BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Udara merupakan bagian dari lingkungan yang bersifat dinamis atau dapat berubah-ubah setiap saat (Irwan 1992). Perubahan yang terjadi pada kandungan udara dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Pencemaran udara oleh zat-zat berbahaya seperti NO2, SO2, debu dan lain-lain dapat merusak lingkungan bahkan
mengganggu kesehatan manusia (Cauhan 2010).
Masuknya zat pencemar ke dalam udara dapat terjadi secara alamiah misalnya melalui asap kebakaran hutan, debu meteorit, pancaran garam dari air laut dan gunung berapi (Santosa 2004). Namun selain terjadi secara alami, pencemaran dapat pula terjadi karena faktor manusia dan kegiatan manusia yang menjadi penyumbang zat pencemar terbesar adalah kegiatan industri, pembuangan sampah dan kegiatan rumah tangga (Soedomo 2001).
Zat-zat pencemar tersebut hanya dapat direduksi oleh tumbuhan hijau, sebab tumbuhan hijau memiliki kemampuan untuk menyerap dan menjerap zat-zat berbahaya sehingga dapat mengurangi dampak dari pencemaran udara (Dahlan 1989). Dalam bukunya yang lain Dahlan (2004) juga menjelaskan bahwa vegetasi memiliki hubungan langsung dalam menurunkan konsentrasi partikel debu di udara. Bahan pencemar seperti partikel debu yang terjerap adalah partikel yang menempel di permukaan daun secara sementara, sedangkan partikel debu yang terserap adalah partikel yang masuk sampai ke dalam jaringan daun dan akan mengganggu proses metabolisme tanaman jika konsentrasinya terlalu tinggi.
secara materiil maupun non materiil. Beberapa contoh dampak yang ditimbulkan oleh bencana letusan Gunung Merapi adalah adanya kerusakan lingkungan dan berakibat matinya beberapa jenis tumbuhan dan hewan yang berada di sekitar kawasan karena pengaruh gas dan materi vulkanik yang keluar. Letusan Gunung Merapi mengeluarkan gas dan materi yang mengandung uap air (H2O), SO2, NO2,
H2S, dan debu vulkanik dalam bentuk Total Suspended Particulate (TSP) dan
lain-lain (BLH Yogyakarta 2010). BPPTK Yogyakarta (2010) menjelaskan bahwa aktivitas erupsi Gunung Merapi masih tinggi, hal ini dibuktikan dengan tingginya frekuensi gempa vulkanik yang mengeluarkan gas-gas dan debu. Bahan pencemar seperti SO2, NO2, CO dan lain-lain termasuk debu vulkanik dapat menyebakan
kerusakan pada kondisi fisik dan struktur anatomi tumbuhan (Wilson et al, 2007). Irawati (1991) dan Dahlan (1992) menjelaskan bahwa akasia dan mahoni adalah contoh jenis pohon yang berfungsi sebagai penyerap partikel debu dan bahan pencemar lain yang cukup efektif. Hal ini berarti akasia dan mahoni dapat direkomendasikan sebagai pohon yang akan ditanam sebagai usaha pemulihan keadaan udara kota Yogyakarta. Polutan yang terserap tumbuhan akan mempengaruhi struktur anatomi daun sedangkan polutan yang terjerap dapat mengganggu proses pertukaran gas CO2 dan menghambat laju transpirasi karena
1.2 Tujuan
Tujuan dari penelitian yang dilakukan adalah :
1. Mengidentifikasi pengaruh gas dan materi vulkanik terhadap struktur anatomi daun akasia (Accacia auriculiformes A. Cunn ex Benth) dan mahoni (Swietenia macrophylla King).
2. Membandingkan tingkat kerusakan mikroskopis daun yang ditimbulkan gas dan materi vulkanik Gunung Merapi pada kedua jenis tanaman di lokasi yang berbeda.
1.3 Manfaat
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lingkungan dan Udara
Lingkungan hidup adalah semua benda yang hidup dan tak hidup serta kondisi yang ada dalam ruang yang kita tempati. Manusia di sekitar kita adalah bagian dari lingkungan hidup. Antara manusia dan lingkungan hidupnya terdapat hubungan timbal balik. Perubahan lingkungan hidup akan menyebabkan perubahan perilaku manusia (Sastrawijaya 1991).
Udara adalah suatu campuran gas yang terdapat pada lapisan yang mengelilingi bumi. Komposisi campuran gas tidak selalu konstan. Komponen yang konsentrasinya paling bervariasi adalah air dalam bentuk uap H2O dan
Karbondioksida (CO2). Jumlah uap air yang terdapat di udara bervariasi
tergantung dari cuaca dan suhu (Kristanto 2002).
