BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.3 Pembuatan Mikropartikel Menggunakan Metode
memerlukan beberapa bahan dan kondisi agar mikropartikel yang dihasilkan memiliki karakteristik yang ditargetkan.
2.3.1. Material
Material yang digunakan pada pembuatan mikropartikel menggunakan metode ini terdiri dari dua fase, yaitu fase dispersi dan fase kontinyu.
2.3.1.1. Fase Dispersi
Fase disperse pada metode ini terdiri dari polimer, pelarut dan komponen lain yang perlu diperhatikan oleh peneliti agar mikropartikel yang terbentuk sesuai dengan yang ditargetkan.
a. Polimer
Metode pembuatan mikropartikel adalah faktor penting dalam enkapsulasi dan pelepasan obat. Penyiapan bahan termasuk tipe polimer, berat polimer, komposisi kopolimer, sifat eksipien yang ditambahkan pada formula mikropartikel, dan ukuran mikropartikel dapat berpengaruh besar pada kecepatan penghantaran obat (Muhaimin, 2013).
Tipe dan mekanisme polimer degradasi dapat mempengaruhi kecepatan pelepasan. Berdasarkan kecepatan terhidrolisis pada gugus fungsional, polimer dapat dikategorikan menjadi dua tipe, yaitu surface eroding (pengikisan permukaan) dan bulk eroding (pengikisan bulk) (Burkersroda et al., 2002; Kang et al., 2012; Kumar et al., 2002; Tabata et al., 1993; Tamada and Langer, 1993;
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Wagdare et al., 2011 dalam Muhaimin, 2013). Polimer tipe pengikisan bulk seperti PLG, dapat menyebar pada air kemudian menjadi matriks polimer dan terdegradasi pada seluruh matriks mikropartikel. Berbeda dengan polimer pengikisan permukaan seperti polianhidrida yang mengandung monomer hidrofobik dengan ikatan lemah. Tipe polimer ini mencegah agar air tidak berpenetrasi ke dalam polimer bulk, dimana akan terdegradasi secara cepat menjadi oligomer dan monomer pada interfase polimer/air melalui proses hidrolisis (Saltzman, 2001 Muhaimin, 2013).
Mikropartikel polimer pengikisan bulk sering terjadi obat pecah sebesar
50% dari total obat yang terdapat dalam mikropartikel tersebut (O’Donnell and
McGinity, 1997 dalam Muhaimin, 2013). Pelepasan obat terjadi selama inkubasi pada beberapa jam pertama, diikuti dengan difusi pelepasan obat terkontrol secara pelan dan kadang-kadang fase ketiga dimana obat tersisa akan dilepaskan secara cepat. Hal ini terjadi akibat degradasi matriks polimer yang parah. Pada mikropartikel yang mengandung polimer pengikisan permukaan, obat dilepaskan pada permukaan ketika polimer pecah. Erosi pada polimer ini umumnya terjadi dengan kecepatan konstan (Gopferich and Langer, 1993; Kanjickal et al., 2004 Muhaimin, 2013). Apabila obat yang diinginkan terdispersi secara homogen dalam mikropartikel, kecepatan pelepasan yang tinggi akan terjadi pada awalnya. Seiring berjalannya waktu, area permukaan sferis dan kecepatan pelepasan akan menurun secara asimtomatis (Muhaimin, 2013).
