahan menjadi makruh ( kurang di kuasai menurut hukum agama) bagi seorang laki-laki yang tidak membutuhkan perkawinan, baik di sebabkan tidak mampu memenuhi hak calon istri yang bersifat lahiriah maupun yang tidak memiliki hasrat (kemampuan) seksual, sementara perempuan tidak merasa terganggu dengan ketidak mampuan calon suami 5. Mubah : pernikahan menjadi mubah ( yakni bersifat netral, boleh di kerjakan

dan boleh di tinggalkan) apabila tidak ada dorongan atau hambatan untuk melakukannya ataupun meninggalkannya sesuai dengan pandangan syariat25.

B. Adapun tujuan dari perkawinan dapat dilihat dari 3 diantaranya : 1. Aspek Agama (ibadah) :

a. Memperoleh keturunan

b. Perkawinan merupakan salah satu sunnah Nabi Muhammas SAW c. Perkawinan mendatangkan rezeki dan menghilangkan kesulitan 2. Aspek sosial ( Masyarakat )

24Selamet Abidin, Aminuddin, fiqh munakahat, (Bandung, Pustaka, cet, 1 2002) h. 37

25 Mahmudin Bunyamin, Agus Hermanto, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung, Cv Pustaka Setia, cet1 tahun 2017) h,8-9

(28)

18

a. Memberikan perlindungan kepada kaum wanita yang secara umum di nilai fisiknya yang lemah karena setelah pernikahan si istri akan mendapatkan perlindungan dari suaminya, baik masalah nafkah maupun gangguan orang lain, serta mendapatkan pengakuan yang sah dan baik dari masyarakat.

b. Menghadirkan ketentraman batin menimbulkan mawaddah dan muhabbah serta rahmah antara suami dan istri, anak-anak, dan seluruh anggota keluarga

3. Aspek hukum (negara)

Perkawina sebagai akad yaitu perikatan dan perjanjian luhur antara suami dan istri untuk membentuk rumah tangga yang bahagia, dengan akad yang sah dimata agama dan negara, maka akan menimbulkan hak dan kewajiban sebagai suami istri serta perlindungan dan pengakuan hukum, baik agama maupun negara26.

C. Batas usia perkawinan menurut hukum positif

Perlindungan anak merupakan segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup tumbuh, berkembang, dan berpatisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta dapat melindungi dari kekerasan dan diskriminasi. Dalam pengertian ini tersirat bahwa anak terlindungi dari segala bentuk kekerasan, perlakuan salah, penelantaran dan eksploitasi. Isu pertama meningkatnya kualitas hidup manusia suatu negara adalah bagaimana negara tersebut mampu melakukan perlindungan anak yaitu mampu memahami nilai-nilai dari hak anak, mampu mengimplementasikannya dalam norma hukum positif agar mengikat, mampu menyediakan infrastruktur, dan mampu melakukan manajemen agar perlindungan anak di suatu negara tercapai27.

terdapat berbagai pengertian tentang anak di Indonesia pengertian tersebut tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang di kutif dengan penentuan batas usia perkawinan anak yang berbeda-beda, batas usia merupakan pengelompokan usia maksimum sebagai wujud

26 Abdurrahim Umran, Islam dan KB, (Jakarta, Lentera Batritama, 1997)h,18

27 J.Satrio, hukum keluarga tentang kedudukan anak dalam undang-undang,(Bandung,Citra Aditya Bakti,2015) h,2

(29)

19

kemampuan anak dalam status hukum, hal tersebut mengakibatkan beralihnya status usia anak menjadi status usia dewasa atau menjadi subjek hukum yang dapat bertanggung jawab secara mandiri terhadap perbuatan dan tindakan hukum yang di lakukannya, pada praktiknya usia calon mempelai yang mengajukan perkara penetapan permohonan dispensasi nikah di Pengadilan Agama berkisar antara umur 15 tahun hingga 18 tahun, usia calon mempelai tersebut, jelas jauh berbeda, bahkan lebih rendah di bandingkan dengan batas usia perkawinan yang di tetapkan di Indonesia28, beberapa pengertian batas usia perkawinan anak yang terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia yaitu :

