INSTITUT PERTANIAN BOGOR
METODE PENELITIAN
3.4 Metode Pengambilan Data 1 Penentuan Jenis Pohon
3.4.3 Pembuatan Sediaan Mikroskopis
Sampel daun yang telah diambil kemudian dianalisis di Laboratorium Anatomi Tumbuhan Departemen Biologi Fakultas MIPA IPB. Pengamatan dilakukan terhadap sayatan paradermal dan transversal daun.
1. Sayatan paradermal dibuat dalam bentuk preparat semi permanen dengan perwarnaan safranin 1% mengikuti metode Wholemount (Sass 1951) (Lampiran 3) yaitu:
a. Daun Difiksasi dalam alkohol 70%
b. Larutan fiksatif dibuang lalu diganti dengan akuades.
c. Daun dilunakkan dengan merendamnya di dalam larutan HNO3 50% selama 1 - 4 hari (Gambar 3), sebelum dibuat sayatan paradermal, daun dicuci terlebih dahulu dengan akuades.
Gambar 3 Perendaman daun di dalam larutan HNO₃ 50%.
d. Jaringan epidermis permukaan atas dan bawah daun disayat dengan pinset. Kemudian jaringan palisade yang terbawa dikerik sampai bersih dengan pisau silet sehingga diperoleh lapisan epidermis yang tipis (Gambar 4).
17
Gambar 4 Penyayatan epidermis daun dengan silet.
e. Sayatan epidermis daun diwarnai dengan pewarna tunggal yaitu safranin 1% (aquosa) selama 3-5 menit, diberi media gliserin 10% dan ditutup dengan gelas penutup (Gambar 5).
Gambar 5 Hasil sayatan paradermal.
2. Sayatan transversal digunakan metode parafin (Johansen 1940) (Lampiran 4). Adapun tahapan pembuatan preparat daun adalah:
a. Fiksasi : bahan difiksasi selama 48 jam dalam larutan FAA yang terdiri dari formaldehid, asam asetat glasial dan alkohol 70% dengan perbandingan 5:5:90.
b. Pencucian : larutan fiksatif dibuang dan dicuci dengan alkohol 50% sebanyak 4 kali dengan waktu penggantian masing-masing selama 1 jam.
18
c. Dehidrasi dan penjernihan : dilakukan secara bertahap dengan merendam bahan dalam larutan seri Johansen I-VII, adapun komposisi masing- masing larutan seri Johansen (Lampiran 1)
d. Infiltrasi : wadah berisi material dan campuran TBA, minyak parafin serta parafin beku disimpan pada suhu kamar selama 1-4 jam (tutup dibuka) (Gambar 6); lalu dimasukkan ke dalam oven (58 ºC) selama 12 jam (tutup dibuka). Keesokan harinya dilakukan 3 kali penggantian parafin setiap 6 jam dalam oven dengan suhu 58 ºC (Gambar 7).
Gambar 6 Infiltrasi parafin murni.
Gambar 7 Oven ABC Labo Corporation KP-30AT.
e. Penanaman (blok) : satu jam sebelum penanaman material, dilakukan penggantian parafin dengan parafin cair murni dan disimpan dalam oven
19
pada suhu 58 ºC. Selanjutnya material siap ditanam dalam blok parafin (Gambar 8).
(a) (b)
Gambar 8 Penanaman dalam blok parafin (a) dan pengaturan posisi sampel (b).
f. Pelunakkan jaringan : blok yang berisi material dilunakkan dengan merendam dalam larutan Giffort (Lampiran 2) selama satu minggu (Gambar 9)
Gambar 9 Perendaman blok di dalam larutan Gifford.
g. Penyayatan : blok yang sudah dirapikan ditempel pada holder dan disayat dengan mikrotom putar Yamato RV-240 setebal 9 µm (Gambar 10).
