• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PEMBIAYAAN MUSYARAKAH DAN AKUNTANSI

B. Pembiayaan Musyarakah

B.1. Pengertian Pembiayaan Musyarakah

Pembiayaan musyarakah telah dijelaskan sebelumnya pada produk penyaluran dana. Namun, untuk lebih mendalam dibahas kembali pada bagian ini. Syirkah adalah “transaksi antara dua orang atau lebih yang kedua-duanya bersepakat untuk melakukan kerjasama usaha dengan tujuan mencari keuntungan melalui persyaratan dan rukun tertentu.” (Habib Nazir dan Muhammad Hasanudin, 2004: 409)

Dalam ensiklopedi ekonomi dan perbankan syariah karangan Habib Nazir dan Muhammad Hasanudin, bahwa “musyarakah atau syirkah secara etimologi bermakna ikhtilath (percampuran) antara satu bagian dengan lainnya sehingga sulit dipisahkan. Atau gabungan antara dua harta atau lebih, yang tidak bisa dibedakan lagi antara satu harta dengan harta lainnya.” (Habib Nazir dan Muhammad Hasanudin, 2004: 409)

Menurut Rachmat Firdaus yang dimaksud pembiayaan musyarakah adalah “suatu perjanjian usaha antara dua pihak atau lebih pemilik modal untuk menyertakan modalnya berupa dana (atau keahlian/ tenaga) pada suatu proyek usaha, di mana masing-masing pihak memiliki hak untuk ikut serta, mewakilkan atau menarik haknya dalam manajemen proyek.” (Rachmat Firdaus, 2001: 239)

Dari pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa musyarakah adalah sebagai akad antara orang-orang yang berserikat dalam modal maupun keuntungan. Hasil keuntungan dibagihasilkan sesuai dengan kesepakatan bersama di awal sebelum melakukan usaha. Sedang kerugian ditanggung secara

proporsional sampai batas modal masing-masing. Secara umum dapat diartikan patungan modal usaha dengan bagi hasil menurut kesepakatan.

Transaksi musyarakah dilandasi adanya keinginan para pihak yang bekerja sama. Dalam pembiayaan musyarakah ini, antara bank dan pengusaha bekerjasama memadukan seluruh bentuk sumber daya baik yang berwujud maupun tidak berwujud untuk meningkatkan nilai asset yang mereka miliki secara bersama-sama.

B.2. Dasar Hukum Musyarakah

Dasar hukum yang mengacu kepada asal usul dan diterimanya prinsip

syirkah ini di zaman Rasulullah dan tentunya sebagai pedoman dasar perbankan

syariah ialah surat Shad: 24 yang berbunyi:

¨βÎ)uρ #ZÏVx. z⎯ÏiΒ Ï™!$sÜn=èƒø:$# ‘Éóö6u‹s9 öΝåκÝÕ÷èt/ 4’n?tã CÙ÷èt/ ωÎ) t⎦⎪Ï%©!$# (#θãΖtΒ#u™ (#θè=Ïϑtãuρ ÏM≈ysÎ=≈¢Á9$# “dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh.” (QS. Shaad :24).

(Departemen Agama RI, 1990: 735)

Ayat di atas merupakan firman Allah SWT yang menunjukkan bahwa adanya perserikatan dalam kepemilikan harta yang terjadi karena adanya akad

Sedangkan Landasan Syirkah dalam Al-Hadits:

ْﻴَﻜﻳِﺮﱠﺸﻟا ُﺚِﻟﺎَﺛ ﺎَﻧَأ ُلﻮُﻘَﻳ َﻪﱠﻠﻟا ﱠنِإ َلﺎَﻗ ُﻪَﻌَﻓَر َةَﺮْﻳَﺮُه ﻲِﺑَأ ْﻦَﻋ

ِﻦ

ْﻢَﻟ ﺎَﻣ

ْﻦُﺨَﻳ

ﺎَﻤُهُﺪَﺣَأ

ُﻪَﺒِﺣﺎَﺻ

)

ﻩاور

ﻢآﺎﺤﻟا ﻪﺤﺤﺻودودﻮﺑا

(

“Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw. Bersabda, “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berfirman, ‘Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satunya tidak mengkhianati yang lainnya” (HR. Abu Dawud dan

disahihkan oleh Hakim). (Abu Dawud, t.t: 677)

Maksudnya, Allah SWT akan menolong dan menjaga dua orang yang bersekutu dan menurunkan berkah pada pandangan mereka. Jika salah seorang yang bersekutu itu mengkhianati temannya, Allah SWT akan menghilangkan pertolongan dan keberkahan tersebut.

B.3. Syarat dan Rukun Musyarakah

Menurut Al-jaziri dalam Fiqh ‘Ala Madzahib Al-arba’ah yang dikutip oleh Hendi Suhendi bahwa, rukun syirkah menurut ulama Hanafiyah ada dua, yaitu “ijab dan Kabul, sebab ijab kabul (akad) yang menentukan adanya syirkah. (Hendi Suhendi, 2002: 127)

Sedangkan menurut jumhur ulama, dalam Diktat Fiqih Muamalah karangan Asep Ramdan (2004: 56), bahwa rukun syirkah ada 3 (tiga), yaitu:

1. Shigat (lafal ijab dan kabul)

Syirkah mempunyai syarat umum, berdasarkan kutipan penulis dari diktat

fiqih muamalah karangan Asep Ramdan, yaitu:

1. Perserikatan itu merupakan transaksi yang dapat diwakilkan. Artinya, salah satu pihak jika bertindak hukum terhadap objek perserikatan itu, dengan izin pihak yang lain, dianggap sebagai wakil seluruh pihak yang berserikat.