a. Batas usia perkawinan menurut undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan, tidak mengatur secara langsung tolak ukur kapan seseorang di golongkan sebagai anak, akan tetapi hal tersebut tersirat dalam pasal 6 ayat 2 yang memuat ketentuan syarat perkawinan bagi orang yang belum mencapai umur 21 tahun dapat izin ke dua orang tuanya, adapun dalam pasal 7 ayat 1 undang-undang tentang perkawinan memuat batasan usia perkawinan bagi perempuan dan laki-laki harus mencapai usia perkawinan 19 tahun. Dalam hal ini Undang-undang perkawinan tidak konsisten di satu sisi pasal 6 ayat (2) menegaskan bahwa untuk melangsungkan perkawinan, seseorang yang belum mencapai 21 tahun harus mendapatkan izin kedua orang tua, di sisi lain pasal 7 ayat (1) menyebutkan perkawinan hanya di izinkan jika pihak pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun. Bedanya jika kurang dari 21 tahun yang di perlukan izin orang tua dan jika kurang dari 19 tahun perlu izin Pengadilan29. Dan dalam ayat 2 “dalam penyimpangan terhadap ayat 1 pasal ini dapat meminta dispensasi nikah kepada Pengadilan Agama atau pejabat lain yang di tunjuk oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita dan pada ayat 3 “ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam pasal 6 ayat 3 dan 4 undang-undang tentang

28 Mardi Candra, Aspek perlindungan anak di Indonesia Analisis anak Perkawinan di bawah umur (Jakarta, Prenada Media,2018) h,46

(30)

20

perkawinan, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut pada ayat 2 pasal 7 undang-undang no.16 tahun 2019 tentang perkawinan, ini dengan tidak mengurangi yang di maksud pada pasal 6 ayat 6 undang-undang no.1 tahun 1974 tentang perkawinan30. b. Batas usia menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada pasal 15

ayat 1 yaitu “untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga ini sejalan dengan prinsip yang di letakkan Undang-Undang perkawinan31, Bahwa calon suami dan calon istri harus telah matang jiwa dan raganya, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir dengan perceraian, perkawinan hanya boleh di lakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang di tetapkan dalam pasal 7 undang-undang no.16 tahun 2019 tentang perkawinan yakni calon kedua mempelai harus berumur 19 tahun baik laki-laki maupun perempuan32, pada pasal 6 ayat 2 bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin sebagaimana yang diatur dalam undang-undang no.1 tahun 1974 tentang perkawinan33. Untuk itu harus di cegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang masih di bawah umur

c. Batas usia perkawinan menurut kitab undang-undang hukum perdata di tegaskan dalam bab IV tentang perkawinan pada pasal 29 yakni bagi laki-laki yang belum mencapai umur 18 tahun penuh dan perempuan yang belum mencapai umur 15 tahun, tidak di perkenankan mengadakan perkawinan, namun jika ada alasan-alasan penting, pemerintah berkuasa menghapuskan larangan ini dengan memberikan dispensasi. Dalam kitab undang-undang hukum perdata pada pasal 330 disebutkan, bahwa anak adalah seseorang yang belum dewasa, yaitu mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah melakukan perkawinan,

30 Pasal 2 dan 3 undang-undang no.16 tahun 2019 tentang perkawinan,bahwasanya dalam hal penyimpangan pada ayat 1 dapat meminta dispensasi kepada pengadilan agama dan ketentuan yang mengenai keadaan kedua orang tua untuk meminta izin terdapat juga pada pasal 6 ayat 3 dan 4 undang-undang no.1 tahun 1974

31 Kompilasi Hukum Islam Pasal 15 ayat 1

32 Pasal 7 ayat 1 Undang-undang no.16 tahun 2019 tentang perkawinan bahwasanya perkawinan hanya di izinkan bila pihak laki-laki dan wanita berumur 19 tahun

33 Pasal 6 ayat 2 uu no.1 tahun1974 tentang perkawinan bahwasannya untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua kedua orangtua

(31)

