• Tidak ada hasil yang ditemukan

Buku Kumpulan Resensi RIUH.pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Buku Kumpulan Resensi RIUH.pdf"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

2 Kumpulan Resensi: RIUH. PESTA PORA KHAOS.| Isma Swastiningrum Untuk:

ARENA, tempat main yang ada-ada saja

(3)

3 Kumpulan Resensi: RIUH. PESTA PORA KHAOS.| Isma Swastiningrum

Mengantar…

Buku saku sederhana ini berisi kumpulan resensi yang berjumlah sepuluh. Resensi tidak hanya mengupas tentang buku atau film saja, tetapi juga pameran lukisan, album musik, pentas musik, dan yang belum kesampaian adalah teater. Semua resensi telah diterbitkan di website lpmarena.com sebagai bentuk apresiasi, kritik, dan celoteh saya pada karya-karya yang saya temui, yang rasanya begitu kompleks. Akan pesan, rasa, pikiran, dan semiotika yang terkandung. Semoga bermanfaat.

Daftar Isi:

1. Papua: Yang Berdaya dalam Ratapan 2. RIUH. Pesta Pora Khaos.

3. Simulacra di Tengah Kedangkalan Hyperkonsumerisme 4. Renovasi Tragis di ―Balada Joni dan Susi‖ Melancholic Bitch 5. Tergantung Bunyi, Tergantung Harik

6. Proyek Abadi Lapar

7. Sastra dan Kemanusiaan ala Pramis

8. Pemberontakan Kaum Budak di Negeri Budak 9. Reklame Tanah Surga

10.Girl Rising: Narasi Ketertindasan Perempuan di Sembilan Negara

Tentang Penulis:

(4)

4 Kumpulan Resensi: RIUH. PESTA PORA KHAOS.| Isma Swastiningrum

Papua: Yang Berdaya dalam Ratapan

(5)

5 Kumpulan Resensi: RIUH. PESTA PORA KHAOS.| Isma Swastiningrum

Tak khayal, di sudut luka kemanusiaan, ia melahirkan suatu ratapan. Dalam Bahasa Sentani, Papua, ratapan diungkapkan sebagai remahili (dari asal riemahili). Tradisi remahili

biasa dilakukan orang Sentani ketika ada handai taulan atau keluarga yang meninggal. Orang yang ditinggal pergi meratap dengan cara yang khas. Ada yang bersenandung, menyanyi , bahkan sambil menari hanya untuk menggambarkan kesedihan saat ditinggal seseorang yang dicintai. Sebagai ungkapan komplikasi: kenapa kamu pergi?

Nilai-nilai kemanusiaan dalam ratapan inilah yang coba digali oleh dua perupa Papua, Ignasius Dicky Takndare dan Albertho Wanma dalam pameran seni rupa bertajuk

REMAHILI. Dicky dan Bertho merupakan mahasiswa jurusan Seni Rupa Murni ISI Yogyakarta angkatan 2006 dan 2012. Pemeran yang digelar di Bentara Budaya Yogyakarta/BBY dari tanggal 15-23 Oktober 2016, menghadirkan sekitar 17 karya yang terdiri dari lukisan dan karya-karya instalasi. Hanya saja, pameran ini tidak secara spesifik berbicara tentang ratapan. Namun, Dicky dan Bertho memberi makna baru bukan ratapan secara individu, melainkan mengenai ratapan keadaan sosial yang ada di Papua.

Dicky, ketika saya wawancara pada Senin (17/10) di BBY, mengaku isu-isu yang ia sampaikan bukanlah isu-isu politik seperti yang tengah berkembang di Papua saat ini, tetapi isu yang ingin ia dan Bertho sampaikan adalah isu tentang budaya dan manusia. ―Tentang masalah HAM PAPUA telah banyak data. Kamu harus tahu masalah Papua sebelum menulis. Cari masalah antara Papua dengan pribumi dan Papua kami rakyat,‖ begitu pesan Dicky mengingatkan saya.

HAM menjadi masalah serius di Papua. Kompleksitas masalah itu Dicky dan Bertho rangkum dalam lukisan berjudul DOM #4, DOM #2, Tanpa Nama, The Silent Voice, Meangge Phuyakha Tears, Silent Target 2, Besokhate, Romamun, dan Na Ko Mar. Lukisan-lukisan ini menggambarkan orang-orang Papua yang dikawat wajahnya, dijahit bibirnya, dipenjara otaknya, dijadikan target sasaran perluru, hingga ditinggal mati di jalan. Bahwa ketika ada orang yang dibunuh, tidak peduli dia tentara atau orang biasa ia adalah manusia yang memiliki hak asasi untuk hidup.

(6)

6 Kumpulan Resensi: RIUH. PESTA PORA KHAOS.| Isma Swastiningrum

kekayaan berupa emas, tembaga, sumber daya alam yang melambangkan kekayaan alam. Buat orang Papua, hasil ini justru ancaman (romamun) buat Papua.

(7)

7 Kumpulan Resensi: RIUH. PESTA PORA KHAOS.| Isma Swastiningrum

Dua perupa ini mengkritik pula Papua yang memiliki banyak suku, saat ini mulai kehilangan ke-PAPUA-annya. Banyak orang yang secara tampilan Papua, tapi apakah benar dia itu orang Papua? Semisal dalam karya berjudul Ana ye Ana, Rum Mamun, dan Koboro-Koboro Yae. Dalam lukisan Ana ye Ana yang singkatnya berarti ibu oh ibu digambarkan seorang ibu dari Suku Dani, salah satu suku yang berasal dari daerah pegununggan Papua. Ibu tersebut dikepalanya tersampir tas plastik putih produksi salah satu mart terkenal sebagai ganti dari noken (tas tradisional Papua). Secara garis besar, Ana ye Ana berbicara mengenai tragedi, cinta, dan harapan.

Ana ye Ana menggambarkan seorang ibu dengan wajah berharap dan tangan seperti orang berdoa. Jika diperhatikan dengan saksama, jari-jari kiri dari tangan ibu tersebut telah putus. Suku Dani memiliki tradisi remahili yang unik, ketika ada orang yang sangat dicintai meninggal, maka orang yang ditinggal mati akan memutus jari tangannya sebagai simbol cinta. Fenomena sekarang, kadang ketika masalah (semisal) kematian datang, orang tak hanya cukup melawan dengan kesedihan, bahkan juga dengan kekerasan.

(8)

8 Kumpulan Resensi: RIUH. PESTA PORA KHAOS.| Isma Swastiningrum

Orang butuh sesuatu yang sakral untuk menenangkan dirinya, tapi sekarang terganti dengan hal-hal profan. Yang paling menggejala ialah menjadi budak selfie! Seolah, dimanapun selfie menjadi ibadah wajib yang kemudian dibukukan dalam stellar, instagram, fesbuk, dan twitter. Dicky mengkritik keras ibadah selfie ini dalam karya instalasi berjudul

Look Inside You. Ada sebuah peti mati yang berisi bunga-bunga dan di tengahnya ada patung Papua yang sedang selfie dengan ponselnya menggunakan tongsis. ―Banyak orang selfie, tapi

tidak berefleksi terhadap dirinya sendiri,‖ tutur Dicky. Kebiasaan sering selfie Dicky kaitkan dengan segelintir orang Papua yang tidak begitu sadar dengan daerahnya. Selfie hanya semacam simbol.

Refleksi mendalam turut disumbangkan pula dalam instalasi berjudul Sebelum Terlambat. Digambarkan ada banyak botol-botol miras yang terjajar, di dalamnya ada patung-patung orang Papua. Menurut Dicky, instalasi ini sebenarnya belum selesai. Seharusnya ada infus yang dipasang di atas botol-botol miras tersebut, tetes-tetes infus itu turun tetes per tetes dan menenggelamkan patung. Miras mennggambarkan, sesuatu yang merusak, ia akan membunuh kita pelan-pelan.

―Di atasnya ada infus yang itu jatuh pelan-pelan, air mulai penuh dan penuh. Jadi sebenarnya pesan singkat. Totem itu penggambaran diri sendiri, saya, kamu atau keluaraga. Ketika dia jatuh pelan-pelan, dia akan mati. Seperti orang minum,‖ ujar Dicky.

(9)

9 Kumpulan Resensi: RIUH. PESTA PORA KHAOS.| Isma Swastiningrum

menyimpan buku-buku atau pengetahuan-pengetahuan, Remahili seperti mengajak kita pada sebuah jalan aliran pengetahuan bagi rakyat Papua.

Poskrip

Kegelisahan akan Papua seharusnya menjadi kegelisahan orang Indonesia dimanapun dia tinggal. Kondisi Papua yang saat ini sangat tertutup dari media memunculkan banyak berita dan opini yang tidak bertanggung jawab dan menganalisanya dengan sudut pandang yang serampangan. Remahili menjadi satu alternatif yang elegan. Orang bisa memberi makna simbol dalam pameran tidak sekedar pada tataran fungsinya saja, tapi juga sebagai penyampai pesan yang esensisial, Papua adalah kita.

Judul Pameran REMAHILIPerupa Ignasius Dicky Takndare dan Albertho Wanma │Tempat Penayangan Bentara Budaya Yogyakarta │ Penayangan 15-23 Oktober 2016 │ Jam Buka 13.00-21.00 WIB

Isma Swastiningrum, penulis saat SMP jatuh cinta dengan Papua setelah menonton film

berjudul ―Denias, Sendandung Di Atas Awan‖. Film itu amat sangat memukul dirinya,

hingga menciptakan mimpi yang mengganggu alam bawah sadar dia: ingin menjadi guru di pedalaman.

(10)

10 Kumpulan Resensi: RIUH. PESTA PORA KHAOS.| Isma Swastiningrum

RIUH. Pesta Pora Khaos.

―Jika kau jatuh dan seorang merangkulmu, mengatakan: ‗ambil hikmahnya‘, ludahi saja dia.‖ Bodhi.

Keriuhan selalu punya banyak tepi: kesepian, kesendirian, kemuakan, hingga nihilisme. Riuh semacam kondisi porak poranda makna yang tak henti-hentinya digali atau dibinasakan. Konsep inilah yang setidaknya tersirat dalam Pameran Tunggal Izyudin Abdussalam bertajuk ―RIUH‖ di Asmara Art and Coffee Shop (ASCOS) Yogyakarta.