Udara di alam tidak pernah dijumpai dalam keadaan bersih tanpa polutan sama sekali. Beberapa gas seperti sulfur dioksida (SO2) dan hidrogen sulfida
(H2S) dan karbon monoksida (CO) selalu dibebaskan ke udara sebagai produk
sampingan dari proses alami seperti aktivitas vulkanik, pembusukan sampah tanaman, kebakaran hutan dan sebagainya. Selain itu partikel-partikel padat atau cair berukuran kecil dapat tersebar di udara oleh angin, letusan vulkanik, atau gangguan alam lainnya. Selain disebabkan oleh polutan alami, pencemaran udara juga dapat disebabkan oleh aktivitas manusia misalnya transportasi, pembakaran minyak proses industri dan lain-lain (Fardiaz 1992)
2.2 Pencemaran
Pencemaran lingkungan, menurut UU Republik Indonesia No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan adalah masuknya atau dimasukannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam lingkungan dan atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai ke tingkat yang menyebabkan lingkungan kurang atau tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya.
2.2.1 Pencemaran Udara
Menurut Henry (1974) yang dimaksud dengan pencemaran udara adalah hadirnya satu atau beberapa kontaminan di dalam udara atmosfer di luar debu, busa, gas, kabut, bau-bauan, asap maupun lama berlangsungnya di udara tersebut hingga dapat menimbulkan gangguan-gangguan terhadap kehidupan manusia, tumbuhan atau hewan maupun benda tau tanpa alasan yang jelas sudah dapat mempengaruhi kelestarian kehidupan organisme maupun benda. Sedangkan berdasarkan Keputusan Menteri Negara Kependudukan Dan Lingkungan Hidup No. 02/MENKLH/1998 yang dimaksud dengan pencemaran udara adalah masuk atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi dan/atau komponen lain ke dalam udara dan/atau berubahnya tatanan (komposisi) udara oleh kegiatan manusia atau proses alam, sehingga kualitas udara menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya.
2.2.2 Sumber Pencemaran Udara
Kristanto (2002) menjelaskan bahwa berdasarkan asal dan kelanjutan perkembangan di udara, pencemar udara dibedakan menjadi :
1) Pencemar Udara Primer
Pencemar udara primer yaitu pencemar di udara yang ada dalam bentuk yang hampir tidak berubah, sama seperti pada saat dibebaskan dari sumbernya sebagai hasil dari proses tertentu. Pencemar udara primer banyak berasal dari kegiatan manusia seperti kegiatan industri (cerobong asap industri) dan juga dari sektor transportasi (mobil, bus, sepeda motor, dan lain-lain). Dari seluruh pencemar primer yang ada, pencemar utama berasal dari sektor transportasi yang memberikan andil sebesar 60% dari pencemaran udara total.
Pencemaran udara primer dapat digolongkan menjadi lima kelompok dengan tingkat toksisitas yang berbeda (Tabel 1), yaitu :
1) Karbon monoksida (CO) 2) Nitrogen oksida (NOx) 3) Hidrokarbon
4) Sulfur oksida (SOx) 5) Partikel
Tabel 1 Toksisitas relatif polutan udara
Polutan Level Toleransi Toksisitas Relatif
Ppm µg/m3
CO 32.0 40.000 1.00
HC 19.300 2.07
Sox 0.50 1.430 28.0
Nox 0.25 514 77.8
Partikel 375 106.7
2) Pencemar Udara Sekunder
Jenis pencemaran udara dilihat dari ciri-ciri fisik dan bahan pencemar dapat berupa :
a. Partikel : merupakan benda-benda padat atau cair yang dimensinya sedemikian kecilnya sehingga memungkinkan melayang di udara. Bentuk-bentuk khusus dari partikel dalam hubungan :
1) Mist (kabut) merupakan partikel cair yang berada dalam udara karena kondensasi uap air atau otomatisasi cairan ke tingkat dispersi. Otomatisasi ini terjadi pada penyemprotan, pembuihan dan lain-lain.
2) Fog (kabut yang padat tebal), sama dengan mist, tetapi masih dapat dilihat dengan mata telanjang sekalipun tanpa bantuan alat bantu penglihatan (Visual aid)
3) Smoke (asap) merupakan partikel karbon (padat) yang terjadi dari pembakaran tidak sempurna sumber-sumber pembakaran yang menggunakan bahan bakar hidrokarbon, dengan ukuran partikel <5 mikron.
4) Debu (dust) merupakan partikel padat yang terjadi karena proses mekanis (pemecahan dan reduksi) terhadap masa padat, dimana partikel tersebut masih dipengaruhi oleh gravitasi.
5) Fume adalah partikel padat yang terjadi karena kondensasi dari penguapan logam-logam cair yang kemudian disertai secara langsung oleh suatu oksidasi si udara. Biasanya terjadi pada pabrik-pabrik pengecoran dan peleburan logam.
b. Gas dan uap yang dibedakan menjadi :
1) Yang larut dalam air (misalnya oksigen larut dalam air) 2) Yang tidak larut dalam air, dibedakan lagi menjadi :
i. Tidak larut, tetapi bereaksi dengan salah satu komponen dalam air itu
ii. Kelarutan rendah bereaksinya dengan salah satu komponen dalam air secara lambat misalnya benzena.