21

apabila perkawinan itu di bubarkan sebelum umur mereka genap 21 tahun, maka mereka tidak kembali dalam kedudukan belum dewasa34

d. Menurut undang-undang no.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, pada pasal 1 angka 1 menerangkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan, ini bertentangan dengan pasal 7 ayat 2 undang-undang perkawinan yang memberikan kelonggaran terhadap anak yang akan melangsungkan perkawinan, ini terkesan sangat di sayangkan terhadap perjalan undang-undang perlindungan anak yang sudah sejauh ini mendukung akan kurangnya perkawinan yang terjadi pada anak, sehingga laju dalam perkembangan anak semakin sempit dalam menuntaskan tumbuh kembangnya anak35.

e. Menurut hukum adat di sebutkan bahwa ukuran seseorang telah dewasa bukan dari umurnya, tetapi dari ukuran yang di pakai adalah dapat bekerja sendiri, cakap melakukan yang di isyaratkan dalam kehidupan masyarakat, dapat mengurus kekayaan sendiri.

Menurut wirjono prodjodikoro berpegang pada kronoligi kelahiran undang-undang no.1 tahun 1974, tampaknya sukar di bantah bahwa munculnya parameter usia 21 tahun di dalam undang-undang no.1 tahun 1974 merupakan pengadopsian dari pasal 330 KUH Perdata, KUH Perdata secara tegas menyatakan bahwa sebelum usia 21 tahun, maka seseorang belum dapat di katakan sebagai dewasa, meskipun KUH Perdata memperbolehkan perkawinan dalam usia 18 tahun untuk laki-laki, dan 15 tahun untuk wanita, namun tetap mereka belum di katakan dewasa sehingga memerlukan izin perkawinan dari orangtua36.

Menurut Abdul Rahim Umran, batasan usia perkawinan bisa dilihat dalam beberapa arti, sebagai berikut :

a. Biologis

34 Penghumpun Sholahuddin, kitab undang-undang hukum pidana,acara pidana, dan

perdata,(Jakarta,Visimedia,2008) h,226

35 Pasal 1 undang-undang no.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak

(32)

22

Secara biologis hubungan suami dan istri yang terlalu muda ( yang belum dewasa secara fisik) dapat mengakibatkan penderitaan bagi istri dalam hubungan biologis, lebih-lebih ketika hamil dan melahirkan.

b. Sosiokultural

Secara sosiokultural pasangan suami istri harus mampu memenuhi tuntutan sosial, yakni mengurus rumah tangga dan mengurus anak-anak

c. Demografis (kependudukan )

Secara demografis perkawinan di bawah umur merupakan salah satu faktor timbulnya pertumbuhan penduduk yang lebih tinggi37

Terdapat beberapa pendapat laianya berkenaan dengan metode penentuan kedewasaan seseorang, sebagai berikut :

a. Yusuf Musa mengatakan bahwa usia dewasa itu setelah seseorang berumur 21 tahun. Hal ini di karenakan pada zaman modern ini orang memerlukan persiapan yang matang dari pendapat yang lain menunjukan bahwa berbagai faktor ikut menentukan cepat atau lambatnya seseorang mencapai usia kedewasaan terutama kedewasaan untuk keluarga, usia tidaklah cocok untuk setiap wilayah didunia ini, setiap wilayah dapat menentukan usia kedewasaan masing-masing sesuai dengan masa dan kondisi yang ada

b. Menurut Sarlito Wirawan Sarwono, bahwa usia kedewasaan untuk siapnya seseorang memasuki hidup berumah tangga harus di perpanjang menjadi 20 tahun untuk wanita dan 25 tahun untuk laki-laki, hal ini di perlukan karna zaman modern ini menuntut untuk mewujudkan kemaslahatan dan menghindari kerusakan, baik dari segi kesehatan maupun tanggung jawab sosial.