Izyudin yang kerap dipanggil Bodhi memamerkan sebanyak 37 karya, yang terdiri dari 20 karya baru dan 17 karya lama. Dibuatnya antara tahun 2015-2016 ini mencoba mematerialkan segenap keriuhan yang bersarang di kepala Bodhi. Otaknya yang begitu berisik yang kata dirinya sendiri nyaris mendekati gila.

(11)

11 Kumpulan Resensi: RIUH. PESTA PORA KHAOS.| Isma Swastiningrum

Keriuhan yang ditawarkan Bodhi membawa pengunjung pada ―kuasa atas diri‖, diri yang menurut Lacan merupakan subjek yang terbelah. Diri dengan pengaruh id yang meluap-luap. Misalkan dalam karya lukisannya berjudul Tumpang Tindih. Di mana ia menulis: di

dalam tubuhmu telah bersemayam / segala jenis makhluk / segala / segala … Tubuh dan pikiran manusia terdiri dari hal apa pun, dari ―kadal -polisi-kyai-belatung-pohon-napoleon-gendruwo-setanalas-anjing!-dan lain-lain‖, sebutlah semampu kita, dia tak habis, bertambah dan semakin bertambah.

Di seri lainnya dalam lukisan berjudul Gembala-Gembala, Menjinakkan, Kumpulan Mereka, Sabda, dan Manifesto kita diajak untuk lepas dari rantai yang membelenggu kita akan suatu tatanan sistem yang hirarkis yang dikutuki para Marxis: hamba – paduka, jamaah – imam, buruh – tuan, yang ditindas – penindas, hingga yang kecil – yang besar. Cermati saja penjelasannya yang begitu paradoks dalam Kumpulan Mereka, yang kritik ini hadir untuk menyindir hal-hal yang besar, yang biasa diperlombakan MURI:

Ah, kita lebih cenderung mengejar yang besar-besar. Adakah festival lopis terkecil? atau batik dengan ukuran mikroskopis? Berlombalah kita untuk segala yang besar, dan yang kecil tak pernah menarik. Mungkin hanyalah masalah ukuran. Mungkin juga tidak. Dalam realitas, yang besarnya kalah banding tak lagi jadi idaman. Mulai dari ukuran kelamin, hingga benda—benda semacam lopis, yang besar selalu di puncak hirarki. Sejak kapan mitos tentang ukuran ini ramai? Junjungan manusia atas segala hal yang besar membuat setiap hal yang renik tak jadi menarik. Lopis kecil ditinggalkan, kelamin mini dicemooh, dan orang kecil-wong cilik, selamanya jadi figuran.

Belum banyak orang yang menyadari sebenarnya dirinya adalah gembala. Gembala yang berpura-pura besar, berpura-pura bebas, berpura-pura mencintai, berpura-pura sakit, gembala-gembala yang berobsesi. Di sebuah tatanan yang tak nampak, gembala-gembala itu digiring, dikondisikan, dininabobokan. Gembala, harus sadar bahwa dirinya sedang tidak baik-baik saja. Dan iman yang serendah-rendahnya adalah upaya-upaya kamuflase atau upaya mengambil jarak dari predator. Bodhi dalam iman itu mencoba berteriak, ―Bebaskan diri kalian dari gembala-gembala!‖.

(12)

12 Kumpulan Resensi: RIUH. PESTA PORA KHAOS.| Isma Swastiningrum

rambu-rambu yang waspada akan sepi dan gelap yang tiba-tiba, akan kecemasan perihal ketaatan, hingga manunggalnya ‗aku‘ dengan kemalasan.

(Foto: ―Menyeberang‖)

(Foto: ―Kejar Mengejar‖)

(13)

13 Kumpulan Resensi: RIUH. PESTA PORA KHAOS.| Isma Swastiningrum

maya sudah sulit dibedakan. Ini menjadi gambaran besar tema kekacauan Bodhi yang ia rangkum dalam lukisannya berjudul Menunggu Notifikasi, Menunggu Kabar, Meladeni Resah, Dimensi Ketujuh, Simbol, Terjamin, Jarak, Kekasih dan Sembunyi.

Efek dari teknologi yang menggila ini pun tak main-main. Bodhi menjelaskan dalam gamblang di lukisan Kerumunan Curiga, Pelamun, Biarkan, Merajuk, Tenggelam, Rindu, Forget, Pasrah dan Luka. Sebagai jawaban atas sikap yang selalu menjadi pengikut, sikap sibuk memperkarakan yang tidak perlu, sikap mengotak-atik semesta yang acuh, sikap mengeluh pada luka yang tak kunjung sembuh, lalu kita berharap kedatangan seorang Juru Selamat yang turun di bangjo.

Tak pelak keniscayaan akan ―nihilisme‖ yang dielu-elukan Nietzsche mania pun ikut disuarakan Bodhi. Di mana telah terjadi keruntuhan akan nilai dan makna di setiap segi kehidupan─filsafat Nietzsche ini dulunya tak mendapat tempat. Serupa Nietzsche, sepertinya Bodhi ingin membuat aliran baru dalam melukis. Dengan teknik ‗hancurkan‘ disertai aforisma yang puitis, Bodhi mempertanyakan ulang segala hal yang mapan itu dengan gaya yang nakal, sarkas, sinis, atau bisa jadi romantis? Apa yang dilakukannya merupakan bagian dari nihilisme aktif yang mencoba membunuh tuhan-tuhan kecil dengan pembalikkan nilai-nilai kanon yang memfosil.

(14)

14 Kumpulan Resensi: RIUH. PESTA PORA KHAOS.| Isma Swastiningrum Limbo

(Foto: ―Limbo Merah‖)

Sejak lulus SMA, oleh kawan-kawannya Bodhi pernah dianggap ―gila‖. Kegilaan yang berkonotasi dengan kenakalan remaja. Kegilaan itu berlanjut hingga dirinya kuliah di Jogjakarta. Salah satu kegilaan terparah yang tidak ingin ia ulangi lagi adalah menggunakan obat-obatan terlarang hingga ia overdosis (OD). Bodhi jedot-jedotin kepala dan ia ditolong oleh temannya bernama Ferdhi, sosok kakak yang memarahi dan mengingatkannya saat mau mati.

―Sebelum kayak gitupun aku ada rapat, kawan-kawan ada rapat dan aku gak ikut. Aku paling nakal, paling kecil di perkumpulan teman-teman itu. Ngapain sih rapat-rapat kayak

gini? Banyak pertanyaan-pertanyaan,‖ kisahnya ketika penulis melakukan wawancara di Suave Café, Kompleks Pringwulung pada Kamis (4/8) malam.

(15)

15 Kumpulan Resensi: RIUH. PESTA PORA KHAOS.| Isma Swastiningrum

Proyeksi kematian tersebut dituangkan Bodhi dalam seri lukisan Lombi, yakni Lombi Merah, Lombi Biru, dan Lombi Putih. Di fase merah Bodhi melukiskan tentang kematian, fase biru menggambarkan tentang transformasi kehidupan yang sebenarnya tidak bermakna, dan di fase putih memperlihatkan tentang manusia memiliki warnanya sendiri, dan terserah mau diperjuangkan untuk apa.

Bodhi

Bodhi merupakan mahasiswa jurusan Desain Komunikasi Visual Sekolah Tinggi Seni Rupa dan Desain (STSRD) Visi Yogyakarta angkatan 2011. Berasal dari Pekalongan 23 tahun yang lalu, karir melukis Bodhi ia mulai sejak SD. Dari kecil Bodhi sering mendengar banyak suara-suara atau melihat banyak visual-visual yang dirinya tidak mengetahui apakah sebenarnya orang lain melihatnya juga.

―Aku nglukis itu nyebut diri indigo. Gila, aku mikir aku indigo dan sebagainya. Karena aku selalu mikir setiap orang spesial. Aku sendiri anggap itu sebagai kelebihanku untuk menenangkan diri sendiri. Kalau gak, aku gila,‖ tuturnya.

Di Pekalongan pun, di daerahnya sana, ia sempat mendirikan Rumah Hujan kepada anak-anak pesisir Pekalongan. Bodhi dan kawan-kawannya mengajarkan gambar, puisi, dan musik pada anak kecil. Lalu komunitas tersebut anggotanya mengalami seleksi alam. Yang menjadi masalah anak di pesisir ternyata usia sepuluh tahun mereka harus pergi ke laut dan muridnya habis. ―Waktu semester I masih melaju dari Jogja ke Pekalongan. Aku datang kok muridnya gakada, ternyata melaut,‖ ujarnya.

(16)

16 Kumpulan Resensi: RIUH. PESTA PORA KHAOS.| Isma Swastiningrum

―Ya posisiku di teman-teman yang berjuang di Kulon Progo sebenarnya cuma bantu gambar. Karena aku sendiri kalau disuruh diskusi gak tahan. Aku tahan paling 10-15 menit, setelah itu aku keluar. Karena aku gak bisa diam orangnya, aku pikir diskusi itu hal yang membosankan dan kita diam. Aku pikir ini ngapain? Kurang ajar, gali-gali apa kek,‖ katanya.

Medium yang digunakan Bodhi dalam pameran pun tak kalah hiruknya. Bukan bermaksud memanfaatkan apa yang ada, tapi ia mencoba menciptakan apa saja dengan barang yang ada di depannya. Dari akrilik, pulpen, pensil, crayon, canvas, koran, sampai kertas nasi semuanya ia coba. Eksperimen medium ini pun bisa kita temui di pameran RIUH.

Yang unik pula, Bodhi lebih suka pameran di jalan, yang ada mobil, motor, dan pejalan lewat. Ketika penulis mengkritik tempat pameran di ASCOS yang belum begitu representatif, karena banyak meja dan kursi yang mengganggu penglihatan pengunjung, Bodhi menanggapinya dengan santai. Baginya tak masalah. Ia lebih suka ruang yang kecil, intim, tidak dingin, dan hidup. ―Aku bayangkan misalnya di TBY, ya kayak gitu kan kayak gedung kosong. Kalau ada pameran aku akan bikin kalau bisa di Burjo malah,‖ ujarnya.

