• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Pengertian Pembinaan Keberagamaan Anak

Kata pembinaan berasal dari kata “bina” yang berarti bangun, bentuk.31 Jika mendapat awalan me- menjadi " membina " yang mempunyai arti mengusahakan supaya lebih baik (maju, sempurna, dsb). Pembinaan itu sendiri berarti usaha, tindakan, dan kegiatan yang dilakukan secara berdaya guna untuk memperoleh hasil yang lebih baik.32 Pembinaan dalam kamus Bahasa Indonesia kontemporer adalah “proses membina, membangun, atau menyempurnakan, upaya mendapat hasil yang lebih baik”.

Keberagamaan adalah pembicaraan mengenai pengalaman atau fenomena yang menyangkut hubungan antar agama dan penganutnya, atau suatu keadaan yang ada di dalam diri seseorang (penganut agama) yang mendorongnya untuk bertingkah laku yang sesuai dengan agamanya.33

Kata keberagamaan berasal dari kata “Beragama”. Kata beragama dalam kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu, antara lain:

1. Menganut (memeluk) agama.

2. Beribadah, taat kepada agama (baik hidupnya menurut agama), misalnya ia berasal dari keluarga yang taat beragama.34

Nurkholis Majid mengemukakan tentang pengertian agama. Menurut beliau agama merupakan fitrah munazalah (fitrah yang diturunkan) yang diberikan Allah untuk menguatkan fitrah yang ada pada manusia secara alami. Agama dapat

31

Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer (Jakarta: Modern English, 1991), h. 205.

32

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 117. 33

Djamaludin Ancok, Psikologi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 76. 34

J.S. Badudu Sota Mohammad Zein, Kamus Bahasa Indonesia ( Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), Cet ke-1, h. 11

dikatakan sebagai kelanjutan natur manusia sendiri dan merupakan wujud nyata dari kecenderungan yang dialaminya.

Fitrah beragama dalam diri manusia merupakan naluri yang menggerakkan hatinya untuk melakukan perbuatan " suci " yang di ilhami oleh Tuhan Yang Maha Esa. Fitrah manusia mempunyai sifat suci, yang dengan nalurinya tersebut ia secara terbuka menerima kehadiran Tuhan Yang Maha Esa.35

Selanjutnya Mohammad Djamaluddin, mendefinisikan keberagamaan sebagai manifestasi seberapa jauh individu penganut agama meyakini, memahami, menghayati dan mengamalkan agama yang dianutnya dalam semua aspek kehidupan.36

Keberagamaan atau religiusitas diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan manusia. Aktivitas beragama bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan supranatural. Bukan hanya yang berkaitan aktivitas yang tampak dan dapat dilihat oleh mata, tapi juga aktivitas yang tak tampak dan terjadi dalam hati seseorang. Karena itu, keberagamaan seseorang meliputi berbagai macam sisi dimensi, dengan demikian agama adalah sebuah sistem yang berdimensi banyak.

Agama, dalam pengertian Glock & Stark adalah sistem simbol, sistem keyakinan, sistem nilai dan sistem perilaku keterlembagaan, yang semuanya itu berpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai yang paling maknawi.

Menurut Glock & Stark, ada lima macam dimensi keberagamaan, yaitu: dimensi keyakinan (ideologis), dimensi peribadatan/ praktek agama (ritualistik),

35

Sururin, Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), Cet ke-1, h. 20. 36

Mohammad Djamaluddin, Religiusitas dan Stress Kerja pada Polisi (Yogyakarta: UGM Press, 1995), h. 44.

dimensi penghayatan (eksperiensial), dimensi pengamalan (konsekuensial), dan dimensi pengetahuan agama (intelektual).37

Keberagamaan menurut penulis adalah bagaimana seseorang itu berperilaku dalam agama, ia memahami dan mengamalkan ajaran agamanya sesuai dengan perintah Tuhan Yang Maha Esa dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Anak-anak mulai mengenal Tuhan, melalui bahasa. Dari kata-kata orang yang ada dilingkungannya, yang pada permulaannya diterimanya secara acuh tak acuh saja. Akan tetapi setelah ia melihat orang-orang dewasa menunjukkan rasa kagum dan takut terhadap Tuhan, maka mulailah ia merasa sedikit gelisah dan ragu tentang sesuatu yang ghaib yang tidak dapat dilihatnya itu, mungkin ia akan ikut membaca dan mengulang kata-kata yang diucapkan oleh orang tuanya. Lambat laun tanpa disadarinya, akan masuklah pemikiran tentang Tuhan dalam pembinaan kepribadiannya dan menjadi obyek pengalaman agamis. Maka Tuhan bagi anak-anak pada permulaan, merupakan nama dari sesuatu yang asing, yang tidak dikenalnya dan diragukan kebaikan niatnya.38

