• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1442 H /2021 M

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1442 H /2021 M"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

KEWENANGAN PENGADILAN NEGERI DALAM MEMBATALKAN PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN

PADA PEMBIAYAAN SYARIAH

Oleh:

Dita Ayu Sekar Sari 11160490000088

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1442 H /2021 M

(2)

ii

LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING

KEWENANGAN PENGADILAN NEGERI DALAM MEMBATALKAN PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN

PADA PEMBIAYAAN SYARIAH

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

Dita Ayu Sekar Sari 11160490000088

Dosen Pembimbing

EDr. Muhammad Ali Hanafiah Selian S.H., M.H.

NIP. 196702032014111001

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1442 H /2021 M

(3)

iii

(……….)

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

Skripsi yang berjudul “Kewenangan Pengadilan Negeri Dalam Membatalkan Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pada Pembiayaan Syariah” yang ditulis oleh Dita Ayu Sekar Sari, NIM 11160490000088, telah diajukan dalam sidang skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Hukum Ekonomi Syariah pada Jumat, 9 Juli 2021. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 9 Juli 2021 Mengesahkan

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.A., M.H.

NIP: 19760807 200312 1 00 1

PANITIA UJIAN MUNAQASYAH 1. Ketua : A. M. Hasan Ali, M.A.

NIP. 19751201200501 1 005

2. Sekertatis : Dr. Abdurrauf, Lc., M.A.

NIP. 19731215 200501 1 002

3. Pembimbing : Dr. M. Ali Hanafiah Selian S.H., M.H.

NIP. 19670203 201411 1 001 4. Penguji 1 : Dr. Nahrowi, S.H., M.H.

NIP. 19730215 199903 1 002 5. Penguji 2 : Faris Satria Alam, M.H.

NIDN. 0325038802

(……….)

(…………...)

(...……….….)

(……….)

(4)

iv

LEMBAR PERNYATAAN Yang bertanda-tangan di bawah ini, saya :

Nama : Dita Ayu Sekar Sari

Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 20 September 1998

NIM : 11160490000088

Program Studi : Hukum Ekonomi Syariah

Fakultas : Syariah dan Hukum

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti karya ini bukan karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 9 Juli 2021

Dita Ayu Sekar Sari

(5)

v ABSTRAK

Dita Ayu Sekar Sari NIM 11160490000088 KEWENANGAN PENGADILAN NEGERI DALAM MEMBATALKAN PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN PADA PEMBIAYAAN SYARIAH. Skripsi Program Studi Hukum Ekonomi Syariah, Fakultas Syariah Dan Hukum, Universtitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1442 H/2021 M. 1x + 82 halaman.

Studi ini bertujuan untuk menjelaskan kewenangan Pengadilan Negeri Rantauprapat dalam membatalkan putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) pada pembiayaan syariah dan menguji kesesuaian Putusan Pengadilan Negeri Rantauprapat Nomor 49/Pdt.Sus-BPSK/2017/PN-Rap jo Mahkamah Agung Nomor 73 K/Pdt.Sus-BPSK/2018 apakah sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Penelitian ini menggunakan metode normatif-empiris dengan pendekatan perundang-undangan (Statute approach) dan pendekatan studi kasus (Case study approach) yang mana teknik pengumpulan data dengan studi dokumen.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa permohonan penyelesaian sengketa wanprestasi (cedera janji) di pembiayaan syariah yang diajukan kepada Pengadilan Negeri adalah tidak tepat dan tidak sesuai dengan peraturan perundang- undangan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Pasal 49 huruf (i) yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah dan Keputusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 93/PUU-X/2012 yang menyatakan bahwa lembaga peradilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara sengketa di bidang ekonomi syariah adalah Pengadilan Agama.

Kemudian hasil penelitian atas Putusan Pengadilan Negeri Rantauprapat Nomor 49/Pdt.Sus-BPSK/2017/PN-Rap antara ASHARI melawan PT. BANK MUAMALAT INDONESIA, Tbk. menunjukkan bahwa Judex Facti telah keliru dalam memberikan pertimbangan hukum. Judex Facti berpendapat bahwa perkara wanprestasi yang sebelumnya diajukan ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen tersebut merupakan kompetensi absolut Pengadilan Negeri.

Berdasarkan perkara a quo, dalam peraturan perundang-undangan seharusnya merupakan kewenangan absolut Pengadilan Agama.

Kata Kunci : BPSK, Pengadilan Negeri, Pembiayaan Syariah Dosen Pembimbing : Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H.

Daftar Pustaka : Tahun 1989 sampai tahun 2020

(6)

vi

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi rabbil ‘aalamin, Puji syukur di panjatkan kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang yang telah memberikan karunia, ampunan dan pertolongan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepangkuan baginda Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita semua dari alam jahiliyah menuju ke alam Islamiyah, dari alam kebodohan menuju ke alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan seperti yang kita rasakan pada saat ini.

Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Program Studi Hukum Ekonomi Syariah, pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Selanjutnya, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada para pihak yang secara langsung maupun tidak langsung telah memberikan bantuan, dukungan dan doa dalam menyelesaikan skripsi ini, yaitu sebagai berikut :

1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc.,M.A., selaku Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Ahmad Tholabi Karlie, S.H., M.A., M.H., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. A.M. Hasan Ali, M.A., selaku Ketua Program Studi Hukum Ekonomi Syariah dan Dr. Abdurrauf, Lc., M.A., selaku Sekretaris Program Studi Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H., selaku dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu, pikiran dan tenaga serta kesabaran dalam memberikan motivasi, arahan, bimbingan serta saran-saran yang sangat berharga sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik;

5. Dr. Syahrul A’dam M.Ag. selaku Dosen Pembimbing Akademik penulis selama masa perkuliahan di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta;

(7)

vii

6. Abd. Karim Amarullah, S.H, M.M, CLA. Med, RFP dan Yani Firdaus, S.H., M.H selaku Praktisi Hukum yang telah membantu saya melakukan penelitian;

7. Keluarga penulis, Ayah, Ibu, Adik yang telah memberikan dukungan tiada henti dan bantuan baik moril serta materiil, motivasi, doa yang tidak terputus, pengorbanan serta kasih sayang lahir batin teramat besar kepada penulis sampai saat ini;

8. Teman terdekat Ersa, Risca, Cahaya, Mella, Gita, Erina, Indah, Shana, Deden, Danang, Mby, Fahmi dan Fatwa Pujangga yang selalu membantu, mendukung dan menyemangati dalam suka maupun duka dalam penulisan skripsi ini;

9. Keluarga Besar Kader Muamalat HMI Komisariat Fakultas Syariah dan Hukum serta Teman Hukum Ekonomi Syariah 2016 yang telah memberikan dukungan sehingga penulis dapat berproses hingga menyelesaikan masa studi di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

10. Seluruh Keluarga, teman dan orang-orang yang tidak dapat saya sebutkan satu- persatu yang telah membantu dan terlibat dalam proses penyusunan skripsi.