Anak Indonesia merupakan 40 persen dari penduduk Indonesia yang harus di tingkatkan mutunya menjadi anak Indonesia yang sehat, cerdas ceria, akhlak mulia dan terlindungi, hal ini merupakan komitmen

(33)

23

bangsa bahwa menghormati, memenuhi, dan menjamin hak anak adalah tanggung jawab negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orangtua.Selama ini pembahasan tentang perlindungan anak lebih banyak dengan tendesi pidana, akan tetapi perlindungan anak dalam dimensi dispensasi nikah adalah dengan tendensi perdata yaitu menelaah ada atau tidak adanya perlakuan salah terhadap perkawinan anak di bawah umur yang di izinkan oleh pengadilan agama, dispensasi nikah tersebut juga di atur oleh peraturan perundangan yaitu undang-undang no.1 tahun 1974 tentang perkawinan38

Dari ketentuan yang terdapat dalam ketentuan isi undang-undang no.1 tahun1974 tentang perkawinan, bahwasannya belum sepenuhnya memberikan perlindungan hukum dan kepastian hukum terhadap dispensasi nikah dalam batasan usia perkawinan, maka benar bahwa undang-undang perkawinan hanya menjamin kekekalan hidup keluarga yang kuat serta keabadian dalam perkawinan, berdasarkan ketentuan pasal 1 undang-undang no.1 tahun 1974 tentang perkawinan 39 , penentuan batasan usia untuk melangsungkan perkawinan sangatlah penting, karena suatu ikatan perkawinan menghendaki kematengan psikologis dan biologis, maka dalam penjelasan umum undang-undang perkawinan di nyatakan, bahwa calon suami istri harus siap matang dari segi pisik,psikis dan mental yang telah siap jiwa raganya untuk melangsungkan perkawinan agar dapat mewujudkan perkawina secara baik bagi undang-undang serta agama Islam agar terhindar dari perceraian dan mendapat keturunan yang baik serta sehat, untuk itu di cegah adanya perkawinan antara calon suami dan istri yang masih di bawah umur, sehingga perlu adanya pembatasan umur yang konsisten agar mencegah dan terhindar dari perkawinan yang terlampau muda, seperti yang terjadi di berbagai daerah terpencil yang mempunyai dampak negatif, maka akibat yang akan terjadi dari adanya perkawinan di bawah umur bermacam-macam di antaranya, keluarga

38 Mardi Candra, aspek perlindungan anak Indonesia analisis tentan perkawinan di bawah umur 39 Pasal 1 no.1 tahun 1974 menyatakan, perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara suami dan

istri, perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa.

(34)

24

mudah mengalami perceraian karena kurang siapnya mental bathin dari masing-masing pasangan, anak-anak menjadi korban karena kurang adanya perhatian, kasih sayang, keharmonisan karena keegoisan masih tinggi40

Undang-undang khusus perlindungan anak juga di harapkan mampu menjadi undang-undang yang memberikan perlindungn terhadap anak secara holistic, serta menjadi landasan yuridis untuk mengawasi pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab beberapa hal yang terkait dan yang telah di jelaskan sebelumnya, selain itu pertimbangan lain bahwa perlindungan anak merupakan bagian dari kegiatan pembangunan nasional dan khususnya dalam meningkatkan kehidupan berbangsa dan bernegara, orangtua, keluarga, masyarakat, dan negara bertanggung jawab untuk menjaga dan berperan serta untuk melindungi hak-hak anak sesuai dengan kewajiban yang di atur dalam peraturan perundang-undangan

D. Batas Usia Perkawinan dalam Hukum Islam

Pada dasarnya dalam al-Quran dan Sunnah tidak ada keterangan yang pasti tentang batasan usia perkawinan. Dari kedua sumber tersebut hanya menegaskan bahwa seseorang yang akan melangsungkan perkawinan haruslah sudah layak dalam menjalankan rumah tangga yang akan ia bina dan dewasa dalam memahami dan tegas dalam mengambil keputusan, dan mengetahui yang baik dan yang buruk untuk melangsungkan perkawinan, sehingga mampu mengatur dan menjalani kehidupan rumah tangga dengan baik. Dan dengan kedewasaan itu..pula pasangan suami istri akan mampu melaksanakan hak dan kewajibannya secara timbal balik.41 Dalam firman Allah SWT surat An-Nisa’ ayat 6 yang berbunyi:

اًفا ارْسِإ ٓااهوُلُكْأات الَ او ۖ ْم ُهال َٰاوْماأ ْمِهْيالِإ ۟ا ٓوُعافْدٱاف اًدْش ُر ْمُهْنِ م مُت ْسانااء ْنِإاف احااكِ نلٱ ۟اوُغالاب ااذِإ َٰٓىَّتاح َٰىامَٰاتايْلٱ ۟اوُلاتْبٱ او ْمِهْيالِإ ْمُتْعاف اد ااذِإاف ِفِو ُرْعامْلٱِب ْلُْكْأايْلاف ا ًريِقِاف انا اك نام او ۖ ْفِفْعاتْسايْلاف اًّيِناغ انااك نام او ۟او ُرابْكاي ناأ ا ًراادِب او ٤/ ءاسنلا( اًبيِساح ِ َّللَّٱِب َٰىافاك او ْمِهْيالاع ۟اوُدِهْشاأاف ْمُهال َٰاوْماأ

40 Zulfiani,kajian hukum terhadap perkawinan anak di bawah umur menurut undang-undang

perkawinan no.1 tahun 1974, Jurna Hukum Samudra Keadilan, Vol.12 No.2, 2017

41 Syekh Abdul Aziz bin Abdurrahman musnad, Perkawinan dan Masalahnya, (Jakarta.Pustaka al-Kausar, Cet.II. 1993) h. .28-31.

(35)

25

Artinya: “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk

kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu)”.42

Perkawinan di usia dini merupakan salah satu bagian pembaruan hukum keluarga pada negara muslim dan berpenduduk muslim, meskipun batasan umur di Indonesia tidak terlalu jauh berbeda dengan negara lain,pembaruan hukum perkawinan mengenai hal ini jauh lebih maju di bandingkan fatwa MUI, MUI tidak memberikan batasan usia perkawinan bagi laki-laki dan perempuan, sehingga dalam fatwanya perkawinan dalam usia dini tetap dianggap sah, fatwa ini tidak banyak memberikan perubahan dari pandangan ulama klasik yang tidak memberikan batasan usia perkawinan, hal ini dapat di sebabkan pada literature fiqih yang tidak memberikan penjelasan mengenai ketentuan hukum secara eksplisit mengenai batasan usia perkawinan baik batasan minimal maupun maksimal untuk melihat keberanjakan fatwa MUI dari pandangan ulama terdahulu maka permasalahan ini dapat dikaji dengan mengaitkan pada bahasan tentang persyaratan perkawinan,43

Salah satu syarat untuk melaksankan akad nikah adalah kemapuan melaksanakan, orang yang melaksakan akad bagi dirinya maupun orang lain harus mampu melakukan akad, syarat itu cukup dengan adanya sifat tamyiz (mampu membedakan) saja, jika belum tamyiz seperti anak kecil yang belum berumur 7 tahun maka pernikahannya tidak sah dan menjadi batal, apabila sudah tamyiz meskipun masih kecil maka ulama Syafi’iyyah membolehkan jika itu di pandang ada maslahat, demikian pula halnya dengan ulama Hanabila dan

42 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Surabaya: Media Insani Publishing, 2010). 241. 43Ali Imran, kecakapan berbuat dalam hukum studi komparatif hukum islam dan hukum positif, (semarang,badan penerbit universitas diponogoro, 2007) h.24

(36)

26

Malikiyyah membolehkan ayahnya menikahkan putranya yang masih kecil dengan berdasar pada riwayat al-Atsram bahwasanya ibnu Umar menikahkan putranya ketika masih kecil, kemudian orang-orang meminta keputusan hukum kepada Zaid dan membolehkannya pada semua orang. Dikalangan ulama Hanafiyah tidak mensyaratkan orang baligh dalam melaksanakan akad nikah karena hal itu masuk dalam katagori syarat nafaz, berdasarkan pandangan jumhur ulama tersebut maka dapat dipahami bahwa keabsahan pernikahan usia dini tidak menjadi permasalahan dikalangan ulama klasik, dengan demikian keberanjakan fatwa MUI dari pandangan yang disepakati ulama klasik tidak tampak.44

Dalam hal ini untuk menentukan kedewasaan seseorang dilihat dalam beberapa pendapat Imam Mazhab diantaranya :

a. Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan batasan umur bagi orang yang dianggap baligh. Ulama Syafi'iyyah dan Hanabilah menyatakan bahwa Anak laki-laki dan anak perempuan dianggap baligh apabila telah menginjak usia 15 tahun. Tetapi karena tanda-tanda itu datangnya tidak sama untuk semua orang, maka kedewasaan ditentukan dengan umur tersebut, disamakannya masa kedewasaan pria dan wanita adalah karena kedewasaan itu ditentukan dengan akal

b.

