• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembiayaan Daerah

Dalam dokumen 5. Bab III (Halaman 35-38)

Pembiayaan merupakan transaksi keuangan yang dimaksudkan untuk menutupi selisih antara Pendapatan dan Belanja Daerah. Adapun pembiayaan tersebut bersumber dari sisa lebih perhitungan anggaran sebelumnya (SiLPA), pencairan dana cadangan, hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, penerimaan pinjaman daerah, penerimaan kembali pemberian pinjaman dan penerimaan piutang daerah.

Terkait pinjaman daerah, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah, Pemerintah Pusat telah membuka kesempatan bagi pemerintah daerah yang memenuhi persyaratan untuk melakukan pinjaman sebagai salah satu instrumen pendanaan pembangunan daerah, yang bertujuan untuk mempercepat pembangunan daerah dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Jenis dan penggunaan pinjaman daerah, pada dasarnya meliputi 3 (tiga) jenis yakni :

1) Pinjaman Jangka Pendekmerupakan pinjaman daerah dalam jangka waktu kurang atau sama dengansatu tahun anggaran dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman harus dilunasi dalam tahun anggaran bersangkutan. Pinjaman jangka pendek hanya dipergunakan untuk menutup kekurangan arus kas.

2) Pinjaman Jangka Menengahmerupakan pinjaman daerah dalam jangka waktulebih dari satu tahun anggarandan kewajiban pembayaran kembali pinjaman harus dilunasi dalam kurun waktu yangtidak melebihi sisa masa jabatan Kepala Daerah yang bersangkutan. Pinjaman jangka menengah dipergunakan untuk membiayai penyediaan layanan umum yang tidak menghasilkan penerimaan.

3) Pinjaman Jangka Panjang merupakan pinjaman daerah dalam jangka waktu lebih dari satu tahun anggaran dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman harus dilunasi pada tahun-tahun anggaran berikutnya sesuai dengan persyaratan perjanjian pinjaman yang bersangkutan. Pinjaman jangka panjang dipergunakan untuk membiayai proyek investasi yang menghasilkan penerimaan.

Namun demikian, mengingat adanya konsekuensi kewajiban yang harus dibayar atas pelaksanaan pinjaman pemerintah daerah dimaksud, seperti angsuran pokok, biaya bunga, denda, dan biaya lainnya, dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian (prudential management), profesional, dan tepat guna agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi keuangan daerah. Dalam kerangka kehati-hatian ini, sejumlah resiko pinjaman yang dapat dipersiapkan manakala akan dijadikan sumber pembiayaan, antara lain :

1. Risiko Kesinambungan

kesinambungan fiskal ( revenue ratio,Debt to G

2. Risiko Nilai Tukar, berup 3. Risiko Perubahan Tingk

adanya fluktuasi tingka suku bunga mengamba 4. Risiko Pembiayaan Ke

struktur jatuh tempo pinj 5. Risiko Operasional (

termasuk di dalamnya pinjaman, kelemahan d

Selain itu juga dibuk pinjaman pemerintah daer pendanaan daerah. Sumbe investasi sektor publik ya masyarakat. Sampai saat ini, sumber-sumber penerimaa

Dari sisi skema pe sumber penerimaan pembia gambar berikut :

bungan Fiskal, pinjaman yang terlalu excessiv fiskal (APBN/APBD). Indikatornya antara lain ebt to Government Expenditure ratiodanDebt to

, berupa risiko terhadap perubahan kurs valuta

Tingkat Bunga(interest rate risk), merupakan si tingkat suku bunga pinjaman, terutama untuk p ngambang (floating interest rate).

ayaan Kembali (refinancing risk), merupakan risi tempo pinjaman.

(operational risk), mencakup berbagai bentuk lamnya adanya kesalahan transaksi pada berbag mahan dalam pengawasan/sistem internal, adanya juga dibuka peluang bagi pemerintah daerah un ntah daerah yang bersumber dari masyarakat seb

h. Sumber pendanaan tersebut adalah obligasi d publik yang menghasilkan penerimaan dan mem pai saat ini, Pemerintah Daerah provinsi Jawa Bara

nerimaan pembiayaan yang lain kecuali SiLPA. ema pembiayaan, sejalan dengan PP 54 Tahun an pembiayaan yang dapat diperoleh pemerinta

Gambar 3.4.