Kelebihan Bodhi tak hanya tampak di gambar, desain, sastra, atau sebagai Pemred Majalah Weldgood Magazine saja, tetapi juga di musik. Bersama kawan-kawannya ia aktif bermusik di Talamariam, Sembilu, atau proyek pribadinya di Rupagangga. Saat ini ia juga menjadi vokalis di grup musik Buktu, semacam grup musik noise yang memproduksi suara bising─dalam pembukaan pameran RIUH hari Senin (1/8), Buktu juga tampil.

―Produk akalku sendiri yang aku gak tahu mau digimanain. Akhirnya kalau aku capek

di tulisan, aku akan lari ke gambar, kalau aku capek ke gambar aku ke musik. Nah, tiga itulah yang aku pikir karakternya sebenarnya sama, selalu penuh banyak hal,‖ terangnya.

(17)

17 Kumpulan Resensi: RIUH. PESTA PORA KHAOS.| Isma Swastiningrum

―Gilalah pokoknya, kadang ingkar. Tapi pasti ada yang tertulis aku harus begini. Itu untuk hidup, karena kadang aku itu jarang nolak sesuatu. Nah, itu bodohnya aku. Jadi cuma tak iyain, ternyata jadwalnya tabrakan,‖ ucap sembari tertawa.

Setiap saat Bodhi mengaku bisa berkaya, tapi paling sering berkarya pada jam 12 malam lebih. Sebab ia menganggap, berkarya apapun baik di gambar, musik, atau menulis, ketika dikerjakan di jam-jam biasa tidak maksimal. ―Jam 12 ke atas kita bisa dengar suara detak jam. Suara jantung. Banyak hal yang kita lewati setiap hari ketika orang lain tidur,‖ jelasnya.

Re-Riuh

Secara keseluruhan pesan yang ingin disampaikan Bodhi dalam RIUH adalah jangan mendamba hidup yang harmonis. Jika manusia sudah meganggap semua baik-baik saja, tenang, adem, Bodhi ingin mengembalikan dasar hidup manusia, yakni khaos. Manusia memang berantakan dan manusia lupa bahwa sifat tuhan itu segalanya.

―Cuma lihat tuhan itu mulia, aku pikir tidak fair. Dia juga ada di tinjamu, di arakmu, di obat-obat narkobamu. Dia juga ada di diriku, dirimu, di semua orang. Karena itu kesemrawutan inilah yang ingin aku sampaikan,‖ cetusnya.

Bodhi menolak keharmonisan absolut. Segala sesuatunya memang khaos dan manusia bebas dengan keterikatan makna absolut yang menghadangnya. Dalam kondisi (membajak konsep Meillassoux) sebagai hyper-chaos/gila-kacau dalam menilai waktu yang ber-faktisitas dan ber-kontingensi. Waktu itu tidak tetap, waktu itu terus menjadi. Tugas kita menghancurkan kemenjadian.

(18)

18 Kumpulan Resensi: RIUH. PESTA PORA KHAOS.| Isma Swastiningrum

Sadar atau tidak, bagi saya Bodhi tengah merintis jalan pedih seorang seniman. Pikiran Bodhi rusuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab yang secara organik serupa lalat yang menempel di kepala. Karya Bodhi saya katakan seperti kalimat acak yang saya temukan di lukisan berjudul Forget, ―Maaf setiap brengsek tetaplah demikian adanya.‖

Dan bagi saya, Bodhi memang perupa, penyair, dan pemusik yang brengsek!

Judul Pameran RIUH │ Perupa Izyudin ‗Bodhi‘ Abdussalam │ Tempat Pameran Asmara Art and Coffee Shop, Jl. Tirtodipuran No. 22 Yogyakarta│ Penayangan 1-20 Agustus 2016

Isma Swastiningrum, penikmat canvas, random bermain dari pameran ke pameran. Manusia setengah riuh. Suka membuat gaduh dengan dirinya sendiri.

(19)

19 Kumpulan Resensi: RIUH. PESTA PORA KHAOS.| Isma Swastiningrum

Simulacra di Tengah Kedangkalan

Hyperkonsumerisme

―Sangat mudah untuk mengambil foto, tapi lebih sulit untuk membuat sebuah adikarya dalam

fotografi dibandingkan dengan media seni lainnya‖ ─ Ansel Adams

Di ruang yang kurang lebih berukuran 4×4 meter, fotografer muda Alva Christo YW (20 tahun) memamerkan 23 karya fotonya. Pameran ini bertajuk ―Simulacra‖, yang diambil dari konsep nabi postmodern Prancis, Jean Baudrillard. Simulacra ditujukan Alva untuk membawa pengunjung pada persinggungan antara dunia nyata dan dunia simulasi. Pameran tersebut sekaligus menjadi kritik dan peringatan akan konsumerisme yang menjangkiti manusia saat ini, tak hanya di pola keseharian, tapi juga telah masuk sampai ke sel-sel tubuh.

(20)

20 Kumpulan Resensi: RIUH. PESTA PORA KHAOS.| Isma Swastiningrum Foto: ―Evaporate‖ (sumber alvachristo.com)

Misal simulasi akan pengetahuan ditunjukkan dalam foto berjudul ―Evaporate‖ dengan caption: Knowledge tends to be temporary nowadays, with shallow understandings and lightweight memory capacity. Because we received a lot of information everyday, sometimes we just skim through the information. Di foto ini Alva ingin bilang informasi itu ringan, per detik bisa jadi sudah ganti topik. Ini ditampilkan lewat sign model yang seolah bilang jika buku adalah jendela dunia. Terlihat soerang wanita muda melankolis dengan tatapan kosong melemparkan buku. Evaporate satu dimensi dengan foto berjudul Learn-loads. ―Semua itu ringan, kayak minum kopi yang tidak kita endapkan langsung kita minum,‖

kata Alva saat berbincang-bincang mengenai Simulacra di rumah Kelas Pagi Yogyakarta, Rabu (20/7) malam.

(21)

21 Kumpulan Resensi: RIUH. PESTA PORA KHAOS.| Isma Swastiningrum Foto: ―DIY‖ (sumber alvachristo.com)

Konsumerisme yang bisa dikata telah hyper berefek pada kehidupan yang cenderung cepat dengan perilaku yang asosial, terlihat dalam foto berjudul DIY (Do It Yourself) dengan

caption: Do it yourself. As everything is easier and efficient, we can do everything by our own. The industry is watching us while we are fulfilling our ego. We can make our own market, our own consumers. Foto yang mencoba berkata bahwa apa-apa bisa dilakukan sendiri. Alva melambangkan itu dengan musik dan wanita yang membawa piano mainan, yang diberi humor sentuhan mesin cuci di sampingnya sebagai simbol kecepatan.

Kebanyakan simulasi dirancang oleh industrialisasi. Mereka menciptakan produk dari kebutuhan primer, sekunder, dan tersier yang kemudian disebarluaskan melalui media massa. Iklan, televisi, budaya cyber/internet menjadi aktor besar dalam simulasi yang menghadirkan realitas-realitas semu (hyperreality) tadi. Menariknya di sini Alva memperluas konsep

(22)

22 Kumpulan Resensi: RIUH. PESTA PORA KHAOS.| Isma Swastiningrum Foto: ―Dissapointment‖ (sumber alvachristo.com)

Hiperrealitas tak pelak juga menimbulkan frustasi, semisal dalam kumpulan foto berjudul D.I.A.P (Dissapointment, Identity, Anxiety, Phobia). Dalam foto Disapointment

tergambar penyesalan seorang wanita muda yang ditunjukkan dengan gesture-nya yang menunduk. Ditambah jika diperhatikan tirai di sebelah model wanita, di mana tirai yang lain lurus, di sampingnya ada tirai yang melenceng dan berbelok. Empat foto ini dihasilkan sepertinya dengan pajanan yang lama dengan aperture kecil sehingga mendapatkan kesan yang fokus, detail, dan tajam. Menampilkan kesan lembut dan persuasif manusia yang kecewa.

Apa yang dihasilkan oleh Alva dalam Simulacra merupakan simbol-simbol spontan nan literer yang kita tak perlu capek-capek mengartikannya. Terlebih dengan caption

motivasi yang super sekali, yang bisa membuat orang merasa hiperbolis daripada kritis.

Caption yang sangat lugas, ini sesuai dengan maksud Alva, ―biar gak banyak mikir saya buat literal, foto juga literal. Digali dengan warna, komposisi, dan bentuk.‖ Mengingat Yogyakarta sendiri kota budaya yang menyajikan karya bersemiotik tinggi, pengakuan Alva ini lebih bernada pragmatis, bagi saya belum menantang olah pikir.

(23)

23 Kumpulan Resensi: RIUH. PESTA PORA KHAOS.| Isma Swastiningrum

Weston, dan Willard Van Dyke yang membuat saya tertarik dengan manifestonya: ―Fotografi murni adalah fotografi yang tidak memijam teknik, komposisi atau ide, tidak memiliki kualitas teknik, komposisi atau ide yang merupakan turunan dari bentuk seni lainnya.‖

Teknik produksi, pajanan, percetakan, hingga tata letak yang maksimal menghasilkan

magnum opus.

Foto tentunya tidak asal memotret, ada wacana/tanda di balik itu. Juga tentang bagaimana agar foto dapat terasa oleh orang yang melihatnya. Lebih dalam, ini bisa dicapai dengan telaah kritis. Unsur sosial yang memihak kaum marjinal atau yang sosial bagi saya dalam pameran ini kurang. Padahal sebuah foto memiliki kewajiban sosial untuk menarasikan kebiadaban melalui seni, misalkan yang pernah dilakukan oleh fotografer Dorothea Lange dan Walker Evans yang memotret depresi ekonomi di Amerika Serikat kala itu. Di sini kebanyakan foto yang ditampilan nyaris semuanya adalah karya yang individual yang bisa dilihat dari pakaian dan ekspresinya sebagai kaum menengah ke atas.