Ulama Hanafiyyah menetapkan usia seseorang dianggap baligh sebagai berikut: Anak laki-laki dianggap baligh bila berusia 18 tahun dan 17 tahun bagi anak perempuan.

c.

Sedangkan ulama dari golongan Imam Malik menyatakan : Anak laki-laki dan perempuan dianggap baligh bila berusia 18 tahun.45

Dalam Tafsir Ayat al-Ahkam bahwa seseorang anak dikatakan baligh apabila laki-laki telah bermimpi, sebagaimana telah disepakati ulama bahwa anak yang sudah bermimpi (keluar mani) maka dia telah baligh, sedangkan ciri-ciri wanita ketika sudah haidh maka itulah batasan baligh, Baligh merupakan

44 Rahmawati, Dinamika Pemikiran Ulama Dalam Ranah Pembaruan Hukum Keluarga Islam Di

Indonesia, Analisis Fatwa MUI Tentang Perkawinan Tahun 1975-2010, (jogyakarta, cet.1 Lembaga Ladang Kata, 2015) 173-175.

45 Helmi Karim, Kedewasaan Hukum Menikah Problematika Hukum Islam Kontenporer, (Jakarta, Pustaka Firdaus. 1996) h.70.

(37)

27

istilah dalam hukum Islam yang menunjukkan seseorang telah mencapai kedewasaan. Baligh diambil dari bahasa Arab yang secara bahasa memiliki arti “sampai” maksudnya telah sampainya usia seseorang pada tahap kedewasaan.46

Menurut Rasyid Ridha, yang dikutip oleh Achmad Asrori, kalimat “baligh alnikah” menunjukkan bahwa usia seseorang untuk menikah, yaitu sampai bermimpi, pada umur ini seseorang telah dapat melahirkan anak dan memberikan keturunan sehingga tergerak hatinya untuk menikah. Kepadanya juga dibebankan hukum agama, karena itu rusydan adalah kepantasan sesorang dalam bertasarruf (Suatu perkataan atau perbuatan yang berakibat hukum) serta mendatangkan kebaikan.47

Terkait prinsip dan kedewasaan dalam perkawinan, para ulama cenderung tidak membahas batasan usia perkawinan secara perinci namun lebih banyak membahas tentang hukum perkawina anak yang masih kecil, perkawinan anak yang masih dalam fiqih disebut nikah

ash-shagir/ash-shagirah atau az-zawaj al mubakkir secara literasi berarti kecil, akan tetapi yang

di maksud adalah anak laki-laki atau perempuan yang belum baligh. Ulama yang membolehkan wali untuk mengawinkan anak perempuannya yang masih di bawah umur ini pada umumnya berlandaskan pada riwayat bahwa Abu Bakar ra. mengawinkan Siti ‘Aisyah ra. dengan Rasulullah Saw.

ٌ انثدح ي ٌ نب ىٌح ي ربخأ قحسا و ىٌحٌ لاق ب ٌرك وبا و ركب وبا و مٌهاربا و قحسا و ىٌح و ان ا الل لوسر اهجوزت تلاق ةشئاع نع دوسْلا نع شمعْلا نع ة ٌواعم وبا انثدح نارخلآا لاق َّالل ىلص لع ٌهي تنب ًهً و اهنع تام و عست تنب ًهً و اهب ىنب و تس تنب ًهً و ملس و ث نام شع )ملسم هًاور( ةر

Artinya: ‚Telah menceritakan kepadaku Yahya bin Yahya, Ishaq bin Ibrahim, Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Abu Karib. Yahya dan Ishaq telah berkata : Telah menceritakan kepada kami dan berkata al Akhrani : Telah menceritakan kepadaku Abu Mu’awiyah dari al A’masyi dari al Aswad dari ‘Aisyah ra. berkata : Rasulullah SAW mengawiniku pada saat usiaku 6 tahun

