• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identifikasi Struktur Anatomi Daun Angsana dan Beringin Akibat Pengaruh Gas dan Materi Vulkanik Pasca Erupsi Gunung Merapi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Identifikasi Struktur Anatomi Daun Angsana dan Beringin Akibat Pengaruh Gas dan Materi Vulkanik Pasca Erupsi Gunung Merapi"

Copied!
165
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gunung berapi merupakan suatu gunung yang dapat secara tiba-tiba mengeluarkan lava dan materi-materi vulkanik lainnya. Banyaknya gunung berapi yang masih aktif merupakan potensi munculnya bencana gempa bumi, awan panas, lahar, banjir, dan letusan gunung berapi. Salah satu gunung berapi yang masih aktif adalah Gunung Merapi yang terletak di Kabupaten Sleman Provinsi Daerah Yogyakarta (DIY), Kabupaten Magelang, Boyolali, dan Klaten Provinsi Jawa Tengah, dengan ketinggian 2.980 meter di atas permukaan laut (Marsono 2004).

Letusan Gunung Merapi yang terjadi pada hari Selasa tanggal 26 Oktober

2010 pukul 17.02 Waktu Indonesia Barat. Aktivitas erupsi Merapi semakin meningkat, yang ditunjukkan dengan tingginya frekuensi gempa vulkanik dan

mengeluarkan gas-gas vulkanik (BPPTK Yogyakarta 2010). Gunung Merapi meletus akibat magma di dalam perut bumi yang didorong keluar oleh gas yang bertekanan tinggi atau karena gerakan lempeng bumi, tumpukan tekanan dan panas cairan magma. Letusannya membawa abu dan batu yang menyembur dengan keras, sedangkan lavanya bisa membanjiri daerah sekitarnya. Akibat letusan tersebut bisa menimbulkan korban jiwa dan harta benda yang besar pada wilayah radius ribuan kilometer dan bahkan bisa mempengaruhi putaran iklim di bumi ini.

(2)

2

korban jiwa (Suriadikarta et al. 2010). Gas dan materi vulkanik letusan Gunung Merapi adalah gas dan material letusan yang sangat halus, karena hembusan angin dampaknya bisa dirasakan ratusan kilometer jauhnya.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam mengatasi penurunan kualitas udara diperlukannya pohon-pohon untuk menyaring dan menetralkan udara yang tercemar. Dahlan (2004) mengemukakan, kemampuan daun tanaman dalam menyerap dan menjerap berbagai gas pencemar udara bervariasi menurut daya kelarutan polutan, kelembaban lingkungan, intensitas cahaya matahari, kedudukan daun dan laju penyerapan. Dalam kondisi yang tercemar, bahan-bahan pencemar akan diserap dan dijerap pada daun-daun tanaman. Hal ini dapat mempengaruhi pertumbuhannya sehingga tanaman dapat mati atau rusak.

Bahan-bahan pencemar udara seperti gas dan materi vulkanik Merapi dapat menyebabkan kerusakan dan perubahan pada struktur anatomi dari tanaman yang

ada di sekitarnya (Wilson et al. 2007). Oleh karena itu dilakukan penelitian mengenai pengaruh gas dan materi vulkanik pada tanaman perkotaan di Kota

Yogyakarta.

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh gas dan materi vulkanik pasca erupsi Gunung Merapi terhadap struktur anatomi daun pada dua jenis tanaman perkotaan, yaitu angsana (Pterocarpus indicus Willd.) dan beringin (Ficus benjamina Linn.).

1.3 Manfaat

(3)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pencemaran Udara

Undang-undang Republik Indonesia No. 4 tahun 1982, menjelaskan bahwa pencemaran lingkungan merupakan masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan dan atau berubahnya tatananan lingkungan oleh kegiatan manusia atau proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai ke tingkat yang menyebabkan lingkungan kurang atau tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukkannya. Menurut Sastrawijaya (1991), pencemaran lingkungan adalah perubahan lingkungan yang tidak menguntungkan, sebagian karena tindakan manusia, disebabkan perubahan pola penggunaan energi dan materi, tingkatan radiasi, bahan-bahan fisika dan kimia, dan jumlah

organisme. Pencemaran yang terjadi pada suatu lingkungan dapat berupa pencemaran udara, air, dan tanah. Udara adalah suatu campuran gas yang terdapat

pada lapisan yang mengelilingi bumi (Kristanto 2004). Di dalam udara terdapat oksigen (O2) untuk bernafas, karbon dioksida (CO2) untuk proses fotosintesis oleh klorofil daun dan ozon (O3) untuk menahan sinar ultra violet. Keadaan udara yang terdapat bahan-bahan atau zat-zat asing di dalam udara yang menyebabkan perubahan susunan atau komposisi udara dari keadaan normalnya disebut dengan pencemaran udara (Wardhana 2004).

(4)

4

Soedomo (2001), mengatakan bahwa perubahan lingkungan udara pada umumnya disebabkan oleh pencemaran udara akibat masuknya zat pencemar dalam bentuk gas-gas dan partikel aerosol ke dalam udara. Sumber pancaran zat pencemar ke dalam udara, terdapat tiga macam sumber pencemar yaitu:

1. Sumber titik kontinyu, pada umumnya oleh pabrik-pabrik tunggal atau ganda yang memancarkan zat pencemar ke dalam udara melalui cerobong pembuangan.

2. Sumber garis, zat pencemar yang dipancarkan oleh kendaraan bermotor baik mobil maupun motor.

3. Sumber bidang atau area, merupakan sumber pencemaran kompleks yang dipancarkan dari suatu daerah seperti kawasan industri, perkotaan, dan sebagainya.

Jenis-jenis bahan pencemar udara berdasarkan ciri-ciri fisiknya, dibagi

menjadi tiga jenis, antara lain (Soedomo 2001):

1. Partikel merupakan jenis bahan pencemar udara dalam bentuk lain sebagai

proses lanjutan dalam atmosfir atau udara dalam bentuk debu, aerosol, dan timah hitam.

2. Gas pada umumnya merupakan produk sampingan industri kimia dasar yang masuk ke udara dalam bentuk COx, NOx, SOx, H2S, dan Hidrokarbon.

3. Energi merupakan hasil dari kegiatan-kegiatan pembangunan fisik terutama yang berskala besar, pada umumnya akan menimbulkan kenaikan suhu udara dan kebisingan.

Pencemar udara berdasarkan asal dan kelanjutan perkembangannya di udara, menurut Kristanto (2004) dapat dibedakan menjadi :

1. Pencemar udara primer yaitu semua pencemar di udara yang ada dalam bentuk yang hampir tidak berubah, sama seperti pada saat dibebaskan dari sumbernya sebagai hasil dari suatu proses tertentu. Ada lima kelompok pencemar udara pimer, yaitu karbon monoksida (CO), nitrogen oksida (NOx), hidrokarbon (HC), sulfur oksida (SOx), dan partikel.

(5)

5

dengan polutan lain yang ada di udara. Jenis-jenis pencemar yang bersifat sekunder yaitu ozon yang berada di troposfer dan partikel-partikel logam. Wardhana (2004), mengatakan bahwa komponen pencemar udara yang paling banyak berpengaruh dalam pencemaran udara yaitu karbon monoksida (CO), nitrogen oksida (NOx), belerang oksida (SOx), hidro karbon (HC), dan partikel (debu), dan lain-lain. Menurut Sutarno et al. (2003), efek pencemaran udara terhadap kehidupan, termasuk kesehatan manusia, produktivitas dan properti merupakan kekhawatiran besar bagi penduduk bumi. Pencemaran udara dapat menganggu sistem pernapasan, emfisema, asma, dan penyakit pernapasan lain. Bagi tumbuhan, paparan terhadap pencemaran udara dapat menurunkan daya resistensi terhadap penyakit dan predator.

2.2 Jenis Polutan Udara Erupsi Gunung Merapi 2.2.1 Sulfur Oksida (SOx)

Sulfur oksida merupakan pencemar paling umum, terutama di timbulkan

akibat pembakaran bahan bakar fosil, yang mengandung sulfur tinggi dalam bentuk sulfur organik dan anorgarnik. Pembakaran bahan bakar fosil akan menghasilkan kira-kira 30 bagian sulfur dioksida untuk setiap bagian sulfur trioksida. Sulfur oksida biasanya terdiri atas sulfur dioksida, sulfur trioksida, asam sulfit dan sulfat. Sulfur dioksida merupakan bagian yang paling dominan, sehingga oksida-oksida sulfur biasanya diukur sebagai sulfur dioksida (Soedomo 2001).

Wardhana (2004), menjelaskan bahwa SOx atau biasa dikenal dengan gas belerang oksida terdiri atas gas SO2 dan gas SO3 yang keduanya mempunyai sifat berbeda. Gas SO2 berbau tajam dan tidak mudah terbakar, sedangkan gas SO3 bersifat sangat reaktif, mudah bereaksi dengan uap air yang ada di udara untuk membentuk asam sulfat (H2SO4). Asam sulfat ini sangat reaktif, mudah bereaksi dengan benda-benda lain yang mengakibatkan kerusakan, seperti proses pengkaratan (korosi) dan proses kimiawi lainnya.

(6)

6

ini yang dominan adalah gas SO2. Namun demikian gas tersebut akan bereaksi dengan oksigen yang ada di udara dan kemudian membentuk gas SO3.