Polimer dengan berat molekul besar dapat mempengaruhi degradasi polimer dan kecepatan pelepasan obat. Peningkatan berat molekul dapat menurunkan kemampuan difusi dan mengurangi kecepatan pelepasan obat (Alonso et al., 1994; Katou et al., 2008; Le Corre et al., 1994; Liggins and Burt, 2001; Mabuchi et al., 1994; Yang et al., 2001dalam Muhaimin, 2013). Mekanisme utama pelepasan obat adalah difusi melalui pori yang terisi air. Degradasi polimer menghasilkan monomer dan oligomer yang larut sehingga dapat berdifusi keluar dari partikel. Produk yang lebih kecil akan dihasilkan oleh degradasi cepat dari polimer dengan berat molekul yang lebih rendah. Penurunan kecepatan pelepasan yang sejalan dengan kenaikan berat molekul polimer digunakan untuk molekul kecil, peptida dan protein (Blanco and Alonso, 1998;
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Mehta et al., 1996 dalam Muhaimin, 2013). Akan tetapi pada mikrosfer polianhidrida (polimer tipe pengikisan permukaan), berat molekul hanya memberikan efek kecil pada pelepasan obat (Hanes et al., 1996; Tabata and Langer, 1993dalam Muhaimin, 2013). Rasio kopolimer pada berbagai kopolimer juga dapat memberikan efek pada kecepatan pelepasan. Selain itu peningkatan bahan yang dapat mempercepat degradasi monomer dapat meningkatkan kecepatan pelepasan (Lin et al., 2000; Shen et al., 2002; Spenlehauer et al., 1989 dalam Muhaimin, 2013). Ketika pelepasan obat dikontrol dengan polimer pengikis, kecepatan pelepasan dapat meningkat sejalan dengan tingginya konsentrasi monomer yang larut atau monomer yang lebih kecil (Tabata and Langer, 1993 dalam Muhaimin, 2013). Efek komposisi polimer dapat menjadi kompleks dengan adanya perbedaan fase polimer atau termodinamik obat yang terenkapsulasi (Kipper et al., 2002 dalam Muhaimin, 2013).
b. Pelarut
Sifat pelarut yang sesuai digunakan dalam pembuatan mikropartikel menggunakan metode penguapan pelarut adalah dapat melarutkan polimer yang digunakan, sedikit larut pada fase kontinyu, volatilitas tinggi, titik didih rendah, dan toksisitas rendah (Li et al., 2008 dalam Muhaimin, 2013)
Sebelumnya kloroform sering digunakan, akan tetapi karena toksisitas dan tekanan uap yang rendah, pelarut ini digantikan oleh diklorometan. Diklorometan (metilen klorida) adalah pelarut yang paling banyak digunakan untuk enkapsulasi menggunakan metode penguapan pelarut karena volatilitas yang tinggi, titik didih rendah dan ketidakbercampuran dengan air yang tinggi (Li et al., 2008 dalam Muhaimin, 2013).
Selain itu etil asetat juga berpotensi digunakan karena memiliki toksisitas yang lebih rendah dari diklorometan. Akan tetapi kebercampuran parsial etil asetat dalam air (4,5 kali lebih tinggi dari diklorometan), mikrosfer tidak dapat terbentuk apabila fase terdispersi dikenali secara langsung oleh fase kontinyu. Ekstraksi mendadak etil asetat dari fase terdispersi menyebabkan polimer terpresipitasi menjadi serat seperti aglomerat (Freytag et al, 2000 dalam Muhaimin, 2013). Guna menyelesaikan masalah ketercampuran pelarut dengan air dapat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
menggunakan tiga metode,yaitu larutan encer dijenuhkan terlebih dahulu dengan pelarut (Bahl and Sah, 2000 dalam Muhaimin, 2013). Metode kedua dengan mengemulsifikasikan fase dispersi dengan sedikit larutan encer. Setelah pembentukan droplet, emulsi ini dimasukan ke dalam larutan encer dalam jumlah besar (Freytag et al, 2000 dalam Muhaimin, 2013). Metode terakhir adalah mengemulsikan fase dispersi dengan sedikit larutan encer kemudian larutan diagitasi dan pelarut menguap sehingga terjadi pemadatan mikrosfer (Sah, 1997 dalam Muhaimin, 2013).
Kesimpulannya, pelarut dengan toksisitas rendah telah diuji dan menunjukan bahwa pelarut tersebut dapat digunakan untuk pembuatan mikropartikel. Akan tetapi belum ada hasil yang cukup untuk membandingkan kualitas mikrosfer dengan pelarut yang berbeda. Diklorometan masih menjadi pelarut yang paling banyak digunakan karena cepat menguap, efisiensi enkapsulasi obat tinggi, menghasilkan bentuk mikrosfer yang sferis dan lebih seragam (Muhaimin, 2013).
c. Komponen Lain
Pada beberapa kasus, bahan lain yang ditambahkan pada fase dispersi seperti kosolven dan generator penyerap (Muhaimin, 2013). Kosolven digunakan untuk melarutkan obat yang tidak larut dalam pelarut pada fase dispersi (Graves et al., 2006; Hsu and Lin, 2005; Li et al., 2008; Luan et al., 2006; Reithmeier et al., 2001 dalam Muhaimin, 2013).