46 Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam, (Bandung: Pustaka al-Fikriis, 2009), h. 22

47 Achmad Asrori, Batas Usia Perkawinan Menurut Fukaha dan Penerapannya Dalam

(38)

28

dan hidup bersama saya pada usiaku 9 tahun dan beliau wafat saat usiaku 18 tahun (HR. Muslim).48

Abu Bakar ra. telah mengawinkan ‘Aisyah dengan Rasulullah SAW sewaktu masih anak-anak tanpa persetujuannya lebih dahulu. Sebab pada umur demikian persetujuannya tidak dapat dianggap sempurna. Namun, mengenai perkawinan ‘Aisyah ra. dengan Nabi Muhammad Saw, sebagian ulama berpendapat bahwa hal itu merupakan perkecualian atau kekhususan bagi Rasulullah Saw sendiri sebagaimana Rasulullah Saw dibolehkan beristeri lebih dari empat orang yang tidak boleh diikuti oleh umatnya. Pendapat lain menyatakan bahwa perkawinan Rasulullah SAW dengan,Aisyah lebih bermotif dakwah dan memberikan kebebasan bagi Abu Bakar ra. memasuki rumah tangga Rasulullah SAW49

Mayoritas pakar hukum Islam melegalkan perkawinan di bawah umur, pemahaman ini merupakan hasil interpretasi dari Al-Qur’an surat at-Thalaq ayat 4, di samping itu sejarah telah mencatat bahwa aisyah menikahi baginda Nabi dalam usia sangat muda, begitu pula perkawinan dini merupakan hal yang lumrah di kalangan sahabat, bahkan sebagian ulama menyatakan pembolehan nikah di bawah umur sudah menjadi konsesus pakar hukum Islam, oleh karena itu, pendapat yang melarang perkawinan di bawah umur di bilang lemah dari sisi kualitas dan kuantitas, sehingga gagasan ini tidak di anggap, kontruksi hukum yang di bangun tersebut sangat rapuh dan mudah terpatahkan

Walaupun demikian, hak ijbar ayah atau kakek tidak serta merta dapat di laksanakan dengan kehendak sendiri. Ulama‟ Syafi‟iyyah mengatakan bahwa untuk bisa mengawinkan anak laki-laki di bawah umur di isyaratkan adanya kemashlahatan (kepentingan yang baik). Sedangkan untuk anak perempuan di perlukan beberapa syarat antara lain :

1. Tidak ada permusuhan yang nyata antara si anak perempuan dengan walinya yaitu ayahnya atau kakeknya.

2. Tidak ada permusuhan (kebencian) yang nyata antara dia dan calon suaminya.

48 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1985), h. 69. 49 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid I,(Jakarta, Prenada Media,cet III, 2008), h.67

(39)

29

3. Calon suami harus kufu (sesuai/setara).

4. Calon suami mampu memberikan maskawin yang pantas..50

Perkawinan di bawah umur tidak dianjurkan mengingat mereka dianggap belum memiliki kemampuan untuk mengelola harta (rusyd). Selain itu, mereka juga belum membutuhkan perkawinan. Mereka di khawatirkan tidak mampu memenuhi kewajiban-kewajiban yang harus dipikul dalam kehidupan sebagai suami-isteri terutama dalam pengelolaan keuangan rumah tangga. Sedangkan bagi anak perempuan kecil yang sudah janda (baik karena di tinggal mati suaminya atau bercerai) maka walinya tidak boleh mengawinkannya kembali demikian pula bagi orang lain (wali selain ayah) untuk mengawinkannya sampai ia baligh. Berdasarkan hal tersebut maka anak kecil yang sudah janda kedudukannya sama dengan janda yang telah dewasa yaitu harus mendapatkan izinnya ketika anak menikahkannya, sebagaimana ditegaskan dalam hadist Rasulullah saw sebagai berikut51