2.2.2 Nitrogen Dioksida (NOx)

Nitrogen oksida sering disebut dengan NOx karena oksida nitrogen mempunyai dua macam bentuk yang sifatnya berbeda, yaitu gas NO2 dan gas NO. sifat gas NO2 adalah berwarna dan berbau, sedangkan gas NO tidak berwarna dan tidak berbau. Warna gas NO2 adalah merah kecoklatan dan berbau tajam menyengat hidung. Pencemaran gas NOx di udara terutama berasal dari gas buangan hasil pembakaran yang keluar dari generator pembangkit listrik stationer atau mesin-mesin yang menggunakan bahan bakar gas alam (Wardhana 2004).

Soedomo (2001), menyatakan bahwa senyawa NO (nitric oxide) diemisikan dalam jumlah yang cukup besar ke atmosfer NOx biasanya di gunakan sebagai satuan komposit oksida-oksida nitrogen di lingkungan. NOx diemisikan dari pembuangan pembakaran (kombusi) pada temperatur tinggi, sebagai hasil dari

reaksi nitrogen dengan oksigen. Dengan adanya hidrokarbon, pada siang hari akibat adanya radiasi fotonultra violet, senyawa ini akan membentuk ozon fotokimia (photochemical smog).

2.2.2 Partikel Debu

Wardhana (2004) menjelaskan bahwa, partikel adalah pencemar udara yang dapat berada bersama-sama dengan bahan atau bentuk pencemar lainnya. Sumber pencemaran partikel dapat berasal dari peristiwa alami dan dapat juga berasal dari aktivitas manusia dalam rangka mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik. Contoh pencemaran partikel yang berasal dari alam menurut (Wardhana 2004) adalah sebagai berikut :

a. Debu tanah atau pasir halus yang terbang terbawa angin kencang.

b. Abu dan bahan-bahan vulkanik yang terlempar ke udara akibat letusan gunung berapi.

(7)

7

Dampak pencemaran debu terhadap lingkungan terutama terhadap kesehatan manusia, tata kehidupan, pertumbuhan tanaman, dan perkembangan satwa yang berada dalam jangkauan paparan pencemar. Pudjiastuti (2002), menyatakan bahwa partikel debu akan berada berada di udara dalam waktu yang relatif lama dalam keadaan melayang-layang di udara kemudian masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernapasan.

2.3 Pengaruh Polutan Udara terhadap Tanaman

Azmat et al. (2009) mengemukakan bahwa, setiap tanaman memiliki respon yang spesifik terhadap kekeringan, salinitas, logam berat, dan polusi udara.

Respon tanaman terhadap SO bervariasi. Kerusakan tanaman oleh SO

dipengaruhi dua faktor, yaitu konsentrasi SO dan waktu kontak (Fauqani 2011).

Kerusakan yang parah diduga terjadi karena tanaman kontak langsung pada SO

dengan konsentrasi yang tinggi, sehingga muncul beberapa gejala seperti sebagian daun memucat, kering hingga mati. Tanaman yang kontak dengan SO dalam

waktu lama, akan mengakibatkan daun tanaman menguning. Pengaruh SO2 dalam jaringan daun dapat menyebabkan kloroplas pecah, kemudian klorofil menyebar dalam sitoplasma dan selanjutnya protoplasma menyusut dan akhirnya berkerut (Treshow & Anderson 1991).

Dahlan (2004) menjelaskan bahwa, jika gas oksida nitrogen atau NOx terhirup bersama udara akan diserap oleh paru-paru dan masuk ke dalam saluran darah akan menurunkan kemampuan hemoglobin dalam mengikat dan membawa

oksigen. Gas NOx dapat mengakibatkan daun tanaman mengalami nekrosis dalam bentuk bercak kecil sampai besar, sedangkan gas NO dapat mengganggu proses fotosintesis. Kedua gas ini sangat berbahaya bagi manusia. Gas NO2 empat kali lebih berbahaya dibandingkan dengan gas NO. Konsentrasi gas NO2 bersifat mematikan pada konsentrasi 100 ppm hampir pada semua hewan ternak.

(8)

8

berlangsungnya proses fotosintesis pada tanaman yang akan mengakibatkan pertumbuhannya terganggu.

Debu yang terserap oleh daun adalah debu yang masuk ke dalam celah stomata daun yang terperangkap dan terserap masuk ke dalam jaringan pagar dan bunga karang penyusun mesofil daun (Lambers et al. 2000). Treshow dan Anderson (1991) menjelaskan bahwa debu yang masuk ke dalam daun lewat celah stomata, akan menyebabkan kerusakan sel. Selain terganggunya proses fotosintesis, masuknya debu ke dalam stomata dapat menghambat proses transpirasi atau penguapan (Treshow & Anderson 1991).

2.4 Struktur Anatomi Daun

Anatomi merupakan salah satu pendekatan untuk membantu pemecahan masalah taksonomi yang secara morfologi sulit dipisahkan. Adapun pendekatan

yang umum digunakan diantaranya bentuk dan kerapatan stomata, trikoma, bentuk sel epidermis, jumlah lapisan palisade, dan ketebalan daun (Sunarti et al. 2008).

Tjitrosoepomo (1996), menjelaskan bahwa daun merupakan suatu bagian tumbuhan yang penting dan pada umumnya tiap tumbuhan mempunyai sejumlah besar daun. Bentuk daun yang tipis melebar dengan posisi daun pada batang yang menghadap ke atas selaras dan berperan penting bagi tumbuh-tumbuhan yaitu sebagai alat untuk pengambilan zat-zat makanan berupa gas CO2 (reabsorpsi), pengolahan zat-zat makanan (asimilasi), penguapan air (transpirasi), dan pernafasan (respirasi).

Fungsi daun yang utama adalah mengolah karbon dioksida dan air dengan bantuan cahaya matahari, menghasilkan karbohidrat dan oksigen melalui suatu proses yang dikenal dengan fotosintesis. Selain itu, daun memiliki fungsi penyehatan lingkungan, yaitu sebagai penjerap (adsorpsi) dan penyerap (absorpsi) gas beracun, aerosol, dan partikel padat (Lakitan 2000). Anatomi daun terdiri atas jaringan dermal (epidermis atas dan epidermis bawah), jaringan pembuluh, dan jaringan dasar (palisade dan bunga karang).

(9)

9

Epidermis merupakan jaringan pelindung yang terdapat di kedua permukaan daun dengan dilengkapi lapisan dan kutikula (Ahmad & Musa 2003). Struktur daun yang pipih memberikan perbedaan pada jaringan epidermis yaitu pemukaan atas daun disebut permukaan adaksial sedangkan permukaan bawah daun disebut permukaan abaksial.

Sutrian (1992), menyatakan bahwa epidermis biasanya tersusun dari satu lapisan sel saja dan pada irisan permukaan sel-selnya tampak berbentuk macam-macam. Letak dari sel epidermis sedemikian rapat sehingga di antara sel-selnya tidak terdapat ruangan-ruangan antar sel. Pada jaringan epidermis ini terdapat zat kutin dan lapisan kutikula pada lapisan luar dinding sel. Sulistyaningsih et al. (1996), menyatakan bahwa kutikula merupakan senyawa lemak yang terdapat dipermukaan luar dinding sel epidermis. Senyawa lemak ini bersifat kedap air sehingga mengurangi laju transpirasi.

Stomata adalah lubang-lubang yang terdapat pada epidermis yang masing-masing dibatasi oleh dua sel penutup (Sutrian 1992). Stomata bisa ditemukan di

kedua sisi daun (tipe amfistomatik), hanya ditemukan pada sisi atas daun atau adaksial (tipe epistomatik) dan hanya ditemukan pada sisi bawah daun atau abaksial (tipe hipostomatik).

Trikoma merupakan rambut-rambut yang tumbuh dari sel-sel epidermis. Trikoma berfungsi sebagai proteksi terhadap serangga dan sekresi (Sutrian 1992). Trikoma dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu trikoma tanpa kelenjar dan trikoma dengan kelenjar (Fahn 1991). Trikoma tanpa kelenjar terdapat rambut yang uniseluler sederhana, rambut skuamiform yang berbentuk sisik, rambut multiseluler yang berbentuk bintang (stelata), dan rambut kasar yang di pangkalnya terdiri atas sedikitnya dua atau lebih deretan sel yang berdampingan. Sedangkan pada trikoma berkelenjar, terlibat dalam sekresi berbagai bahan, contohnya larutan garam, larutan gula, terpentin dan gom (polisakarida). Trikoma yang mengeluarkan sekresi itu sering disebut kelenjar.

(10)

10

palisade dan jaringan bunga karang. Palisade terdapat di bawah epidermis unilateral (selapis) atau multilateral (berlapis banyak). Sering kali terdapat hipodermis di antara epidermis dan jaringan palisade. Sel palisade tersusun atas satu lapisan atau lebih. Jaringan palisade biasanya terdapat pada permukaan adaksial daun. Daun yang mempunyai jaringan palisade pada kedua sisinya (adaksial dan abaksial) disebut isolateral atau isobilateral. Apabila hanya terdapat pada satu sisi, dan sisi lain terdapat jaringan spons disebut dorsiventral atau bifasial.