20
(a) (b)
Gambar 10 Penempelan blok pada holder (a) dan mikrotom putar Yamato RV- 240 (b).
h. Perekatan : sayatan direkatkan pada gelas obyek yang telah diolesi gelas albumin-gliserin dan ditetesi air. Kemudian gelas berisi pita parafin dipanaskan pada hot-plate dengan suhu 40 ºC selama 24 jam (Gambar 11).
Gambar 11 Pemanasan pita parafin pada hot-plate.
i. Pewarnaan : dilakukan pewarnaan ganda yang terdiri dari safranin 2% dalam air dan fast-green 0,5% dalam etanol 95%.
j. Penutupan : bahan diberi media entellan lalu ditutup dengan gelas penutup (Gambar 12).
21
Gambar 12 Pemberian media perekat entellan.
k. Pengeringan : preparat di masukkan ke dalam oven Memmert dengan suhu 41ºC agar media entellan cepat kering (Gambar 13).
(a) (b)
Gambar 13 Preparat yang siap dimasukkan ke oven (a) dan Oven Memmert (b).
3.4.4 Pengamatan Sediaan Mikroskopis
Parameter anatomi daun yang diamati diantaranya :
a. Pada sediaan sayatan paradermal adalah ukuran, bentuk, dan jumlah stomata, jumlah sel epidermis, serta ukuran, bentuk dan jumlah trikoma (kelenjar atau tidak berkelenjar). Semua pengamatan dilakukan menggunakan mikroskop Olympus CH12. Pengamatan jumlah, bentuk dan
22
ukuran stomata, jumlah sel epidermis, serta ukuran trikoma kelenjar dilakukan pada perbesaran 40 x 10. Jumlah trikoma kelenjar, serta jumlah dan ukuran trikoma tidak berkelenjar diamati pada perbesaran 10 x 10. Pengamatan jumlah stomata dan sel epidermis diamati pada lima bidang pandang yang berbeda dengan lima ulangan, sedangkan pengamatan trikoma kelenjar atau tidak berkelenjar dilakukan pada tiga bidang pandang yang berbeda dengan lima ulangan. Jumlah stomata dan sel epidermis digunakan untuk mendapatkan indeks stomata (Willmer 1983). Kerapatan stomata dan trikoma didapatkan dengan perbandingan jumlah stomata atau trikoma dengan luas bidang pandang (Willmer 1983). Penentuan indeks dan kerapatan stomata dengan rumus sebagai berikut:
IS = Σ stomata x 100 Σ stomata + Σ sel epidermis
KS*) = Σ stomata
mm² Luas bidang pandang
Luas bidang pandang = πr₀²
Keterangan :
IS = Indeks Stomata KS = Kerapatan Stomata
r₀ = Jari-jari bidang pandang pada mikroskop
*) Rumus yang sama digunakan untuk menentukan kerapatan trikoma
b. Parameter anatomi daun yang diamati pada sayatan transversal adalah tebal kutikula adaksial dan abaksial, tebal daun, tebal epidermis adaksial dan abaksial, tebal palisade adaksial dan abaksial, tebal bunga karang, serta tebal hipodermis adaksial dan abaksial. Pengamatan menggunakan mikroskop Olympus CH12 dengan perbesaran 100 x 10 untuk parameter tebal kutikula adaksial dan abaksial, serta perbesaran 40 x 10 untuk parameter tebal daun, tebal epidermis adaksial dan abaksial, tebal palisade adaksial dan abaksial, tebal bunga karang, serta tebal hipodermis adaksial dan abaksial. Pengamatan dilakukan pada empat bidang pandang yang berbeda dengan tiga ulangan tanaman.