Perkembangan agama pada masa anak, melalui pengalaman hidupnya sejak kecil, dalam keluarga, di sekolah dan dalam masyarakat lingkungan. Semakin banyak pengalaman yang bersifat agama, (sesuai dengan ajaran agama), akan semakin banyak unsur agama, sikap, tindakan, kelakuan dan caranya menghadapi hidup akan sesuai dengan ajaran agama.39

37

Djamaluddin Ancok dan Fuad Nashori Suroso, Psikologi Islam: Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), Cet ke-1, h. 77.

38

Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, h. 35-36. 39

Pembinaan keberagamaan anak adalah pembinaan agama pada anak yang dilaksanakan dalam lingkungan keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat sehingga anak mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan mengamalkan ajaran agama.

Memahami konsep keagamaan pada anak berarti memahami sifat agama pada anak-anak. Sesuai dengan ciri yang mereka miliki, maka sifat agama pada anak-anak turnbuh mengikuti pola “ideas concept on authority" . Idea keagamaan pada anak hampir sepenuhnya authoritarius, maksudnya konsep keagamaan pada diri mereka dipengaruhi oleh unsur dari luar dari mereka. Hal tersebut dapat dimengerti karena anak sejak usia muda telah melihat, mempelajari hal-hal yang berada di luar diri mereka. Mereka telah melihat dan mengikuti apa-apa yang dikerjakan dan diajarkan orang dewasa dan orang tua mereka tentang sesuatu hingga kemashalatan agama. Orang tua mempunyai pengaruh terhadap anak sesuai dengan prinsip eksplorasi yang mereka miliki. Dengan demikian ketaatan kepada ajaran agama merupakan kebiasaan yang menjadi milik mereka yang mereka pelajari dari orang tua maupun guru mereka. Bagi mereka sangat mudah untuk menerima ajaran dari orang dewasa walaupun ajaran itu belum mereka sadari sepenuhnya manfaat ajaran tersebut.40

Dalam Islam penyemaian rasa agama dimulai sejak pertemuan ibu dan bapak yang membuahkan janin dalam kandungan, yang dimulai dengan do'a kepada Allah, agar janinnya kelak lahir dan besar menjadi anak saleh. Begitu si anak lahir, dibisikkan ditelinganya kalimah adzan dan iqamah, dengan harapan

40

Jalaluddin dan Ramayulis, Pengantar Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: Kalam Mulia, 1993), Cet ke-2, h. 35.

kata-kata thaiyibah itulah hendaknya yang pertama kali didengar oleh anak, kemudian ia akan berulang kali mendengar.

Agama bukan ibadah saja, agama mengatur seluruh segi kehidupan. Semua penampilan ibu dan bapak dalam kehidupan sehari-hari yang disaksikan dan dialami oleh anak bernafaskan agama, disamping latihan dan pembiasaan tentang agama, perlu dilaksanakan sejak si anak kecil, sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan jiwanya.41

Pada umumnya agama seseorang ditentukan oleh pendidikan, pengalaman dan latihan-latihan yang dilaluinya pada masa kecilnya dulu. Apabila seseorang yang pada waktu kecilnya tidak pernah mendapatkan didikan agama, maka pada dewasanya nanti, ia tidak akan merasakan pentingnya agama dalam hidupnya. Lain halnya dengan orang yang di waktu kecilnya mempunyai pengalaman-pengalaman agama, misalnya ibu-bapaknya orang yang tahu beragama, lingkungan sosial dan kawan-kawannya juga hidup menjalakan agama, ditambah pula dengan pendidikan agama secara sengaja di rumah, sekolah dan masyarakat. Maka orang-orang itu akan dengan sendirinya mempunyai kecenderungan kepada hidup dalam aturan-aturan agama, terbiasa menjalankan ibadah, takut melangkahi larangan-larangan agama dan dapat merasakan betapa nikmatnya hidup beragama.42

Anak mengenal Tuhan, juga melalui ucapan ibunya di waktu ia kecil. Apa pun yang dikatakan ibunya tentang Tuhan, akan diterimanya dan dibawanya sampai dewasa.