11. Last but not least, I wanna thank me, I wanna thank me for believing in me, I wanna thank me for doing all this hard work, I wanna thank me for having no days off, I wanna thank me for never quitting, for just being me at all times.

Semoga segala doa, dukungan, dan bantuan dari berbagai pihak di atas mendapat balasan dari Allah SWT. Semoga segala kebaikan selalu menyertai, selalu dilindungi oleh-Nya, serta dilimpahkan kebahagiannya. Aamiin.

Jakarta, 9 Juli 2021

Dita Ayu Sekar Sari

(8)

viii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 3

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

D. Metode Penelitian... 5

E. Sistematika Penulisan... 9

BAB II TINJAUAN UMUM KEWENANGAN PENYELESAIAN SENGKETA DALAM PEMBIAYAAN SYARIAH ... 11

A. Kerangka Konseptual ... 11

B. Kerangka Teoritis ... 12

C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ... 22

BAB III PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH OLEH BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN ... 26

A. Kedudukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)... 26

B. Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) 26 C. Prosedur Pengajuan Sengketa ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) ... 28

(9)

ix

D. Kedudukan Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) ... 32

E. Upaya Hukum atas Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen .... 34

BAB IV TINJAUAN ATAS PENERAPAN HUKUM DALAM PUTUSAN PENGADILAN NEGERI RANTAUPRAPAT NOMOR 49/PDT.SUS- BPSK/2017/PN-RAP jo. PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 73 K/PDT.SUS-BPSK/2018 ... 36

A. Para Pihak... 36

B. Duduk Perkara ... 36

C. Pertimbangan Hakim ... 41

D. Amar Putusan Hakim ... 42

E. Analisis Yuridis atas Putusan Hakim ... 44

F. Kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kabupaten Batu Bara dalam Perkara A Quo ... 57

G. Kesesuaian Perkara A Quo terhadap Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah ... 61

H. Penyelesaian Sengketa Perkara A Quo dan Kaitannya dengan Fiqh Muamalah ... 62

BAB V PENUTUP ... 68

A. Kesimpulan ... 68

B. Saran ... 68

DAFTAR PUSTAKA... 70

(10)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan perekonomian nasional umumnya di bidang jasa telah menghasilkan berbagai variasi produk yang dapat dimanfaatkan oleh konsumen. Oleh karena itu, setiap manusia yang hidup merupakan konsumen atau pemakai dari barang dan/atau jasa tertentu yang disediakan manusia lain yang menyediakan barang dan/atau jasa yang disebut produsen. Para produsen atau pelaku usaha akan mencari keuntungan yang setinggi-tingginya, produsen juga harus bersaing antara sesama mereka dengan perilaku bisnisnya sendiri- sendiri yang dapat merugikan konsumen.1 Secara mendasar konsumen membutuhkan perlindungan hukum mengingat lemahnya kedudukan konsumen dibandingkan kedudukan produsen yang relatif kuat dalam banyak hal.2

Kedudukan nasabah sebagai konsumen di sektor jasa keuangan selalu dalam posisi yang lemah sehingga diperlukan perlindungan hukum bagi nasabah agar hak-hak nasabah tetap terpenuhi. Berdasarkan Pasal 2 POJK No. 1 Tahun 2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, perlindungan konsumen menerapkan prinsip transparansi, perlakuan yang adil, keandalan, kerahasiaan dan keamanan data, dan penanganan pengaduan dan penyelesaian sengketa yang cepat, sederhana, dan murah.

Pada dasarnya pembiayaan yang menggunakan prinsip syariah tidak diwajibkan untuk menyertakan jaminan, namun agar nasabah tidak menyalahi kesepakatan (wanprestasi) dan nasabah memenuhi kewajibannya, maka pihak bank dapat meminta jaminan tertentu dalam akad pembiayaan.3 Pemberian jaminan oleh nasabah merupakan salah satu bentuk perlindungan dengan melakukan pengikatan dengan pembebanan jaminan terhadap utang nasabah

1 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), h.2.

2 Sri Rezeki Hartono, Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Pada Era Perdagangan Bebas (Bandung: Bandar Maju, 2002), h.33.

3 Irma Devita Purnamasari, Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak Memahami Masalah Hukum Jaminan Perbankan, (Bandung: Kaifa PT Mizan Pustaka, Cet.2, 2012) h. 26.

(11)

2

kepada bank, untuk memberikan keyakinan yang lebih kepada bank bahwa nasabah mampu untuk membayar utangnya.4

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen diharapkan dapat mempermudah, mempercepat dan memberikan suatu jaminan kepastian hukum bagi konsumen untuk menuntut hak-hak perdatanya kepada pelaku yang tidak benar. Prinsip penyelesaian sengketa di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah cepat, murah dan sederhana. Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen menganut prinsip final dan mengikat, sebagaimana dalam Pasal 54 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Pasal 42 ayat (1) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/2001 Tentang Pelaksaan Tugas dan Wewenang BPSK menyatakan bahwa putusan BPSK merupakan putusan yang final dan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Terkait perlindungan konsumen maka masalah yang timbul dari konsumen tidak sebatas pemakaian barang namun meliputi hubungan konsumen dan pelaku usaha dalam sektor jasa keuangan. Salah satu masalah yang dapat timbul dari hubungan sektor jasa antara konsumen dan pelaku usaha merupakan masalah terkait jaminan kebendaan yang saat ini cukup banyak digunakan dalam pembiayaan syariah.

Terkadang hubungan konsumen dengan lembaga pembiayaan dapat menimbulkan masalah tertentu di antara kedua belah pihak. Untuk itu Undang- Undang Perlindungan konsumen menentukan mekanisme penyelesaian sengketa antara konsumen dan pelaku usaha dalam hal ini lembaga pembiayaan dapat menyelesaikan sengketanya di BPSK. Namun ada kalanya dapat terjadi ketidak-pastian dimana apabila terjadi eksekusi jaminan oleh lembaga keuangan syariah terhadap nasabah yang tidak melaksanakan kewajibannya dibatalkan oleh BPSK.

Seperti pada perkara sengketa konsumen pada pembiayaan syariah antara ASHARI (Pemohon Kasasi) selaku nasabah dengan PT. Bank Muamalat

4 Bagir Manan, Hukum Kepailitan (Memahami Faillissementsverordening Juncto UndangUndang Nomor 4 Tahun 1998), (Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti 2002), h. 7.

(12)

3

Indonesia Tbk, (Termohon Kasasi) yang telah diputus dan telah berkekuatan hukum tetap serta teregister sebagai Putusan Mahkamah Agung Nomor 73 K/Pdt.Sus-BPSK/2018. Perkara ini merupakan lanjutan dari penyelesaian sengketa konsumen melalui cara arbitrase yang telah diputus BPSK Kabupaten Batubara dengan nomor 12/PTS-Arb/BPSK-BB/I/2017. Hal yang menjadi sorotan peneliti pada putusan Mahkamah Agung tersebut adalah pertimbangan hakim yang mana menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Rantauprapat nomor 73 K/Pdt.Sus-BPSK/2018. Atas pertimbangan itu, berarti hakim Mahkamah Agung telah berpendapat bahwa lembaga peradilan yang berwenang menyelesaikan sengketa tersebut adalah Pengadilan Negeri.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai kompetensi absolut atas putusan arbitrase BPSK pada pembiayaan syariah agar lebih efektif dan masyrakat mengetahui dengan benar bagaimana prosedur yang tepat dalam mengajukan keberatan atas putusan BPSK. Untuk itu peneliti telah melakukan penelitian dengan judul “Kewenangan Pengadilan Negeri Dalam Membatalkan Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pada Pembiayaan Syariah.”