23
3.5 Analisis Data
Data dianalisis dengan uji t-student menggunakan Statistic Product and Service Solution (SPSS) 16.0 untuk menguji pembandingan antara tanaman di lokasi yang relatif tercemar dengan lokasi kurang tercemar. Parameter anatomi yang yang dibandingkan meliputi kerapatan stomata, indeks stomata, ukuran stomata, tebal daun, tebal kutikula adaksial dan abaksial, tebal epidermis adaksial dan abaksial, tebal palisade adaksial dan abaksial, tebal bunga karang serta tebal hipodermis adaksial dan abaksial.
Kriteria uji menggunakan tingkat kepercayaan 95% atau jika nilai t-hit > t- tabel, maka terdapat perbedaan yang nyata.
Asumsi :
H0 : Pencemaran udara dari debu vulkanik Merapi tidak memberikan pengaruh nyata terhadap parameter yang diamati.
H1 : Pencemaran udara dari debu vulkanik Merapi memberikan pengaruh nyata terhadap parameter yang diamati.
Hasil analisis statistik data yang dianalisis didapatkan dengan menggunakan nilai signifikansi.
Signifikansi < 0,05 = Berbeda Nyata (Tolak H0, terima H1) Signifikansi ≥ 0,05 = Tidak Berbeda Nyata (Tolak H1, terima H0)
BAB IV
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Kota Yogyakarta
4.1.1 Sejarah dan Perkembangan Kota Yogyakarta
Kota Yogyakarta terletak di Pulau Jawa, 500 km ke arah selatan dari DKI Jakarta, Ibukota Negara Republik Indonesia. Secara historis, Kota Yogyakarta berawal dari sebuah Kota Istana atau Kota Keraton yang bernama Ngayogyakarta Hadiningrat yang terletak di daerah agraris pedalaman Jawa yang dibangun pada tahun 1756 oleh Sultan Hamengkubuwono I (Pangeran Mangkubumi). Pendirian kota ini dilakukan setelah terjadi peristiwa Palihan Nagari atau Pembagian Dua Kerajaan (Surakarta – Yogyakarta) pada tahun 1755 sebagai hasil perjanjian Giyanti.
Pada awal perkembangannya, permukiman di Kota Yogyakarta cenderung memusat pada poros besar selatan-utara. Permukiman berupa kampung tempat tinggal penduduk lambat laun tumbuh di sekitar poros yang melintasi istana dari alun-alun utara, Jalan Malioboro hingga ke Tugu. Tempat-tempat permukiman itu lazim disebut sebagai kampung dan namanya diberikan sesuai dengan tugas dan pekerjaan dari penduduk yang menempatinya. Pada awal abad ke 20 pola permukiman penduduk dan stuktur kota tampak semakin memusat dan padat. Kota Yogyakarta dikenal memiliki karakter khas yang mewarnai kehidupan masyarakatnya.
4.1.2 Letak Geografis dan Batas Administratif
Kota Yogyakarta berkedudukan sebagai ibukota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan merupakan satu-satunya daerah tingkat II yang berstatus kota disamping empat daerah tingkat II lainnya yang berstatus kabupaten. Berdasarkan BPS Yogyakarta (2011), Kota Yogyakarta terletak pada 7º 49’ 26” - 7º 15’ 24”
Lintang Selatan dan 110º 24’ 19” - 110º 28’ 53” Bujur Timur pada ketinggian rata-rata 114 m dpl. Sebagai ibukota Provinsi DIY, Kota Yogyakarta menjadi sentra kegiatan ekonomi, sosial, dan budaya.
25
Kota Yogyakarta berbatasan dengan wilayah kabupaten lain yang ada di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Gambar 14), yaitu:
a. Utara : Kabupaten Sleman
b. Timur : Kabupaten Bantul dan Sleman c. Selatan : Kabupaten Bantul
d. Barat : Kabupaten Bantul dan Sleman.
Gambar 14 Wilayah administratif Kota Yogyakarta (Regional Geographic of Indonesia 2011).
