• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemberontakan Kaum Budak di Negeri Budak

Dalam dokumen Buku Kumpulan Resensi RIUH.pdf (Halaman 45-52)

Negro adalah padanan untuk keras kepala, pembangkang, penjahat. Karena alasan-alasan itulah budak-budak Negro dihargai sangat murah di pasaran. –Alejo Carpentier.

Penindasan rasa-rasanya akan terus menjadi topik yang tak pernah usai. Sebuah novel satir nan tragis karya penulis Kuba, Alejo Carpentier yang bercerita tentang pemberontakan budak-budak Haiti. Ini kisah tentang orang-orang Negro yang menyedihkan. Mereka tinggal di Prancis dan menjadi budak para tuan tanah di kota Cap Francais. Adalah Ti Noël seorang budak Negro yang bekerja di perkebunan Plaine du Nord milki tuan Leonormand de Mezy. Ti Noël memiliki sahabat yang sering memberinya cerita-cerita heroik bernama Macandal yang juga seorang budak Negro. Diceritakan oleh Macandal bahwa raja-raja Negro perang dengan kuda, gagah berani melawan musuh. Sedang raja kulit putih menjadi penguasa hanya ketika di panggung teater. Suka mendengar biola daripada mendengar gertak meriam.

Suatu hari terjadi kecelakaan di perkebunan, tangan Macandal tergilas alat penggiling yang mengakibatkan tangannya diamputasi sehingga ia hanya bertangan satu. Di deritanya itu Macandal tiap hari melihat budak-budak Negro diperlakukan tak adil oleh para tuan pemilik tanah. Lalu Macandal mengasingkan diri sambil terus mempelajari aneka tanaman di sekitar perkebunan hingga ia lari ke hutan. Novel ini tak lepas dari misitisisme saat Macandal

46 Kumpulan Resensi: RIUH. PESTA PORA KHAOS.| Isma Swastiningrum

menemui Maman Loi, wanita tua yang dianggap orang penyihir. Macandal lari ke sebuah goa, Ti Noël tak lagi dapat menemuinya.

Tiba-tiba kota Cap Francais terkena wabah yang mengerikan yang dialami seluruh kota. Tanaman gagal, ternak pada mati, manusia pada penyakitan. Orang-orang kulit putih bilang ini adalah perbuatan Macandal karena racun jamurnya. Lalu dicarilah rebel bunting tangan itu. Dengan sihirnya Macandal mampu melarikan diri, tapi naas, ia tertangkap dan dibakar.

Setelah kematian Macandal, berpuluh tahun kemudian pemberotakan kaum kulit hitam tak berhenti. Lahir singa baru sosok budak Jamaika bernama Bouckman. Pemimpin baru Negro ini laksana orang yang membunyikan terompet berbentuk keong raksasa pada para budak untuk menjarah para tuannya. Yang amarah ini lebih ditenggarai karena perlakuan golongan kulit putih yang sewenang-wenang pada kulit hitam. Mereka melakukan hal-hal biadab dengan motif balas dendam. Namun, tindakan reaksioner ini kalah dengan cita-cita revolusi sesungguhnya yang harusnya menumbuhkan kemajuan baru. Alhasil, Bouckman pun jadi cacing empuk yang dilindas lars serdadu kulit putih.

Karena hura-hura Bouckman kota menjadi tidak aman dan pindahlah orang-orang ke Santiago de Cuba. Di kota itu Ti Noël yang tua pindah bersama tuannya de Mezy dan tuannya kalah taruhan judi sehingga Ti Noël jadi taruhan dan pindah ke majikan baru. Ti Noël tak betah dan memberontak, ia ingin kembali ke kota lamanya Cap Francais. Di sana ternyata sudah dipimpin oleh penguasa baru, raja pertama kulit hitam di daerah itu bernama Henri Christophe. Istana nan megah bernama Sans Souci didirikan di atas bukit.

Yang lebih menyesakkan lagi si Henri lebih kejam dari perlakuan kulit putih. Ia membudakkan kaumnya sendiri dalam membangun kerajaannya. Diceritakan oleh Carpentier: …lebih parah, karena di sini orang-orang menanggung hinaan yang tak kepalang akibat dipukul sesama Negro, sama-sama berbibir tebal, sama-sama memiliki kepala berkutu, sama-sama berhidung pesek; sama-sama dilahirkan nista; dan barangkali juga sama-sama diperjualbelikan (hal. 112). Tragis, pemimpin segolongan yang harusnya memberi kehidupan baru malah mengkhianati kaumnya sendiri. Hingga di Sans Souci ada pemberontakan lagi yang mengakibatkan si tiran Henri dengan rezim brutalnya ini bunuh diri. Ternyata jiwa pemimpin besar ini tak lebih besar dari si budak hitam Ti Noël.