Sifat fisik partikel yang penting adalah ukurannya yang berkisar antara diameter 0,00002 mikron sampai sekitar 5000 mikron. Pada kisaran tersebut partikel dalam bentuk tersuspensi di udara dapat bertahan beberapa detik sampai beberapa bulan. Umur partikel tersebut dipengaruhi oleh kecepatan pengendapan yang ditentukan dari ukuran dan densitas partikel serta aliran (turbulensi udara) (Fardiaz 1992). Berbagai jenis polutan partikel dan bentuknya yang terdapat di udara ditunjukan pada Tabel 2.
Tabel 2 Komponen partikel dan bentuknya yang umum terdapat di udara
Komponen Bentuk
Karbon C
Besi FE2O3
Magnesium MgO
Kalsium CaO
Aluminium Al2O3
Sulfur SO2
Titanium TiO2
Karbonat CO3
Silikon SiO2
Fosfor P2O5
Kalium K2O
Natrium Na2O
Lain-lain
Pencemaran udara oleh sulfur oksida terutama disebabkan oleh dua komponen gas yang tidak berwarna, yaitu Sulfur dioksida (SO2) dan Sulfur
trioksida (SO3). Keduanya disebut sebagai SOx. Sulfur diolasida mempunyai bau
yang tajam dan tidak terbakar udara, sedangkan Sulfur trioksida merupakan komponen yang tidak reaktif. Pembakaran bahan-bahan yang mengandung sulfur akan menghasilkan kedua bentuk sulfur dioksida, tetapi jumlah reaktif masing-masing tidak dipengaruhi oleh jumlah oksigen yang tersedia. Meskipun udara tersedia dalam jumlah cukup, SO2 selalu terbentuk dalam jumlah besar. Jumlah
SO3 yang terbentuk dipengaruhi oleh kondisi reaksi,terutama suhu dan bervariasi
dari 1 sampai 10% dari total SOx.
Mekanisme pembentukan SOx dapat dituliskan dalam dua tahap sebagai berikut : S + O2 SO2
2SO2 + O2 2SO3
Hanya sepertiga dari jumlah sulfur yang terdapat di atmosfer merupakan hasil dari aktivitas manusia dan kebanyakan dalam bentuk SO2. Sebanyak dua
pertiga dari jumlah sulfur di atmosfer berasal dari sumber-sumber alam seperti vulkano, dan terdapat dalam bentuk H2S dan oksida. Transportasi bukan
merupakan sumber utama polutan SOx tetapi pebakaran bahan bakar pada
sumbernya merupakan sumber utama polutan SOx (Fardiaz 1992).
c. Bahan Pencemar CO
Karbon monoksida (CO) adalah suatu komponen tidak berwarna, tidak berbau dan tidak mempunyai rasa. Gas CO dapat berbentuk cairan pada suhu di bawah -192ºC (Pohan 2002). Komponen ini mempunyai berat sebesar 96,5% dari berat air dan tidak larut di dalam air. Karbon monoksida yang terdapat di alam terbentuk dari salah satu proses sebagai berikut :
1) Pembakaran tidak lengkap terhadap karbon atau komponen yang mengandung karbon.
2) Reaksi antara karbon dioksida dan komponen yang mengandung karbon pada suhu tinggi.
Berbagai proses geofisika dan biologis diketahui dapat memproduksi CO. Proses-proses tersebut misalnya aktivitas vulkanik, emisi gas alami, pancaran listrik dan kilat, pertumbuhan benih dan sumber lainnya. Tetapi kontribusi CO ke atmosfer yang disebabkan proses-proses tersebut relatif kecil. Pembebasan CO ke atmosfer sebagai aktivitas manusia lebih nyata, misalnya dari transportasi, pembakaran minyak, gas, arang atau kayu, proses-proses industri seperti idustri besi, petroleum, kertas dan kayu, pembuangan limbah padat, dan sumber-sumber lain termasuk kebakaran hutan.
Transportasi menghasilkan CO paling banyak diantara sumber CO yang lainnya, terutama dari kendaraan-kendaraan yang menggunakan bensin sebagai bahan bakar. Sumber CO yang kedua adalah pembakaran hasil-hasil pertanian seperti sampah, sisa kayu di hutan dan sisa tanaman di perkebunan. Proses pembakaran tersebut sengaja dilakukan untuk berbagai tujuan misalnya mengontrol hama termasuk insekta dan mikroorganisme, mengurangi volume sampah dan bahan buangan, dan menghasilkan serta memperbaiki mutu tanah (Fardiaz 1992).
d. Bahan Pencemar NO
Nitrogen Oksida (NOx) merupakan pencemar. Sekitar 10% pencemar udara
setiap tahun adalah nitrogen oksida. Ada delapan kemungkinan hasil reaksi bila nitrogen bereaksi dengan oksigen. Yang jumlahnya cukup banyak hanyalah tiga, yakni: N2O, NO2, dan NO. Yang termasuk dalam pencemaran udara adalah NO
dan N2O, NO2 merupakan gas beracun, berwarna coklat merah, berbau seperti
asam nitrat (Sastrawijaya 1991).