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah di atas, dapat penulis identifikasi ke dalam beberapa masalah, yaitu sebagai berikut:

a. Apakah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) berwenang dalam menyelesaikan sengketa konsumen di bidang pembiayaan syariah.

b. Apakah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) berwenang dalam membatalkan eksekusi jaminan pada pembiayaan syariah.

c. Bagaimana proses penyelesaian sengketa konsumen di bidang pembiayaan syariah.

(13)

4

d. Bagaimana kompetensi absolut atas putusan arbitrase Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dalam sengketa konsumen di bidang pembiayaan syariah.

e. Apakah Putusan Pengadilan Negeri Rantauprapat Nomor 49/Pdt.Sus- BPSK/2017/PN-Rap telah sesuai dengan Peraturan Perundang- Undangan.

2. Pembatasan Masalah

Banyaknya masalah yang dapat diidentifikasi pada latar belakang masalah yang ditulis, maka diperlukan adanya membatasi masalah agar peneliti dapat menjawab permasalahan yang ada. Maka dari itu, pembahasan mengenai kewenangan Pengadilan Negeri Rantauprapat dalam membatalkan putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) pada pembiayaan syariah. Pembatasan masalah selanjutnya adalah mengenai kesesuaian Putusan Pengadilan Negeri Rantauprapat Nomor 49/Pdt.Sus-BPSK/2017/PN-Rap terhadap peraturan perundang-undangan.

3. Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas maka peneliti merumuskan masalah yang peneliti ambil dalam penelitian ini adalah tentang pertimbangan hukum hakim Pengadilan Negeri Rantauprapat terhadap putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Batubara. Maka peneliti mengidentifikasi permasalahan tersebut menjadi 2 rumusan masalah yang terdiri dari:

a. Bagaimana kewenangan Pengadilan Negeri Rantauprapat atas Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Batubara pada konsumen atas pembiayaan syariah?

b. Bagaimana penerapan hukum atas pembiayaan Syariah dalam Putusan Pengadilan Negeri Rantauprapat Nomor 49/Pdt.Sus-BPSK/2017/PN- Rap jo Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 73 K/Pdt.Sus-BPSK/2018?

(14)

5 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui serta menganalisis kewenangan Pengadilan Negeri Rantauprapat atas Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Batubara pada konsumen atas pembiayaan syariah.

b. Untuk mengetahui serta menganalisis penerapan hukum atas pembiayaan Syariah dalam Putusan Pengadilan Negeri Rantauprapat Nomor 49/Pdt.Sus-BPSK/2017/PN-Rap jo Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 73 K/Pdt.Sus-BPSK/2018.

2. Manfaat Penelitian

a. Secara Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran pengetahuan hukum ekonomi syariah terutama hukum perlindungan konsumen di bidang pembiayaan syariah.

b. Secara Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pertimbangan hukum baik bagi pihak bank maupun nasabah pada umumnya tentang tata cara penyelesaian sengketa konsumen di bidang ekonomi syariah.

c. Secara Personal Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan baik secara akademik maupun praktik serta menjadi referensi terkait aspek hukum pemutusan akad pembiayaan mudharabah baik bagi penulis maupun para peminat kajian aspek hukum akad syariah.

D. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah penelitian normatif-empiris. Jenis penelitian hukum normatif empiris ini pada dasarnya merupakan penggabungan antara jenis penelitian

(15)

6

hukum normatif dengan adanya penambahan berbagai unsur empiris.

Metode penelitian normatif-empiris adalah sebuah implementasi ketentuan hukum normatif (peraturan/aturan yang mengatur terkait pembahasan) dalam aksinya pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam suatu masyarakat. Hukum empiris normatif, yaitu pendekatan yang bergerak dari teori ke fakta/pengalaman untuk menguji kebenaran teori atau teori sebagai pintu masuk ke dalam permasalahan.

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan untuk penelitian hukum ini adalah pendekatan perundang-undangan (Statute approach) dan pendekatan studi kasus (Case study approach). Pendekatan perundang- undangan adalah pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang ditangani.

3. Sumber Bahan Hukum

Dari berbagai macam sumber bahan hukum yang ada, penelitian ini menggunakan dua sumber yaitu:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yang digunakan terdiri dari peraturan perundang-undangan dan catatan resmi. Dalam penelitian ini bahan hukum primer yang digunakan sebagai berikut:

1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan 3) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan

Syariah

4) Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama

(16)

7

5) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan terhadap Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen,

6) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah

7) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen 8) Putusan Pengadilan Negeri Rantauprapat Nomor 49/Pdt.Sus-

BPSK/2017/PN-Rap

9) Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 73 K/Pdt.Sus-BPSK/2018

10) Fatwa DSN-MUI Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah

11) Fatwa DSN-MUI Nomor 48/DSN-MUI/II/2005 tentang Penjadwalan Kembali Tagihan Murabahah;

12) Fatwa DSN-MUI Nomor 111/DSN-MUI/IX/2017 tentang Akad Jual Beli Murabahah.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yang utama adalah buku teks yang berisi mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan pandangan- pandangan klasik para sarjana yang mempunyai klasifikasi tinggi.

Dalam penelitian ini, bahan hukum sekunder yang digunakan adalah sebagai berikut :

1) Buku-buku ilmiah dibidang hukum 2) Jurnal ilmiah

3) Artikel ilmiah

c. Bahan Hukum Tersier

(17)

8

Bahan hukum tertier adalah bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder.

Dalam penelitian ini bahan hukum tertier yang digunakan adalah sebagai berikut:

1) Kamus hukum

2) Situs internet yang berkaitan dengan pembiayaan syariah 4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dan bahan hukum yangmendukung serta berkaitan dengan pemaparan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Penelusuran Dokumen

Penelusuran Dokumen yang akan dilakukan yakni mengumpulkan beberapa hal yang terkait dengan kepentingan penelitian berupa naskah putusan Arbitrase BPSK Kabupaten Batu Bara Nomor 12/Pts-Arb/BPSK-BB/I/2017, putusan Pengadilan Negeri Rantauprapat Nomor 49/Pdt.Sus-BPSK/2017/PN-Rap, putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 73 K/Pdt.Sus-BPSK/2018, undang-undang, pertauran-peraturan, buku, surat kabar, jurnal, skripsi, website dan lain sebagainya.