Alva belum menunjukkan potret-potret dari kisah-kisah tragis sosial atau penderitaan orang-orang miskin yang terlupakan, padahal mereka korban nyata konsumerisme. Mungkin bisa dimaklumi mengingat latar belakang Alva adalah seorang mahasiswa Fotografi yang kuliah di Florida, USA. Ia dikelilingi oleh budaya barat yang cenderung individualis dengan andalannya Do It Yourself tadi, yang berani memamerkan karya dengan blak-blakan tanpa takut digaruk oleh FPI, HTI, dan seorganisasinya seperti di Indonesia. Bahkan menurut cerita Alva, di Florida karya jelek pun masih diberi tepuk tangan. Tak heran pula, AS juga terkenal dengan gudangnya fotografer handal, Alva sepertinya dipengaruhi oleh fotografer-fotografer AS seperti Alfred Stieglitz, Paul Strand, Minor White, dan sekomplotannya.

Terkait komunikasi massa, karya foto di Simulacra belum cukup komunikatif mempermainkan tanda. Alva belum membuat (setidaknya saya) larut dalam simulasi yang ia tawarkan. Saya belum mencapai, meminjam diksi Henri Cartier-Bresson akan Decisive Moment (momen kulminasi) guna menciptakan eyegasm. Meski ini proyek pameran tunggal pertama Alva yang diperuntukkan untuk publik, untuk ke depan komunikasi yang tak hanya mengurus soal individu bisa diseriusi lagi.

(24)

24 Kumpulan Resensi: RIUH. PESTA PORA KHAOS.| Isma Swastiningrum

Judul Pameran Simulacra │ Fotografer Alva Christo │ Durasi Penayangan 18-24 Juli 2016 (17.00-22.00)│ Tempat Kelas Pagi Yogyakarta, Jl. Brigjend Katamso GM II/1226 Prawirodirjan Yogyakarta

Isma Swastiningrum, fotografer amatir lahir dan batin, tertarik dengan jurnalisme fotografi. Suka klayapan dengan sepeda ke sudut-sudut gang untuk memfoto apa saja yang menarik, apa saja yang tidak direncanakan, apa saja yang mengandung pasal-pasal kemanusiaan.

(25)

25 Kumpulan Resensi: RIUH. PESTA PORA KHAOS.| Isma Swastiningrum

Renovasi Tragis di “Balada Joni dan Susi”

Melancholic Bitch

Intro

Pernahkah Anda mendengar musik yang membawa Anda seperti membaca sebuah novel tebal yang kompleks antara sepasang kekasih dari kelas sosial marjinal? Jika belum, Melbi melakukannya untuk Anda. Sejak akhir 90-an, band indie asal Jogja bernama Melacholic Bitch (Melbi) hadir menjadi antitesa musik icik-icik kala itu. Melbi dimotori oleh Ugoran Prasad, yang sialnya juga seorang sastrawan dan pegiat teater.

(26)

26 Kumpulan Resensi: RIUH. PESTA PORA KHAOS.| Isma Swastiningrum

belum mencapai 3.700 pengikut atau fanpage fesbuk yang tidak genap 7.900 penyuka, padahal Melbi sudah bereksistensi saat Parkinsound di Jogja masih rutin digelar tahunan. Sungguh fanbase yang megap-megap. Bagi Ugo sendiri yang menganggap konsep fans club sebagai hal yang menjijikkan ini lebih ingin melakukan kesadaran publik lewat lagu, daripada sekedar pamer teknik vokal.

Tak seperti band cult atau grunge, grup yang lebih suka disebut Musik Kolektif daripada dipanggil band ini dalam penggarapan salah satu albumnya berjudul Balada Joni dan Susi (untuk selanjutnya disingkat BJS) dibuat dengan narasi serius yang hadir dari keadaan sosial. Tema yang diangkat, seperti pelarian, kelaparan, pencurian, atau media massa. Ini berbeda dengan kebanyakan para produsen lirik (dari departemen cinta) yang kebanyakan mebuat lirik cinta dengan sebegitu lebainya, dengan dramatisasi yang dibuat-buat seolah langit mau runtuh, haruskah kumati tanpa cintamu, dan dunia hanya milik kita berdua. Prek!

Chorus

Diawali dengan lirik yang pekat dalam lagu pembuka berjudul Intro: ―/Ketika Joni

dua satu dan Susi sembilan belas, hidup sedang bergegas di reruntuhan ruang kelas. Kota-kota menjalar liar dan rumah terkurung dalam Kota-kotak gelas, dingin, dan cemas. Namaku Joni,

namamu Susi. Namamu Joni, namaku Susi./‖ Preambule ini secara intrinsik mengatakan bahwa aku dan kamu sebenarnya adalah Joni dan Susi. Balada ini merupakan kisah universal yang mungkin dialami siapa saja dalam skena kehidupan.

(27)

27 Kumpulan Resensi: RIUH. PESTA PORA KHAOS.| Isma Swastiningrum

Hari Senin sampai dengan Minggu, Joni dan Susi menciptakan dunia mereka dalam lagu Tujuh Hari Menuju Semesta. Diawali dari hari Senin yang mana Joni merayu Susi dengan sangat sarkas, ―lukai aku, belah dadaku, makan jantungku, renggut hatiku…‖ Di hari Selasa lebih ganas lagi, ―jika waktu berpihak padaku, ijinkanlah kumelukaimu. Ijinkalah kupetakan tubuhmu…‖ Di hari Rabu muncul paradoks-paradoks renyah:

―Segalanya adalah seluruhnya.

Jika aku Israel, kau Palestina.

Jika aku Amerika, kau seluruh dunia.

Jika aku miskin, kau negara.

Jika aku mati, kau kematian lainnya.‖

Paradoks seperti ini pernah saya dengar di lagu Kita Mungkin karya Sisir Tanah dengan paradoks yang juga sangat padat nan teduh-menyentuh. Coba bandingkan:

―Jika kau mengalir sebagi dusta, aku adalah kata.

Jika kau dendam, aku sebagai damai.

Jika kau berhembus sebagai maut, aku adalah waktu.

Jika kau dosa, aku sebagai doa.‖

Lagu Melbi dan Sisir Tanah ini bagi saya benar-benar menggambarkan penindasan sesungguhnya yang coba diredam dengan semacam hubungan tesa-antitesa. Kembali ke BJS, lagu Tujuh Hari Menuju Semesta ini disusul lagu yang juga paradoks dari utopia, yakni

(28)

28 Kumpulan Resensi: RIUH. PESTA PORA KHAOS.| Isma Swastiningrum

serba cadas. Maka jalan satu-satunya untuk berhenti sementara ialah tidur. Ya, tidurlah. Sudahi cemasmu.

Disusul lagu ―Propaganda Dinding‖, lagu ini menjadi lagu paling anthemic dari semua lagu yang saya dengar di album BJS. Racikan gitar, drum, dan keyboradnya yang meski tak liar berhasil membuat saya mabuk menikmati single yang sepertinya dibuat saat penciptanya kelaparan. Ekstasinya seperti mendapat nilai 100 di ujian Fisika Statistik usai belajar semalam suntuk. Meski asyik, saya seperti gelas yang jatuh dari meja di atas lantai marmer ketika meresapi liriknya: pecah, dingin, mengkhawatirkan, membuat merinding, dan cerdas. Susi mau mati! Sebentar lagi dia koit jika tak segera diberi nasi.

Dan ini bukan kisah Robin Hood, lebih genting dari itu. Awal lagu di single ini sebenarnya memberikan energi hidup di lirik: /Minggu pertama pelarian kita, tataplah mataku dan temukan telaga. Susi demam dan terbaring gemetar. Joni gusar dan tangannya

terkepal. Miskin takkan membuatnya putus asa. Lapar memaksanya merasa berdaya/‖. Namun lapar tetaplah lapar, tak mungkin bisa melakukan konsensus idealisme pada orang lapar, karena tidak ada hal lain yang diinginkan selain makan. Meski betapa romantisnya Joni berikrar pada Susi, ―takkan kubiarkan kau mati.‖ Joni nyaris gila, dia tak kerja, hidupnya di jalanan. Solusi satu-satunya si provokator brengsek, yakni dinding-dinding yang berbisik pelan: CURILAH ROTI.

Di sisi lain, viral kapitalisme hadir lewat supermarket-supermarket yang tak pernah sepi. Di mana supermarket dan busung lapar adu lari hingga waktu kadaluarsa dibungkus roti. Viral kapitalisme ini dilanjutkan di Apel Adam. Di mana dikatakan bahwa pecurian telah merusak keseimbangan harga dunia! Sejak kapitalisme diselamatkan si gaek Keynes, sehingga sampai sekarang melalui peran bank dan negara kapitalisme tak juga mampus-mampus, pertarungan antar dua kelas, proletar dan borjuis masih menjadi masalah abadi hingga sekarang. Wajar kalau Marx yang malas cukur brewok itu sampai sekarang sepertinya arwahnya tidak tenang-tenang. Makin gentayangan di supermarket, mall, rumah sakit, terminal, bahkan sampai sekolah dan universitas.

(29)

29 Kumpulan Resensi: RIUH. PESTA PORA KHAOS.| Isma Swastiningrum

(abdi utama rakyat), malah takluk oleh kepentingan kelas berkuasa. Dalam lagu digambarkan: jangan libatkan polisi di lagu ini.

Meski begitu album ini sebenarnya juga sarat dengan hal-hal politis. Terkait dengan pemerintah yang melalui komisi penyiarannya membuat masyarakat buta. Hingga Joni meminta Susi untuk mengajarkan pemerintah bagaimana mengeja, bahwa banyak jejak luka di penyiaran kita. Ini bisa dilihat di lagu Mars Penyembah Berhala dan Akhirnya Masup TV.

Karena televisi, masyarakat jadi miskin imajinasi. Imajinasi telah dipepatkan dalam kotak ukuran 14 inchi.

Outro

Sayangnya ideologi partriarki di BJS begitu kental. Joni masih menjadi aktor yang mendominasi Susi yang sepertinya hanya sekedar pelengkap. Setiap keputusan seperti dimonopoli Joni, padahal Susi sebagai perempuan berhak memberontak. Susi dibuat seperti keracunan ingatan, hanya manut-manut saja, dan seolah dibungkam mulutnya oleh Joni. Sangat telihat jelas di gaya penceritaan lirik lagu, Joni‘s driver. Ah, di lain waktu saya jadi tertarik ingin membandingkan narasi mereka yang lain, seperti di album Anamnesis (2004).