Pembentukan NO dan NO2 mencakup reaksi antara nitrogen dan oksigen di
udara sehingga membentuk NO, kemudian reaksi selanjutnya antara NO dengan lebih banyak oksigen membentuk NO2. Persamaan reaksinya adalah sebagai
berikut (Fardiaz 1992). N2 + O22NO
2NO + O2 2NO2
pembakaran, dan kebanyakan pembakaran disebabkan oleh kendaraan, produksi energi dan pembuangan sampah. Sebagian besar emisi NOx yang dibuat manusia
berasal dari pembakaran arang, minyak, gas alam dan bensin. 2.2.4 Pengaruh Pencemaran Udara
Kandungan bahan pencemar SO2, NO2, dan O3 yang rendah tidak akan
menyebabkan luka pada kloroplas, namun dapat menyebabkan perobekan sistem membran tylakoid yang terdapat dalam kloroplas (Wellburn et al. 1972 dalam Fitter dan Hay 1981).
Polusi yang merusak daun pada umumnya banyak tercatat adanya perubahan jaringan, seperti plasmolisis, granulasi atau kekacauan kandungan sel, hancurnya sel atau matinya sel dan pigmentasi atau perubahan warna sel menjadi coklat gelap (Kozlowski dan Mudd 1975).
Kozlowski dan Mudd (1975) membagi gejala kerusakan sebagai berikut: (1) gejala tersembunyi (hidden), (2) gejala tak tampak (invisible), (3) gejala fisiologis (physiological). Adanya kriteria kerusakan yang tak tampak adalah : (1) menyebabkan gangguan pada kehidupan tumbuhan dan akhirnya berakibat pada pertumbuhan, (2) gangguan tersebut tidak tampak jelas dengan mata telanjang, (3) kerusakan ini terjadi dimana tumbuhan mengalami perubahan dengan tidak adanya tanda yang terlihat.
Menurut Fakuara (1986) pencemar debu di udara dapat menutupi mulut daun dan hal ini akan membatasi proses transpirasi. Sedangkan bahan kimia yang berupa gas, sebagai contoh SO akan masuk melalui mulut daun kemudian mempengaruhi komposisi cairan sel dan sel akan menjadi rusak dan mati.
Ormond (1978) dalam Santosa (2004) menjelaskan bahwa pada tumbuhan berdaun lebar, baik SO maupun HF menyebabkan rusaknya sel-sel bunga karang, diikuti oleh stomata permukaan bawah yang berhubungan dengan epidermis kemudian diikuti oleh perusakan kloroplas dan merusak jaringan palisade. Jaringan-jaringan vaskular akan menjadi rusak kemudian. Suratin (1991) melaporkan bahwa kerusakan daun paling banyak terjadi pada bagian mesofil. Menurutnya terdapat kecenderungan antara kerusakan daun tersebut dengan jumlah kendaraan karena melepaskan SOx, NO dan partikel. Daun menjadi bagian
mempengaruhi tanaman melalui daun, yaitu masuk melalui stomata dengan proses difusi molekuler terutama bahan pencemar yang berupa gas.
a. Pengaruh Partikel
Pengaruh partikel terhadap tanaman terutama adalah dalam bentuk debu, dimana debu tersebut jika bergabung dengan uap air atau air hujan gerimis akan membentuk kerak yang tebal di permukaan daun dan tidak dapat tercuci dengan air hujan kecuali dengan mengggosoknya. Lapisan kerak tersebut akan mengganggu proses fotosintesis pada tanaman karena menghambat masuknya sinar matahari dan mencegah pertukaran CO2 dengan atmosfer. Akibatnya
pertumbuhan tanaman menjadi terganggu. Bahaya lain yang ditimbulkan dari pengumpulan partikel pada tanaman adalah kemungkinan bahwa partikel tersebut mengandung komponen kimia yang berbahaya bagi hewan yang memakan tanaman tersebut ( Kovacs 1992).