Kota Yogyakarta memiliki luas wilayah paling kecil dibanding daerah tingkat II lainnya di Provinsi Daerah Yogyakarta, yaitu 3250 Ha (32,5 km2) atau 1,02% luas wilayah propinsi. Secara administratif pemerintahan, wilayah Kota Yogyakarta terdiri dari 14 wilayah kecamatan dan 45 kelurahan. Kecamatan yang terluas adalah Kecamatan Umbulharjo kemudian diikuti oleh Kecamatan Gondokusumo dan Kota Gede.
Wilayah Kota Yogyakarta terbagi dalam lima bagian kota dengan pembagian sebagai berikut :
26
1. Wilayah I, terletak pada ketinggian ± 91 m – 177 m diatas permukaan laut (dpl) rata-rata. Yang termasuk dalam wilayah ini adalah sebagian Kecamatan Jetis, Kecamatan Gedongtengen, Kecamatan Ngampilan, Kecamatan Keraton, dan Kecamatan Gondomanan.
2. Wilayah II, terletak pada ketinggian ± 97 m – 114 m dpl. Kecamatan yang termasuk ke dalam wilayah ini adalah Kecamatan Tegalrejo dan sebagian Kecamatan Wirobrajan.
3. Wilayah III, terletak pada ketinggian ± 102 m – 103 m dpl. Kecamatan yang termasuk ke dalam wilayah ini adalah Kecamatan Gondokusumo, Kecamatan Danurejan, Kecamatan Pakualaman, dan sebagian kecil Kecamatan Umbulharjo.
4. Wilayah IV, terletak pada ketinggian ± 75 m – 102 m dpl. Kecamatan yang termasuk ke dalam wilayah ini adalah sebagian Kecamatan Mergangsan, Kecamatan Umbulharjo, dan Kecamatan Kota Gede.
5. Wilayah V, terletak pada ketinggian ± 83 m – 102 m dpl. Kecamatan yang termasuk kedalam wilayah ini adalah Kecamatan Wirobrajan, Kecamatan Mantrijeron, sebagian Kecamatan Gondomanan, dan sebagian Kecamatan Mergangsan.
4.1.3 Topografi
Badan Pusat Statistik Yogyakarta (2011) menjelaskan bahwa, secara umum Kota Yogyakarta merupakan dataran rendah dengan kemiringan relatif sama yaitu sekitar 0,5% - 2%, kecuali di beberapa tempat terutama di daerah pinggiran sungai. Ketinggian wilayah dari permukaan laut hingga 199 m di atas permukaan laut dimana sebagian wilayahnya (luas kurang lebih 1657 ha) terletak pada ketinggian kurang dari 100 m dan sisanya 1593 ha berada pada ketinggian antara 100-199 m. Kondisi tanah Kota Yogyakarta cukup subur dan memungkinkan ditanami berbagai tanaman pertanian maupun perdagangan, disebabkan oleh letaknya yang berada di dataran lereng Gunung Merapi (fluvia volcanic foot plain) yang garis besarnya mengandung tanah regosol atau tanah vulkanis muda. Sejalan dengan perkembangan perkotaan dan permukiman yang pesat, lahan pertanian di Kota Yogyakarta setiap tahun mengalami penyusutan.
27
4.1.4 Iklim
Tipe iklim Kota Yogyakarta berdasarkan klasifikasi oleh Koppen, termasuk tipe iklim Am dan Aw, dimana artinya merupakan daerah yang beriklim hujan tropik dengan suhu bulan tertinggi > 18 ºC (Handoko 1994). Curah hujan rata-rata 2,01 mm/tahun atau dengan 119 hari hujan, suhu rata-rata 27,2 ºC dan kelembaban rata-rata 75%. Angin pada umumnya bertiup angin munson dan pada musim hujan bertiup angin barat daya dengan arah 220º bersifat basah dan mendatangkan hujan, pada musim kemarau bertiup angin muson tenggara yang agak kering dengan arah ± 90º - 140º dengan rata-rata kecepatan 9,5 – 29,7 km/jam.