Album ini menjadi album terbuka yang bisa ditransformasikan ke dalam bentuk yang lain, khususnya sastra. Pesan ini sangat terlihat di lagu-lagu akhir: Menara yang menjadi puncak optimisme kehidupan manusia. Di mana Joni dan Susi mulai membangun basic structure ekonominya lewat kebun apel, lalu mendirikan kebutuhan primer lainnya yakni rumah (menara). Kisah semakin terenovasi di lagu sebelum Outro berjudul Noktah Pada Kerumunan. Lagu ini seperti menarik kuat-kuat semangat sosialisme dan emansipatoris antara Joni dan Susi di perjalanan akhir mereka. Sungguh manis: ―/Jika kita bertemu di sudut

sesak itu, lihatlah di wajahku dan temukanlah wajahmu. Kutatap matamu dan kutemukan

mataku/‖. Tentu Marx yang gentayangan itu akan menangis terharu melihat Joni dan Susi.

(30)

30 Kumpulan Resensi: RIUH. PESTA PORA KHAOS.| Isma Swastiningrum

Let me ask you, why do we need love anyway. If in the end it was all about feeding, breeding, and protecting?

Ya, musik-musik sekawanan dan semasa Melbi, seperti Fucktory, Bangkutaman, Agriculture, Elektrofuck, Armada Racun, FSTVLST, Efek Rumah Kaca, Navicula, atau lainnya, saya pikir musik folk dan balada tak akan masuk di orang-orang yang bertelinga banal yang mendengarkan musik hanya untuk sekedar eargasm. Dan nasihat moralis yang bisa saya tulis adalah sebelum mendengar sesuatu, revolusikan dulu telinga kita dengan mendengar jerit-jerit lingkungan.

Album Balada Joni dan Susi │ Artis Melancholic Bitch │ Personil Ugoran Prasad (Voice, Lyric), Yosef Herman Susilo (Electric-Acoustic Guitar, Mix-Engineer), Teguh Hari Prasetya (Bass, Keyboard), Yennu Ariendra (Electric Guitar, Synth, Laptop), Septian Dwirima (Percussion, Laptop); Collaborating Artist for BJS: The Wiryo Pierna Haris (guitar), Richardus Ardita (bass, voice), and Andy Xeno Aji (graphic, drawing) │ Rilis 2009 │ Produksi Dialectic Recordings │ Genre Boredome Hell Yeah │ Distribusi Jogja, Bandung, Pantura, Kediri, Banyuwangi, dan agen-agen sealiran

Peresensi: Isma Swastiningrum, imam besar di semacam grup musik imajiner bernama Pilea Eureka, dengan dirinya sendiri, Akeboshi, Chris Martin, dan Bagus Dwi Danto sebagai anggotanya. Sibuk menjaga kewarasan di kondisi yang semakin edan. Berharap bisa lonjak-lonjak di konser underground Black Sabbath.

(31)

31 Kumpulan Resensi: RIUH. PESTA PORA KHAOS.| Isma Swastiningrum

Tergantung Bunyi, Tergantung Harik

Menghindar dari tata tertib, begitulah Harik dalam konser mini tunggalnya bertajuk

―Tergantung Pada Bunyi‖.

Rintik hujan pada Selasa malam mengguyur halaman Gedung Multy Purpose (MP) UIN Sunan Kalijaga, dari magrib sampai pukul delapanan. Di halaman MP itu sudah terbentuk sebuah panggung berukuran sekitar 3×2 meter, dengan hiasan plang-plang lalu lintas. Dari plang ―belokan‖, plang ―parkir‖ dan sejolinya ―dilarang parkir‖. Di sisi kanan dan kiri panggung, empat lampu menyorot ke arah meja yang berisi kecapi dan laptop, di pinggir meja ada gitar, bass, seruling, dan jimbe.

Meski hujan, puluhan penonton duduk berbanjar di depan panggung kecil itu. Jarak antara panggung dan penonton sangat dekat, sekitar satu sampai tiga meter saja. Penonton saling merapat, menantikan konser tunggal perdana komposer eksperimental muda Harik Giarian Hafidz.

(32)

32 Kumpulan Resensi: RIUH. PESTA PORA KHAOS.| Isma Swastiningrum

gondrongnya dikuncir, setengah dibiarkan terurai ke depan, sisanya ke belakang. Harik memakai kostum kaos warna merah topi SD, yang sengaja dibalik. Kaos itu terlihat matching

dengan celana hitam khas seragam pencak silat. Dia berdiri di panggung, tanpa alas kaki. Diragukan juga, apakah dia sudah mandi atau belum. Gaya yang sangat sederhana dan kelewat sederhana. Tidak lazim jika dikatakan ini konser.

Lalu, lagu berjudul ―Pemuda dengan Sorot Mata Hitam‖ menjadi lagu pembuka seniman muda Sunda itu. Lirik dari sebuah puisi yang dibuatnya ketika SMA. Mata Harik fokus pada laptop membaca lirik, dan tangannya asyik memetik gitar. Sesekali tersendat sambil bilang ―gak pas‖ dan penonton dibuatnya tertawa. Suasana semakin meriah ketika panggung disembur oleh asap yang keluar dari fog machine berdaya 1500 watt.

Tampaknya, bagi Harik pakem panggung dan semua teori musik tak harus seperti yang di buku-buku atau yang di TV-TV. Begitu pula dengan lagu-lagu dan komposisi-komposisi yang dia pertunjukkan di depan MP, 31 Januari 2017 itu. Setiap karya yang dibuat seperti disengaja untuk lepas dari tata tertib dengan komposisi nada dan ritme yang terdengar acak, sesekali serampangan, dan tak terduga. Jangan berharap bisa menikmati karya Harik jika menonton tak konsentrasi. Musiknya mungkin hanya dirancang untuk yang bertelinga peka saja. Peka merujuk pada dia yang mau merasakan.

Salah satu petunjuk yang mungkin bisa membantu memahami lagu-lagu Harik paling mudah ialah lewat lirik. Banyak llirik-lirik yang bernada pembangkangan dari hal-hal yang umum, semacam: …tenggelamkan matahari; …waktu adalah batu; …sempatkanlah dikejar

layang-layang; dan lainnya. Lirik macam apa ini? Dia melakukan subversi pada sistem.

Secara subjektif, saya membagi pentas ini menjadi empat scene. Pertama, saat Harik mengkonsenkan diri pada gitar. Di sini ada perpaduan digital yang cantik. Kadang penonton akan mendengarkan nuansa musik senam, reggae, horror, sampai disko.

(33)

33 Kumpulan Resensi: RIUH. PESTA PORA KHAOS.| Isma Swastiningrum

Ketiga, pada seruling. Seruling ini membawa sejarahnya sendiri. Konon, seruling itu dibuat Harik dari sebilah sapu yang disia-siakan di kampus timur UIN Suka. Saat pertama ia datang ke UIN tahun 2011. Barang tak berguna itu lalu dijelmakannya menjadi sesuatu yang berharga.

Keempat, kolaborasi. Harik dibantu oleh kawan-kawan sepermainan di Teater Eska, ISI, atau di komunitas seninya yang lain. Nama-nama tersebut semacam Purba, Hendra, atau sebagai penutup ada penampilan dari Zuhdi Sang, yang menyanyikan tiga judul lagu miliknya, Seperti Dirimu Seperti Diriku, Sejenak Mengerti, dan Sinai. Hingga pentas usai pada pukul 22.46.

Yang menjadi catatan, pentas ini bagi saya kedodoran, terkesan dadakan, serta kurang persiapan dan latihan. Harik di nada-nada tertentu masih sangat terlihat meraba-raba. Dan juga, mungkin karena konsep pentas yang dibiarkan mengalir, kadang membosankan, karena penonoton di scene tertentu menunggu komposisi terlalu lama. Menariknya, banyak spontanitas-spontanitas yang muncul dari eksplorasi yang Harik temukan lewat beragam metodenya itu.

Secara keselurruhan, seperti judulnya ―Tergantung Pada Bunyi‖, pentas tersebut bermakna pula―Tergantung Pada Harik‖. Sejauh yang saya lihat malam itu, Harik telah sukses menjadi dirinya sendiri dan setia pada aliran buatannya sendiri. Dia tak mengekor siapapun. Baik dari gaya, konsep, maupun komposisi yang dihasilkan. Just the way he is.

Kata Shohifur pentas ini adalah pentas perpisahan untuk Harik yang akan melakukan tugas resisdensi (kemanusiaan) bersama komunitasnya Kampung Halaman Yogyakarta. Mungkin dia sengaja kabur dari kuliah kelas yang membosankan di Aqidah Filsafat.

(34)

34 Kumpulan Resensi: RIUH. PESTA PORA KHAOS.| Isma Swastiningrum

Judul Tergantung Pada Bunyi │ Komposer Harik Giarian Hafidz │ Genre Eksperimental │ Durasi 136 menit │Support By Teater Eska, CabelMan, Wathon Pictures, dll │ Tiket 0 Rupiah

Peresensi: Isma Swastiningrum, manusia error, penikmat musik-musik folk dan subculture.

(35)

35 Kumpulan Resensi: RIUH. PESTA PORA KHAOS.| Isma Swastiningrum

Proyek Abadi Lapar

Apa yang dirasakan manusia ketika lapar? Sangat lapar? Sangat-sangat-sangat lapar? Inilah kisah tokoh penderita kelaparan akut bernama ‗Aku‘ dalam novel karya penulis Norwegia yang juga peraih nobel 1920, Knut Hamsun, berjudul Lapar. ‗Aku‘ sebuah eulogi kedinginan di tengah hiruk pikuk dunia, dengan nuansa eksistensialis yang kental. Di sini ‗Aku‘ menjadi semacam skriptural penulis bersama proses kreatifnya yang menyedihkan.