Beberapa jenis tanaman menunjukan secara langsung kerusakan fisik akibat adanya partikel. Hal ini termasuk menutupi stomata dan mempengaruhi laju transpirasi. Partikel dari lingkungan juga dilaporkan dapat menyebabkan kenaikan suhu pada daun. Hal ini akan berpengaruh pada fungsi metabolisme. Misalnya penurunan fotosintesis pada hasil dari reaksi gelap atau penurunan fungsi metabolisme yang menyebabkan kerusakan struktur atau efek dan keracunan (Bell dan Treshow 2002). Fitter and Hay (1981) menjelaskan bahwa tanaman yang dihadapkan secara kronis terhadap konsentrasi polutan rendah dapat menyebabkan terjadinya klorosis daun yang bersifat progresif dan kadang-kadang sukar dikenal sebagai suatu gejala polusi udara. Sebaliknya, konsentrasi yang tinggi umumnya menyebabkan perlukaan yang nampak karena kematian, menjadi kering dan akhirnya mengalami kematian.
Ukuran lubang stomata pada umumnya antara 8-10 µm. Ukuran partikel debu sangat penting dalam mempengaruhi stomata. Partikel debu yang mempunyai diameter sama dengan stomata akan tersangkut selama pembukaan stomata. Partikel debu yang lebih kecil akan melewati dan masuk melalui jaringan daun, sementara yang lebih besar tidak akan masuk. Partikel debu dalam bentuk
≤10 µm dan ≤2,5 µm akan tersangkut dan terserap ke dalam daun (Agus dan Budi 2003).
Stomata pada daun umumnya dijumpai pada permukaan abaksial (sisi bawah daun). Pengendapan partikel di permukaan daun tidak menunjukan dampak terhadap kerusakan stomata (Farmer 2002).
b. Pengaruh SO2
Kerusakan tanaman oleh SO2 dipengaruhi oleh dua faktor yaitu konsentrasi
dan waktu kontak. Kerusakan tiba-tiba (akut) terjadi jika terjadi kontak dengan SO2 pada konsentrasi tinggi dalam waktu sebentar, dengan gejala beberapa bagian
daun kering dan mati, dan biasanya warna daun menjadi pucat. Kontak SO2 pada
konsentrasi rendah dalam waktu lama menyebabkan kerusakan kronis, yang ditandai dengan menguningnya warna daun karena terhambatnya mekanisme pembentukan klorofil (Fardiaz 1992).
Treshow (1970) melaporkan bahwa daun buncis yang difumigasi dengan SO menunjukan kerusakan anatomi daun. Mula-mula yang mengalami kerusakan adalah jaringan bunga karang yang berada di sekitar stomata dan lapisan epidermis bawah tempat stomata berada, kemudian palisade dan lapisan epidermis atas.
Kerusakan akut pada tanaman disebabkan kemampuan tanaman untuk mengubah SO2 yang diabsorbsi menjadi H2SO4, kemudian menjadi sulfat.
Garam-garam tersebut terkumpul pada ujung atau tepi daun. Sulfat yang terbentuk pada daun berkumpul dengan sulfat yang diabsorbsi melalui akar, dan jika akumulasi cukup tinggi maka akan terjadi gejala kronis yang disertai dengan gugurnya daun. Tanaman bervariasi antar spesies dalam sensitivitasnya terhadap kerusakan SO2.
Meskipun dalam satu spesies terjadi perbedaan sensitivitas yang disebabkan oleh kondisi lingkungan seperti suhu, air tanah, konsentrasi nutrien dan sebagainya. SO2 mungkin juga dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan tanaman tanpa
menyebabkan kerusakan yang terlihat oleh mata. Uap asam sulfat yang merupakan bentuk lain polusi SO2 juga dapat menyebabkan kerusakan tanaman.
menyebabkan kloroplas pecah, kemudian klorofil menyebar dalam sitoplasma dan selanjutnya protoplasma menyusut dan akhirnya berkerut (Treshow 1985).
Hardiani et al. (1987) menyebutkan bahwa tumbuhan tingkat tinggi pada umumnya mempunyai pori-pori yang disebut stomata atau mulut daun yang terutama terdapat di permukaan daun sebelah bawah. Stomata merupakan tempat terjadinya reaksi pertukaran gas dan jalan masuk utama dari zat pencemar udara. Pada siang hari dengan adanya cahaya, CO2, dan kelembaban udara tertentu,
stomata akan terbuka. Jika terdapat gas pencemar seperti SO2 maka gas tersebut
dapat masuk dengan mudah ke dalam tanaman. Gas SO2 dapat menyebabkan
stomata membuka atau menutup. Keadaan tersebut sangat ditentukan oleh spesies dan umur tanaman, konsentrasi gas serta lingkungan di sekitarnya. Respon stomata terhadap zat pencemar mempunyai peranan penting dalam menentukan besarnya pengaruh zat pencemar terhadap kehidupan tanaman.
Menurut Black dan Black (1979), sel penjaga stomata lebih toleran terhadap SO2 daripada sel lainnya karena sel penjaga mempunyai lapisan proteksi luar
alami yang lebih baik. Sel lainnya rusak meskipun dalam konsentrasi yang tidak begitu tinggi dan menyebabkan penurunan tekanan turgor dan menghasilkan pembukaan stomata. Dalam konsentrasi tinggi, sel penjaga dan sel epidermis juga mengalami kerusakan.