4.1.5 Kependudukan
Pertambahan penduduk Kota Yogyakarta dari tahun ke tahun cukup tinggi. BPS Kota Yogyakarta (2011) menjelaskan bahwa, pada akhir tahun 2009 tercatat jumlah penduduk Kota Yogyakarta sebanyak 543.917 jiwa dengan tingkat kepadatan rata-rata 16735 jiwa/km2.
4.2 Kota Surakarta (Solo)
4.2.1 Sejarah dan Perkembangan Kota Surakarta
Kota Surakarta atau Solo tidak lebih dari sebuah desa terpencil yang tenang, 10 km di sebelah timur Kartasura, ibukota kerajaan Mataram. Pakubuwana II yang menjadi Raja Mataram mendukung Cina melawan Belanda, kemudian Pakubuwana II mencari tempat yang lebih menguntungkan untuk membangun kembali kerajaannya. Pada tanggal 18 Februari 1745 dianggap sebagai hari kelahiran kota resmi.
Pada tanggal 16 Juni merupakan hari jadi Pemerintahan Kota Surakarta. Secara de facto tanggal 16 Juni 1946 terbentuk Pemerintah Daerah Kota Surakarta yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, sekaligus menghapus kekuasaan Kerajaan Kasunanan dan Mangkunegaran. Dengan berbagai pertimbangan faktor-faktor historis sebelumya, tanggal 16 Juni 1946 ditetapkan sebagai hari jadi Pemerintah Kota Surakarta.
28
4.2.2 Letak Geografis dan Batas Administratif
Gambar 15 Peta wilayah administratif Kota Surakarta (Bappeda Kota Solo 2009).
Kota Surakarta yang juga sangat dikenal sebagai Kota Solo, merupakan sebuah dataran rendah yang terletak di cekungan lereng Pegunungan Lawu dan Pegunungan Merapi dengan ketinggian sekitar 92 meter di atas permukaan air laut. Kota Surakarta terletak diantara 110⁰ 45’ 15’’ – 110⁰ 45` 35″ Bujur Timur dan 7⁰36’– 7⁰56’ Lintang Selatan (BPS Surakarta 2010). Kota Surakarta dibelah dan dialiri oleh 3 (tiga) buah sungai besar yaitu Sungai Bengawan Solo, Kali Jenes dan Kali Pepe. Sungai Bengawan Solo pada jaman dahulu sangat terkenal dengan keelokan panorama serta lalu lintas perdagangannya. Luas wilayah Kota Surakarta mencapai 44,04 km² yang terbagi menjadi lima kecamatan dan 51 kelurahan. Lima kecamatan yang terdapat di Kota Surakarta yaitu Kecamatan Laweyan, Serengan, Pasar Kliwon, Jebres, dan Banjasari. Sebagian besar lahan dipakai sebagai tempat pemukiman sebesar 61,68%. Sedangkan untuk kegiatan ekonomi juga memakan tempat yang cukup besar juga yaitu berkisar antara 20% dari luas lahan yang ada.
29
Batas wilayah Kota Surakarta adalah (Gambar 15): Batas wilayah sebelah utara : Kabupaten Boyolali Batas wilayah sebelah timur : Kabupaten Karanganyar Batas wilayah sebelah barat : Kabupaten Sukoharjo Batas wilayah sebelah selatan : Kabupaten Sukoharjo.
4.2.3 Topografi
Topografi wilayah Kota Surakarta secara umum keadaannya datar, hanya bagian utara dan timur agak bergelombang dengan ketinggian kurang lebih 92 meter di atas permukaan air laut. Sebagian jenis tanah adalah tanah liat berpasir termasuk regosol kelabu dan alluvial, di wilayah bagian utara tanah liat grumosol serta wilayah bagian timur laut tanah litosol mediteran (BPS Surakarta 2010).