5. Teknik Pengolahan Data

Setelah data diperoleh, kemudian dilakukan pengolahan dengan cara sebagai berikut:5

a. Pemeriksaan data (editing), yaitu mengoreksi apakah data yang terkumpul sudah cukup lengkap, sudah benar, dan sudah sesuai/relevan dengan masalah.

b. Penandaan data (coding), yaitu memberi catatan atau tanda yang menyatakan jenis sumber data atau urutan rumusan masalah.

5 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2004), h. 126.

(18)

9

c. Rekonstruksi data (reconstructing), yaitu menyusun ulang data secara teratur, berurutan, logis sehingga mudah dipahami dan diinterpretasikan.

d. Sistematisasi data (sistematizing), yaitu menempatkan data menurut kerangka sistematika bahasan berdasarkan urutan masalah.

6. Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh, diolah, dan dianalisis dengan menggunakan model analisis hermeneutic, yakni dengan melakukan interpretasi teks berupa aturan Perundang-Undangan, putusan hakim, fakta hukum, dan peristiwa hukum yang dilakukan secara holistik dalam bingkai keterkaitan antara teks, konteks, dan kontekstualisasi.6

7. Teknik Penulisan

Teknik Penulisan yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2017.”

E. Sistematika Penulisan

Skripsi ini akan disusun dalam beberapa bab dengan tujuan untuk mempermudah penulisan dan memperjelas pembacaannya. Adapun sistematika penulisan laporan skripsi ini adalah sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisi pengantar untuk memahami garis besar dari seluruh pembahasan. Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang masalah, identifikasi, pembatasan, dan rumusan masalah, serta tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN UMUM KEWENANGAN PENYELESAIAN SENGKETA DALAM PEMBIAYAAN SYARIAH

6 Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum, (Yogyakarta: UII Press, 2005), h. 45.

(19)

10

Pembahasan pada bab ini mencakup, kerangka konseptual yaitu pengertian pengadilan negeri, pengadilan agama, sengketa konsumen, pembiayaan syariah, dan wanprestasi; Kerangka teoritis yaitu penjelasan mengenai pengertian kepastian hukum, asas hukum, konsumen, kewenangan peradilan agama, kewenangan pengadilan negeri, kewenangan BASYARNAS, kewenangan BPSK dan penyelesaian sengketa konsumen pada pembiayaan syariah; serta tinjauan (review) kajian terdahulu.

BAB III PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH OLEH BADAN PERADILAN KONSUMEN

Pada bab ini berisikan mengenai Studi Putusan Pengadilan Negeri Rantauprapat Nomor 49/Pdt.Sus-BPSK/2017/PN-Rap.

Membahas terkait kedudukan BPSK, tugas dan kewenangan BPSK, prosedur pengajuan sengketa ke BPSK, kedudukan putusan BPSK serta upaya hukum atas putusan BPSK.

BAB IV TINJAUAN ATAS PENERAPAN HUKUM DALAM PUTUSAN PENGADILAN NEGERI RANTAUPRAPAT NOMOR 49/Pdt.Sus-BPSK/2017/PN-Rap jo PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 73 K/Pdt.Sus-BPSK/2018 Pada bab ini berisikan tentang penjelasan terkait para pihak, duduk perkara, pertimbangan hakim, amar putusan hakim pengadilan negeri Rantauprapat dan Mahkamah Agung serta analisis yuridis atas putusan hukum

BAB V PENUTUP

Bab ini berisikan kesimpulan dan pembahasan yang telah diuraikan dan disertakan pada saran-saran sebagai rekomendasi berdasarkan temuan-temuan yang diperoleh dalam penelitian.

(20)

11 BAB II

TINJAUAN UMUM KEWENANGAN PENYELESAIAN SENGKETA DALAM PEMBIAYAAN SYARIAH

A. Kerangka Konseptual

Penulis akan mendeskripsikan dan merumuskan istilah-istilah terkait dengan penelitian ini agar tidak terjadi kerancuan pemahaman terhadap istilah-istilah tersebut. Adapun istilah-istilah kunci yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Pengadilan Negeri

Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama.7

2. Peradilan Agama

Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam menimbulkan akibat hukum bagi keduanya dan dapat diberikan sanksi hukum terhadap salah satu diantara keduanya.8

3. Sengketa Konsumen

Sengketa konsumen yang dimaksud disini adalah sengketa antara Pelaku Usaha Jasa Keuangan Syariah (PUJKS) dengan konsumen/nasabah yang menuntut ganti rugi atas pelanggaran hak-hak konsumen yang dilakukan oleh PUJKS akibat memanfaatkan jasa yang disediakan oleh PUJKS.

4. Pembiayaan Syariah

Menurut Undang-Undang Perbankan Pasal 1 angka 12, Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyedia uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dan pihak lain yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu

7 Pasal 50 Undang-Undang Nomor 02 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum.

8 Amran Suadi, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Teori dan Praktik, (Depok:

Kencana, 2017), h. 11.

(21)

12

tertentu dengan imbalan atau bagi hasil. Pada perbankan syariah, pembiayaan yang diberikan kepada pihak pengguna dana berdasarkan prinsip syariah dan aturan yang digunakan yaitu hukum islam.9

5. Wanprestasi

Ingkar janji atau tidak memenuhi atau lalai melakukan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan debitur.10

B. Kerangka Teoritis

Sebagaimana penelitian hukum normatif, teori digunakan sebagai alat untuk menjelaskan, menginterpretasikan, dan menganalisis data penelitian. Berikut ini adalah teori-teori yang digunakan untuk menganalisis data dalam penelitian ini.

1. Kepastian Hukum

Kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang- undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.11

Menurut Hans Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das sollen dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dan aksi manusia yang deliberative. Undang-Undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam

9 Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah dalam perspektif kewenangan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2012), h. 6-7.

10 Titi Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana Media Group, 2008), h. 205.

11 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatau Pengantar, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2002), h. 160.

(22)

13

bermasyarakat. Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan terhadap individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum.12

2. Asas Hukum

Asas dalam Bahasa Arab disebut dengan asasun yang artinya dasar, basis, dan pondasi. Apabila dihubungkan dengan sistem berfikir, yang dimaksud dengan asas landasan berfikir yang sangat mendasar.13 Sementara istilah asas dalam bahasa Indonesia memiliki arti (1) dasar, alas, fundamen.14

Pada umumnya, asas hukum berfungsi sebagai rujukan untuk mengembalikan segala masalah yang berkenaan dengan hukum.15 Apabila asas dihubungkan dengan konteks hukum, asas dimaksudkan sebagai kebenaran yang digunakan sebagai tumpuan berfikir dan alasan pendapat, terutama dalam penegakan dan pelaksanaan hukum.

Menurut Satjipto Rahardjo, asas hukum merupakan jantungnya peraturan hukum, karena asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum, bahwa peraturan-peraturan hukum itu pada akhirnya dapat dikembalikan kepada asas-asas tersebut.

Disamping itu asas hukum layak disebut sebagai alasan lahirnya peraturan hukum, atau merupakan ratio legis dari peraturan hukum.

Melalui adanya asas hukum, maka hukum bukanlah sekedar kumpulan peraturan-peraturan, karena itu mengandung nilai-nilai dan tuntutan- tuntutan etis.