2.5 Deskripsi Jenis Pohon Sampel

Pohon mempunyai segudang manfaat bagi alam (Dahlan 2004). Salah satu manfaatnya adalah kemampuan dalam menyerap gas berbahaya seperti karbon

dioksida (CO ) dan karbon monoksida (CO) yang dapat menjadi salah satu sebab

terjadinya global warming serta kerusakan jaringan syaraf tertentu khususnya bagi manusia dan hewan yang menghirupnya baik secara langsung maupun tak

langsung. Selain itu gas oksigen (O ) hasil sintesis tanaman, dapat digunakan oleh

makluk hidup sebagai salah satu sumber energi.

2.5.1 Angsana (Pterocarpus indicus Willd)

Klasifikasi tanaman angsana menurut Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan

(2002) adalah sebagai berikut :

(11)

11

dikembangbiakan dengan biji maupun stek batang (Fakuara & Soekotjo 1986). Menurut Heyne (1987), tumbuhan ini merupakan raksasa hutan dengan tinggi 35

– 40 meter dan kedalaman akar 1 ½ - 2 meter. Tumbuhan ini sering ditemukan di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Diameter batang tanaman ini bisa mencapai 2 meter, biasanya bentuk batangnya kurang menarik, pendek, terpuntir, beralur dalam, dan berbanir . Daun majemuk dengan 5 – 11 anak daun, berbulu, duduk bergantian. Bunga berkelamin ganda, kuning cerah dan harum (Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan 2002).

Angsana merupakan tumbuhan yang besar dengan bunga-bunga yang harum. Tumbuhan ini banyak ditanam di kebun-kebun dan di jalan-jalan (Kloppenburg 1988). Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan (2002), menyatakan bahwa semua jenis Pterocarpus menghasilkan kayu bernilai tinggi dengan ciri kayu agak keras, digunakan untuk mebel halus, lantai, dan lemari.

2.5.2 Beringin (Ficus benjamina Linn.)

(12)

12

tunggal, panjang 3-6 cm, lebar 2-4 cm, pertulangan menyirip, dan berwarna hijau. Sastrapraja dan Afriastini (1984), mengatakan bahwa buah ara muncul di ranting-ranting, tunggal atau berpasangan. Penyebaran pohon ini di daerah-daerah beriklim tropis (Almahy et al. 2003).

(13)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Kota Yogyakarta (lokasi 1) dari pusat kota ke arah Gunung Merapi sebagai lokasi yang relatif tercemar dan di Kota Solo (lokasi 2) sebagai lokasi kurang tercemar atau kontrol. Pembuatan sediaan mikroskopis anatomi daun dilakukan di Laboratorium Anatomi Tumbuhan Departemen Biologi FMIPA IPB. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni sampai dengan bulan Agustus 2011.

3.2 Alat dan Bahan Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain silet, tabung film,

kamera digital, alat tulis, kaca preparat, kaca penutup, mikroskop Olympus CH12, mikrotom Yamato RV-240, kamera mikroskop Olympus, dan oven parafin.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain sampel daun (angsana dan beringin), akuades, etanol, entellan, safranin, HNO 50%, fastgreen,

parafin, gliserin, klorox, xilol, larutan FAA (formadehida 37% : asam asetat glasial : alkohol 70% = 5:5:90), seri larutan Johansen (Lampiran 1) dan larutan

Gifford (Lampiran 2).

3.3 Jenis Data

Jenis data terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil pengamatan dan pengambilan sampel di lapangan serta pengamatan struktur anatomi daun. Data sekunder dikumpulkan sebagai data penunjang.

3.3.1 Data Primer

Data primer yang diukur dan diamati dalam penelitian ini, yaitu:

a. Anatomi daun berupa sayatan paradermal, yang meliputi bentuk, ukuran, kerapatan, dan indeks stomata, serta ukuran dan kerapatan trikoma.

(14)

14

abaksial, tebal jaringan palisade adaksial dan abaksial, tebal jaringan bunga karang, serta tebal jaringan hipodermis adaksial dan abaksial.

3.3.2 Data Sekunder

Data yang menunjang dalam penelitian ini berupa data kualitas udara, suhu dan kelembapan udara pada sebelum dan sesudah letusan Gunung Merapi di Kota Yogyakarta, serta data kualitas udara pada sebelum dan sesudah letusan Gunung Merapi di Kota Solo.

3.4 Metode Pengambilan Data 3.4.1 Penentuan Jenis Pohon

Penentuan jenis pohon sampel dilakukan setelah pengamatan langsung pada kedua lokasi penelitian. Jenis-jenis pohon yang dijadikan sampel adalah jenis pohon yang paling banyak di kedua lokasi penelitian yaitu pohon beringin dan

angsana. Posisi pohon yang diambil di Kota Yogyakarta yaitu di alun-alun utara, alun-alun selatan, Jalan Faridan M. Noto, Jalan Gejayan, Kelurahan Muja-muju,

Jalan Kusumanegara, dan Jalan Timoho. Posisi pohon yang diambil di Kota Solo yaitu di Balai Kota Surakarta, Jalan Ronggowarsito, Asrama Assalam, dan Kecamatan Lawean.

3.4.2 Pengambilan Sampel Daun

(15)

15

(a) (b)

Keterangan : P = Posisi daun keenam untuk sayatan paradermal

T = Posisi daun kelima untuk sayatan transversal

C1 = Posisi daun yang diambil pada cabang pertama

C2 = Posisi daun yang diambil pada cabang kedua

C3 = Posisi daun yang diambil pada cabang ketiga

Gambar 1 Posisi sampel daun yang diambil pada ranting (a) dan cabang (b).

(a) (b)

(16)

16

3.4.3 Pembuatan Sediaan Mikroskopis

Sampel daun yang telah diambil kemudian dianalisis di Laboratorium Anatomi Tumbuhan Departemen Biologi Fakultas MIPA IPB. Pengamatan dilakukan terhadap sayatan paradermal dan transversal daun.

1. Sayatan paradermal dibuat dalam bentuk preparat semi permanen dengan perwarnaan safranin 1% mengikuti metode Wholemount (Sass 1951) (Lampiran 3) yaitu:

a. Daun Difiksasi dalam alkohol 70%

b. Larutan fiksatif dibuang lalu diganti dengan akuades.

c. Daun dilunakkan dengan merendamnya di dalam larutan HNO3 50% selama 1 - 4 hari (Gambar 3), sebelum dibuat sayatan paradermal, daun dicuci terlebih dahulu dengan akuades.

Gambar 3 Perendaman daun di dalam larutan HNO₃ 50%.

(17)

17

Gambar 4 Penyayatan epidermis daun dengan silet.

e. Sayatan epidermis daun diwarnai dengan pewarna tunggal yaitu safranin 1% (aquosa) selama 3-5 menit, diberi media gliserin 10% dan ditutup dengan gelas penutup (Gambar 5).

Gambar 5 Hasil sayatan paradermal.

2. Sayatan transversal digunakan metode parafin (Johansen 1940) (Lampiran 4). Adapun tahapan pembuatan preparat daun adalah:

a. Fiksasi : bahan difiksasi selama 48 jam dalam larutan FAA yang

terdiri dari formaldehid, asam asetat glasial dan alkohol 70% dengan perbandingan 5:5:90.

(18)

18

c. Dehidrasi dan penjernihan : dilakukan secara bertahap dengan merendam bahan dalam larutan seri Johansen I-VII, adapun komposisi masing-masing larutan seri Johansen (Lampiran 1)

d. Infiltrasi : wadah berisi material dan campuran TBA, minyak parafin serta parafin beku disimpan pada suhu kamar selama 1-4 jam (tutup dibuka) (Gambar 6); lalu dimasukkan ke dalam oven (58 ºC) selama 12 jam (tutup dibuka). Keesokan harinya dilakukan 3 kali penggantian parafin setiap 6 jam dalam oven dengan suhu 58 ºC (Gambar 7).

Gambar 6 Infiltrasi parafin murni.

Gambar 7 Oven ABC Labo Corporation KP-30AT.

(19)

19

pada suhu 58 ºC. Selanjutnya material siap ditanam dalam blok parafin (Gambar 8).

(a) (b)

Gambar 8 Penanaman dalam blok parafin (a) dan pengaturan posisi sampel (b).

f. Pelunakkan jaringan : blok yang berisi material dilunakkan dengan merendam dalam larutan Giffort (Lampiran 2) selama satu minggu

(Gambar 9)

Gambar 9 Perendaman blok di dalam larutan Gifford.

g. Penyayatan : blok yang sudah dirapikan ditempel pada holder dan disayat dengan mikrotom putar Yamato RV-240 setebal 9 µm (Gambar

(20)

20

(a) (b)

Gambar 10 Penempelan blok pada holder (a) dan mikrotom putar Yamato RV-240 (b).

h. Perekatan : sayatan direkatkan pada gelas obyek yang telah diolesi gelas albumin-gliserin dan ditetesi air. Kemudian gelas berisi pita parafin

dipanaskan pada hot-plate dengan suhu 40 ºC selama 24 jam (Gambar 11).

Gambar 11 Pemanasan pita parafin pada hot-plate.

i. Pewarnaan : dilakukan pewarnaan ganda yang terdiri dari safranin 2% dalam air dan fast-green 0,5% dalam etanol 95%.

(21)

21

Gambar 12 Pemberian media perekat entellan.

k. Pengeringan : preparat di masukkan ke dalam oven Memmert dengan suhu 41ºC agar media entellan cepat kering (Gambar 13).

(a) (b)

Gambar 13 Preparat yang siap dimasukkan ke oven (a) dan Oven Memmert (b).