4.2.4 Iklim
Badan Pusat Statistik Surakarta (2010), menjelaskan bahwa suhu udara rata- rata di Kota Surakarta berkisar antara 24,9°C sampai dengan 28,6°C. Sedangkan kelembaban udara berkisar antara 66% sampai dengan 86%. Hari hujan terbanyak jatuh pada bulan Januari dengan jumlah hari hujan sebanyak 25. Sedangkan curah hujan terbanyak sebesar 735 mm jatuh pada bulan Oktober. Sementara itu rata- rata curah hujan saat hari hujan terbesar jatuh pada bulan November sebesar 33,1 mm per hari hujan.
4.2.5 Kependudukan
Penduduk Kota Surakarta pada tahun 2009 mencapai 528.202 jiwa dengan rasio jenis kelamin sebesar 89,38 yang artinya bahwa pada setiap 100 penduduk perempuan terdapat sebanyak 89 peduduk laki-laki (BPS Surakarta 2010). Tingkat kepadatan penduduk Kota Surakarta pada tahun 2009 mencapai 11.988 jiwa/km². Tahun 2008 Tingkat kepadatan penduduk tertinggi terdapat di Kecamatan Serengan yang mencapai angka 19.959 jiwa/km².
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gunung Merapi meletus pada tanggal 26 Oktober 2010. Letusan gunung ini mengeluarkan gas dan materi vulkanik. P2PL (2010) melaporkan bahwa letusan Gunung Merapi mengeluarkan berbagai jenis gas dan materi vulkanik yang terdiri dari sulfur dioksida (SO2), gas hidrogen sulfida (H2S), nitrogen dioksida (NO2), serta debu dalam bentuk partikel debu (Total Suspended Particulate atau
Particulate Matter). Gas-gas dan materi vulkanik yang dihasilkan oleh letusan Gunung Merapi terbawa angin hingga mencemari Kota Yogyakarta. Jarak antara puncak Gunung Merapi dengan Kota Yogyakarta sekitar 30 km.
Gas dan materi vulkanik Gunung Merapi mencemari udara di Kota Yogyakarta. Gas dan materi vulkanik memberikan dampak yang buruk bagi mahluk hidup. Salah satu dampak buruk dari gas dan materi vulkanik Merapi yaitu terjadinya perubahan warna daun pada pepohonan di sekitar Kota Yogyakarta. Selain itu, debu vulkanik dapat mengotori permukaan daun pada pepohonan. Pohon yang paling banyak ditanam di kota ini adalah angsana (Pterocarpus indicus Willd.) dan beringin (Ficus benjamina Linn.), sehingga ditentukanlah pohon angsana dan beringin pada Kota Yogyakarta (Lokasi 1) sebagai pohon yang relatif tercemar dan pada Kota Solo (Lokasi 2) sebagai pohon kontrol (Gambar 16 dan Gambar 17).
(a) (b)
31
(a) (b)
Gambar 17 Pohon beringin di Kota Yogyakarta (a) dan di Kota Solo (b).