Jalan utama SO2 untuk masuk ke dalam daun adalah melalui stomata. Efek
SO2 terhadap stomata banyak sekali tetapi secara umum terlihat bahwa dalam
jangka pendek tercemari SO2 terutama pada konsentrasi <0,05 ppm (<134 µg/m3)
sering menyebabkan pembukaan stomata lebih lebar. Sementara dalam jangka lama dengan konsentrasi lebih tinggi meyebabkan bagian stomata tertutup (Legge dan Kruppa 2002).
c. Pengaruh CO
oleh bakteri yang terdapat pada akar tanaman akan mengalami hambatan dengan pemberian CO sebesar 100 ppm selama satu bulan.
Karena konsentrasi CO di udara jarang mencapai 100 ppm, meskipun dalam waktu sebentar, maka pengaruh CO terhadap tumbuhan biasanya tidak terlihat secara nyata (Fardiaz 1992).
d. Pengaruh NO2
Adanya NO2 di atmosfer akan menyebabkan kerusakan tanaman, tetapi sulit
ditentukan apakah kerusakan tersebut disebabkan langsung oleh NOx atau karena
polutan sekunder yang diproduksi dalam siklus fotolitik NO2. Beberapa polutan
sekunder diketahui dapat menyebabkan kerusakan tanaman yang cukup berat. Percobaan dengan cara fungidasi tanaman-tanaman dengan NO2 menunjukkan
terjadinya bintik-bintik pada daun jika digunakan konsentrasi 1,00 ppm, sedangkan dengan konsentrasi yang lebih tinggi (3,5 ppm atau lebih) terjadi nekrosis atau kerusakan tenunan daun (Stoker dan Seager 1972).
Gas NO2 dan NOx yang terserap bereaksi dengan air dalam daun
membentuk campuran sthoikiometrik dan asam nitrat serta asam nitrit. Hal yang terjadi adalah gas-gas tersebut mencapai sumber air dalam jaringan parenkima yang menimbulkan keasaman dan apabila keasaman melebihi ambang batas pada jaringan maka akan menimbulkan kerusakan.
Natori dan Totsuka (1984) menemukan peningkatan pembukaan stomata tanaman Eionymus japonica selama pemberian pencemar NO2 sebesar 0,1 ppm
sebagian besar tanaman tidak menunjukkan respon apapun. Pembukaan stomata dapat dilihat pada konsentrasi NO2 sekitar 1,00 ppm. Campuran dengan SO2 dapat
menurunkan pembukaan pada beberapa spesies tanaman. NO2 dapat diabsorbsi
oleh daun. NO2 di atmosfir menyediakan sumber N di daerah yang kekurangan
Nitrogen (Kovacs 1992). 2.3 Struktur Anatomi Daun
penampakan dan susunan trikoma dan adanya sel yang khusus. Dalam struktur daun yang pipih, perbedaan jaringan epidermis dibuat antara dua permukaan daun. Permukaan daun yang menghadap ke atas dikenal dengan epidermis atas (sisi adaksial) dan permukaan yang lain dikenal dengan epidermis bawah (sisi adaksial).
Stomata berasal dari kata Yunani : stoma yang mempunyai arti lubang atau
porus. Menurut Kartasapoetra (1991) stomata adalah porus atau lubang-lubang yang terdapat pada epidermis yang masing-masing dibatasi oleh dua buah sel penutup. Tjitrosomo et al. (1985) mendefinisikan stoma sebagai lubang-lubang berbentuk lensa pada epidermis yang bersambungan dengan ruang antar sel.
Stomata bisa ditemukan di kedua sisi daun (daun amfistomatik) atau hanya di satu sisi yakni di sebelah atas atau adaksial (daun epistomatik) atau di sebelah bawah atau sisi abaksial (daun hipostomatik). Pada daun lebar yang terdapat di kelompok dikotil, letak stomata tersebar. Sel penutup pada stomata dapat berada di tempat yang sama tingginya, lebih tinggi, atau lebih rendah dari epidermis (Hidayat 1995).
Kerapatan stomata dalam satu unit area permukaan daun sangat bervariasi. Hal ini ditimbulkan oleh perbedaan lingkungan tempat tumbuh dan faktor genetis yang sangat mempengaruhi morfogenesis stomata. Kerapatan dan jumlah stomata dalam helaian daun yang sama dapat bervariasi (Wilmer 1983).
bifasial. Sedangkan daun yang jaringan palisadenya berada di kedua sisi disebut tipe daun isolateral atau isobilateral.