3.4.4 Pengamatan Sediaan Mikroskopis

Parameter anatomi daun yang diamati diantaranya :

(22)

22

ukuran stomata, jumlah sel epidermis, serta ukuran trikoma kelenjar dilakukan pada perbesaran 40 x 10. Jumlah trikoma kelenjar, serta jumlah dan ukuran trikoma tidak berkelenjar diamati pada perbesaran 10 x 10. Pengamatan jumlah stomata dan sel epidermis diamati pada lima bidang pandang yang berbeda dengan lima ulangan, sedangkan pengamatan trikoma kelenjar atau tidak berkelenjar dilakukan pada tiga bidang pandang yang berbeda dengan lima ulangan. Jumlah stomata dan sel epidermis digunakan untuk mendapatkan indeks stomata (Willmer 1983). Kerapatan stomata dan trikoma didapatkan dengan perbandingan jumlah stomata atau trikoma dengan luas bidang pandang (Willmer 1983). Penentuan indeks dan kerapatan stomata dengan rumus sebagai berikut:

IS = Σ stomata x 100

r₀ = Jari-jari bidang pandang pada mikroskop

*) Rumus yang sama digunakan untuk menentukan kerapatan trikoma

b. Parameter anatomi daun yang diamati pada sayatan transversal adalah tebal kutikula adaksial dan abaksial, tebal daun, tebal epidermis adaksial dan abaksial, tebal palisade adaksial dan abaksial, tebal bunga karang, serta tebal hipodermis adaksial dan abaksial. Pengamatan menggunakan mikroskop Olympus CH12 dengan perbesaran 100 x 10 untuk parameter tebal kutikula adaksial dan abaksial, serta perbesaran 40 x 10 untuk parameter tebal daun, tebal epidermis adaksial dan abaksial, tebal palisade adaksial dan abaksial, tebal bunga karang, serta tebal hipodermis adaksial dan abaksial.

(23)

23

3.5 Analisis Data

Data dianalisis dengan uji t-student menggunakan Statistic Product and Service Solution (SPSS) 16.0 untuk menguji pembandingan antara tanaman di lokasi yang relatif tercemar dengan lokasi kurang tercemar. Parameter anatomi yang yang dibandingkan meliputi kerapatan stomata, indeks stomata, ukuran stomata, tebal daun, tebal kutikula adaksial dan abaksial, tebal epidermis adaksial dan abaksial, tebal palisade adaksial dan abaksial, tebal bunga karang serta tebal hipodermis adaksial dan abaksial.

Kriteria uji menggunakan tingkat kepercayaan 95% atau jika nilai hit > t-tabel, maka terdapat perbedaan yang nyata.

Asumsi :

H0 : Pencemaran udara dari debu vulkanik Merapi tidak memberikan pengaruh nyata terhadap parameter yang diamati.

H1 : Pencemaran udara dari debu vulkanik Merapi memberikan pengaruh nyata terhadap parameter yang diamati.

Hasil analisis statistik data yang dianalisis didapatkan dengan menggunakan nilai signifikansi.

(24)

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Kota Yogyakarta

4.1.1 Sejarah dan Perkembangan Kota Yogyakarta

Kota Yogyakarta terletak di Pulau Jawa, 500 km ke arah selatan dari DKI Jakarta, Ibukota Negara Republik Indonesia. Secara historis, Kota Yogyakarta berawal dari sebuah Kota Istana atau Kota Keraton yang bernama Ngayogyakarta Hadiningrat yang terletak di daerah agraris pedalaman Jawa yang dibangun pada tahun 1756 oleh Sultan Hamengkubuwono I (Pangeran Mangkubumi). Pendirian kota ini dilakukan setelah terjadi peristiwa Palihan Nagari atau Pembagian Dua Kerajaan (Surakarta – Yogyakarta) pada tahun 1755 sebagai hasil perjanjian Giyanti.

Pada awal perkembangannya, permukiman di Kota Yogyakarta cenderung memusat pada poros besar selatan-utara. Permukiman berupa kampung tempat

tinggal penduduk lambat laun tumbuh di sekitar poros yang melintasi istana dari alun-alun utara, Jalan Malioboro hingga ke Tugu. Tempat-tempat permukiman itu lazim disebut sebagai kampung dan namanya diberikan sesuai dengan tugas dan pekerjaan dari penduduk yang menempatinya. Pada awal abad ke 20 pola permukiman penduduk dan stuktur kota tampak semakin memusat dan padat. Kota Yogyakarta dikenal memiliki karakter khas yang mewarnai kehidupan masyarakatnya.

4.1.2 Letak Geografis dan Batas Administratif

Kota Yogyakarta berkedudukan sebagai ibukota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan merupakan satu-satunya daerah tingkat II yang berstatus kota disamping empat daerah tingkat II lainnya yang berstatus kabupaten. Berdasarkan BPS Yogyakarta (2011), Kota Yogyakarta terletak pada 7º 49’ 26” - 7º 15’ 24”

(25)

25

Kota Yogyakarta berbatasan dengan wilayah kabupaten lain yang ada di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Gambar 14), yaitu:

a. Utara : Kabupaten Sleman

b. Timur : Kabupaten Bantul dan Sleman c. Selatan : Kabupaten Bantul

d. Barat : Kabupaten Bantul dan Sleman.

Gambar 14 Wilayah administratif Kota Yogyakarta (Regional Geographic of Indonesia 2011).

Kota Yogyakarta memiliki luas wilayah paling kecil dibanding daerah tingkat II lainnya di Provinsi Daerah Yogyakarta, yaitu 3250 Ha (32,5 km2) atau 1,02% luas wilayah propinsi. Secara administratif pemerintahan, wilayah Kota Yogyakarta terdiri dari 14 wilayah kecamatan dan 45 kelurahan. Kecamatan yang terluas adalah Kecamatan Umbulharjo kemudian diikuti oleh Kecamatan Gondokusumo dan Kota Gede.

(26)

26

1. Wilayah I, terletak pada ketinggian ± 91 m – 177 m diatas permukaan laut (dpl) rata-rata. Yang termasuk dalam wilayah ini adalah sebagian Kecamatan Jetis, Kecamatan Gedongtengen, Kecamatan Ngampilan, Kecamatan Keraton, dan Kecamatan Gondomanan.

2. Wilayah II, terletak pada ketinggian ± 97 m – 114 m dpl. Kecamatan yang termasuk ke dalam wilayah ini adalah Kecamatan Tegalrejo dan sebagian Kecamatan Wirobrajan.

3. Wilayah III, terletak pada ketinggian ± 102 m – 103 m dpl. Kecamatan yang termasuk ke dalam wilayah ini adalah Kecamatan Gondokusumo, Kecamatan Danurejan, Kecamatan Pakualaman, dan sebagian kecil Kecamatan Umbulharjo.

4. Wilayah IV, terletak pada ketinggian ± 75 m – 102 m dpl. Kecamatan yang termasuk ke dalam wilayah ini adalah sebagian Kecamatan Mergangsan,

Kecamatan Umbulharjo, dan Kecamatan Kota Gede.

5. Wilayah V, terletak pada ketinggian ± 83 m – 102 m dpl. Kecamatan yang termasuk kedalam wilayah ini adalah Kecamatan Wirobrajan, Kecamatan Mantrijeron, sebagian Kecamatan Gondomanan, dan sebagian Kecamatan Mergangsan.

4.1.3 Topografi

(27)

27

4.1.4 Iklim

Tipe iklim Kota Yogyakarta berdasarkan klasifikasi oleh Koppen, termasuk tipe iklim Am dan Aw, dimana artinya merupakan daerah yang beriklim hujan tropik dengan suhu bulan tertinggi > 18 ºC (Handoko 1994). Curah hujan rata-rata 2,01 mm/tahun atau dengan 119 hari hujan, suhu rata-rata 27,2 ºC dan kelembaban rata-rata 75%. Angin pada umumnya bertiup angin munson dan pada musim hujan bertiup angin barat daya dengan arah 220º bersifat basah dan mendatangkan hujan, pada musim kemarau bertiup angin muson tenggara yang agak kering dengan arah ± 90º - 140º dengan rata-rata kecepatan 9,5 – 29,7 km/jam.

4.1.5 Kependudukan

Pertambahan penduduk Kota Yogyakarta dari tahun ke tahun cukup tinggi.

BPS Kota Yogyakarta (2011) menjelaskan bahwa, pada akhir tahun 2009 tercatat jumlah penduduk Kota Yogyakarta sebanyak 543.917 jiwa dengan tingkat

kepadatan rata-rata 16735 jiwa/km2.

4.2 Kota Surakarta (Solo)

4.2.1 Sejarah dan Perkembangan Kota Surakarta

Kota Surakarta atau Solo tidak lebih dari sebuah desa terpencil yang tenang, 10 km di sebelah timur Kartasura, ibukota kerajaan Mataram. Pakubuwana II yang menjadi Raja Mataram mendukung Cina melawan Belanda, kemudian Pakubuwana II mencari tempat yang lebih menguntungkan untuk membangun kembali kerajaannya. Pada tanggal 18 Februari 1745 dianggap sebagai hari kelahiran kota resmi.

(28)

28

4.2.2 Letak Geografis dan Batas Administratif

Gambar 15 Peta wilayah administratif Kota Surakarta (Bappeda Kota Solo 2009).

