• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Pembuatan Bioetanol

Bioetanol adalah alkohol yang diperoleh dari fermentasi komponen gula pada biomasa. Hingga saat ini etanol utamanya dibuat dari gula dan tepung biji bijian. Dengan kemajuan teknologi, etanol dapat dibuat dari selulosa biomasa, seperti pohon dan rumput. Selain biokonversi, etanol juga dapat dibuat dari sumber lain, yaitu dengan cara sintesa. Secara umum proses produksi bioetanol diuraikan di bawah ini. Pembuatan bioetanol yang menggunakan bahan baku tanaman yang mengandung pati, dilakukan dengan cara mengubah pati menjadi gula (glukosa) larut air. Konversi bahan baku tanaman yang mengandung pati atau karbohidrat dan tetes menjadi bioetanol ditunjukkan pada tabel 2.1.

Tabel 2.1 Konversi bahan baku tanaman yang mengandung pati atau karbohidrat dan tetes menjadi bioetanol [1].

Bahan Baku Kandungan Gula dalam Bahan Baku Jumlah Hasil Konversi Bioetanol (liter) Perbandingan Bahan Baku dan Bioetanol Jenis Konsumsi ( kg ) Ubi kayu 1000 250-300 166.6 6.5:1 Ubi Jalar 1000 150-200 125 8:1 Jagung 1000 600-700 200 5:1 Sagu 1000 120-160 90 12:1 Talas 1000 500 250 4:1

Pengubahan pati menjadi gula dapat dilakukan dengan dua metode yaitu hidrolisa asam dan hidrolisa enzim. Namun, pada saat ini metode yang lebih banyak digunakan adalah dengan hidrolisa enzim. Pada proses pengubahan pati menjadi gula larut air yang menggunakan metode hidrolisa enzim dilakukan dengan penambahan air dan enzim, selanjutnya dilakukan proses fermentasi gula menjadi etanol dengan menambahkan ragi. Reaksi yang terjadi pada proses produksi bioetanol secara sederhana ditunjukkan pada reaksi 1 dan 2 pada gambar 2.1 dibawah ini [1]:

(C6H10O5)n + H2O N C6H12O6 (1) (pati) enzim (glukosa)

(C6H12O6)n 2 C2H5OH + 2 CO2 (2) (glukosa) ragi (etanol)

Gambar 2.1 Reaksi Produksi Bioetanol [1].

Secara sederhana teknologi proses produksi bioetanol yang menggunakan bahan baku ubi kayu dapat dibagi dalam tiga tahap, yaitu gelatinasi, sakharifikasi, dan fermentasi. Pada proses gelatinasi ubi kayu dihancurkan kemudian ditambahkan air sehingga akan diperoleh bubur ubi kayu, dimana pati yang

dihasilkan diperkirakan mencapai 27-30 %. Kemudian pati yang telah diperoleh dari bubur ubi kayu tersebut dipanaskan selama 2 jam sehingga berbentuk gel. Pada umumnya, proses gelatinasi dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu:

1. Bubur pati dipanaskan sampai 130ºC selama 30 menit, kemudian didinginkan sampai mencapai temperatur 95ºC yang diperkirakan memerlukan waktu sekitar 15 menit. Kemudian selama sekitar 75 menit, kondisi temperatur 95ºC tersebut dipertahankan, sehingga total waktu yang dibutuhkan mencapai 2 jam. 2. Pati langsung ditambah enzim termamyl, kemudian dipanaskan sampai

mencapai temperatur 130ºC selama 2 jam.

Gelatinasi cara pertama, yaitu cara pemanasan bertahap mempunyai keuntungan, yaitu pada suhu 95ºC aktifitas termamyl merupakan yang paling tinggi, sehingga mengakibatkan ragi cepat aktif. Pemanasan dengan suhu 130ºC pada cara pertama tersebut dimaksudkan untuk memecah granula pati, sehingga lebih mudah terjadi kontak dengan air dan enzim serta dapat berfungsi untuk sterilisasi bahan, sehingga bahan tersebut tidak mudah terkontaminasi. Gelatinasi cara kedua, yaitu cara pemanasan langsung (gelatinasi dengan enzim termamyl) pada temperature 130ºC menghasilkan hasil yang kurang baik, karena mengurangi dapat mengurangi aktifitas dari ragi. Hal tersebut disebabkan gelatinasi dengan enzim pada suhu 130ºC akan terbentuk tri-phenyl-furane yang mempunyai sifat racun terhadap ragi. Gelatinasi pada suhu tinggi tersebut juga akan berpengaruh terhadap penurunan aktifitas termamyl, karena aktifitas

termamyl akan semakin menurun setelah melewati suhu 95ºC. Selain itu,

tingginya temperature tersebut juga akan mengakibatkan half life dari termamyl semakin pendek, sebagai contoh pada temperature 93ºC, half life dari termamyl adalah 1500 menit, sedangkan pada temperature 107ºC, half life termamyl tersebut adalah 40 menit. Hasil gelatinasi dari ke dua cara tersebut didinginkan sampai mencapai temperatur 55ºC, kemudian ditambah SAN untuk proses sakharifikasi dan selanjutnya difermentasikan dengan menggunakan ragi. Ragi yang sering digunakan dalam fermentasi alkohol adalah Saccharomycescerevisiae, karena jenis ini dapat berproduksi tinggi, toleran terhadap alkohol yang cukup

tinggi (12-18%), tahan terhadap kadar gula yang tinggi dan tetap aktif melakukan fermentasi pada suhu 4-32ºC [1].