Generator penyerap atau yang disebut porosigen atau porogen digunakan untuk menghasilkan pori di dalam mikropartikel sehingga dapat meningkatkan kecepatan degradasi polimer dan meningkatkan kecepatan pelepasan obat (Li et al, 2008 dalam Muhaimin, 2013). Pelarut organik seperti heksan yang tidak melarutkan poli asam laktat dan poli asam laktat koglikol dapat dicampurkan ke dalam mikrosfer untuk membentuk pori (Li et al., 2008; Spenlehauer et al, 1986 dalam Muhaimin, 2013). Penggabungan Sephadex (sambung silang gel dekstran) dalam mikrosfer insulin-PLA dapat meningkatkan porositas mikrosfer secara signifikan (Li et al, 2008; Watts et al, 1990 dalam Muhaimin, 2013). Sejumlah n-heptan dengan volume tertentu ditambahkan pada emulsi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
etilselulosa/diklorometan untuk enkapsulasi aspirin, juga untuk meningkatkan porositas obat. Akan tetapi pemberian n-heptan yang berlebihan menyebabkan mikrosfer memiliki porositas tinggi sehingga menyebabkan efisiensi enkapsulasi obat rendah (Li et al, 2008; Yang et al, 2000a dalam Muhaimin, 2013).
2.3.1.2. Fase Kontinyu a. Surfaktan
Surfaktan atau juga disebut agen tensioaktif sering digunakan untuk mendispersikan satu fase ke fase lain yang tidak bercampur dan menstablikan emulsi. Surfaktan dapat mengurangi tegangan permukaan fase kontinyu, menghindari koalesen dan aglomerasi droplet dan menstabilkan emulsi. Surfaktan yang sesuai dapat menghasilkan mikropartikel dengan ukuran umum dan distribusi ukuran partikel yang kecil. Selain itu surfaktan dapat menjamin pelepasan obat untuk menjadi lebih terprediksi dan stabil. Sebelum memilih tipe dan konsentrasi surfaktan, perlu terlebih dahulu mengetahui polaritas kedua fase tidak bercampur, ukuran mikropartikel yang diinginkan dan sferisitas mikropartikel. Surfaktan untuk emulsi bersifat ampifilik. Salah satu bagian molekul memiliki afinitas untuk menjadi zat terlarut yang polar seperti air dan bagian lain memiliki afinitas menjadi zat tidak polar seperti hidrokarbon (hidrofobik). Ketika surfaktan dicampurkan dalam emulsi, surfaktan akan menutupi permukaan droplet dengan bagian hidrofobiknya dalam droplet dan bagian hidrofilik terdapat dalam air (Li et al, 2008 dalam Muhaimin, 2013). Terdapat empat klasifikasi surfaktan berdasarkan bagian hidrofilik dalam
molekulnya, yaitu anionik, kationik, amfoterik, dan non ionik. Surfaktan anioik menghasilkan muatan negatif pada larutan kontinyu. Surfaktan ini memiliki HLB atau hydrophilic-lipophile balance (keseimbangan hidrofilikk-lipofilik) tinggi karena surfaktan jenis ini memiliki kecenderungan bersifat hidrofil. Tipe kedua adalah surfaktan kationik. Surfaktan ini memberikan muatan positif pada larutan encer. Tipe selanjutnya adalah surfaktan amfoterik. Surfaktan amfoterik bersifat anionik pada pH basa dan bersifat kationik pada pH asam. Tipe terakhir adalah surfaktan non ionik. Surfaktan non ionik tidak memiliki muatan (Li et al., 2008 dalam Muhaimin, 2013)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Sebagian besar emulsi diklorometan/air, menggunakan beberapa tipe surfaktan. Pertama adalah tipe non ionik misalnya PVA (Polivinil Alkohol) terhidrolisis sebagian, metil selulosa (Berchane et al., 2006; Lee et al., 1999 dalam Muhaimin, 2013), tweenn (Yang et al., 2000 dalam Muhaimin, 2013) dan span (Jalil and Nixon., 1990a dalam Muhaimin, 2013). Tipe kedua adalah tipe anionik, misalnya SDS atau sodiun dodecyl sulphate (natrium dodesil sulfat) (Muhaimin, 2013). Tipe selanjutnya adalah tipe kationik: CTAB atau