Kota Surakarta yang juga sangat dikenal sebagai Kota Solo, merupakan sebuah dataran rendah yang terletak di cekungan lereng Pegunungan Lawu dan Pegunungan Merapi dengan ketinggian sekitar 92 meter di atas permukaan air

laut. Kota Surakarta terletak diantara 110⁰ 45’ 15’’ – 110⁰ 45` 35″ Bujur Timur dan 7⁰36’– 7⁰56’ Lintang Selatan (BPS Surakarta 2010). Kota Surakarta dibelah dan dialiri oleh 3 (tiga) buah sungai besar yaitu Sungai Bengawan Solo, Kali Jenes dan Kali Pepe. Sungai Bengawan Solo pada jaman dahulu sangat terkenal dengan keelokan panorama serta lalu lintas perdagangannya. Luas wilayah Kota

(29)

29

Batas wilayah Kota Surakarta adalah (Gambar 15): Batas wilayah sebelah utara : Kabupaten Boyolali Batas wilayah sebelah timur : Kabupaten Karanganyar Batas wilayah sebelah barat : Kabupaten Sukoharjo Batas wilayah sebelah selatan : Kabupaten Sukoharjo.

4.2.3 Topografi

Topografi wilayah Kota Surakarta secara umum keadaannya datar, hanya bagian utara dan timur agak bergelombang dengan ketinggian kurang lebih 92 meter di atas permukaan air laut. Sebagian jenis tanah adalah tanah liat berpasir termasuk regosol kelabu dan alluvial, di wilayah bagian utara tanah liat grumosol serta wilayah bagian timur laut tanah litosol mediteran (BPS Surakarta 2010).

4.2.4 Iklim

Badan Pusat Statistik Surakarta (2010), menjelaskan bahwa suhu udara

rata-rata di Kota Surakarta berkisar antara 24,9°C sampai dengan 28,6°C. Sedangkan kelembaban udara berkisar antara 66% sampai dengan 86%. Hari hujan terbanyak jatuh pada bulan Januari dengan jumlah hari hujan sebanyak 25. Sedangkan curah hujan terbanyak sebesar 735 mm jatuh pada bulan Oktober. Sementara itu rata-rata curah hujan saat hari hujan terbesar jatuh pada bulan November sebesar 33,1 mm per hari hujan.

4.2.5 Kependudukan

(30)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gunung Merapi meletus pada tanggal 26 Oktober 2010. Letusan gunung ini mengeluarkan gas dan materi vulkanik. P2PL (2010) melaporkan bahwa letusan Gunung Merapi mengeluarkan berbagai jenis gas dan materi vulkanik yang terdiri dari sulfur dioksida (SO2), gas hidrogen sulfida (H2S), nitrogen dioksida (NO2), serta debu dalam bentuk partikel debu (Total Suspended Particulate atau

Particulate Matter). Gas-gas dan materi vulkanik yang dihasilkan oleh letusan Gunung Merapi terbawa angin hingga mencemari Kota Yogyakarta. Jarak antara puncak Gunung Merapi dengan Kota Yogyakarta sekitar 30 km.

Gas dan materi vulkanik Gunung Merapi mencemari udara di Kota Yogyakarta. Gas dan materi vulkanik memberikan dampak yang buruk bagi

mahluk hidup. Salah satu dampak buruk dari gas dan materi vulkanik Merapi yaitu terjadinya perubahan warna daun pada pepohonan di sekitar Kota

Yogyakarta. Selain itu, debu vulkanik dapat mengotori permukaan daun pada pepohonan. Pohon yang paling banyak ditanam di kota ini adalah angsana (Pterocarpus indicus Willd.) dan beringin (Ficus benjamina Linn.), sehingga ditentukanlah pohon angsana dan beringin pada Kota Yogyakarta (Lokasi 1) sebagai pohon yang relatif tercemar dan pada Kota Solo (Lokasi 2) sebagai pohon kontrol (Gambar 16 dan Gambar 17).

(a) (b)

(31)

31

(a) (b)

Gambar 17 Pohon beringin di Kota Yogyakarta (a) dan di Kota Solo (b).

5.1 Kualitas Udara

Data kualitas udara antara Kota Yogyakarta dan Solo dilakukan perbandingan baik setelah maupun sebelum terjadinya letusan Gunung Merapi. Data kualitas udara pada Kota Yogyakarta dan Solo pada penelitian ini merupakan data sekunder yang diambil dari Balai Lingkungan Hidup di kedua lokasi.

Berdasarkan data kualitas udara setelah letusan Gunung Merapi, Balai Lingkungan Hidup (BLH) Kota Yogyakarta menunjukkan bahwa parameter TSP

(debu) dan NO konsentrasinya lebih tinggi dibanding SO . Hasil perbandingan

parameter kualitas udara pada Kota Yogyakarta dan Solo dapat dilihat pada Tabel 1. Sumber : BLH Yogyakarta (2010) dan BLH Solo (2010)

(32)

32

pengambilan sampel daun. Secara umun, debu vulkanik yang berasal dari letusan Gunung berapi memiliki ukuran diameter aerodinamik <10µm atau yang lebih dikenal dengan nama PM10. Namun, pada BLH Kota Yogyakarta melakukan pemantauan hingga pada debu yang memiliki ukuran diameter aerodinamik <2,5 µm. Parameter polutan di Kota Yogyakarta yang melebihi dari baku mutu terdiri dari TSP (debu) dan NO . Kadar debu di Kota Yogyakarta sebelum letusan

Gunung Merapi terukur 172 µg/Nm³ (Lampiran 6 – 15), sedangkan kadar debu setelah letusan Gunung Merapi terukur 418 µg/Nm³. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas udara Kota Yogyakarta melebihi nilai baku mutu yaitu 230 µg/Nm³ menurut Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara dan Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta No. 153 tahun 2002 tentang Baku Mutu Udara Ambien Daerah.

Kadar NO di Kota Yogyakarta setelah letusan Gunung Merapi terukur

533,6 µg/Nm³. Hal tersebut melebihi nilai baku mutu yaitu 400 µg/Nm³ menurut Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara dan Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta No. 153 tahun

2002 tentang Baku Mutu Udara Ambien Daerah. Kadar SO di Kota Yogyakarta

setelah letusan Gunung Merapi terukur 51,2 µg/Nm³. Hal tersebut tidak melebihi nilai baku mutu yaitu 900 µg/Nm³ menurut Peraturan Pemerintah No. 41 tahun

1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara dan Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta No. 153 tahun 2002 tentang Baku Mutu Udara

Ambien Daerah.

Kadar SO di Kota Yogyakarta setelah letusan Gunung Merapi mengalami

penurunan dibandingkan kadar SO sebelum terjadi letusan Gunung Merapi. Hal

ini menunjukkan bahwa sebelum terjadi letusan Gunung Merapi, gunung ini mengeluarkan gas SO secara terus-menerus. Pada saat setelah letusan Gunung

Merapi, kadar gas SO yang dikeluarkan menjadi berkurang. Selain itu, setelah

letusan Gunung Merapi keadaan Kota Yogyakarta tertutup debu vulkanik yang mengakibatkan semua kendaraan bermotor dan industri tidak beroperasi. Oleh karena itu, kadar SO pada kandungan udara Kota Yogyakarta setelah letusan

(33)

33

Hasil pengukuran kadar debu di kota Solo, baik sebelum maupun sesudah letusan gunung Merapi, terukur <10 µg/Nm³ (Lampiran 16 – 23). Hal tersebut tidak melebihi nilai baku mutu yaitu 230 µg/Nm³ Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara dan Keputusan Gubernur Jawa Tengah No. 8 Tahun 2001 tentang Baku Mutu Udara Ambein di Provinsi dihasilkan oleh letusan Gunung Merapi di Kota Yogyakarta nilai konsentrasinya lebih tinggi dibandingkan dengan Kota Solo. Hal ini disebabkan oleh arah dan jarak penyebaran debu vulkanik yang dihasilkan Gunung Merapi bergerak ke arah

selatan dan barat dengan jarak sekitar 30 km. Kota Yogyakarta berada di sebelah selatan Gunung Merapi, sedangkan kota Solo berada di sebelah timur gunung

Merapi. Oleh karena itu, kadar debu vulkanik di Kota Yogyakarta lebih tinggi dibandingkan di Kota Solo yang tidak tercemar debu vulkanik merapi. Kristanto (2004) menyatakan bahwa pada tempat tertentu konsentrasi partikulat debu dipengaruhi oleh kecepatan emisi melepas debu di udara dan kecepatan dispersi (pembersihan) debu di udara. Daerah perkotaan memiliki kecepatan dispersi (pembersihan) dari udara sangat lambat karena kecepatan dispersi sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor meterologis seperti kecepatan dan arah angin. Kecepatan angin di Kota Yogyakarta sebelum terjadinya letusan Gunung Merapi berkisar 5,384 Km/jam, sedangkan setelah terjadi letusan Gunung Merapi kecepatan angin meningkat hingga 18 Km/jam. Banyaknya debu dipengaruhi oleh kecepatan angin, dimana debu akan lebih banyak terakumulasi jika kecepatan angin meningkat (Scorer 1968).

(34)

34

Sastrawijaya (2000) menjelaskan bahwa distribusi zat pencemar juga mempengaruhi suhu. Semakin tingginya kadar pencemar debu vulkanik di Kota Yogyakarta akan terjadi peningkatan suhu. Suhu udara yang meningkat mengakibatkan kelembaban udara menurun. Suhu udara di Kota Solo, sebelum letusan merapi adalah berkisar 28,6°C dan setelah letusan merapi adalah berkisar 29,1 ºC. Keadaan ini mengindikasikan bahwa suhu udara di Kota Solo cenderung lebih stabil baik sebelum dan setelah letusan Gunung Merapi.