Skema Pembiayaan dan Pinjaman Daer

excessive dapat mempengaruhi lain Debt to GDP ratio, Debt to Debt to Service ratio.

s valuta asing.

upakan risiko yang timbul akibat untuk pinjaman dengan tingkat

akan risiko yang terkait dengan

gai bentuk risiko yang berbeda da berbagai tahapan pelaksanaan

l, adanya bencana alam, dsb. daerah untuk menggalang dana

akat sebagai salah satu sumber bligasi daerah untuk mendanai dan memberikan manfaat bagi wa Barat belum memanfaatkan

Tahun 2005 tersebut, sumber merintah daerah, terlihat pada

Seiring dengan terus berkembangnya kebutuhan pendanaan pembangunan daerah, terutama dalam pendanaan infrastruktur strategis seperti jalan tol, bandara dan pelabuhan, pemerintah daerah terus mencari peluang sumber pendanaan masyarakat. Dalam kerangka itu, sejalan dengan ketentuan pasal 57 UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, telah diberi peluang kepada daerah untuk menerbitkan Obligasi daerah dalam mata using rupiah di pasar domestik, yang dapat digunakan untuk membiayai investasi sektor publik yang menghasilkan penerimaan dan memberikan manfaat bagi masyarakat. Adapun persyaratannya sebagaimana diatur dalam pasal 54 dan 55 UU 33 Tahun 2004 tersebut meliputi :

a. Jumlah sisa pinjaman daerah ditambah jumlah pinjaman yang akan ditarik tidak melebihi 75 % dari jumlah penerimaan umum APBD tahun sebelumnya;

b. Rasio kemampuan keuangan daerah untuk mengembalikan pinjaman ditetapkan pemerintah;

c. Tidak mempunyai tunggakan atas pengembalian pinjaman yang bersala dari pemerintah; d. Daerah tidak dapat memberikan jaminan atas pinjaman pihak lain;

e. Pendapatan daerah dan/atau barang milik daerah tidak boleh dijadikan jaminan pinjaman daerah;

f. Proyek yang dibiayai dari obligasi daerah beserta barang milik daerah yang melekat dalam proyek tersebut dapat dijadikan jaminan obligasi daerah.

Selain ketentuan tersebut, penerbitan Obligasi Daerah wajib mengikuti peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.

APBD Provinsi Jawa Barat setiap tahun mengalami defisit anggaran namun dapat ditutup dengan pembiayaan. Pertumbuhan realisasi defisit anggaran tersebut rata-rata per tahun selama kurun waktu 5 tahun (2005-2009) mengalami peningkatan sebesar 164,14%. Untuk menutupi anggaran defisit tersebut yaitu dari penerimaan pembiayaan dengan rata-rata pertumbuhan per tahun mengalami kenaikan sebesar 33,21%, begitu pula pengeluaran pembiayaan rata-rata pertumbuhan per tahun mengalami penurunan sebesar 45,25%, sebagaimana terlihat pada tabel berikut :

Tabel 3.16.

Perkembangan Realisasi Pembiayaan Tahun 2005 – 2009

Tahun Pembiayaan Surplus/Defisit Pertum-buhan Defisit Penerimaan Pertumbuhan Penerimaan Pengeluaran Pertumbuhan Pengeluaran 2004 668.422.608.753,22 1.042.319.998.034,09 (373.897.389.280,87) 2005 875.138.565.709,09 30,93 1.390.744.563.948,00 33,43 (515.605.998.238,91) 37,90 2006 1.000.895.098.841,00 14,37 1.140.356.061.204,00 (18,00) (139.460.962.363,00) 72,95 2007 956.579.936.351,00 (4,43) 366.854.431.319,00 (67,83) 589.725.505.032,00 522,86 2008 1.293.149.429.191,00 35,18 57.164.926.472,00 (84,42) 1.235.984.502.719,00 109,59 2009 2.457.196.766.549,00 90,02 264.714.067.255,00 363,07 2.192.482.699.294,00 77,39

Rata-Rata per Tahun 33,21 45,25 164,14

Sumber : Data Tahun 2005 s.d 2008 Perda tentang Perhitungan/Realisasi APBD, Tahun 2009 Perda tentang Perubahan APBD

3.3.2. Non Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (Non APBD)

Selain dana APBD, daerah menerima dana yang bersumber dari Pemerintah Pusat (APBN) berupa dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan yang pengalokasiannya sesuai dengan kebijakan Pemerintah Pusat untuk kepentingan pelaksanaan pembangunan di Jawa Barat serta dana yang bersumber dari swasta dan masyarakat yang diperkirakan memberikan kontribusi lebih dari 80% dari anggaran pembangunan.

Kapasitas pendanaan pembangunan yang bersumber dari potensi Non APBD, baik yang bersumber dari APBN, PHLN maupun partisipasi masyarakat dan dunia usaha, dapat diutarakan sebagaimana uraian berikut :

Dalam dokumen 5. Bab III (Halaman 35-38)

Dokumen terkait