3. Konsumen

a. Pengertian Konsumen

12. Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 58.

13 Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), h. 126.

14 W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), h.60

15 Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, h, 126.

(23)

14

Pakar masalah konsumen di Belanda, Hondius menyimpulkan, para ahli hukum pada umumnya sepakat mengartikan konsumen sebagai, pemakai terakhir dari benda dan jasa; (uiteindelijke gebruiker van goederen en diensten). Dengan rumusan itu, Hondius ingin membedakan antara konsumen bukan pemakai terakhir (konsumen antara) dengan konsumen pemakai terakhir. Anderson dan Krumpt menyatakan kesulitannya merumuskan definisi konsumen, namun para ahli hukum pada umumnya bersepakat bahwa arti konsumen adalah pengguna terakhir benda dan/atau jasa (uiteindiljke gebruiker ven goede ren en diensten) yang diserahkan kepada mereka oleh pengusaha (ondernemer).16 Di Perancis, berdasarkan doktrin dan yurisprudensi yang berkembang, konsumen diartikan sebagai, “The person who obtains goods or services for personal or family purposes”. Definisi itu terkandung dua unsur, yaitu pertama, konsumen hanya orang, dan kedua, barang atau jasa yang digunakan untuk keperluan pribadi atau keluarga.17

b. Jenis-Jenis Konsumen

Berdasarkan dari beberapa pengertian konsumen yang telah dikemukakan di atas, maka konsumen dapat dibedakan kepada tiga batasan, yaitu :

1) Konsumen komersial (commercial consumer), adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa yang digunakan untuk memproduksi barang dan/atau jasa lain dengan tujuan mendapatkan keuntungan.

2) Konsumen antara (intermediate consumer), adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa yang digunakan

16 Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Kencana, 2013), h. 15-16.

17 Abdul Halim Barkatullah, “Urgensi Perlindungan Hukum terhadap Hak-hak Konsumen dalam Transaksi E-Commerce”, Jurnal Citra Hukum, Vol. 2, No. 1, (April, 2010), h. 252.

(24)

15

untuk diperdagangkan kembali dengan tujuan mencari keuntungan.

3) Konsumen akhir (ultimate consumer/ end user), adalah setiap orang yang mendapatkan dan menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan kehidupan pribadi, keluarga, orang lain, dan makhluk hidup lainnya dan tidak untuk diperdagangkan kembali dan/atau untuk mencari keuntungan kembali.18

c. Konsumen di Bidang Pembiayaan Syariah

Sesuai dengan Pasal 1 angka 17, Pasal 1 angka 18, dan Pasal 1 angka 19 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah juga memberikan pengertian tentang nasabah, yaitu pihak yang menggunakan jasa Bank Syariah dan/atau Unit Usaha Syariah yang kemudian dibagi sebagai berikut :

1) Nasabah Penyimpan, adalah Nasabah yang menempatkan dananya di Bank Syariah dan/atau Unit Usaha Syariah (UUS) dalam bentuk Simpanan berdasarkan Akad antara Bank Syariah atau Unis Usaha Syariah (UUS) dan Nasabah yang bersangkutan.

2) Nasabah Investor, adalah Nasabah yang menempatkan dananya di Bank Syariah dan/atau Unit Usaha Syariah (UUS) dalam bentuk Investasi berdasarkan Akad antara Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah (UUS) dan Nasabah yang bersangkutan.

3) Nasabah Penerima Fasilitas adalah Nasabah yang memperoleh fasilitas dana atau yang dipersamakan dengan itu, berdasarkan Prinsip Syariah.19

18 Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Kencana, 2013), h. 17-18.

19 Koeswara dan Muslimah, “Analisis Besarnya Pengaruh Kinerja Pelayanan (Service Performance) Frontliner dan Kepuasaan Nasabah Terhadap Loyalitas Nasabah Prioritas PT BCA,

(25)

16

d. Teori Perlindungan Konsumen dan Hak-hak Konsumen

Menurut Az. Nasution, perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang meliputi asas-asas atau kaidah- kaidah yang mengatur serta melindungi kepentingan konsumen.20 Senada dengan itu, Shidarta berpendapat bahwa perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan serta permasalahannya antara berbagai pihak yang berkaitan dengan barang dan/atau jasa dalam pergaulan hidup.21

Perlindungan konsumen menurut Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 1/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yaitu berbagai upaya dalam menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen dari perilaku pelaku usaha jasa keuangan. Dalam hal ini nasabah sebagai konsumen lembaga keuangan, berarti hukum memberikan perlindungan terhadap hak-hak nasabah dari perilaku pelaku usaha jasa keuangan yang mengakibatkan tidak terpenuhi hak-hak tersebut.22

Secara garis besar terdapat tiga hak konsumen yang menjadi prinsip dasar dalam perlindungan konsumen, yaitu:

1) Hak yang dimaksudkan untuk menghindari konsumen dari kerugian;

Tbk. Cabang Permata Buana dengan Pendekatan Metode Regresi Linear Multiple”, Jurnal Pasti, Vol. 8, No. 1, (2016), h. 3.

20 Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003, Cet. Pertama), h. 55.

21 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Grasindo, 2000), h. 9.

22 Pasal 1 angka 3 POJK No. 1/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.

(26)

17

2) Hak untuk mendapatkan barang dan/atau jasa dengan harga yang wajar;

3) Hak untuk memperoleh penyelesaian yang patut atas sengketa yang terjadi.

Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 1 Tahun 2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, perlindungan konsumen menerapkan prinsip transparansi, perlakuan yang adil, keandalan, kerahasiaan dan keamanan data, dan penanganan pengaduan dan penyelesaian sengketa yang cepat, sederhana, dan murah. Hal ini bertujuan untuk menciptakan sistem perlindungan konsumen yang andal dan meningkatkan kepercayaan masyarakat pada sektor jasa keuangan.

4. Kewenangan Pengadilan Agama

Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu yang diatur dalam Undang-Undang. Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Agama dilaksanakan oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama, sebagaimana pada Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Sementara itu, menurut Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, puncak Kekuasaan Kehakiman di Lingkungan Peradilan Agama berpuncak pada Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagai Pengadilan Negara Tertinggi.

Semenjak lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, maka terjadi perluasan kompentensi absolut Peradilan Agama. Semula mengadili perkara perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, wakaf, dan shodaqoh, lalu diperluas kewenangan absolutnya menjadi lembaga

(27)

18

peradilan yang berwenang dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah.

Sehingga dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menjadi berbunyi, Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:

perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah. Pada Pasal 1 angka 4 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah didefinisikan sebagai usaha atau kegiatan yang dilakukan oleh orang perorang, kelompok orang, badan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum dalam rangka memenuhi kebutuhan yang bersifat komersial dan tidak komersial menurut prinsip syariah. Perkara ekonomi syariah, berdasarkan Pasal 1 angka 4 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah meliputi perkara perbankan syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, obligasi syariah, surat berharga berjangka syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pensiun lembaga keuangan syariah, bisnis syariah, termasuk wakaf, zakat, infaq, dan shadaqah yang bersifat komersial, baik sifatnya kontensius maupun volunteer.