Buku ini terdiri dari empat bagian yang tiap bagiannya beralur semacam gulungan setengah gelombang tranversal yang naik pelan dan turun mendadak. Di akhir bab selalu diikuti kebaikan nasib, lalu hancur berkeping lagi di awal bab. ‗Aku‘, seorang pria yang tinggal di Christiania (sekarang Oslo, ibukota Norwegia) melewati kehidupan dramatisnya untuk bisa bertahan hidup sebagai seorang penulis. ‗Aku‘ dengan kesetiaan yang getir dan mengiris, megorbankan tak hanya diri dan harga diri, tapi juga menantang prinsip-prinsip dan moralitasnya sendiri.

(36)

36 Kumpulan Resensi: RIUH. PESTA PORA KHAOS.| Isma Swastiningrum

Satu, ‗Aku‘ sangat miskin, tapi dengan harga diri yang sangat tinggi, ia lebih memilih

menolong temannya yang butuh uang dan berani memberikan hutang seolah dia orang kaya dan berada. Altruisme ini terlihat saat ‗Aku‘ rela menggadaikan jasnya untuk menolong temannya yang juga kelaparan, padahal dirinya lebih kelaparan. Atau ketika dia menjanjikan Jens Olai (temannya) uang untuk Jens makan, meski tak ada sepersen pun uang di kantong.

Dua, ‗Aku‘ yang papa adalah pembual yang cerdas, pengimajinasi yang ulung. Tak terhitung kebohongan yang dia lakukan dengan gengsi selangit. Hingga kebohongan ini menjadi bumerang untuk dirinya sendiri. Mulai dari kebohongannya pada seorang lelaki yang duduk di taman, yang ia ceritai keluarga Happoliti yang kaya. Atau saat ia berbohong mengaku bernama Andreas Tangsen (keluarga bangsawan) dan bekerja sebagai wartawan

Morning Times. Ini ‗Aku‘ lakukan hanya demi menjadi seorang tunawisma mulia yang bisa

tidur semalam di ruang khusus kantor polisi. Namun di sana dia justru menemui kegelapan yang mengerikan dan esoknya tak mendapat karcis makan seperti tunawisma lainnya. Lalu perutnya kembali terasa tercabik-cabik.

Tiga, ‗Aku‘ mungkin begitu sangat amat naif dan keras bagai monster, ia marah-marah ketika lapar, tetapi begitu luluh lantak dengan keramahan dan kebaikan seseorang. Dia tokoh protagonis sekaligus antagonis sekaligus. Misal, ia merasa berdosa dan bersalah ketika bersikap kasar pada redaktur, pada nenek tua, pada induk semang, dan lain-lainnya yang berbaik hati padanya. Dia malah menyalahkan dirinya sendiri, memaki dirinya sendiri ketika tak bisa membantu atau memenuhi harapan mereka. Ia bisa merampok kue seorang nenek, tapi juga menyisakan satu kue untuk anak kecil di tengah jalan yang diludai pria berjanggot merah—yang itu diletakkan dengan sembunyi-sembunyi. Saya jadi ingat karakter-karakter yang diciptakan Budi Darma di buku Orang-Orang Bloominton, tidak selalu orang baik itu baik dan tidak semua orang jahat selamanya akan jahat.

(37)

37 Kumpulan Resensi: RIUH. PESTA PORA KHAOS.| Isma Swastiningrum

Lima, nasib ‗Aku‘ yang rasanya hampir selalu sial, tapi punya daya juang hidup yang luar biasa. Kesialan tersebut tergambar dari gagalnya bertemu temannya mahasiswa Theologia Hans Pauli Pettersen karena pulang kampung; gagalnya kisah cinta dengan perempuan yang ia namai Ylayali; gagalnya menjual selimut pinjaman dari Hans Pauli atau kancing baju jasnya yang dia cabut sendiri; sampai di akhir novel seolah mengatakan jika pekerjaan penulis tidak menjanjikan sehingga ‗Aku‘ bersepakat pada nasib untuk bekerja di pelayaran. Mulianya juga bahkan ‗Aku‘ tak pernah melupakan hutangnya sedikit pun pada ibu induk semang, atau pada gadis pengamen yang memintanya uang 1 ϕre (uang recehan Norwegia).

Knut gamblang menjelaskan tokoh ‗Aku‘ sebagai diri yang bebas nan kesepian. ‗Aku‘ yang kehilangan orientasi ketika lapar, tapi tetap setia pada idealismenya. Ketika lapar menjadi masalah pokok yang mencabik-cabik lambung, mengakibatkan ‗Aku‘ mengidap (seperti yang dikatakan Sartre) perasaan Nausee, perasaan ingin mual dan muntah pada lingkungan dan orang-orang.

Maklum. Peradaban dari dulu sampai sekarang pun belum bisa lepas dari peradaban perut. Yang selalu diurusi tak jauh dari perut. Tak pelak otaknya pendek. Tak mampu berpikir panjang, sebab satu-satunya tujuan adalah bagaimana agar kenyang dengan berbagai cara. Tak peduli memakan jatah orang lain, tak takut merampok hak rakyat, tak acuh pada kebutuhan dhuafa. Penting perut sendiri kembung, yang lain kelaparan biarin. Keparat! Itu kenapa saya sepakat jika ‗Aku‘ layak mencekik para koruptor—meski di sini tak ada sedikit pun peran negara.

Lapar satu garis linier dengan miskin. Meski kredo semacam to be poor is never free

cukup relevan, tapi seperti protes ‗Aku‘ pada tuhan, ―Engkau menggunakan kuasamu terhadapku, padahal engkau tahu bahwa aku tak pernah tunduk oleh segala pertentangan‖ (hal. 197) ‗Aku‘ justru melawan kemiskinannya tersebut dengan pola pikirnya yang aneh. Menurutnya:

―Masalahnya ialah bahwa kemiskinanku membuat inderaku semakin tajam, sehingga

(38)

38 Kumpulan Resensi: RIUH. PESTA PORA KHAOS.| Isma Swastiningrum

yang miskin harus sangat berhati-hati sebelum melangkah, mendengar penuh curiga pada setiap kata yang didengarnya dari orang-orang yang berpapasan dengannya, jadi setiap langkah yang diambilnya merupakan tantangan bagi pikirannya dan perasaannya, merupakan suatu karya baginya. Ia mudah menangkap arti suatu kata

dan ungkapan suatu perasaan, jiwanya penuh luka bakar.‖ (Lapar, hal. 212)

Entah saya pernah mendengar di mana, bahkan hanya dengan selembar tisu dan pena penulis bisa berkarya. Dunia begitu mirip kembang api dan pesta realita menjadi bahan yang tak henti-hentinya dijadikan karya. Lapar jelas menjadi proyek abadi Knut yang menjelaskan perjuangannya menjadi penulis. Kondisi lapar menjadi semacam inspirasi bagaimana kreatifitasnya sangat panjang. Mengingat Knut sendiri adalah anak dari seorang buruh miskin yang ketika Knut muda dititipkan pada pamannya yang nirkasih.

Pun di negaranya, hingga sekarang Knut masih dicap sebagai pengkhianat negara. Takkan Anda temui nama jalan di Oslo tertulis namanya, patung yang menggambarkan dirinya, sampai toko buku loak di pinggiran jalan menghujatnya. Hubungannya dengan Hitler saat Perang Dunia II dianggap mencoreng penderitaan rakyat Norwegia, ditambah dia juga memberikan hadiah nobelnya kepada Goebbels, Menteri Kebudayaan Jerman. Sebenarnya Knut menjadi kambing hitam. Padahal hubungannya dengan Hitler dan soal hadiah itu digunakan alat Knut untuk melobi pemerintah Jerman (Hitler di dalamnya) agar memberi pengampunan pada orang-orang Norwegia yang ditawan.

Pun Knut berjasa memamerkan pelosok jalan Christantia ke dunia dan hingga sekarag tetap menjadi garda depan penggagas sastra realisme modern. Bisa dilacak dari karya Knut yang lain, seperti Mysteries; Editor Lynge; Pan; Victoria. Dia menginspirasi Hermann Hesse, Ernest Hemingway, Isaac Bashevis Singer, William Faulkner, Maxim Gorky, sampai Eka Kurniawan. Lapar juga bisa dibandingkan dengan kisah sejenis, misal di ―Down and Out in

Paris and London‖ karya George Orwell atau ―Notes from Underground‖-nya Fyodor Dostoevsky.

(39)

39 Kumpulan Resensi: RIUH. PESTA PORA KHAOS.| Isma Swastiningrum

kita bisa bebas memulainya dari mana saja. Kekurangan lainnya, ‗Aku‘ yang antisosial ini konfliknya akan lapar begitu monoton. Jika tak tahan, kadang monolognya menjemukan.

Bagaimanapun kegigihan ‗Aku‘ selalu membuat saya terpukau. Bagaimana dia bisa menahan rasa sakit (sesakit dikutuk pengkhianat oleh negara sendiri). Bagaimana ketika salju turun di ‗kandang‘ yang menjadi benteng terakhirnya, dengan tubuh kedinginan, dengan kulit yang mulai keriting dicengkeram suhu, dia menggigit jarinya sendiri sampai berdarah untuk mengusir dingin. Esoknya, bisa jadi ia memakan sampah kulit jeruk, kayu, sampai kertas. Manusia yang telah menjadi extra-omnivora. Dalam skena hidup ‗Aku‘, rasanya pesan yang ingin dikatakan Knut jelas, kalau tak mau menderita, jangan jadi penulis!

Judul Lapar (judul asli Sult) │ Penulis Knut Hamsun │ Penerjemah Marianne Katoppo │ Penerbit Yayasan Pustaka Obor Indonesia │ Tebal xxi + 284 halaman│ Tahun Terbit 2013 (edisi asli 1890) │ Peresensi Isma Swastiningrum.

(40)

40 Kumpulan Resensi: RIUH. PESTA PORA KHAOS.| Isma Swastiningrum

Sastra dan Kemanusiaan ala Pramis

Mamuk namanya. Saat kecil ayahnya berkata dia bodoh, karena sering lambat dalam belajar dan tiga kali tidak naik kelas. Setelah waktu berlalu, Mamuk atau Pramoedya Ananta Toer kini menjadi salah satu legenda sastrawan Indonesia yang terkenal dengan realisme soasialisnya. Sastra perlawanan yang memiliki watak tidak kenal kompromi dengan lawan, mengusung politik sosialis, memajukan proletariat, dan mengecam bebagai macam bentuk tindakan anti kemanusiaan.