5.1 Kualitas Udara
Data kualitas udara antara Kota Yogyakarta dan Solo dilakukan perbandingan baik setelah maupun sebelum terjadinya letusan Gunung Merapi. Data kualitas udara pada Kota Yogyakarta dan Solo pada penelitian ini merupakan data sekunder yang diambil dari Balai Lingkungan Hidup di kedua lokasi. Berdasarkan data kualitas udara setelah letusan Gunung Merapi, Balai Lingkungan Hidup (BLH) Kota Yogyakarta menunjukkan bahwa parameter TSP (debu) dan NO konsentrasinya lebih tinggi dibanding SO . Hasil perbandingan parameter kualitas udara pada Kota Yogyakarta dan Solo dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Hasil kualitas udara di lokasi penelitian sebelum dan setelah letusan Gunung Merapi tahun 2010
Parameter Hasil Nilai Baku Mutu Yogyakarta Solo Sebelum Letusan Merapi Setelah Letusan Merapi Sebelum Letusan Merapi Setelah Letusan Merapi SO (µg/Nm³) 535,60 51,2 9,28 15,41 900 NO (µg/Nm³) 57,59 533,6 24,808 81,54 400 TSP(debu) (µg/Nm³) 172 418 * * 230
Keterangan : * = Nilai TSP (debu) < 10 µg/Nm³ Sumber : BLH Yogyakarta (2010) dan BLH Solo (2010)
Data kualitas udara Kota Yogyakarta sesudah letusan Gunung Merapi menggunakan data hasil pemantauan Balai Lingkungan Hidup di Perempatan Tugu pada tanggal 5 November 2010 (Lampiran 5). Hal tersebut dikarenakan, data hasil pemantauan kualitas udara merupakan lokasi terdekat dengan lokasi
32
pengambilan sampel daun. Secara umun, debu vulkanik yang berasal dari letusan Gunung berapi memiliki ukuran diameter aerodinamik <10µm atau yang lebih dikenal dengan nama PM10. Namun, pada BLH Kota Yogyakarta melakukan pemantauan hingga pada debu yang memiliki ukuran diameter aerodinamik <2,5 µm. Parameter polutan di Kota Yogyakarta yang melebihi dari baku mutu terdiri dari TSP (debu) dan NO . Kadar debu di Kota Yogyakarta sebelum letusan Gunung Merapi terukur 172 µg/Nm³ (Lampiran 6 – 15), sedangkan kadar debu setelah letusan Gunung Merapi terukur 418 µg/Nm³. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas udara Kota Yogyakarta melebihi nilai baku mutu yaitu 230 µg/Nm³ menurut Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara dan Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta No. 153 tahun 2002 tentang Baku Mutu Udara Ambien Daerah.
Kadar NO di Kota Yogyakarta setelah letusan Gunung Merapi terukur 533,6 µg/Nm³. Hal tersebut melebihi nilai baku mutu yaitu 400 µg/Nm³ menurut Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara dan Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta No. 153 tahun 2002 tentang Baku Mutu Udara Ambien Daerah. Kadar SO di Kota Yogyakarta setelah letusan Gunung Merapi terukur 51,2 µg/Nm³. Hal tersebut tidak melebihi nilai baku mutu yaitu 900 µg/Nm³ menurut Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara dan Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta No. 153 tahun 2002 tentang Baku Mutu Udara Ambien Daerah.
Kadar SO di Kota Yogyakarta setelah letusan Gunung Merapi mengalami penurunan dibandingkan kadar SO sebelum terjadi letusan Gunung Merapi. Hal ini menunjukkan bahwa sebelum terjadi letusan Gunung Merapi, gunung ini mengeluarkan gas SO secara terus-menerus. Pada saat setelah letusan Gunung Merapi, kadar gas SO yang dikeluarkan menjadi berkurang. Selain itu, setelah letusan Gunung Merapi keadaan Kota Yogyakarta tertutup debu vulkanik yang mengakibatkan semua kendaraan bermotor dan industri tidak beroperasi. Oleh karena itu, kadar SO pada kandungan udara Kota Yogyakarta setelah letusan Gunung Merapi lebih rendah dibanding sebelum letusan.
33
Hasil pengukuran kadar debu di kota Solo, baik sebelum maupun sesudah letusan gunung Merapi, terukur <10 µg/Nm³ (Lampiran 16 – 23). Hal tersebut tidak melebihi nilai baku mutu yaitu 230 µg/Nm³ Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara dan Keputusan Gubernur Jawa Tengah No. 8 Tahun 2001 tentang Baku Mutu Udara Ambein di Provinsi Jawa Tengah. Menurut BLH Kota Solo (2010), kadar debu di Kota Solo dari tahun ke tahun selalu rendah sehingga nilai debu tidak dicantumkan dalam laporan. Selain itu, kualitas udara Kota Solo tidak dipengaruhi oleh letusan Gunung Merapi.