41

Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, h. 64. 42

Dalam memperkenalkan sifat-sifat Allah kepada anak, hendaklah didahulukan sifat-sifat Allah yang mendekatkan hatinya kepada Allah, misalnya: Penyayang, Pengasih, Adil dan lain sebagainya. Dan hendaklah si anak dijauhkan dari perasaan yang mendorongnya kepada prasangka buruk kepada Tuhan seperti sifat keras, jahat, kejam dan sebagainya.

Perlu diketahui, bahwa kualitas hubungan anak dan orang tuanya, akan mempengaruhi keyakinan beragamanya dikemudian hari. Apabila ia merasa disayang dan diperlakukan adil, maka ia akan meniru orang tuanya dan menyerap agama dan nilai-nilai yang dianut oleh orang tuanya. Dan jika yang terjadi sebaliknya, maka ia menjauhi apa yang diharapkan oarng tuanya, mungkin ia tidak mau melaksanakan ajaran agama dalam hidupnya, tidak shalat, tidak puasa dan sebagainya.43

2. Ruang Lingkup Pembinaan Keberagamaan Anak

Ruang lingkup keberagamaan anak sejalan dengan isi pendidikan agama Islam di Sekolah Dasar, yang menjadi materi pelajaran pendidikan agama Islam di sekolah, meliputi empat unsur pokok, yaitu:

1. Keimanan adalah sifat yang tertanam dalam jiwa, dari padanya timbul perbuatan yang mudah tanpa memerlukan pertimbangan pikiran.

2. Akhlak adalah perbuatan yang biasa dilakukan tanpa memerlukan pikiran. 3. Ibadah yaitu menyerahkan diri kepada Allah dan selalu mengikuti perintah-Nya

dan menuruti yang dikehendakiNya.

43

4. Al-Qur'an adalah wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman hidup manusia.44

Ruang lingkup bahan pelajaran diatas, merupakan usaha untuk mewujudkan keserasian, keselarasan dan keseimbangan antara:

1. Hubungan manusia dengan Allah SWT. 2. Hubungan manusia dengan manusia. 3. Hubungan manusia dengan dirinya sendiri.

4. Hubungan manusia dengan makhluk lain dan alam lingkungannya.45 3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pembinaan Keberagamaan anak

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi dalam membina keberagamaan anak, seperti yang dikemukakan oleh Mahyudin dalam bukunya " Konsep Dasar Pendidikan Akhlak dalam Al-Qur'an " yang diringkas sebagai berikut:

1). Faktor Pembawaan Naluriah (garizah atau instink)

Sebagai makhluk biologis, ada faktor bawaan sejak lahir yang menjadi pendorong perbuatan setiap manusia, faktor itu disebut naluri. Naluri tidak pernah berubah sejak manusia itu lahir, akan tetapi pengaruh negatifnya bisa dikendalikan oleh faktor pendidikan, latihan atau pembiasaan. Karena faktor naluri ini sangat terkait dengan nafsu (ammarah dan mutmainah), maka dapat membawa manusia kepada kehancuran moral, dan dapat pula menyebabkan manusia mencapai tingkat yang lebih tinggi.46

44

Departemen Agama RI, Panduan Guru Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2003), tahun 2003.

45

Departemen Pendidikan Nasional, Kurikulum Berbasis Kompetensi 2004 (Jakarta: Puskur-Dit. PGTK S, 2003), h. 318.

46

Mahyudin, Konsep Dasar Pendidikan Akhlak dalam Al-Qur’an dan Petunjuk Penerapannya dalam Hadits (Jakarta: CV. Kalam Mulia, 2000), h. 25.