2. Pembagian keuntungan untuk masing-masing pihak yang berserikat dijelaskan nisbahnya (prosentase) ketika berlangsungnya akad.

3. Keuntungan dari usaha itu dibagi dari hasil usaha (laba) harta perserikatan, bukan dari harta lain.

Sedangkan syarat-syarat tambahan dapat disesuaikan dengan jenis syirkahnya seperti:

4. Jenis usaha yang dilakukan harus jelas dan tidak melanggar syariah.

5. Modal diberikan berbentuk uang tunai atau asset yang likuid (dapat segera dicairkan). (Asep Ramdan, 2004: 56)

B.4. Jenis-jenis Musyarakah

Dalam buku karangan Muhammad Syafi’i Antonio dengan judul “Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik” (2001: 91) disebutkan bahwa:

“Jenis-jenis musyarakah terdiri dari musyarakah pemilikan dan musyarakah akad (kontrak), musyarakah pemilikan tercipta karena warisan, wasiat, atau kondisi lainnya yang mengakibatkan pemilikan satu asset oleh dua orang atau lebih dan musyarakah akad tercipta karena adanya kesepakatan diantara dua pihak”, (Muhammad Syafi’i Antonio, 2001: 91).

Musyarakah akad tercipta dengan cara kesepakatan di mana dua orang atau

lebih setuju bahwa tiap orang dari mereka memberikan modal musyarakah, dan sepakat berbagi keuntungan dan kerugian.

Terdapat perbedaan pendapat mengenai jenis-jenis musyarakah. Berikut ini jenis-jenis musyarakah menurut Sayyid Sabiq ada empat macam, yaitu:

1. Syirkah al-‘inan, yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih dalam permodalan untuk melakukan suatu usaha bersama dengan cara membagi

2. Syirkah Mufawadhah, yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih untuk melakukan suatau usaha dengan persyaratan sebagai berikut:

a. Modalnya harus sama banyak. Apabila ada di antara anggota persyarikatan modalnya lebih besar, maka syirkah itu tidak syah.

b. Mempunyai wewenang untuk bertindak, yang ada kaitannya dengan menjadi anggota persyarikatan.

c. Satu agama sesama muslim, tidak sah bersarikat dengan non muslim. d. Masing-masing anggota mempunyai hak untuk bertindak atas nama

syirkah (kerja sama).

3. Syirkah wujuh, yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih untuk

membeli sesuatu tanpa modal, tetapi hanya modal kepercayaan dan keuntungan dibagi antara sesama mereka.

4. Syirkah Abdan, yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih untuk melakukan suatu usaha atau pekerjaan seperti pemborong bangunan, instalasi listrik, dan lainnya. (Sayyid Sabiq, 1987: 195-198)

Berdasarkan hukumnya, Mazhab Hanafi membolehkan semua jenis syirkah di atas, apabila syarat-syaratnya terpenuhi. Mazhab Maliki membolehkan semua jenis syirkah, kecuali syirkah wujuh. Sedangkan Mazhab Syafi’i membatalkan semua kecuali syirkah ’inan. Mazhab Hambali membolehkan semua jenis akad, kecuali syirkah muwafadhah.

B.5. Aplikasi Pembiayaan Musyarakah dalam Perbankan

Aplikasi dalam perbankan, pembiayaan musyarakah: 1. Pembiayaan proyek

“Al-musyarakah biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan proyek di mana nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut. Setelah proyek itu selesai, nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk bank.” (Muhammad Syafi’I Antonio:2001: 94)

2. Modal Ventura

Pada lembaga keuangan khusus yang dibolehkan melakukan investasi dalam kepemilikan perusahaan, al-musyarakah diterapkan dalam skema modal ventura. Penanaman modal dilakukan untuk jangka waktu tertentu dan setelah itu bank melakukan divestasi atau menjual bagian bagian sahamnya, baik secara singkat maupun bertahap. (Muhammad Syafi’I Antonio:2001: 94)

B.6. Manfaat Pembiayaan Musyarakah

Terdapat banyak manfaat dari pembiayaan musyarakah ini, penulis mengutip dari pendapat Syafi’i Antonio, diantaranya sebagai berikut:

1. Bank dapat menikmati peningkatan dalam jumlah tertentu pada saat keuntungan usaha nasabah meningkat.

2. Bank tidak berkewajiban membayar dalam jumlah tertentu kepada nasabah pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendapatan/ hasil usaha bank, sehingga bank tidak pernah mengalami negative spread.

3. Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow/ arus kas usaha nasabah, sehingga tidak memberatkan usaha nasabah.

4. Bank akan lebih selektif dan hati-hati (prudent) mencari usaha yang benar-benar halal, aman, dan menguntungkan. Hal ini karena keuntungan yang riil dan benar-benar terjadi itulah yang akan dibagikan.

5. Prinsip bagi hasil dalam mudharabah/ musyarakah ini berbeda dengan prinsip bunga tetap di mana bank akan menagih penerima pembiayaan (nasabah) satu jumlah bunga tetap berapa pun keuntungan yang dihasilkan nasabah, bahkan sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi. (Muhammad Syafi’I Antonio, 2001: 94)

Dokumen terkait