Pram dengan asas kemanusiaan, hendak membangun metode baru –atau agama baru– yakni PRAMIS. Pramis tidak merujuk pada pemuja fanatik yang mengelu-elukan Pram. Namun Pramis merupakan sebuah pandangan: yang menunjuk pada sebangunan keyakinan Pram sendiri yang paling personal sebagai pengarang yang terus menampung kontradiksi tindakan antara individualisme dan gerak sosial dalam masyarakat. (ISAP: 30)

Dari pengertian di atas pengarang (laiknya Pram), di satu sisi menempuh jalan sunyi, berjelaga, disiakan yang terjal berliku, tapi di sisi lain apa yang dihasilkannya untuk kepentingan kemanusiaan. Pram yakin akan otoritasnya sebagai manusia yang mampu bersikap seperti halnya ubermensch (adi-manusia) dan menggerakkan manusia.

(41)

41 Kumpulan Resensi: RIUH. PESTA PORA KHAOS.| Isma Swastiningrum

Lalu, keadilan berarti realisasi kebenaran dalam kenyataan sosial yang berjalan dialektis. Di mana pertemuan antara kebenaran dan keadilan tersebut menghasilkan keindahan. Keindahan di sini bukan keindahan gaya naturalisme yang mengutak-atik bahasa, melainkan keindahan dalam memperjuangkan kemanusiaan dan pembebesan terhadap penindasan.

Proses kreatif Pram (untuk menjadi Pramis) seperti yang dijelaskan dalam buku ini, ia punya empat jurus:

Pertama, menulis itu ideologis. Menulis bagi Pram adalah tindakan politik dan merupakan tugas nasional. Politik di sini diartikan memperjuangkan kebenaran, keadilan, kemanusiaan, baik lewat tulisan maupun tindakan. Menulis bagi Pram merupakan perlawanan, visi, dan sikap.

Kedua, menulis itu riset. Tak diragukan lagi, kerja personal Pram mengkliping merupakan bekal utama Pram dalam melukan riset. Setiap hari Pram tak bisa lepas dari lem, gunting, dan koran, sampai di buku ini Pram dijuluki ―Si Pendekar Gunting dari Bojong‖. Bahkan saking gilanya Pram mengkliping, Pram didakwa mencuri dokumen nasional dari Museum Gajah. Di rumah Pram di Bojong Gede, Bogor, klipingan tertata dengan rapi. Pram berniat membuat ensiklopedia kawasan Indonesia untuk memandang Indonesia seutuhnya, dari Aceh sampai Papua. Bagi Pram, riset penting karena sastra bukan karya ingusan, tapi pengetahuan. Dari kliping inilah ia mendapatkan data-data primer akan apa yang ditulisnya, dan dengan riset, sastra menjadi kokoh dan bisa dipertanggungjawabkan.

Ketiga, menulis itu disiplin. Disiplin yang dimaksud adalahh disiplin kerja—bukan angina-anginan. Sebagaimana filsafat manusia Marxian, hakikat dari manusia adalah kerja. Dengan kerja manusia bereksistensi, membangun relasi, dan menyejarah. Selain disiplin menulis, Pram juga disiplin olahraga dan senyum, baginya senyum yang ikhlas dapat merilekskan pikiran, jiwa damai, dan optimis.

(42)

42 Kumpulan Resensi: RIUH. PESTA PORA KHAOS.| Isma Swastiningrum

Melalui empat penyingkatan proses kreatif Pram bekerja di atas, pengembaraan Pram menghasilkan apa yang Muhidin sebut sebagai ―anak-anak ruhani‖ Pram, yakni buku-buku Pram. Menurut penelitian yang dilakukan Koh Young Hun menceritakan, membaca buku-buku Pram secara keseluruhan, kita bisa membaca jejak Indonesia dalam empat tonggak. Buku-buku ini sekaligus membaca manusia Indonesia berserta tragika-tragikanya. Keempat tonggak tersebut: 1) Masa Kerajaan Hindu-Budha. 2) Masa Islam (Demak dan Mataram). 3) Masa kolonial. 4) Masa Republik. Untuk itu agar kemanusiaan terbuka, benar seperti yang dikatakan Gorki: the people must know their history.

Pemikiran Pram sangat erat kaitannya dengan angkatan muda dan revolusi. Pemuda menjadi unsur pertama yang Pram rindukan. Sosok pemuda itu salah satunya hadir lewat tokoh Minke yang tak lain sebagai representasi dari Sang Pemula, Tirto Adhi Surjo. Minke pemuda yang sadar posisi, yang mencungkilkan feodalisme dan menggerakkan rakyat agar tak berjiwa jajahan. Pemuda juga satu keping koin dengan revolusi. Revolusi yang diartikan perubahan masyarakat secara fundamental di segala segi, meluas dan mendalam. Menurut Pram: ―Angkatan mudalah yang membuat revolusi‖. Ini termaktub dalam tokoh Pram, seperti Saaman, Midah, Gadis Pantai, Farid, Larasati, dan lainnya.

Karya Pram sendiri sangat memihak pada perempuan, karena dalam karya Pram pribadi para perempuan disifati kuat, pejuang, dan tidak putus asa. Bahkan jika diperhatikan, dialog dalam tulisan Pram, percakapan tokoh perempuan selalu mengalir, menyenangkan, cerdas, dan literair. Misal antara Minke dan Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia. Berbeda ketika percakapan antara laki-laki dengan laki-laki, terkesan kaku, dingin, dan formal. Misalkan Galeng dengan Syahbandar Tuban dalam Arus Balik.

Buku ini cukup material dalam menggambarkan sosok Pram, juga humanis. Meski semelegenda apapun Pram dan karya-karyanya, bagi orang terdekatnya Pram juga manusia biasa. Dari kesaksian istrinya Maemunah Thamrin, Pram seperti halnya manusia lain: marah ketika rumah dan perpustakaannya dibakar, merasakan lapar, diusir mertua, dan punya banyak anak (sembilan anak). Tapi dia juga anomali bagi istri dan anak-anaknya, semisal dia tidak mau tahu menahu tentang dapur. Atau kisah miris Astuti Ananta Toer anak Pram yang tak pernah dibelikan mainan, karena mainan yang diberikan hanya buku.

(43)

43 Kumpulan Resensi: RIUH. PESTA PORA KHAOS.| Isma Swastiningrum

mengulangi perbuatannya lagi tidur di dekat Pram, tapi Pram malah menaruh Yudi di kamar mandi. Sampai seminggu kemudian Yudi dibuatkan kamar sendiri. Atau ketika Yudi meminta kacamata pada Pram, karena matanya sudah tidak jelas ketika membaca, tapi Pram malah melempari Yudi dengan asbak. Kata Pram: Jangan pernah mengharapkan sesuatu dari orang lain. Kalau ingin sesuatu berusaha sendiri. Bagi saya pribadi ini begitu menyentuh, saya sampai membayangkan jika saya menjadi Yudi.

Ya, Pram yang sifatnya keras tak lepas dari masa lalu dan keadaan-keadaan yang menimpanya. Akan hidupnya yang pedas, panas, pun bahasa rock-nya cadas. Hingga di akhir hidupnya, Pram menghembuskan nafas terkahirnya dikelilingi dengan orang-orang yang menjadi sahabatnya, bukan mereka yang wah-wah. Pram hidup untuk memberi nyawa pada mereka yang ditindas, mereka yang lemah, dan mereka yang takut. Mengutip Pram: Kamu jangan takut dan maju untuk bicarakan ide-ide kamu. Sekali kamu takut, kamu kalah.

Dalam buku ini saya ingin memberi garis merah pada konsepsi Pramis yang dihadirkan Muhidin dan Pram kaitannya dengan individualisme pengarang. Pram pun menulis:

―Setiap pengarang kreatif hampir selalu seorang individualis, berwawasan mandiri,

sulit untuk dapat menyesuaikan diri dengan orang lain, keadaan lain, apalagi bila sama sekali baru. Seorang individualis hanya mendengarkan apa yang menurut pikirannya sendiri lebih tepat atau lebih baik, tanpa atau kurang mengindahkan yang

selebihnya… Kebiasaan kerja ini menimbulkan watak individualis, banyak kali

melupakan atau tidak menggubris lingkungannya dengan tata tertibnya. Watak individualisnya menyebabkan ia tidak disukai oleh lingkungannya, apalagi oleh orang-orang yang mengutamakan tata tertib. Sebaliknya kemashurannya menyebabkan ia dikagumi. Ia hidup dalam dua ektremis di dalam masyrakatnya sendiri. Seidak-tidaknya: di Indonesia.‖ (NSSB: 115-116)

(44)

44 Kumpulan Resensi: RIUH. PESTA PORA KHAOS.| Isma Swastiningrum

mungkin juga dia menjadi penindas baru dan tuan baru. Namun, yang menjadi semacam

idiosyncratic pula, Pram dalam buku-bukunya saya rasa telah selesai dengan ―individualitasnya‖.

Kontradiksi antara individual dan sosial dalam Pramis begitu berbenturan—meski dialektis. Lagi pula konsep sosial tidak bisa sama dengan perjuangan individual yang soliter. Tetap saja meski Pram bilang individualis bagi saya bukan individual yang dimaksud, tapi lebih ke sikap independen. Ia lebih merujuk pada pengertian politis daripada taktis.

Judul Buku: Ideologi Saya Adalah Pramis (Sosok, Pikiran, dan Tindakan Pramoedya Ananta

Toer)│ Penulis: Muhidin M. Dahlan │ Penerbit: Octopus Publishing House, Yogyakarta│ Cetakan: I, 2016 │ Peresensi: Isma Swastiningrum

(45)

45 Kumpulan Resensi: RIUH. PESTA PORA KHAOS.| Isma Swastiningrum

Pemberontakan Kaum Budak

di Negeri Budak

Negro adalah padanan untuk keras kepala, pembangkang, penjahat. Karena alasan-alasan itulah budak-budak Negro dihargai sangat murah di pasaran. –Alejo Carpentier.