cetyltrimethyl ammonium bromide (setiltrimetil amonium bromida) (Muhaimin, 2013)
Dari kesekian surfaktan ini, yang paling umum digunakan adalah PVA karena PVA dapat menghasilkan ukuran mikrosfer yang paling kecil (Jeffery et al., 1991 dalam Muhaimin, 2013). Peningkatan konsentrasi surfaktan dapat mengurangi ukuran mikropartikel (Pachuau, L., B, Mazumder, 2009). Penambahan surfaktan dapat menurunkan tegangan permukaan fase kontinyu sehingga dapat mengurangi ukuran partikel. Akan tetapi selama konsentrasi misel kritis atau critical micelle concentration (CMC), tegangan permukaan tidak dapat menurun. Ketika konsentrasi surfaktan mencapai level tertentu, permukaan larutan dapat diisi secara sempurna. Penambahan surfaktan lebih lanjut dapat menyebabkan terbentuknya misel dan tegangan permukaan fase encer tidak akan menurun lagi (Li et al, 2008 dalam Muhaimin, 2013).
b. Antifoam (Antibusa)
Selain surfaktan, antibusa terkadang ditambahkan pada fase kontinyu ketika dilakukan agitasi yang kuat karena busa dapat mengganggu pembentukan mikrosfer. Ketika kecepatan pengadukan ditingkatkan, udara akan banyak masuk dan membentuk busa. Antibusa yang digunakan dapat berupa silika atau nonsilika dan digunakan saat kecepatan dinaikan dimana gelembung udara sudah tidak teratur (Berchane et al, 2006; Li et al, 2008; Torres et al, 1998 dalam Muhaimin, 2013).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.3.2. Kondisi dalam Pembuatan Mikropartikel Menggunakan Metode Penguapan Pelarut
Faktor lain yang perlu diperhatikan oleh peneliti pada pembuatan mikropartikel menggunakan metode penguapan pelarut adalah kondisi dalam pembuatan mikropartikel. Kondisi tersebut adalah agitasi, prediksi ukuran, suhu, dan tekanan.
2.3.2.1. Agitasi dan Prediksi Ukuran
Agitasi adalah salah satu parameter paling penting untuk mengontrol ukuran mikropartikel selain sifat fisikokimia material yang digunakan. Banyak faktor yang berhubungan dengan agitasi yang dapat memberikan efek pada ukuran mikropartikel, misalnya geometri wadah, dorongan, posisi dorongan, dan rasio diameter dorongan apabila dibandingkan dengan diameter wadah (Li et al, 2008; Maa and Hsu, 1996 dalam Muhaimin, 2013). Terdapat beberapa korelasi yang dapat memprediksi ukuran dan distribusi droplet dalam emulsi dua cairan tidak bercampur (Maa and Hsu, 1996 dalam Muhaimin, 2013). Korelasi ini memiliki dua aspek, yaitu:
a. Sifat fisik bahan, seperti masa jenis fase kontinyu dan tegangan antarmuka b. Faktor yang berhubungan dengan agitasi (Li et al. 2008 dalam Muhaimin,
2013)
Peningkatan kecepatan agitasi dapat menurunkan rata-rata ukuran mikropartikel (Mateovic et al., 2002; Yang et al.,2000b dalam Muhaimin, 2013). Disisi lain dilaporkan bahwa peningakatan volume fase dispersi dapat menurunkan ukuran mikropartikel (Jeffery et a., 1991, 1993; Jeyanthi et al, 1997; Li et al, 2008 dalam Muhaimin, 2013), namun pada studi lain tidak ada pengaruh yang diteliti (Sansdrap and Moës, 1993 dalam Muhaimin, 2013).