Menurut Yahya Harahap, ada lima tugas dan wewenang Peradilan Agama, yaitu: (1) Fungsi kewenangan mengadili; (2) Memberi keterangan, pertimbangan, dan nasehat tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah; (3) Kewenangan lain oleh atau berdasarkan atas undang-undang; (4) Kewenangan pengadilan tinggi agama mengadili

(28)

19

perkara dalam tingkat banding dan mengadili sengketa kompetensi relatif, serta (5) Bertugas mengawasi jalannya peradilan.23

5. Kewenangan Pengadilan Negeri

Pengadilan Negeri berkedudukan di setiap ibu kota kabupaten atau kota. Pengadilan Negeri berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak pidana atau perdata yang dilakukan di daerah hukumnya sesuai dengan tugas pokok Badan Peradilan Umum dalam hal menerima, memeriksa, mengadili perkara baik pidana maupun perdata.24 Pengadilan Negeri merupakan Pengadilan Tingkat Pertama untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana atau perdata bagi masyarakat pencari keadilan pada umunya, kecuali undang- undang menentukan lain (dalam hal ini undang-undang memberi kompetensi penyelesaian lain di luar Pengadilan Negeri walaupun perkara tersebut termasuk pidana maupun perdata.25

Menurut Pasal 3 Ayat (1) dan Pasal 3 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum sebagaimana telah diubah dua kali dengan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 Tentang Peradilan Umum, Pengadilan Negeri berada pada Kekuasaan Kehakiman di Lingkungan Peradilan Umum bersama dengan Pengadilan Tinggi yang berpuncak

23 Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama di Indonesia, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), hlm. 194.

24 Lihat Pasal 50 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum sebagaimana telah diubah dua kali dengan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 dan Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2004 Tentang Peradilan Umum

25 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum sebagaimana telah diubah dua kali dengan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 Tentang Peradilan Umum

(29)

20

pada Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagai Pengadilan Negara Tertinggi.26

6. Kewenangan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) Kewenangan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) diatur dalam Pasal 1 Peraturan Prosedur Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) yakni:

a. Menyelesaikan secara adil dan cepat sengketa muamalah (perdata) yang timbul dalam perdagangan, keuangan, industri, jasa dan lain- lain yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa, dan para pihak sepakat secara tertulis untuk menyerahkan penyelesaiannya kepada Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) sesuai dengan prosedur Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS);

b. Memberikan pendapat yang mengikat atas permintaan para pihak tanpa adanya suatu sengketa mengenai persoalan berkenaan dengan suatu perjanjian.

7. Kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Ketentuan Pasal 54 Undang-Undang Perlindungan Konsumen bahwa BPSK memiliki Kewenangan untuk menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen, BPSK membentuk majelis harus ganjil dan sedikitnya tiga orang anggota majelis terdiri dari ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, dan seorang anggota, majelis ini terdiri mewakili semua unsur yaitu unsur pemerintah, unsur konsumen, dan unsur pelaku usaha serta dibantu oleh seorang panitera dan putusan majelis bersifat final dan mengikat.

8. Penyelesaian Sengketa Konsumen pada Pembiayaan Syariah

26 Pasal 3 Ayat (1) dan Pasal 3 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum yang telah dirubah dua kali dengan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 Tentang Peradilan Umum

(30)

21

Sengketa konsumen pada sektor jasa keuangan syariah adalah termasuk sengketa di bidang ekonomi syariah dimana kewenangan penyelesaian sengketanya telah berada pada Peradilan Agama. Jika mengacu pada Pasal 4 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 1/POJK.07/2014 Tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan menjelaskan bahwa Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) yang akan menyelesaikan sengketa konsumen jasa keuangan haruslah memiliki sumber daya untuk dapat melaksanakan penyelesaian sengketa. Sumber daya yang dimaksud tersebut sudah seharusnya adalah mereka yang mumpuni dalam keilmuan hukum ekonomi syariah.

Menurut Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah mengenai penyelesaian sengketa yang bersangkutan dengan lembaga perbankan syariah sebagai berikut :

1) Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.

2) Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad.

3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah

Apabila Internal Dispute Resolution tidak tercapai, Pengadilan Agama sesuai daerah sengketa itu terjadi ada pilihan External Dispute Resolution yang tepat dibandingkan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Namun dalam hal penyelesaian sengketa ekonomi Syariah dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dalam Pasal 55 ayat (2) bahwa penyelesaian sengketa ekonomi syariah dapat dilakukan melalui musyawarah, mediasi, Peradilan Umum dan Peradilan Agama. Sehingga hal tersebut menyebabkan munculnya Judicial Review terhadap Pasal 55 ayat (2), dan akhirnya keluarlah Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor

(31)

22

93/PUU-X/2012 yang menyatakan kewenangan absolut menyelesaikan sengketa ekonomi syariah berada pada Pengadilan Agama.27

Berdasarkan penjelasan di atas, sudah jelas bahwa penyelesaian sengketa yang terjadi kepada konsumen di pembiayaan Syariah baik nasabah maupun Lembaga perbankan Syariah harus diselesaikan di Pengadilan Agama jika para pihaknya memilih jalur pengadilan atau litigasi. Jika para pihak yang bersengketa memilih jalur non-litigasi seperti arbitrase dan mediasi, maka kewenangan berada di Lembaga Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) dan Badan Mediasi Ekonomi Syariah (BaMES).

C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Gabriel Siallagan28, pada penelitiannya membahas tentang efektivitas upaya keberatan terhadap putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang ditinjau secara hukum adalah fokus dari penelitian tersebut.

Penelitian tersebut menemukan bahwa diperbolehkannya upaya keberatan terhadap putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) membuat penyelesaian sengketa konsumen di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) menjadi tidak efektif. Kemudian, ditemukan bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen tidak memberikan kepastian hukum status putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), sehingga yang seharusnya putusannya bersifat final dan mengikat ternyat dapat di ajukan upaya keberatan kepada Pengadilan Negeri. Perbedaan dengan penelitian yang akan penulis lakukan adalah penelitian terfokus pada efektivitas upaya keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) perkara sengketa konsumen secara umum, sementara penelitian yang akan penulis garap

27 Renny Supriyatni dan Andi Fariana, “Model Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Yang Efektif Dikaitkan Dengan Kompetensi Di Peradilan Agama Dalam Rangka Pertumbuhan Ekonomi Nasiona”l, Jurnal Jurisprudence, Vol. 7, No. 1, (Juni, 2017), h., 73.

28 Gabriel, Siallagan, Analisis Yuridis Upaya Keberatan terhadap Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam Kaitannya dengan Perlindungan Konsumen, Jurnal Nestor Magister Hukum, Vol. 3, No. 5, 2013.

(32)

23

fokusnya adalah kewenangan lembaga peradilan yang berwenang melakukan pembatalan putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) perkara sengketa konsumen jasa keuangan syariah.