Proses fermentasi dimaksudkan untuk mengubah glukosa menjadi bioetanol. Mekanisme reaksi pada proses fermentasi dapat dilihat pada Gambar 2.2. Pada saat keadaan aerob asam piruvat diubah menjadi asetil-koenzimA. Tetapi karena ragi Saccharomyzes ceraviseze dalam keadaan anaerob, asam piruvat diubah menjadi etanol dengan bantuan piruvat dekarboksilase dan alkohol dehidrogenase melalui proses fermentasi alkohol [1].

Gambar 2.2 Reaksi pengubahan piruvat menjadi alcohol [1].

Bioetanol yang dihasilkan dari proses fermentasi biasanya masih mengandung gas-gas antara lain CO2 dan aldehyde. Gas CO2 pada hasil fermentasi tersebut biasanya mencapai 35%, sehingga untuk memperoleh bioetanol yang berkualitas baik, maka bioetanol tersebut harus dibersihkan dari gas tersebut. Proses pembersihan CO2 dilakukan dengan menyaring bioetanol yang terikat oleh CO2, sehingga dapat diperoleh bioetanol yang bersih dari gas CO2. Pada umumnya bioetanol atau alkohol yang dihasilkan dari proses fermntasi yang mempunyai kemurnian sekitar 30% - 40%, sehingga harus dimurnikan lagi. Agar mendapatkan kadar bioetanol lebih dari 95% dan dapat dipergunakan sebagai bahan bakar, alkohol hasil fermentasi yang mempunyai kemurnian sekitar 30 - 40% tersebut harus melewati proses destilasi untuk memisahkan alkohol dengan air [1].

Destilasi merupakan pemisahan larutan berdasarkan titik didihnya. Titik didih etanol murni adalah 78ºC sedangkan air adalah 100ºC. Dengan memanaskan larutan pada suhu rentang 78 - 100ºC akan mengakibatkan sebagian besar etanol menguap.

Destilasi fraksinasi merupakan pemisahan atau pengambilan uap dari setiap tingkat yang berbeda dalam kolom destilasi. Produk yang lebih berat diperoleh di bagian bawah, sedangkan yang lebih ringan akan keluar dari bagian atas kolom. Dari hasil destilasi ini, kadar bioetanolnya berkisar antara 95-96%. Namun, pada kondisi tersebut campuran membentuk azeotrope, yang artinya campuran alkohol dan air sukar untuk dipisahkan.Untuk memperoleh bioetanol dengan kemurnian lebih tinggi dari 99,5% atau yang umum disebut Fuel Grade

Ethanol, masalah yang timbul adalah sulitnya memisahkan hidrogen yang terikat

dalam struktur kimia alcohol dengan cara destilasi biasa, oleh karena itu untuk mendapatkan Fuel Grade Etanol dilaksanakan pemurnian lebih lanjut dengan cara azeotropic destilasi.

Untuk menghasilkan anhydrous alcohol, kondisi azeotrope harus dipecahkan dengan bahan pelarut lain. Bahan pelarut yang biasa digunakan adalah benzene atau n-hexane. Cara lain yang umum dipakai adalah desiccants

process dan molecular sieves. Pada proses desiccant, untuk mendapatkan

anhydrous alcohol digunakan bahan kimia yang sifatnya stabil yang bereaksi

hanya dengan air, dan tidak bereaksi dengan alkohol. Contohnya adalah kalsium oksida. Reaksi antara CaO dengan air mengeluarkan panas, sehingga perlu rancangan khusus pada kolomnya. Selain itu berbagai macam pati juga dapat dipakai sebagai dessicant. Molecular sieves adalah kristal aluminosilikat, merupakan bahan penyaring yang tidak mengalami hidrasi maupun dehidrasi pada struktur kristalnya. Molekul penyaring ini secara selektif menyerap air, karena lubang kristalnya mempunyai ukuran lebih kecil dibanding ukuran molekul alkohol, dan lebih besar dibandingkan molekul air. Alkohol yang berbentuk cair maupun uap dilewatkan kolom yang berisi bahan penyaring, air akan tertahan dalam bahan tersebut dan akan diperoleh alkohol murni. Biasanya proses ini menggunakan dua kolom, kolom kedua untuk aliran uap alkohol

sedangkan pada kolom pertama setelah proses dialirkan udara atau gas panas untuk menguapkan air.

Pada industri pembuatan etanol, juga akan diperoleh hasil lain, baik yang dapat dimanfaatkan langsung maupun harus diproses lebih lanjut. Hasil samping tersebut antara lain stillage, karbondioksida, dan minyak fusel.Stillage adalah sisa destilasi yang tertinggal dalam kolom bagian bawah dan masih bercampur dengan air. Stillage tersebut masih banyak mengandung bahan-bahan organik yang tidak terfermentasikan. Stillage dari proses destilasi jumlahnya cukup besar, yaitu 10-13 kali jumlah alkohol yang dihasilkan. Mengingat bahan yang terkandung di dalamnya, maka stillage dapat dimanfaatkan sebagai pupuk, makanan ternak dan biogas. Sedangkan gas karbondioksida yang dihasilkan selama proses fermentasi biasanya diserap dan dimurnikan kemudian ditekan menjadi bentuk cair. Minyak fosil yang pada prinsipnya merupakan campuran amyl, butyl, isobutyl,

n-propyl dan iso-n-propyl alkohol juga asam-asam, ester maupul aldehid, dapat

digunakan sebagai bahan baku kimia, bahan pelarut dan bahan bakar. Agar lebih jelas, proses pembuatan bioetanol dapat dilihat pada gambar 2.3 di bawah ini [1].

(a) (b)

Gambar 2.3 (a) Proses pembuatan bioetanol dari bahan berpati, (b) Diagram alir proses pembuatan bioetanol dari ubi kayu [1].

Dokumen terkait