2.3.2.2. Suhu dan tekanan
Kecepatan penguapan pelarut dapat dipercepat dengan peningkatan suhu fase kontinyu (Li, 1994; Li et al., 2008; Miyazaki et al., 2006 dalam Muhaimin, 2013) atau dengan mengurangi tekanan wadah atau reaktor (Izumikawa et al., 1991; Chung et al., 2001, 2002; Meng et al., 2004 dalam Muhaimin, 2013). Akan tetapi terdapat kekurangan saat suhu dinaikan, yaitu terjadi penurunan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
massa total perolehan kembali, perubahan distribusi ukuran menjadi lebih besar, penurunan efisiensi enkapsulasi obat, dan morfologi menjadi lebih kasar (Freitas
et al., 2005 dalam Muhaimin, 2013). Suhu yang digunakan tidak boleh terlalu tiggi supaya obat tetap bersifat alami dan agar pelarut dapat mencapai titik didih. Oleh karena itu pengurangan tekanan menjadi pilihan yang lebih baik (Li et al, 2008 dalam Muhaimin, 2013).
Studi yang dilakukan oleh Meng et al (2004), pengisian hemoglobin bovin pada mikrosfer PELA atau poly(d,l-lactic acid)-co-poly(ethylene glycol) (poli asam laktat kopolietilen glikol) dibuat menggunakan metode emulsi air/minyak/air dengan kondisi tekanan atmosfir dan kondisi penurunan tekanan (30 kPa). Waktu pemadatan mikropartikel menurun dari 240 menit menjadi 40 menit akibat penurunan tekanan. Pengurangan tekanan dapat meningkatkan efisiensi enkapsulasi pada beberapa kasus (Li et al., 2008 dalam Muhaimin, 2013). Progesteron yang dimasukan pada mikrosfer polilaktida menggunakan teknik penguapan pelarut minyak/air, didapatkan hasil bahwa efisensi enkapsulasi lebih besar pada mikrosfer yang dibuat menggukan metode penguapan pelarut dengan penurunan tekanan, yaitu 200 mmHg lebih rendah daripada tekanan atmosfir mula-mula yaitu 760 mmHg. Akan tetapi penelitian lain menunjukan hasil yang berbeda (Izumikawa et al., 1991 dalam Muhaimin, 2013). Efisiensi enkapsulasi lidokain (Chung et al., 2001 dalam Muhaimin, 2013) atau albumin (Chung et al., 2002 dalam Muhaimin, 2013) pada mikrosfer PLA yang dibuat dengan penurunan tekanan lebih rendah daripada mikropartikel yang dibuat menggunakan tekanan atmosfir. Morfologi permukaan mikrosfer yang diukur menggunakan scanning electron microscopy pada mikrosfer yang dibuat menggunakan metode tekanan atmosfir menunjukan permukaan yang berpori dan keras (Izumikawa et al., 1991 dalam Muhaimin, 2013). Sementara mikrosfer yang dibuat menggunakan metode pengurangan tekanan memiliki permukaan yang halus. Mikrosfer yang dibuat dengan tekanan yang berbeda memiliki ukuran yang mirip dengan penelitian Meng et al (2004). Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Chung et al (2001, 2002) dimana mikrosfer yang dibuat menggunakan metode penurunan tekanan memiliki ukuran yang lebih kecil daripada yang dibuat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
menggunakan tekanan atmosfir. Pengaruh tekanan pada ukuran mikrosfer masih belum jelas karena penelitian yang masih kurang (Muhaimin, 2013).
Penurunan tekanan dapat meningkatkan kecepatan penguapan sehingga tekanan yang digunakan sebaiknya serendah mungkin. Namun apabila tekanan lebih rendah dari tekanan uap jenuh pelarut pada suhu tertentu, pelarut akan mendidih. Pembentukan gelembung dapat merusak droplet fase dispersi, jadi pengurangan tekanan perlu dijaga agar tidak melebihi tekanan uap jenuh pelarut pada suhu tertentu. Analisi lain menunjukan bahwa suhu harus dijaga pada titik didih saat dilakukan pengurangan tekanan (Li et al, 2008 dalam Muhaimin, 2013).