Ahmad Wahyudi29, pada penelitiannya membahas tentang kekuatan eksekutorial sertipikat jaminan fidusia tanpa melalui benda objek fidusia dengan sertipikat jaminan fidusia namun lebih fokus dengan pembatalan eksekusi terhadap objek perjanjian fidusia.

Netty Prahmaningtyastuti30, pada penelitiannya membahas tentang pelaksanaan eksekusi objek yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, karena perjanjian fidusianya tidak didaftarkan melalui Notaris dan hanya dilakukan dibawah tangan. Namun perbedannya pada skripsi tersebut fokus pada pelaksanaan eksekusi jaminan yang akan dilakukan peneliti ini fokus kepada pembatalan eksekusi jaminan fidusia.

Kusumastuti Indri Hapsari31, pada penelitiannya membahas tentang obyek jaminan fidusia sebagai jaminan kredit yang dialihkan kepada pihak ketiga dan eksekusi jaminan fidusia yang beralih kepada pihak ketiga.

Perbedaannya pada jurnal tersebut lebih fokus kepada pengalihan obyek jaminan fidusia kepada pihak ketiga sehingga eksekusi jaminan fidusia juga beralih ke pihak ketiga, sedangkan penelitian yang akan dilakukan peneliti ini lebih fokus kepada pembatalan eksekusi benda objek perjanjian fidusia yang diajukan oleh debitur kepada pengadilan.

29 Ahmad, Wahyudi, “Analisa Hukum Terhadap Kekuatan Eksekutorial Sertipikat Jaminan Fidusia (berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia)” Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014.

30 Netty, Prahmaningtyastuti, “Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Eksekusi Terhadap Benda Jaminan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia (Studi Kasus Pada PT. Kembang 88 Surakarta)”, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2015.

31 Kusumastuti Indri Hpsari, “Kajian Yuridis Eksekusi Obyek Jaminan Fidusia Yang Dialihkan Kepada Pihak Ketiga”, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2017.

(33)

24

Andryawan32, pada penelitiannya ini lebih fokus untuk menyelidiki ketidakpastian hukum terhadap lembaga Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) yang berwenang menyelesaikan sengketa konsumen di sektor jasa keuangan. Penelitian tersebut menemukan bahwa, terdapat ketidakpastian hukum yang timbul akibat adanya peraturan yang tidak secara tegas mengatur Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) mana yang berwenang dalam menyelesaikan sengketa konsumen di sektor jasa keuangan. Sehingga, timbul akibat hukum bahwa konsumen tetap dapat memilih menyelesaikan sengketanya dengan pelaku usaha di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, maupun di Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) yang telah diatur pada POJK Nomor 1/POJK.07/2014 Tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan. Penulis menemukan beberapa perbedaan dari penelitian tersebut dengan penelitian yang akan penulis garap. Pertama, objek penelitian tersebut adalah penyelesaian sengketa konsumen di sektor jasa keuangan konvensional, sementara penulis akan melakukan penelitian terhadap penyelesaian sengketa konsumen di sektor jasa keuangan syariah. Kedua, penelitian tersebut hanya sebatas pada Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) yang berwenang dalam menyelesaikan sengketa konsumen di sektor jasa keuangan, sementara penulis akan melakukan penelitian terhadap lembaga peradilan yang berwenang dalam membatalkan putusan arbitrase Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dalam perkara sengketa konsumen di sektor jasa keuangan syariah.

Ribka Marshella Weenas33, pada penelitiannya membahas tentang BPSK di daerah tingkat/kabupaten kota dalam penyelesaian sengketa di luar

32 Andryawan, Dualisme Penyelesaian Sengketa Konsumen di Sektor Jasa Keuangan, Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni Vol. 1, No. 2, Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara Jakarta, 2017.

33 Ribka Marshella Weenas, Legalitas Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Dalam Upaya Perlindungan Hak-Hak Konsumen Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tentang Perlindungan Konsumen, Jurnal Lex Privatum Vol. VII, No. 2, 2019.

(34)

25

pengadilan sudah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999. Badan ini merupakan peradilan kecil (Small Claim Court) yang melakukan persidangan dengan menghasilkan keputusan secara cepat, sederhana dan dengan biaya murah sesuai dengan asas peradilan.

Bakrie Ahmad Fa’da34, pada penelitiannya membahas tentang kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) melakukan penyelesaian perkara sengketa ingkar janji (wanprestasi) di bidang jasa keuangan syariah tidak tepat dan tidak sesuai dengan peraturan perundang- undangan. Karna kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus (kompetensi absolut) perkara keberatan atas putusan arbitrase Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) di bidang jasa keuangan syariah adalah kompetensi absolut Pengadilan Agama.

34 Bakrie Ahmad Fa’da, “Kewenangan Mengadili Perkara Keberatan Atas Putusan Arbitrase Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Jasa Keuangan Syariah (Studi atas Putusan Mahkamah Agung Nomor 735 K/Pdt.Sus-BPSK/2017)” Skripsi Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2020.

(35)

26 BAB III

PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH OLEH BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN A. Kedudukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Peradilan Konsumen disebutkan bahwa, BPSK merupakan lembaga peradilan konsumen di Daerah Tingkat II Ibu Kota Daerah Kabupaten atau Daerah Kota di seluruh Indonesia. Tugas utamanya adalah memberikan perlindungan kepada konsumen sekaligus menangani penyelesaian sengketa di luar lembaga peradilan umum.

Adapun anggota BPSK terdiri dari aparatur pemerintah, pelaku usaha, konsumen, dan produsen yang mendapatkan amanah khusus dari Menteri. Selama menangani kasus konsumen,BPSK berhak melakukan pemeriksaan validasi laporan, meminta bukti, hasil tes laboratorium, serta bukti lain terkait pihak yang bersengketa.35

B. Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)

Tugas dan wewenang BPSK diatur dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen jo. Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen meliputi:

a. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;

b. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen;

c. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;

35 https://smartlegal.id/galeri-hukum/perlindungan-konsumen/2019/01/02/apa-peranan-

badan-penyelesaian-sengketa-konsumen-indonesia/ di akses 18 Juli 2021, jam 02:35

(36)

27

d. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam undang-undang ini;

e. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

f. melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;

g. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

h. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang ini;

i. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen;

j. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;

k. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen;

l. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

m. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini.

Sesuai dengan isi dari undang-undang tersebut bahwa penulis berpendapat BPSK memiliki kewenangannya dalam menyelesaikan sengketa konsumen dan pelaku usaha dalam bidang perbankan, dikarenakan dalam kasus putusan yang peneliti angkat, BPSK hanya melaksanakan tugasnya yang sebatas memenuhi hak-hak yang dimintakan oleh konsumen yaitu hak untuk mendapatkan informasi yang jelas dan tidak multitafsir, dan juga BPSK hanya mengeluarkan penetapan yang dimana suatu penetapan tidak bisa diajukan keberatan atau banding, apabila pelaku usaha merasa

(37)

28

keberatan dalam mediasi tersebut, seharusnya langkah yang diambil oleh pelaku usaha adalah menempuh jalur arbitrase.