Tingginya konsentrasi NO dan debu di udara dapat dipastikan memberikan

pengaruh terhadap lingkungan yang ada di sekitar kawasan Merapi termasuk Kota Yogyakarta. Kadar gas dan debu di udara pada kondisi ini dapat menutup dan masuk ke dalam stomata daun sehingga dapat merusak struktur anatomi daun (Bell & Treshow 2002). Debu yang menutupi mulut daun akan membatasi proses fotosintesis. Terganggunya proses fotosintesis menyebabkan pembentukan protein dan lemak sebagai sumber energi menjadi sedikit sehingga pertumbuhan tanaman akan terganggu (Riikonen et al. 2010). Mudd dan Kozlowzki (1975) menjelaskan bahwa polutan berupa gas dan pertikel yang merusak daun pada umumnya banyak tercatat yaitu perubahan jaringan seperti plasmolisis, granulasi (kekacauan sel),

hancurnya sel atau mati dan pigmentasi (perubahan warna sel menjadi lebih gelap). Pengaruh lain dari masuknya bahan pencemar debu adalah terjadinya

perobekan atau luka pada jaringan epidermis, hal ini disebabkan karena debu vulkanik mengandung SiO2 yang bersifat tajam (Sinuaji 2011).

5.2 Stuktur Anatomi Daun Angsana (Pterocarpus indicus Willd.) 5.2.1 Pengamatan Sediaan Sayatan Paradermal

Hasil pengamatan sayatan paradermal daun angsana baik pada Kota Yogyakarta maupun Solo, hubungan antara stomata dan sel epidermis dapat diklasifikasikan bahwa tipe susunan stomata angsana yaitu tipe stomata

anomositik atau ranunculaceous. Tipe stomata anomositik atau ranunculaceous

adalah tipe stomata dimana sel penjaganya dikelilingi oleh sejumlah sel tertentu yang tidak berbeda dengan sel epidermis, baik dalam bentuk maupun ukuran (Fahn 1991). Letak stomata daun angsana termasuk tipe hipostomatik karena

(35)

35

Tanaman angsana memiliki trikoma tidak berkelenjar dengan pangkal membulat dan penonjolan multiseriat (Gambar 18).

Keterangan: 1 = Sel Epidermis; 2 = Stomata; 3 = Trikoma Tidak Berkelenjar

Gambar 18 Penampang sayatan paradermal adaksial daun angsana di Kota Yogyakarta (A) dan Kota Solo (B) ; dan paradermal abaksial di Kota Yogyakarta (C) dan Kota Solo (D), (skala : 100µm).

Hasil pengamatan sayatan paradermal tanaman angsana tidak terjadi kerusakan daun akibat gas dan materi vulkanik, tetapi menunjukkan respon anatomi daun. Pengamatan sayatan paradermal angsana dijumpai beberapa parameter yang menunjukkan berbeda nyata antara Kota Yogyakarta dan Solo. Parameter pengamatan yang berbeda nyata tersebut terdiri dari kerapatan stomata,

indeks stomata, dan panjang stomata (Tabel 2). Stomata pada jenis tanaman ini dijumpai hanya pada bagian abaksial (bawah) daun. Tanaman angsana memiliki

(36)

36

Tabel 2 Hasil uji-t terhadap parameter struktur anatomi pada pengamatan sediaan sayatan paradermal daun angsana antara lokasi 1 dan lokasi 2

Parameter Nilai Rata-rata

Keterangan: BN : Beda Nyata pada uji-t dengan tingkat kepercayaan 95%

TBN : Tidak Beda Nyata pada uji-t dengan tingkat kepercayaan 95%

Kerapatan stomata pada tanaman angsana di Kota Yogyakarta yang terpolusi bahan polutan Gunung Merapi (133,33 jumlah/mm²) lebih rendah dibandingkan kerapatan stomata pada tanaman kontrol atau tanaman di Kota Solo (190,26 jumlah/mm²) dan berbeda nyata pada uji-t dengan nilai signifikasi 0,001 (Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa tanaman yang terpapar polusi udara, secara anatomi memberikan respon dengan cara mengurangi jumlah stomata. Menurut Dickinson (2000), stomata yang berfungsi sebagai tempat utama bagi polutan untuk melakukan penetrasi terhadap tanaman. Frekuensi stomata diasumsikan menjadi variabel signifikan yang mempengaruhi sensivitas tanaman dan ketahanan daun. Kerapatan stomata ini juga diikuti dengan indeks stomata yang rendah juga.

Indeks stomata pada Kota Yogyakarta (7,76) lebih rendah dibandingkan pada Kota Solo (10,51) dan berbeda nyata pada uji-t dengan nilai signifikasi 0,002. Pada Kota Yogyakarta, kerapatan stomata yang rendah diikuti dengan ukuran panjang stomata yang tinggi. Hal ini diperjelas oleh Willmer (1983) yang

(37)

37

sangat membantu dalam penyerapan CO untuk fotosintesis. Selain itu,

karakteristik stomata yang meliputi ukuran, kerapatan, dan indeks stomata banyak digunakan sebagai bioindikator dan biomonitoring udara (Balasooriya et al.

2008). Kerapatan dan indeks stomata yang menurun serta ukuran panjang stomata yang meningkat pada jenis daun angsana di Kota Yogyakarta merupakan salah satu respon adaptasi dan pertahanan hidup tanaman saat terjadi cekaman lingkungan akibat polusi gas dan materi vulkanik.

Selain itu, menurunnya kerapatan dan indeks stomata serta meningkatnya ukuran stomata diduga merupakan modifikasi tanaman angsana untuk mengoptimumkan penangkapan gas CO yang digunakan untuk proses

fotosintesis. Respon struktur anatomi yang meliputi menurunnya kerapatan dan indeks stomata serta meningkatnya ukuran panjang stomata juga terjadi pada

Nicotiana tabacum karena adanya cekaman lingkungan dari gas polutan yang dilaporkan oleh Pedroso & Alves (2008). Hasil yang berbeda disampaikan oleh Gostin (2009), salah satu respon Trifolium montanum dan Trifolium repens

terhadap cekaman gas polutan adalah dengan meningkatkan kerapatan dan indeks stomata. Hal ini menunjukkan bahwa setiap tanaman memiliki respon yang berbeda-beda terhadap polutan udara, baik gas maupun partikel.

Tanaman angsana memiliki trikoma dengan pangkal membulat dan penonjolan multiseriat. Trikoma pada tanaman ini merupakan trikoma tidak

(38)

38

5.2.2 Pengamatan Sediaan Sayatan Transversal

Daun angsana bertipe dorsiventral atau bifasial. Dorsiventral atau bifasial

adalah daun yang memiliki jaringan palisade di satu sisi daun dan jaringan bunga karang di sisi lainnya (Fahn 1991). Jaringan palisade pada tanaman ini hanya memiliki satu lapis saja, baik tanaman angsana di Kota Yogyakarta maupun di Kota Solo. Hasil pengamatan sayatan transversal pada daun angsana, menunjukkan bahwa tidak terjadi kerusakan daun akibat gas dan materi vulkanik, tetapi menunjukkan respon terhadap struktur anatomi daun antara Kota Yogyakarta dan Solo. Tebal daun angsana pada Kota Yogyakarta lebih besar dibandingkan tebal daun pada Kota Solo yang dapat dilihat pada Gambar 19. Tebalnya daun pada Kota Yogyakarta dipengaruhi peningkatan tebal jaringan palisade.

Keterangan: 1 = Kutikula Adaksial 4 = Epidermis Abaksial

2 = Kutikula Abaksial 5 = Palisade

3 = Epidermis Adaksial 6 = Bunga Karang

Gambar 19 Penampang sayatan transversal daun angsana di Kota Yogyakarta (A) dan Kota Solo (B), (skala : 100µm).

(39)

39

Tabel 3 Hasil uji-t terhadap parameter struktur anatomi pada pengamatan sediaan sayatan transversal daun angsana antara Kota Yogyakarta dan Solo

Parameter Nilai Rata-rata

Keterangan: BN : Beda Nyata pada uji-t dengan tingkat kepercayaan 95%

TBN : Tidak Beda Nyata pada uji-t dengan tingkat kepercayaan 95%

Pada tanaman angsana dijumpai perbedaan ketebalan pada jaringan palisade. Ketebalan jaringan palisade adaksial pada Kota Yogyakarta (43,40 µm) lebih

tinggi dibandingkan Kota Solo (33,47 µm) dan berbeda nyata secara uji-t. Tebal jaringan palisade yang meningkat pada Kota Yogyakarta merupakan salah satu respon pertumbuhan angsana dengan beradaptasi terhadap gas dan materi vulkanik di sekitar tanaman. Hal yang serupa dilaporkan oleh Dickison (2000), yang menyatakan bahwa gas polutan kendaraan bermotor dapat menyebabkan pertambahan tebal daun dengan bertambahnya tebal jaringan palisade. Selain itu, Ribas et al. (2005) juga melaporkan bahwa pada tanaman Oleo europea juga mengalami peningkatan ketebalan palisade akibat polutan gas ozon. Hasil yang berbeda dilaporkan oleh Maulana (2004) yang menyatakan bahwa tebal palisade pada tanaman Canarium commune pada keadaan terpolusi gas kendaraan bermotor lebih rendah dibandingkan dengan kontrol.