Kualitas udara pada Tabel 1 menunjukkan bahwa polutan debu yang dihasilkan oleh letusan Gunung Merapi di Kota Yogyakarta nilai konsentrasinya lebih tinggi dibandingkan dengan Kota Solo. Hal ini disebabkan oleh arah dan jarak penyebaran debu vulkanik yang dihasilkan Gunung Merapi bergerak ke arah selatan dan barat dengan jarak sekitar 30 km. Kota Yogyakarta berada di sebelah selatan Gunung Merapi, sedangkan kota Solo berada di sebelah timur gunung Merapi. Oleh karena itu, kadar debu vulkanik di Kota Yogyakarta lebih tinggi dibandingkan di Kota Solo yang tidak tercemar debu vulkanik merapi. Kristanto (2004) menyatakan bahwa pada tempat tertentu konsentrasi partikulat debu dipengaruhi oleh kecepatan emisi melepas debu di udara dan kecepatan dispersi (pembersihan) debu di udara. Daerah perkotaan memiliki kecepatan dispersi (pembersihan) dari udara sangat lambat karena kecepatan dispersi sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor meterologis seperti kecepatan dan arah angin. Kecepatan angin di Kota Yogyakarta sebelum terjadinya letusan Gunung Merapi berkisar 5,384 Km/jam, sedangkan setelah terjadi letusan Gunung Merapi kecepatan angin meningkat hingga 18 Km/jam. Banyaknya debu dipengaruhi oleh kecepatan angin, dimana debu akan lebih banyak terakumulasi jika kecepatan angin meningkat (Scorer 1968).
Debu letusan Gunung Merapi ini mengakibatkan suhu udara di Kota Yogyakarta menjadi meningkat. Suhu udara sebelum terjadi letusan yaitu 26,7ºC dan setelah terjadi letusan pada tahun 2010 yaitu 27,3 ºC. Keadaan ini mengindikasikan bahwa kondisi Kota Yogyakarta menjadi lebih panas akibat kadar pencemaran debu vulkanik yang berterbangan di udara.
34
Sastrawijaya (2000) menjelaskan bahwa distribusi zat pencemar juga mempengaruhi suhu. Semakin tingginya kadar pencemar debu vulkanik di Kota Yogyakarta akan terjadi peningkatan suhu. Suhu udara yang meningkat mengakibatkan kelembaban udara menurun. Suhu udara di Kota Solo, sebelum letusan merapi adalah berkisar 28,6°C dan setelah letusan merapi adalah berkisar 29,1 ºC. Keadaan ini mengindikasikan bahwa suhu udara di Kota Solo cenderung lebih stabil baik sebelum dan setelah letusan Gunung Merapi.
Tingginya konsentrasi NO dan debu di udara dapat dipastikan memberikan pengaruh terhadap lingkungan yang ada di sekitar kawasan Merapi termasuk Kota Yogyakarta. Kadar gas dan debu di udara pada kondisi ini dapat menutup dan masuk ke dalam stomata daun sehingga dapat merusak struktur anatomi daun (Bell & Treshow 2002). Debu yang menutupi mulut daun akan membatasi proses fotosintesis. Terganggunya proses fotosintesis menyebabkan pembentukan protein dan lemak sebagai sumber energi menjadi sedikit sehingga pertumbuhan tanaman akan terganggu (Riikonen et al. 2010). Mudd dan Kozlowzki (1975) menjelaskan bahwa polutan berupa gas dan pertikel yang merusak daun pada umumnya banyak tercatat yaitu perubahan jaringan seperti plasmolisis, granulasi (kekacauan sel), hancurnya sel atau mati dan pigmentasi (perubahan warna sel menjadi lebih gelap). Pengaruh lain dari masuknya bahan pencemar debu adalah terjadinya