47 Kumpulan Resensi: RIUH. PESTA PORA KHAOS.| Isma Swastiningrum

Sangat kompleks, novel tipis ini memperlihatkan kita tentang banyak hal. Terlebih masa dark age-nya kaum Negro di Prancis bersama orang-orang transmigrannya. Senada dengan realisme magis yang juga ditawarkan oleh tulisan-tulisan Marquez atau pemberontakan dalam teks-teks Borges, di novel ini juga diterangkan tentang kemistisan dan tradisi Negro yang kental dengan animisme dan dinamismenya. Juga tentang bangsa Voodoo, sebuah komunitas kepercayaan marjinal. Yang tak masuk akal lagi ketika Ti Noël bisa menjelma menjadi hewan dari burung, semut, sampai angsa. Tapi dalam penjelmaannya itu ia tetap saja ditindas oleh sesama angsa. Suku angsa yang katanya menolak keunggulan individual antar sesamanya, tetap saja layaknya kaum ningrat.

Aneka pemberontakan para kulit hitam dikisahkan Carpentier seperti menguliti bawang merah yang berlapis-lapis. Misalkan, apa yang dilakukan Macandal merupakan bentuk pemberontakannya akan dirinya dan kaumnya. Tak peduli warna kulit sesesorang, jika kemanusiaannya terusik dan ia marah ia bisa menjadi monster apa saja. Macandal dengan semua keterbatasannya digambarkan Carpentier sebagai salah seorang tokoh revolusioner: si lelaki bertangan satu, pembaharu dan pembawa angin perubahan.

Ditulis dengan sebuah kejujuran akan respon Carpentier pada peristiwa yang terjadi di masanya, tema besar yang ingin dikatakan oleh Carpentier adala soal revolusi. Rasa-rasanya memang benar jika tiap pembangkangan dibungkam dengan darah dan kematian. Lalu orang siap dengan jiwa Phoenix-nya yang bangkit dari abu kematiannya. Novel ini menyisakan pertanyaan Carpentier: ―Apa yang diketahui orang kulit putih tentang masalah orang kulit hitam?‖.

Judul: Negeri Kaum Budak (terjemahan dari The Kingdom of This World)│ Penulis: Alejo Carpentier │ Penerjemah: Jimmi Firdaus │ Penerbit: Olongia │ Tahun: 2007 │ Tebal: 172 halaman │ Peresensi: Isma Swastiningrum

(Diterbitkan lpm_arena 7 January 2016

48 Kumpulan Resensi: RIUH. PESTA PORA KHAOS.| Isma Swastiningrum

Reklame Tanah Surga

Di antara rumah-rumah panggung yang ada di Kalimantan, konflik diawali dari percekokan antara Hasyim dan anaknya Haris yang tinggal di daerah perbatasan Kalimantan Barat dan Serawak (Malaysia). Haris berkata pada Hasyim ingin tinggal dan pindah kewarganegaraan Malaysia. Hasyim berkoar jika kesejahteraan di Malaysia lebih baik, jaminan kesehatan ditanggung, dan ia beserta dua anaknya, Salman dan Salina akan bisa hidup dengan laik di Malaysia. Percekcokan itu menghasilkan keputusan, Haris ngotot pindah ke Malaysia membawa Salina, dan Hasyim tinggal bersama cucunya, Salman.

Hasyim yang memiliki jiwa nasionalisme dan patriotisme yang kuat, otomatis merasa harga dan harta jiwanya diinjak-injak oleh pilihan anaknya itu. Dulunya, Hasyim adalah mantan seorang pejuang tahun 1965, Hasyim masih mengenang bagaimana Malaysia melanggar perjanjian manila. Di mana garuda diinjak-injak dan foto Soekarno disobek-sobek. Hingga buntutnya adalah operasi dwikora, saat rakyat Indonesia menyatakan perang dengan Malaysia.