Reaksi tanaman terhadap polusi udara akan memodifikasi jaringannya dengan meningkatkan ketebalan palisade (Radoukova 2009). Tingkat perubahan bentuk pada jaringan palisade akan sangat berpengaruh terhadap proses fisiologi tanaman, terutama pada proses fotosintesis. Menurut Fahn (1991) dan Jahan dan Iqbal (1992), menjelaskan bahwa jaringan palisade terdapat kloroplas yang

berfungsi untuk fotosintesis.

Selain menurunkan kerapatan dan indeks stomata akibat gas dan materi

vulkanik, tanaman angsana juga merespon dengan meningkatkan ketebalan jaringan palisade. Kerapatan stomata dan indeks stomata di Kota Yogyakarta relatif lebih rendah dibandingkan pada Kota Solo. Namun, di sisi lain tanaman

(40)

40

meningkatkan efisiensi fotosintesis. Adanya modifikasi jaringan palisade pada tanaman angsana menunjukkan bahwa tanaman ini dapat beradaptasi secara baik terhadap lingkungan yang tercemar oleh polutan gas dan materi vulkanik Gunung Merapi. Menurut Bell dan Treshow (2002), tanaman yang biasa hidup dan tumbuh di daerah dengan tingkat pencemaran polutan gas dan partikel yang tinggi mampu beradaptasi dengan menebalkan jaringan palisade. Jaringan palisade yang meningkat ini mempengaruhi proses pertumbuhan pada tanaman. Hal ini didukung dengan penelitian pada tanaman Lolium pereme yang cenderung tumbuh lebih baik di lokasi yang terpolusi oleh polutan gas dibandingkan dengan lokasi yang tidak terpolusi (Mansfield 1976).

Tanaman angsana termasuk ke dalam tanaman yang memiliki kemampuan adaptasi yang baik terhadap lokasi yang terpolusi gas dan partikel. Hal ini sesuai dengan penelitian Roziaty (2009) yang melaporkan bahwa Tanaman angsana

termasuk ke dalam tanaman yang memiliki kemampuan adaptasi tinggi (toleran) terhadap polutan gas dan partikel. Selain itu, polutan seperti partikel dapat

menghambat pertumbuhan pada suatu tanaman, tetapi tanaman angsana memiliki mekanisme adaptasi dan pertahanan dengan memodifikasi dirinya agar dapat terus bertahan hidup. Hal ini berkaitan bahwa, tanaman angsana banyak ditemukan di sekitar Kota Yogyakarta yang setiap empat tahun sekali terpapar bahan polutan gas dan materi vulkanik erupsi Gunung Merapi.

5.3 Stuktur Anatomi Daun Beringin (Ficus benjamina Linn.) 5.3.1 Pengamatan Sediaan Sayatan Paradermal

(41)

41

terjadi kerusakan daun akibat gas dan materi vulkanik, tetapi menunjukkan respon terhadap struktur anatomi daun antara Kota Yogyakarta dan Solo.

Keterangan: 1 = Sel Epidermis; 2 = Stomata; 3 = Trikoma Kelenjar

Gambar 20 Penampang sayatan paradermal adaksial daun beringin di Kota Yogyakarta (A) dan Kota Solo (B) ; dan paradermal abaksial di Kota Yogyakarta (C) dan Kota Solo (D), (skala : 100µm).

Keterangan: 1 = Trikoma Kelenjar

(42)

42

Hasil pengamatan sayatan paradermal abaksial daun beringin pada kedua lokasi ditemukannya trikoma kelenjar unisel (Gambar 21). Trikoma kelenjar berfungsi untuk mencegah kekeringan pada tanaman, untuk sekresi berbagai bahan seperti larutan garam, nektar, terpentin, dan polisakarida (Fahn 1991). Menurut Cutter (1978), trikoma kelenjar adalah sel sekretori yang dapat mengeluarkan metabolit sekunder. Metabolit sekunder ini dapat berperan sebagai agen penolak serangga.

Parameter pengamatan sediaan sayatan paradermal pada jenis tanaman beringin antara Kota Yogyakarta dan Solo tidak berbeda nyata untuk semua parameter pengamatan yang (Tabel 4).

Tabel 4 Hasil uji-t terhadap parameter struktur anatomi pada pengamatan sediaan sayatan paradermal daun beringin antara Kota Yogyakarta dan Solo

Parameter Nilai Rata-rata

Keterangan: BN : Beda Nyata pada uji-t dengan tingkat kepercayaan 95%

TBN : Tidak Beda Nyata pada uji-t dengan tingkat kepercayaan 95%

Parameter kerapatan stomata pada pengamatan sediaan sayatan paradermal daun tanaman beringin tidak menunjukkan perubahan yang signifikan. Namun, nilai kerapatan stomata cenderung menurun. Menurunnya kerapatan stomata pada daun beringin di Kota Yogyakarta merupakan salah satu respon adaptasi dan pertahanan hidup tanaman saat terjadi cekaman lingkungan akibat gas dan materi

vulkanik Gunung Merapi. Tanaman akan memodifikasi dirinya apabila mendapat cekaman dari lingkungan yang terdapat gas dan materi vulkanik. Menurut Gostin

(2009), tanaman yang mengurangi jumlah stomata akibat cekaman polusi udara merupakan salah satu respon untuk mengurangi masuknya gas polutan.

(43)

43

dengan stomata yang ukurannya lebih besar memiliki kemampuan menyerap polutan gas lebih banyak dibandingkan daun dengan stomata yang berukuran lebih kecil (Lambers et al. 2000). Namun modifikasi tersebut memungkinkan tanaman lebih optimum untuk menyerap gas CO yang akan digunakan dalam

proses fotosintesis. Hal yang senada juga disampaikan oleh Jahan dan Iqbal (1992), salah satu respon tanaman Ficus bengalensis terhadap polusi gas dan partikel adalah dengan meningkatkan ukuran stomata, baik panjang maupun lebar stomata.

5.3.2 Pengamatan Sediaan Sayatan Transversal

Struktur anatomi daun tanaman beringin bertipe isolateral atau isobilateral

(Gambar 22). Isolateral atau isobilateral adalah daun yang memiliki jaringan palisade terdapat di kedua sisi daunnya (Fahn 1991). Jaringan palisade pada tanaman ini terdiri dari satu hingga dua lapisan. Hasil pengamatan sayatan transversal pada daun beringin, menunjukkan bahwa tidak terjadi kerusakan struktur anatomi daun akibat gas dan materi vulkanik dan semua parameter pengamatan tidak berbeda nyata secara statistik dibandingkan kontrol. Hal ini

menunjukkan bahwa gas dan materi vulkanik Gunung Merapi tidak memberikan pengaruh terhadap struktur anatomi daun tanaman beringin (Tabel 5)

Tabel 5 Hasil uji-t terhadap parameter struktur anatomi pada pengamatan sediaan sayatan transversal daun beringin antara Kota Yogyakarta dan Solo

Parameter Nilai Rata-rata

Keterangan: TBN : Tidak Beda Nyata pada uji-t dengan tingkat kepercayaan 95%

(44)

44

palisade dan bunga karang yang menebal di Kota Yogyakarta ini terkait dengan jumlah kloroplas yang terkandung di kedua jaringan tersebut. Hal ini berkaitan dengan proses fotosintesis untuk menangkap sinar matahari (Jahan & Iqbal 1992).

Keterangan: 1 = Kutikula Adaksial 6 = Hipodermis Abaksial

2 = Kutikula Abaksial 7 = Palisade Adaksial

3 = Epidermis Adaksial 8 = Palisade Abaksial

4 = Epidermis Abaksial 9 = Bunga Karang

5 = Hipodermis Adaksial

Gambar 22 Penampang sayatan transversal daun beringin di Kota Yogyakarta (A) dan Kota Solo (B), (skala : 100µm).

(45)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa daun tanaman angsana (Pterocarpus indicus Willd.) tidak mengalami kerusakan, namun menunjukkan respon terhadap gas dan materi vulkanik dengan menurunkan kerapatan dan indeks stomata, meningkatkan ukuran panjang stomata, dan ketebalan jaringan palisade. Pada daun tanaman beringin (Ficus benjamina Linn.) juga tidak mengalami kerusakan, namun semua parameter pengamatan tidak menunjukkan respon terhadap gas dan materi. Tanaman angsana dan beringin merupakan tanaman yang baik untuk ditanam di Kota Yogyakarta yang terpolusi gas dan materi vulkanik Gunung Merapi.

6.2 Saran

(46)

IDENTIFIKASI STRUKTUR ANATOMI DAUN

ANGSANA DAN BERINGIN

AKIBAT PENGARUH GAS DAN MATERI VULKANIK

PASCA ERUPSI GUNUNG MERAPI

CHOIRUNNISA WIHDA DESYANTI

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

(47)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad J, Musa N. 2003. Anatomi berkas pengangkut batang. Eugenia 9(4): 248- 255.

Almahy HA, Rahmani M, Sukari MA, Ali AM. 2003. The chemical constituents of Ficus benjamina Linn. and their biological activities. Pertanika J. Sci. & Tech.l 11(1): 73-81.

Azmat R, Haider S, Nasreen H, Aziz F, Riaz M. 2009. A viable alternative mechanism in adapting the plants to heavy metal environment. Pak. J. Bot

41(6): 2729-2738.

[BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Surakarta. 2009.