Tatkala naluri manusia cenderung kepada perbuatan buruk, maka akal dan tuntunan agama dapat mengendalikannya. Tetapi tatkala naluri itu cenderung kepada perbuatan baik, maka akal dan tuntunan agama yang dapat memberikan jalan seluas-luasnya untuk meningkatkan intensitas perbuatan itu. Disinilah perlunya manusia memiliki agama sebagai pengendali dan menuntun dalam hidupnya.47

2). Faktor Sifat-sifat Keturunan dan Pendidikan

Sifat-sifat keturunan dari orang tua kepada keturunannya ada dua, yaitu sifat langsung dari kedua orang tua kepada anaknya, dan sifat tidak langsung yang tidak turun kepada anaknya, tetapi bisa turun kepada cucunya atau anaknya. 48

Disamping adanya sifat bawaan anak sejak lahir (naluri dan sifat keturunan), sebagai potensi dasar untuk mempengaruhi perbuatan manusia ada juga faktor lingkungan yang mempengaruhinya, yaitu pendidikan dan tuntunan agama. Semakin besar pengaruh faktor pendidikan dan tuntunan agama kepada manusia, semakin kecil pula kemungkinan warisan sifat-sifat buruk orang tua dapat mempengaruhi sikap dan perilakunya. Dengan demikian peranan orang tua menjadi sangat penting dalam membentuk anaknya menjadi manusia yang beragama, berilmu dan berakhlak.

3). Faktor Lingkungan dan Adat Kebiasaan

Pertumbuhan dan perkembangan manusia, ditentukan oleh faktor dari luar dirinya, yaitu faktor pengalaman yang disengaja maupun yang tidak. Pengalaman

47

Mahyudin, Konsep Dasar Pendidikan Akhlak dalam Al-Qur’an dan Petunjuk Penerapannya dalam Hadits, h. 26.

48

Mahyudin, Konsep Dasar Pendidikan Akhlak dalam Al-Qur’an dan Petunjuk Penerapannya dalam Hadits, h. 27.

yang disengaja termasuk pendidikan dan latihan, sedangkan yang tidak disengaja termasuk lingkungan alam dan lingkungan sosialnya (adat kebiasaan).49

Ketika manusia lahir di lingkungan yang baik, maka pengaruhnya kepada pembentukan perilaku/ akhlaknya juga baik. Bila ia lahir di lingkungan yang kurang baik, maka akhlaknya juga menjadi tidak baik. Tuntunan agama sangat diperlukan untuk membentuk dan mengembangkan akhlak manusia.

4). Faktor Agama

Agama sebagai suatu sistem kepercayaan, maka ia harus selalu menjadi pegangan dalam spiritual yang membentuk ajaran keimanan dan ketakwaannya, yang akan menjadi motivasi dan pengendali dalam setiap sikap dan perilaku hidup manusia.50

Tatkala manusia itu mendapatkan kesenangan maka ia tidak takabur dan sombong, tetapi ia harus bersyukur kepada zat yang memberikan kesenangan yaitu Allah. Ketika ia ditimpa kesusahan sebagai suatu cobaan hidupnya maka ia tidak putus asa, tetapi ia harus bersabar menerima ketentuan Allah dan berusaha menghindarinya.

49

Mahyudin, Konsep Dasar Pendidikan Akhlak dalam Al-Qur’an dan Petunjuk Penerapannya dalam Hadits, h. 28.

50

Mahyudin, Konsep Dasar Pendidikan Akhlak dalam Al-Qur’an dan Petunjuk Penerapannya dalam Hadits, h. 29.

BAB III

GAMBARAN UMUM LATAR BELAKANG ORANG TUA DAN MI AL-IHSAN

A. Orang Tua

Untuk mengetahui sejauh mana peranan orang tua di rumah, sedikit akan disinggung mengenai latar belakang orang tua, dilihat dari tingkat pendidikan, ekonomi dan juga dari komunitas atau kehidupan sosialnya.

1. Latar Belakang Pendidikan

Setelah penulis teliti tentang latar belakang pendidikan orang tua ternyata sebagian besar para orang tua tersebut dapat mengenyam pendidikan baik dari tingkat sekolah dasar (SD), tingkat menengah bawah (SLTP), tingkat atas (SLTA) maupun perguruan tinggi (PT). Adapun jumlah para orang tua yang lulus perguruan tinggi (PT) kurang lebih 20 %, lulusan SLTA 30 %, lulusan SLTP 20 % dan sisanya adalah lulusan sekolah dasar (SD). Tingkat pendidikan yang tinggi inilah yang menunjang keberhasilan mereka dalam mendidik putera-puterinya menjadi generasi yang mempunyai imtaq dan iptek.