Kemudian, di daerah perbatasan itu datang seorang dokter dari Bandung bernama Anwar (dipanggil Dokter Intel), yang bertemu dengan seorang guru SD bernama Astuti. Dua orang ini datang dengan kesadaran berbeda. Anwar datang atas kesadaran semi kritis, di mana dokter di Bandung telah banyak, praktiknya sepi dan dia lebih banyak menganggur. Sehingga Anwar memutuskan untuk mencoba area baru di daerah perbatasan dan ternyata di daerah di itu dia merasa lebih berguna menjadi dokter. Sedangkan Astuti, datang ke tempat itu secara tidak sengaja dan tersesat. Ceritanya saat rapat dengan guru-guru, kepala sekolah menawari siapa guru yang mau ditempatkan di daerah perbatasan? Ketika ketiak Astuti gatal, tak sengaja tangannya terangkat dan kepala sekolah memutuskan bahwa Astuti bersedia.

49 Kumpulan Resensi: RIUH. PESTA PORA KHAOS.| Isma Swastiningrum

Ironi. Satu kata yang mewakili sekian banyak realitas masyarakat yang tinggal di daerah perbatasan. Masyarakat perbatasan adalah lumbung para lumpen, mereka yang tersingkir dari arena kegaduhan sektor formal, pun informal. Kaum lumpen dalam masyarakat merupkan tenaga inti yang paling tidak revolusioner. Kelemahan dari kelompok ini adalah sikap pragmatis dan oportunistiknya, seperti yang terwakilkan dari sosok Haris. Jika ada orang yang berkeinginan lebih ke arah lebih baik, meski kewarganegaraan terampas, seperti kata Astuti, ―siapa yang melarang?‖. Titik-titik simpul ironi lainnya dalam film Tanah Surga Katanya, yakni:

Krisis identitas. Di daerah perbatasan masyarakat lebih menghafal lagu Kolam Susu

Koes Plus sebagai lagu kebangsaan, daripada menghafal lagu kebangsaan Indonesia Raya.

Masyarakat, dari rakyat biasa sampai anak SD tak mengenal benderanya sendiri. Bahkan di suatu pasar di Malaysia, Salman menyaksikan sendiri bendera merah putih dijadikan buntel

(pembungkus) dan lemekan (tatakan) dagangan. Bayangkan, ada segelintir tetangga negara kita sendiri yang menempatkan pusaka merah putih kita sebagai lap!

Identitas lain ada pada nilai tukar, yakni mata uang. Di daerah perbatasan tersebut masyarakat Indonesia yang hidup di sana dipaksa/terpaksa mengedarkan nilai tukarnya dengan mata uang ringgit. Sebab, kebanyakan pedagang di daerah perbatasan berdagang di Malaysia sehingga harus menggunakan mata uang Malaysia. Pun ini menyebar pada bahasa, orang-orang perbatasan bahasa dan logat mereka suda tak murni lagi. Ah, betapa menyakitkan jika suatu negara sudah tak memiliki identitasnya lagi. Ia rasanya tak pantas disebut negara.

Mutu pendidikan. Di perbatasan, kecil kemungkinan menghasilkan murid-murid yang cerdas. Tak usah dulu kita berbicara tentang materi atau buku-buku yang tersedia, apalagi muluk-muluk membicarakan tentang kesadaran atau hak asasi pendidikan. Di perbatasan, sumber daya guru sangat memprihatinkan. Satu guru bisa mengajar hingga dua bahkan sampai enam kelas. Belum lagi satu ruang yang juga dibagi untuk beberapa kelas. Boro-boro pendidikan gaya bank yang dikritik Paulo Freire, kapasitas guru dan murid untuk menjadi bank dan celengannya pun belum memenuhi syarat. Tak khayal ketika Anwar menggantikan Astuti menjadi guru, anak-anak kelas empat, satu kelas mendapat nilai nol, hanya dua yang tidak mendapat nilai nol, yaitu nilai empat yang diraih Salman dan nilai satu yang didapat Linda.

50 Kumpulan Resensi: RIUH. PESTA PORA KHAOS.| Isma Swastiningrum

Jamiman kesehatan. Tak hanya kekurangan guru, daerah perbatasan juga kekurangan dokter. Pun rumah sakit sangat jauh, harus ke negara tetangga. Betapa mulianya Salman yang harus mengumpulkan uang 400 ringgit untuk mengajak kakeknya, Hasyim yang sakit parah ke rumah sakit. Mengorbankan waktunya yang indah untuk bekerja, ketika teman- teman seumurannya tengah asyik bermain bola. Di sisi lain, bahkan Anwar yang idealnya dokter orang, harus menjadi dokter manusia dan dokter hewan sekaligus. Sangat lucu ketika ada adegan Anwar mengobati pasien bernama sofia, yang tak lain adalah sapi yang sedang stress. Sofia bagi pemiliknya adalah yang terbaik. Dan masyarakat membayar jasa dokter dengan setandan pisang, durian, atau bahan makanan yang lain.