Peta Administrasi Kota Surakarta. Surakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Surakarta

[BPS] Badan Pusat Statistik Surakarta. 2009. Surakarta Dalam Angka 2009. Surakarta: Badan Pusat Statistik Kota Surakarta.

[BPS] Badan Pusat Statistik Yogyakarta. 2011. Kota Yogyakarta Dalam Angka 2010. Yogyakarta: Badan Pusat Statistik Kota Yogyakarta.

[BLH] Balai Lingkungan Hidup Kota Surakarta. 2010. Hasil Pengujian Udara Ambien. Surakarta: Balai Lingkungan Hidup Kota Surakarta

[BLH] Balai Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta. 2010. Laporan Hasil Uji Udara Ambien. Yogyakarta. Balai Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta

[BPPTK] Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian Yogyakarta. 2010. Kronologis Letusan Gunung Merapi. Yogyakarta: Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian Yogyakarta.

Balasooriya BLWK, Samson R, Mbikwa F, Vitharana UWA, Boeckx P. 2008. Biomonitoring of urban habitat quality by anatomical and chemical leaf characteristics. Environ and Experimen Botany 65(2): 386-394.

Bell JNB, Treshow M. 2002. Air Pollution and Plant Life. 2nd Ed. England: John Wiley and Sons, LTD.

Cutter EG. 1978. Plant Anatomy Part I Cell and Tissues. London: Edward Arnold (Publisher), Ltd.

Dahlan EN. 2004. Membangun Kota Kebun (Garden City) Bernuansa Hutan Kota. Bogor: IPB Press.

(48)

47

Dickinson WO. 2000. Integrative Plant Anatomy. Tokyo: Academic Press.

Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan. 2002. Informasi Singkat Benih Pterocarpus indicus Willd. Jakarta: Kementrian Kehutanan.

Esau K. 1977. Anatomy of Seed Plants. Canada: John Wiley and Sons, Inc.

Fahn A. 1991. Anatomi Tumbuhan. Soediarto A, Koesoemaningrat RMT, Natasapura M, Akmal H, penerjemah; Tjitrosomo SS, editor. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Plant Anatomy.

Fakuara Y, Soekotjo W. 1986. Penentuan Jumlah Transpirasi Pada Berbagai Jenis Pohon yang Tumbuh Di Perkotaan. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Fauqani A. 2011. Respon Pertumbuhan dan Anatomi Jaringan Daun Cyperus kyllingia, Eleusine indica, dan Rottboellia exaltata pada Perbedaan Tingkat Pencemaran Udara [skripsi]. Bogor: Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor.

Fauzi DA. 2008. Panduan Lengkap Manfaat Tanaman Obat. Jakarta: Edsa Mahkota.

Gostin I. 2009. Air pollution effects on the leaf structure of some Fabaceae species. Not. Bot. Hort. Agrobot. Cluj 37(2): 57-63.

Gultom JT. 1996. Pengaruh Salinitas Air dan Pencemaran Udara yang Diemisikan Oleh Asap Kendaraan Bermotor terhadap Beberapa Jenis Anakan Tanaman Perkotaan [skripsi]. Bogor: Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Handoko. 1994. Klimatologi Dasar. Bogor: Pustaka Jaya.

Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jakarta: Yayasan Sarana Waha Jaya Badan Litbang Kehutanan.

Jahan S, Iqbal MZ. 1992. Morphological, anatomical, physiological features of plant species and environmental factors facilitative for dust capturing efficiency. Jour. of Islam. Academy of Sci. 5(1): 24-38

Johansen DA. 1940. Plant Microtechnique. New York and London: McGraw-Hill Book Company Inc.

Kloppenburg J. 1988. Petunjuk Lengkap Mengenai Tanam-tamanan Di Indonesia dan Khasiatnya Sebagai Obat-obatan Tradisionil. Yogyakarta: ANDI.

Kristanto P. 2004. Ekologi Industri. Yogyakarta: ANDI.

(49)

48

Lambers H, Chapin FS, Pons TL. 2000. Plant Physyiological Ecology. New York: Springer.

Mansfield TA. 1976. Effects of Air Pollutants on Plants. London: Cambridge University Press.

Marsono D. 2004. Konservasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup. Yogyakarta: BIGRAF Publishing.

Maulana RY. 2004. Identifikasi Respon Anatomi Daun dan Pertumbuhan Kenari, Akasia dan Kayu Manis Terhadap Emisi Gas Kendaraan Bermotor [skripsi]. Bogor: Departeman Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Mudd JB, Kozlowski TT. 1975. Responses of Plants to Air Pollution. New York: Academic Press, Inc, Ltd.

Mulyani S. 2006. Anatomi Tumbuhan. Yogyakarta: Kanisius.

Nurmal L. Pengaruh Pencemaran yang Diemisikan Oleh Kendaraan Bermotor Terhadap Ketahanan Tanaman Perkotaan [skripsi]. Bogor: Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Pedroso ANV, Alves ES. 2008. Comparative leaf anatomy of Nicotiana tabacum

L. (Solanaceae) cultivars sensitive and tolerant to ozone. Acta Bot. Bras.

22(1): 3306-3318.

[P2PL] Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2010. Letusan Gunung Merapi. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementrian Kesehatan.

Pudjiastuti W. 2002. Debu Sebagai Bahan Pencemar yang Membahayakan Kesehatan Kerja. Jakarta: Pusat Kesehatan Kerja Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Radoukova T. 2009. Anatomical mutability of the leaf epidermis in two species of

Franxinus L. in a region with autotransport pollution. Biotechnol & Biotechnol. 23(25): 405-409

Regional Geographic of Indonesia. 2011. Profil kota Yogyakarta. http://www.geoarround.com [17 Januari 2011]

Ribas A, Penuelas J, Elvira S, Gimeno BS. 2005. Ozone exposure induces the activation of leaf senescence-related processes and morphological and growth changes in seedlings of Mediterranean tree species. Environ. Poll.

134: 291-300.

Riikonen J, Percy KE, Kivimaenpaa M, Kubiske ME, Nelson ND, Vapaavuori E. Karnosky DF. 2010. Leaf size and surface charateristics of Betula papyrifera

(50)

49

Roziaty E. 2009. Kandungan Klorofil, Struktur Anatomi Daun Angsana (Pterocarpus indicus Willd.) dan Kualitas Udara Ambein di Sekitar Kawasan Industri Pupuk PT. Pusri di Palembang [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Sass JE. 1951. Botanical Microtechnique. Iowa: The Iowa Sate College Press.

Sastrapraja S, Afriastini JJ. 1984. Kerabat Beringin. Bogor: Lembaga Biologi Nasional LIPI.

Sastrawijaya AT. 1991. Pencemaran Lingkungan. Jakarta: Rineka Cipta.

Scorer R. 1968. Air Pollution. Oxford: Pergamon Press LTD.

Sinuhaji NF. 2011. Analisis Logam Berat dan Unsur Hara Debu Vulkanik Gunung Sinabung Kabupaten Karo Sumatra Utara [Skripsi]. Medan. Departemen Fisiska Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Sumatra Utara

Soedomo M. 2001. Pencemaran Udara. Bandung: ITB Bandung.

Soemarno SH. 1999. Meteorologi Pencemaran Udara. Bandung: Departemen Geofisika dan Meteorologi ITB.

Sulistyaningsih YC, Dorly, Akmal. 1996. Studi anatomi daun Saccharum spp. sebagai induk dalam pemuliaan tebu. Hayati 1(2): 32-36.

Sunarti S, Rugayah, Tihurua EF. 2008. Studi anatomi daun jenis-jenis Averrhoa di Indonesia untuk mempertegas status taksonominya. Berita Biologi 9(3): 253-257.

Suriadikarta DA, Abas A, Sutono, Erfandi D, Santoso E, Kasno A. 2010.

Identifikasi Sifat Kimia Abu Volkan, Tanah dan Air Di Lokasi Dampak Letusan Gunung Merapi. Bogor: Balai Penelitian Tanah.

Sutarno, Pranoto, Dewi WS, Iskamto B. 2003. Indikator kualitas udara di jawa tengah ditinjau dari komponen biologi. Environmental 3(2): 1-9

Sutrian Y. 1992. Pengantar Anatomi Tumbuh-tumbuhan. Jakarta: Rineka Cipta.

Tjitrosoepomo G. 1996. Morfologi Tumbuhan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Treshow M, Anderson FK. 1991. Plant Stress from Air Pollution. New York: John Willey and Sons.

Wardhana WA. 2004. Dampak Pencemaran Lingkungan. Yogyakarta: ANDI

(51)

50

(52)

IDENTIFIKASI STRUKTUR ANATOMI DAUN

ANGSANA DAN BERINGIN

AKIBAT PENGARUH GAS DAN MATERI VULKANIK

PASCA ERUPSI GUNUNG MERAPI

CHOIRUNNISA WIHDA DESYANTI

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

(53)

IDENTIFIKASI STRUKTUR ANATOMI DAUN

ANGSANA DAN BERINGIN

AKIBAT PENGARUH GAS DAN MATERI VULKANIK

PASCA ERUPSI GUNUNG MERAPI

CHOIRUNNISA WIHDA DESYANTI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

Gambar

Gambar 1  Posisi sampel daun yang diambil pada ranting (a) dan cabang (b).
Gambar 5  Hasil sayatan paradermal.
Gambar 6  Infiltrasi parafin murni.
Gambar 8  Penanaman dalam blok parafin (a) dan pengaturan posisi sampel (b).
+7

Referensi

Dokumen terkait