Dengan banyaknya orang tua yang berpendidikan SLTP, SLTA dan bahkan perguruan tinggi maka dari mereka ada yang berprofesi sebagai guru, wiraswasta dan tentu saja sebagian dari mereka ada yang bekerja sebagai pegawai di suatu perusahaan, ada juga dari mereka yang bekerja sebagai buruh seperti:

buruh supir, tukang bangunan dan lain-lain, menjadi guru mengaji di daerah lingkungan mereka dan menjadi ibu rumah tangga bagi putera-puteri mereka. 1 2. Keadaan Ekonomi

Pola perekonomian orang tua MI Al-Ihsan dapat dilihat melalui mata pencaharian. Apabila dilihat berdasarkan sumber mata pencaharian orang tua yang berada di lingkungan MI Al-Ihsan, pada umumnya mereka berprofesi sebagai guru sekolah, wiraswasta, pegawai, buruh, dan ada juga yang berprofesi sebagai guru mengaji di rumah mereka.

Mata pencaharian orang tua selain berprofesi seperti yang disebutkan diatas, ada juga sebagian orang tua yang mempunyai pekerjaan tambahan dengan berdagang atau membuka warung sembako di rumah-rumah. Pekerjaan ini biasanya dilakukan oleh ibu-ibu rumah tangga, warung-warung tersebut biasanya dibuat di depan rumah mereka dengan memanfaatkan sebuah ruangan yang ada di rumah mereka. Dengan melihat berbagai macam mata pencaharian orang tua murid diatas maka dapat disimpulkan bahwa keadaan ekonominya dalam taraf menengah kebawah atau mapan. Dominasi terkuat adalah mereka para buruh, pedagang atau wiraswasta sedangkan guru dan pegawai hanya beberapa orang saja.2

3. Keadaan Komunitas

Manusia adalah makhluk sosial atau yang hidup bermasyarakat, ini tidak dapat dipungkiri lagi. Baik jauh di puncak gunung, di tengah lautan belantara, manusia itu akan mengadakan hubungan satu dengan yang lainnya. Oleh sebab itu kehidupan sosial masyarakat atau orang tua MI Al-Ihsan satu sama lain saling

1

Laporan tentang Latar Belakang Pendidikan Orang Tua MI Al-Ihsan. Jakarta, 12 Juni 2006.

2

membantu dan rasa saling membutuhkan. Manusia tidak dapat hidup menyendiri, karena manusia memerlukan hubungan satu dengan yang lainnya, mereka memerlukan sarana penunjang perkembangan hidupnya. Akan tetapi yang pasti seluruh umat manusia di dunia ini hidup bermasyarakat baik dari golongan kecil maupun golongan besar.

Pada umummnya kehidupan masyarakat atau orang tua MI Al-Ihsan dikenal sebagai masyarakat religius (taat beragama). Mereka terdiri dari 80 % pribumi (asli betawi) dan 20 % non pribumi (masyarakat pendatang). Mereka merupakan keluarga besar yang mempunyai hubungan kekerabatan atau persaudaraan.

Dalam kehidupan sehari-hari, mereka satu sama lain selalu menjaga tali silaturrahmi antara tetangga dan berusaha untuk berbuat baik. Hal ini penulis rasakan bahwa setiap masyarakat yang penulis jumpai begitu ramah, sopan dan menerima dengan tangan terbuka terhadap tamu atau tetangga yang datang kerumahnya.

Di daerah lingkungan MI Al-Ihsan terlihat juga, suatu pola hidup yang tentram, tenang, rukun dan harmonis. Kerjasama, gotong-royong, sikap saling tolong-menolong dan hormat menghormati masih melekat kuat pada jiwa setiap masyarakat. Semua hal yang baik ini dilakukan pada setiap aktivitasnya.

Sistem gotong royong dan kerjasama yang mereka lakukan juga sudah melekat kuat pada jiwa setiap masyarakat, misalnya saja bila ada warga masyarakat yang mempunyai rencana untuk membersihkan lingkungan atau pun kerja bakti lainnya, mereka akan melakukannya dengan senang hati. Begitu juga apabila ada hari-hari besar Islam seperti Isra Mi'raj, Maulid Nabi, dan lain-lain

mereka akan saling membantu mempersiapkan segala macam untuk acara tersebut. Bila ada suatu masalah, masyarakat tersebut berusaha menyelesaikan masalah tersebut dengan cara musyawarah. Mereka disebut sebagai masyarakat yang saling berkaitan satu sama lain, berkelompok dan bersosialisasi.3

Dokumen terkait