Minim infrastruktur. Di perbatasan, fasilitas sungguh sangat minim. Sangat miris ketika membandingkan jalan di area perbatasan Malaysia yang telah terlapis aspal dengan Indonesia yang masih tanah coklat muda Kalimantan. Belum lagi fasilitas publik lainnya, dari listrik, sekolah, rumah sakit, jalan raya, hingga sinyal.

Hal lain, tentang ekonomi. Meski film ini cukup relevan menggambarkan kondisi perbatasan Indonesia, tapi dari segi ekonomi masyarakat di daerah perbatasan, sangat sedikit sekali diekspos. Padahal, ekonomi menjadi basis dan menopang sektor-sektor lainnya. Mereka rata-rata diperlihatkan hanya menjalani pekerjaan sebagai pedagang.

Nasionalisme ibarat pula bagian dari suatu sikap, tapi pemerintah sering melukai nasionalisme itu lewat kecuekan dan kebijakan hukumnya. Ini tak sebatas hanya menyoal perbatasan di Kalimantan, tapi juga perbatasan Indonesia di daerah yang lain yang lebih luas. Mereka yang di pinggir selalu bernasib menjadi bagian yang tak penting. Puisi yang dibacakan Salman saat upacara, di depan seorang pejabat yang korup, yang berkunjung ke sekolah miskin perbatasan itu, begitu mewakili keadaan perbatasan sesungguhnya:

―Bukan lautan, hanya kolam susu,‖ katanye

Tapi, kata kakekku hanya orang-orang kaya yang bisa minum susu

―Kail dan jala cukup menghidupimu,‖ katanye

Tapi, kata kakekku ikan-ikan kita dicuri oleh banyak negara

51 Kumpulan Resensi: RIUH. PESTA PORA KHAOS.| Isma Swastiningrum

Tapi, kenapa ayahku tertiup angin ke Malaysia?

―Ikan dan udang menghamipiri dirimu,‖ katanye

Tapi, kata kakek, awas! Ada udang di balik batu

―Orang bilang tanah kita tanah surga

Tongkat, kayu, dan batu jadi tanaman,‖ katanye

Tapi kata Dokter Intel, belum semua rakyatnya sejahtera

Banyak pejabat yang memjual kayu dan batu untuk membangun surganya sendiri

Indonesia yang dikatakan ―Tanah Surga‖ tak ubahnya reklame-reklame manis semata. Indonesia tanah surga adalah bullshit, Indoneisa masih belum terurus. Makin hari makin dicengkeram semangat neoliberalisme, lewat hutan-hutan, tanah-tanah, dan kail-kail rakyat yang dicuri.

Dalam film ini, alternatif yang ditawarkan ialah menjadi mandau-mandau baru yang memenggal habis imperalisme di Indonesia lewat pendidikan anak-anak perbatasan. Masa depan perbatasan ada pada generasi-generasi muda, seperti Salman, Linda, dan Lized. Juga membangun semangat nasionalisme, seperti yang dikatakan Hasyim di detik-detik akhir hidupnya: ―Indonesia tanah surga, apapun yang terjadi pada dirinya. Jangan sampai kehilangan cinta pada negeri! Genggam erat cita-cita, katakan pada dunia dengan bangga, kami bangsa Indonesia!‖. Bahwa dalam kondisi kita saat ini, kalimat Hasyim tersebut bukan hanya menjadi optimisme buta semata.

Judul Film Tanah Surga Katanya │ Sutradara Herwin Novianto │Negara Indonesia │ Produksi Citra Sinema │ Tahun 2012 │ Pemain Aji Santosa, Fuad Idris, Tissa Biani Azzahra, Ence Bagus, Astri Nurdin│ Durasi 89 Menit │ Peresensi Isma Swastiningrum

(Diterbitkan lpm_arena3 December 2016 di link http://lpmarena.com/2016/12/03/reklame-tanah- surga/)

52 Kumpulan Resensi: RIUH. PESTA PORA KHAOS.| Isma Swastiningrum

Girl Rising: Narasi Ketertindasan

Dalam dokumen Buku Kumpulan Resensi RIUH.pdf (Halaman 45-52)

Dokumen terkait