C. Prosedur Pengajuan Sengketa ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)

Prosedur pengajuan sengketa ke BPSK tidaklah rumit atau cukup sederhana. Para pihak yang bersengketa baik dari unsur konsumen maupun pelaku usaha bisa langsung datang ke BPSK Provinsi di mana mereka berdomisili, tentunya dengan membawa permohonan penyelesaian sengketa, kemudian para pihak mengisi form pengaduan yang telah disediakan di BPSK yang disertai dengan berkas-berkas dokumen yang mendukung pengaduan antar mereka.36

Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1998 tentang Perlindungan Konsumen, sengketa konsumen dimulai pada saat konsumen menggugat pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memenuhi ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), baik melalui BPSK atau Badan Peradilan di tempat kedudukan konsumen. Berdasarkan Pasal 16 Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

Permohonan penyelesaian sengketa konsumen di BPSK, dibuat secara tertulis dan memuat informasi sebagai berikut:

a. Nama dan alamat lengkap konsumen, ahli waris atau kuasanya disertai bukti diri;

b. Nama dan alamat lengkap pelaku usaha;

c. Barang atau jasa yang diadukan;

d. Bukti perolehan (bon, faktur, kwitansi, dan dokumen bukti lain);

36 Lalu Sultan Alifin dan Zainal Asikin, “Kedudukan Hukum Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Dalam Sistem Peradilan di Indonesia”, Media Bina Ilmiah, Vol.13 No.10, (Mei, 2019) h.1712.

(38)

29

e. Keterangan tempat, waktu, dan tanggal diperoleh barang atau jasa tersebut;

f. Saksi yang mengetahui barang atau jasa tersebut diperoleh;

g. Foto-foto barang dan kegiatan pelaksanaan jasa, jika ada.

Permohonan penyelesaian sengketa konsumen yang dibuat secara tertulis kemudian diterima oleh Sekretariat BPSK yang dalam hal ini bertugas sebagai Panitera berdasarkan Pasal 19 Kepmenperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001. Kemudian konsumen diberikan tanda terima dan berkas permohonan tersebut dibubuhi tanggal dan nomor registrasi.

Setelah berkas-berkas permohonan dilengkapi dan disertai bukti-bukti yang cukup, data pengaduan tersebut diajukan oleh sekretariat kepada Ketua BPSK, selanjutnya Ketua BPSK membuat surat panggilan kepada Pemohon dan Termohon. Ketua BPSK juga harus membentuk majelis dan menunjuk panitera, hal ini harus dilakukan sebelum sidang pertama. Bagi pengaduan yang tidak lengkap, pengaduan tersebut dikembalikan kepada pengadu untuk dilengkapi.37

Ketua BPSK memanggil pelaku usaha selambat-lambatnya dalam waktu 3 (tiga) hari sejak permohonan penyelesaian sengketa diterima secara benar dan lengkap sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 Kepmenperindag Nomor 350 Tahun 2001. Surat panggilan tersebut dicantumkan secara jelas mengenai hari, tanggal, jam dan tempat persidangan serta kewajiban pelaku usaha untuk memberikan surat jawaban terhadap penyelesaian sengketa konsumen dan disampaikan pada hari sidang pertama.

Sebelum persidangan ada suatu tahap yang dinamakan prasidang.

Prasidang ini tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen maupun Kepmenperindag Nomor 350

37 Faisal Riza dan Rachmad Abduh, “Penyelesaian Sengketa secara Arbitrase untuk Melindungi Konsumen Melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen”, Jurnal EduTech, Vol.

4, No. 1. (Maret, 2018), h. 33.

(39)

30

Tahun 2001. Pemanggilan awal yang dilakukan kepada pelaku usaha ialah pemanggilan kepada para pihak yang bersengketa untuk menghadiri prasidang. Pra sidang ini merupakan suatu tahap untuk mempertemukan para pihak bersengketa untuk menentukan cara penyelesaian sengketa yang akan digunakan dan penunjukkan majelis.38

Namun ada kendala dalam pemanggilan pelaku usaha tersebut, karena pelaku usaha belum tentu dapat memenuhi panggilan, bahkan bisa saja tidak bersedia untuk menyelesaiakan sengketanya melalui BPSK. Atas hal tersebut, Ketua BPSK mempunyai kebijakan tersendiri dalam hal mencari cara untuk tetap melanjutkan proses sengketa konsumen yang diajukan oleh pihak konsumen. Karena jika tidak, maka sidang arbitrase tidak dapat berjalan, karena pada dasarnya pihak pelaku usaha akan merasa tidak memiliki kewajiban untuk menjalankan penyelesaian sengketa konsumen secara arbitrase dan asas kepastian hukum dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak akan terwujud.16 Kebijakan Ketua BPSK tersebut, tentunya mempunyai dasar hukum, yaitu Pasal 43 ayat (1) Kepmenperindag Nomor 350 Tahun 2001 yang menyatakan “Ketentuan teknis dalam beracara persidangan yang belum cukup diatur dalam Keputusan ini diatur lebih lanjut oleh Ketua BPSK”.

Proses persidangan 1 (pertama) berdasarkan Pasal 26 ayat (3) Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dilaksanakan selambat-lambatnya pada hari kerja ke-7 (tujuh) terhitung sejak diterimanya permohonan penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK. Menurut Pasal 34 ayat (1) Pasal 26 ayat (3) Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, pada hari persidangan 1 (pertama) Ketua Majelis wajib mendamaikan kedua belah pihak yang

38 Faisal Riza dan Rachmad Abduh, “Penyelesaian Sengketa secara Arbitrase”, … h. 34.

Referensi

Dokumen terkait

(2) Dalam hal tindak pidana lalu lintas dilakukan Perusahaan Angkutan Umum, selain pidana yang dijatuhkan terhadap pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

Sedangkan untuk jenis perpustakaan khusus biasanya memiliki pustakawan ahli dan petugas lapangan dalam jumlah yang tidak terlalu banyak, mengingat yang menjadi pengguna pada jenis

Petunjuk teknis disusun dengan tujuan agar dapat dijadikan sebagai petunjuk bagi pemangku kepentingan dalam melaksanakan seleksi, pengajuan, penyaluran, penyelenggaraan,

Namun masalah yang sering muncul adalah bagaimana cara untuk merepresentasikan pengetahuan di antaranya adalah menerapkan sistem pakar yang telah terkomputerisasi

Skenario kelima (Kompresor di Masing- Masing SP, Infill Drilling, Open Choke, mengganti tubing pada struktur D dan E) didapat hasil yang Memuaskan, dimana produksi dapat

- Ekplorasi Ide-Ide Bentuk dan Transformasinya untuk melingkupi Pra-Denah 16 (Skematik Desain: Bentuk, Struktur, Kulit & Fasade Bangunan) - Pengembangan Model Bangunan

dapat merubah urutan integrasi dengan mengacu pada sketsa daerah integrasi

Ketentuan perincian daftar kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dan kewenangan lain