ْباا ْناع ُن اع اب ار سا ِض اي اع الله ْن ُه ام اا ا ان انلا اب اص ي ال اع الله ى ال ْي ِه او اس ال اق م الا اثلا ْي ِب اا اح ُق ِب ان ْف ِس اه ِم ا ْن او ال ْي اه ا او ات ركبلا ْس ات ْأ ام ُر او ِا ْذ ان اه اس ا ُك ْو ًن اه )ملسم هًاور( ا

Artinya dari Ibnu Abbas r.a, Bahwasannya Nabi Muhammad SAW bersabda : seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, dan perawan harus dengan izinnya, dan izinnya adalah diamnya, (HR. Muslim)

Beberapa negara muslim berbeda dalam menentukan batasan minimal perkawinan, sebab itu perbedaan penetapan batas usia ini tidak lepas dari pengaruh lingkungan, geografis dan budaya pada masing-masing negara, meskipun masing-masing negara memiliki standar umur perkawinan yang berbeda, namun intinya adalah sangat memperhatikan prinsip kematangan dan kedewasaan, dengan demikian keabsahan perkawinan tidak semata-mata karena terpenuhnya rukun melainkan berkembang pada pemenuhan syarat-syarat perkawinan52

50 Hussein Muhammad, Fiqh Perempuan (Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender), (Yogyakarta,LKIS, 2007) h. 100

51 Tengku Muhammad Hasbi ash Shiddiey, Hukum- Hukum Fiqh Islam (Tinjauan Antar Madzhab):(Semarang,Pustaka Rizki Putra, Cet. IV, 2007), h. 232

(40)

30

Atas pertimbangan kemaslahatan masing-masing negara Islam dan negara yang mayoritas berpenduduk muslim menetapkan sendiri batas usia berdasarkan ijtihad di negaranya, berikut adalah batas usia di berbagai negara tersebut no Negara Usia Perkawinan Pria Wanita 1 Al-jazair 21 18 2 Bangladesh 21 18 3 Messier 18 16 4 Indonesia 19 19 5 Irak 18 18 6 Yordania 16 15 7 Lebanon 18 17 8 Malaysia 18 16 9 Maroko 18 15 10 Yaman 15 15 11 Pakistan 18 16 12 Turki 17 15 13 Libya 18 16

Dari uraian table di atas, dapat di pahami bahwa usia perkawinan yang di anut di dunia Islam dan negara-negara berpendudukan mayoritas muslim hampir rata-rata berkisar 16-21 tahun, batas usia perkawinan tersebut sudah dalam katagori normal, akan tetapi secara komprehensip batas usia perkawinan yang telah di tetapkan di negara-negara tersebut tidak selamanya konsisten dengan realitas masyarakat, faktanya adalah dengan semakin banyak anak yang melangsungkan perkawinan di usia dini, padahal umurnya jauh di bawah yang

Referensi

Dokumen terkait

Sebuah pembakaran batu bara pada boiler untuk memanaskan air dan simulasi yang dibangun dengan software Visual Basic 6.0 merubah air tersebut menjadi uap dengan suhu dan

Senyawa yang berperan sebagai antibakteri terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli diduga adalah senyawa saponin dimana terbentuk warna ungu

Dalam upaya peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani di daerah perdesaan, kebijakan pengembangan komoditas bernilai ekonomi tinggi (high value commodity) seperti

dengan penyewaan tenaga kerja ini adalah biaya penyewaan tenaga kerja dan ketersediaan tenaga buruh tani di sekitar lokasi pemukiman transmigrasi tersebut, atau perlu difi- kirkan

Oleh karena itu penulis tertarik untuk merancang sistem informasi dengan judul “ Pengembangan Sistem Informasi Rekam Medis Pada Puskesmas Gisting Berbasis Web ”

Berdasarkan latar belakang di atas maka perlu dianalisis tentang faktor gaya kepemimpinan transformasional dan transaksional terhadap komitmen tenaga kerja UMKM

Sjafri dan Aida (2007 : 153) tiap manajemen perlu mengelola dan mengetahui kinerja pegawainya, apakah sudah sesuai dengan standar kinerja perusahaan atau

Merupakan tahap pengujian yang dilakukan dari hasil klasifikasi menggunakan metode support vector machine (SVM), serta menganalisis performansi sesuai dengan parameter yang