Penindasan rasa-rasanya akan terus menjadi topik yang tak pernah usai. Sebuah novel satir nan tragis karya penulis Kuba, Alejo Carpentier yang bercerita tentang pemberontakan budak-budak Haiti. Ini kisah tentang orang-orang Negro yang menyedihkan. Mereka tinggal di Prancis dan menjadi budak para tuan tanah di kota Cap Francais. Adalah Ti Noël seorang budak Negro yang bekerja di perkebunan Plaine du Nord milki tuan Leonormand de Mezy. Ti Noël memiliki sahabat yang sering memberinya cerita-cerita heroik bernama Macandal yang juga seorang budak Negro. Diceritakan oleh Macandal bahwa raja-raja Negro perang dengan kuda, gagah berani melawan musuh. Sedang raja kulit putih menjadi penguasa hanya ketika di panggung teater. Suka mendengar biola daripada mendengar gertak meriam.

(46)

46 Kumpulan Resensi: RIUH. PESTA PORA KHAOS.| Isma Swastiningrum

menemui Maman Loi, wanita tua yang dianggap orang penyihir. Macandal lari ke sebuah goa, Ti Noël tak lagi dapat menemuinya.

Tiba-tiba kota Cap Francais terkena wabah yang mengerikan yang dialami seluruh kota. Tanaman gagal, ternak pada mati, manusia pada penyakitan. Orang-orang kulit putih bilang ini adalah perbuatan Macandal karena racun jamurnya. Lalu dicarilah rebel bunting tangan itu. Dengan sihirnya Macandal mampu melarikan diri, tapi naas, ia tertangkap dan dibakar.

Setelah kematian Macandal, berpuluh tahun kemudian pemberotakan kaum kulit hitam tak berhenti. Lahir singa baru sosok budak Jamaika bernama Bouckman. Pemimpin baru Negro ini laksana orang yang membunyikan terompet berbentuk keong raksasa pada para budak untuk menjarah para tuannya. Yang amarah ini lebih ditenggarai karena perlakuan golongan kulit putih yang sewenang-wenang pada kulit hitam. Mereka melakukan hal-hal biadab dengan motif balas dendam. Namun, tindakan reaksioner ini kalah dengan cita-cita revolusi sesungguhnya yang harusnya menumbuhkan kemajuan baru. Alhasil, Bouckman pun jadi cacing empuk yang dilindas lars serdadu kulit putih.

Karena hura-hura Bouckman kota menjadi tidak aman dan pindahlah orang-orang ke Santiago de Cuba. Di kota itu Ti Noël yang tua pindah bersama tuannya de Mezy dan tuannya kalah taruhan judi sehingga Ti Noël jadi taruhan dan pindah ke majikan baru. Ti Noël tak betah dan memberontak, ia ingin kembali ke kota lamanya Cap Francais. Di sana ternyata sudah dipimpin oleh penguasa baru, raja pertama kulit hitam di daerah itu bernama Henri Christophe. Istana nan megah bernama Sans Souci didirikan di atas bukit.

(47)

47 Kumpulan Resensi: RIUH. PESTA PORA KHAOS.| Isma Swastiningrum

Sangat kompleks, novel tipis ini memperlihatkan kita tentang banyak hal. Terlebih masa dark age-nya kaum Negro di Prancis bersama orang-orang transmigrannya. Senada dengan realisme magis yang juga ditawarkan oleh tulisan-tulisan Marquez atau pemberontakan dalam teks-teks Borges, di novel ini juga diterangkan tentang kemistisan dan tradisi Negro yang kental dengan animisme dan dinamismenya. Juga tentang bangsa Voodoo, sebuah komunitas kepercayaan marjinal. Yang tak masuk akal lagi ketika Ti Noël bisa menjelma menjadi hewan dari burung, semut, sampai angsa. Tapi dalam penjelmaannya itu ia tetap saja ditindas oleh sesama angsa. Suku angsa yang katanya menolak keunggulan individual antar sesamanya, tetap saja layaknya kaum ningrat.

Aneka pemberontakan para kulit hitam dikisahkan Carpentier seperti menguliti bawang merah yang berlapis-lapis. Misalkan, apa yang dilakukan Macandal merupakan bentuk pemberontakannya akan dirinya dan kaumnya. Tak peduli warna kulit sesesorang, jika kemanusiaannya terusik dan ia marah ia bisa menjadi monster apa saja. Macandal dengan semua keterbatasannya digambarkan Carpentier sebagai salah seorang tokoh revolusioner: si lelaki bertangan satu, pembaharu dan pembawa angin perubahan.

Ditulis dengan sebuah kejujuran akan respon Carpentier pada peristiwa yang terjadi di masanya, tema besar yang ingin dikatakan oleh Carpentier adala soal revolusi. Rasa-rasanya memang benar jika tiap pembangkangan dibungkam dengan darah dan kematian. Lalu orang siap dengan jiwa Phoenix-nya yang bangkit dari abu kematiannya. Novel ini menyisakan pertanyaan Carpentier: ―Apa yang diketahui orang kulit putih tentang masalah orang kulit hitam?‖.

Judul: Negeri Kaum Budak (terjemahan dari The Kingdom of This World)│ Penulis: Alejo Carpentier │ Penerjemah: Jimmi Firdaus │ Penerbit: Olongia │ Tahun: 2007 │ Tebal: 172 halaman │ Peresensi: Isma Swastiningrum

(Diterbitkan lpm_arena 7 January 2016

(48)

48 Kumpulan Resensi: RIUH. PESTA PORA KHAOS.| Isma Swastiningrum

Reklame Tanah Surga

Di antara rumah-rumah panggung yang ada di Kalimantan, konflik diawali dari percekokan antara Hasyim dan anaknya Haris yang tinggal di daerah perbatasan Kalimantan Barat dan Serawak (Malaysia). Haris berkata pada Hasyim ingin tinggal dan pindah kewarganegaraan Malaysia. Hasyim berkoar jika kesejahteraan di Malaysia lebih baik, jaminan kesehatan ditanggung, dan ia beserta dua anaknya, Salman dan Salina akan bisa hidup dengan laik di Malaysia. Percekcokan itu menghasilkan keputusan, Haris ngotot pindah ke Malaysia membawa Salina, dan Hasyim tinggal bersama cucunya, Salman.

Hasyim yang memiliki jiwa nasionalisme dan patriotisme yang kuat, otomatis merasa harga dan harta jiwanya diinjak-injak oleh pilihan anaknya itu. Dulunya, Hasyim adalah mantan seorang pejuang tahun 1965, Hasyim masih mengenang bagaimana Malaysia melanggar perjanjian manila. Di mana garuda diinjak-injak dan foto Soekarno disobek-sobek. Hingga buntutnya adalah operasi dwikora, saat rakyat Indonesia menyatakan perang dengan Malaysia.

(49)

49 Kumpulan Resensi: RIUH. PESTA PORA KHAOS.| Isma Swastiningrum

Ironi. Satu kata yang mewakili sekian banyak realitas masyarakat yang tinggal di daerah perbatasan. Masyarakat perbatasan adalah lumbung para lumpen, mereka yang tersingkir dari arena kegaduhan sektor formal, pun informal. Kaum lumpen dalam masyarakat merupkan tenaga inti yang paling tidak revolusioner. Kelemahan dari kelompok ini adalah sikap pragmatis dan oportunistiknya, seperti yang terwakilkan dari sosok Haris. Jika ada orang yang berkeinginan lebih ke arah lebih baik, meski kewarganegaraan terampas, seperti kata Astuti, ―siapa yang melarang?‖. Titik-titik simpul ironi lainnya dalam film Tanah Surga Katanya, yakni:

Krisis identitas. Di daerah perbatasan masyarakat lebih menghafal lagu Kolam Susu

Koes Plus sebagai lagu kebangsaan, daripada menghafal lagu kebangsaan Indonesia Raya.

Masyarakat, dari rakyat biasa sampai anak SD tak mengenal benderanya sendiri. Bahkan di suatu pasar di Malaysia, Salman menyaksikan sendiri bendera merah putih dijadikan buntel

(pembungkus) dan lemekan (tatakan) dagangan. Bayangkan, ada segelintir tetangga negara kita sendiri yang menempatkan pusaka merah putih kita sebagai lap!

Identitas lain ada pada nilai tukar, yakni mata uang. Di daerah perbatasan tersebut masyarakat Indonesia yang hidup di sana dipaksa/terpaksa mengedarkan nilai tukarnya dengan mata uang ringgit. Sebab, kebanyakan pedagang di daerah perbatasan berdagang di Malaysia sehingga harus menggunakan mata uang Malaysia. Pun ini menyebar pada bahasa, orang-orang perbatasan bahasa dan logat mereka suda tak murni lagi. Ah, betapa menyakitkan jika suatu negara sudah tak memiliki identitasnya lagi. Ia rasanya tak pantas disebut negara.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

As seen from the prior experimental investigations to find the laminar burning velocities [1-2,5,12-17], the laminar burning velocities of biogas-air mixtures

Aplikasi Mesin Bubut Kayu CNC Untuk Kelompok Pengrajin Sangkar Burung Di Desa Desa Banjarsari, Kecamatan Ajibarang Kabupaten Banyumas.. Sakuri 1 , Khanif Setiyawan

pegangan dengan perekat sebagai towel grip” respon mahasiswa 86 orang atau 86 % responden menjawab Bisa diteruskan, dengan alas an memudahkan pembelajaran, 12 orang atau 12

Odeh dan Sultan untuk kasus hilal yang diamati dengan bantuan alat optik pada. penetapan awal Syawal

Mengetahui konsentrasi ekstrak semanggi air (Marsilea crenata ) pada penggunaan edible coating pati jagung berapakah yang paling baik dalam mempertahankan

Pada lemparan pert ama agar hal t ersebut t erj adi maka sisi koin yang muncul haruslah t erdapat t epat sat u sisi angka dan sat u sisi bukan angka at au kedua sisi bukan angka.

Tiga ratus empat puluh lima Lambang bilangannya adalah a... Isian titik titik diatas yang atepat