Jaringan palisade menjadi demikian terspesialisasinya sehingga efisiensi fotosintesisnya menjadi meningkat. Mesofil yang jelas-jelas dapat dipisahkan ke dalam parenkim palisade dan parenkim bunga karang mempunyai kloroplas dalam sel-sel palisadenya. Karena bentuk dan tatanan sel-sel palisade itu maka kloroplas dapat disusun sedemikian hingga memanfaatkan cahaya secara maksimum. Bila diberi cahaya kloroplas membentuk lapisan tunggal di tepi dinding sel-sel palisade (Fahn 1991).
Sel-sel parenkim bunga karang bentuknya beragam, dapat menyerupai sel-sel palisade atau diameternya sama, atau pula memanjang sejajar dengan arah permukaan daun. Akan tetapi, ciri khas parenkim bunga karang adalah cuping-cuping yang menghubungkan sel-sel di sebelahnya.
2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Respon Tanaman
Faktor genetik dan lingkungan bertanggung jawab pada ketahanan tanaman terhadap daya dukung lingkungannya. Oleh karena itu untuk mengerti sepenuhnya pengaruh pencemaran udara terhadap tanaman sukar ditentukan karena banyak faktor lain yang mempengaruhinya (Stern 1977).
Respon tanaman terhadap zat-zat pencemar udara secara spesifik dapat diketahui dengan pemahaman mengenai faktor-faktor yang saling berinteraksi. Hubungan antara faktor-faktor yang mempengaruhi respon tanaman terhadap pencemaran udara dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Hubungan antara faktor-faktor yang mempengaruhi respon tanaman terhadap pencemaran udara (Stern 1977).
2.5 Akasia (Accacia auriculiformes A. Cunn ex Benth)
Akasia merupakan tumbuhan yang sering digunakan sebagai tanaman peneduh yang ditanam di sepanjang kanan kiri jalan serta sering digunakan sebagai tanaman dalam penghijauan. Begitu pula di Yogyakarta, Akasia merupakan tanaman yang ditanam, guna memperbaiki kondisi udara kota Yogyakarta pasca meletusnya Gunung Merapi. Akasia termasuk fast growing spesies atau jenis yang dapat tumbuh dengan cukup cepat. Usia tebangnya sekitar 15 tahun dan mampu mencapai tinggi 15 m – 30 m. jenis tanaman ini mampu tumbuh dengan mudah, bahkan pada tanah yang miskin hara sekalipun sepanjang tempat tersebut berada pada ketinggian minimal 300 mdpl dengan curah hujan 1000 – 4500 mm/thn.
Konsentrasi zat-zat pencemar Komposisi
zat-zat
Pencemar Dosis
Lamanya Pencemaran Faktor Genetik Faktor iklim
Faktor edafis Faktor biotik
Tingkat Pertumbuhan Tanaman
Tanaman Penerima
Mekanisme Interaksi
Akut
Tampak
Kronis Tidak Tampak
Klasifikasi tanaman akasia (Heyne 1987) adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Super Divisi : Spermatophyta Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida
Sub Kelas : Rosidae
Ordo : Fabales
Famili : Fabaceae Genus : Acacia
Spesies : Acacia auriculiformis A. Cunn. ex Benth.
2.6 Mahoni (Swietenia macrophylla King)
Mahoni termasuk pohon besar dengan tinggi pohon mencapai 35-40 m dan diameter mencapai 125 cm. Batang lurus berbentuk silindris dan tidak berbanir. Kulit luar berwarna cokelat kehitaman, beralur dangkal seperti sisik, sedangkan kulit batang berwarna abu-abu dan halus ketika masih muda, berubah menjadi cokelat tua, beralur dan mengelupas setelah tua. Mahoni baru berbunga setelah berumur 7 tahun, mahkota bunganya silindris, kuning kecoklatan, benang sari melekat pada mahkota, kepala sari putih, kuning kecoklatan. Buahnya buah kotak, bulat telur, berlekuk lima, warnanya cokelat. Biji pipih, warnanya hitam atau cokelat.
Klasifikasi tanaman mahoni (Heyne 1987) adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta Super Divisi : Spermatophyta Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Sub Kelas : Rosidae
Ordo : Sapindales
Famili : Meliaceae
Genus : Swietenia
BAB III
METODOLOGI
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Kota Yogyakarta sebagai kota yang terkena dampak langsung erupsi Gunung Merapi dan di lokasi yang relatif tidak terlalu terpengaruh debu vulkanik di Kota Solo (kontrol). Pembuatan sediaan mikroskopis anatomi daun dan pengamatannya dilakukan di Laboratorium Anatomi Tumbuhan Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) IPB. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juni 2011 sampai dengan bulan Agustus 2011.
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain pisau silet, tabung film, kertas label, termometer air raksa, mikrotom, counter, parafin strectcher, hot plate, mikroskop biasa, mikroskop foto, oven, gelas ukur, kamera digital, dan alat tulis.
Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah alkohol 70%, akuades, asam asetat glacial, etanol, entellan, fast-green, clorox, formaldehid, gliserin, parafin oil, parafin, sampel daun (akasia dan mahoni), safranin, tertier butyl alcohol (TBA) dan xilol.
3.3 Jenis Data
Jenis data terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari pengambilan sampel di lapangan dan pengamatan struktur anatomi daun. Data sekunder yang diambil adalah data kandungan udara Yogyakarta dan Solo dari Balai Lingkungan Hidup masing-masing kota.
3.3.1 Data Primer
Data primer yang diukur dan diamati dalam penelitian ini adalah :
Kerapatan stomata dan indeks stomata dihitung dengan menggunakan rumus:
Kerapatan stomata = � ℎ �
� � � �
Indeks stomata
=
� �+ � � �
x 100
b. Anatomi daun berupa sayatan transversal, yang meliputi tebal daun, jaringan epidermis, jaringan palisade, jaringan bunga karang dan kutikula.
3.3.2 Data Sekunder
Data sekunder penelitian ini berupa data kualitas udara Kota Yogyakarta dan Solo serta kondisi lingkungan yang diambil dari Balai Lingkungan Hidup (BLH) dan Biro Pusat Statistik (BPS) masing-masing kota.
3.4 Metode Pengambilan Data 3.4.1 Penentuan Plot Pengamatan
Plot pengamatan diambil di dua kota yaitu Kota Yogyakarta sebagai daerah yang tercemar debu vulkanik dan daerah Sukoharjo (Solo) sebagai daerah kontrol. Lokasi pengambilan sampel pohon masing-masing jenis pada kedua kota dilakukan secara acak. Sampel daun tercemar diambil di jalan Cendana Selatan Mandalakrida, Jalan Cendana Depan Mandala Krida, Jalan Gondosuli, Jalan Bimasakti, Jalan Jendral Soedirman dan Pertigaan Munggur (Lampiran 1). Sampel daun kontrol diambil di Jalan Slamet Riyadi, Jalan Jendral Soedirman, dan Jalan Jendral Ahmad Yani (Lampiran 2).
3.4.2 Penentuan Jenis Pohon
3.4.3 Pengambilan Sampel Daun
Sampel daun yang digunakan untuk pengamatan irisan paradermal diambil dari 5 ulangan pohon pada posisi daun ke 6 dari pucuk pada 3 arah percabangan yang berbeda. Kemudian untuk kebutuhan irisan transversal, daun yang diambil adalah daun ke 5 dari pucuk pada 3 percabangan yang berbeda dengan 3 ulangan pohon. Masing-masing daun kemudian dimasukan ke dalam tabung film yang sudah diisi alkohol 70% dan diberi label.
3.4.4 Pembuatan Sediaan Mikroskopis
Sampel daun yang telah diambil kemudian diamati di Laboratorium Anatomi Tumbuhan Departemen Biologi FMIPA IPB. Pengamatan dilakukan terhadap irisan paradermal dan irisan transversal daun.
1. Irisan paradermal dibuat dalam bentuk preparat semi permanen dengan pewarnaan safranin 1% mengikuti metode Wholemount (Sass 1951) yaitu :
a. Daun difiksasi dalam alkohol 70%
b. Larutan fiksatif dibuang dan diganti dengan akuades
c. Daun dilunakan dengan merendamnya di dalam larutan HNO3 50%
selama 2 hari, kemudian daun dicuci dengan akuades sebanyak 3 kali. d. Jaringan epidermis permukaan atas dan bawah daun akasia disayat
dengan menggunakan silet. Untuk jenis tanaman mahoni hanya dilakukan penyayatan lapisan bawah daun saja. Sebab setelah pengamatan pendahuluan diketahui bahwa pada daun mahoni, stomata hanya dijumpai pada permukaan abaksial.
e. Untuk menghilangkan klorofil dari mesofil yang terikut, sayatan epidermis direndam dalam larutan kloroks (bayclean) selama beberapa menit dan dicuci dengan akuades.
Parameter anatomi daun yang diamati pada irisan paradermal adalah ukuran panjang, lebar, kerapatan dan indeks stomata serta kerusakan sel episermis dan abnormalitas stomata. Penghitungan kerapatan dan indeks stomata serta pengukuran stomata dilakukan pada 5 bidang pandang dengan perbesaran 10 x 40. 2. Irisan transversal menggunakan metode parafin (Johansen 1940). Adapun
tahapan pembuatan preparat daun adalah sebagai berikut :
a. Fiksasi : bahan difiksasi selama 48 jam dalam larutan FAA yang terdiri dari formaldehid, asam asetat glacial dan alkohol 70% dengan perbandingan 5:5:90.
b. Pencucian : larutan fiksatif dibuang dan dicuci dengan etanol 50% sebanyak 4 kali dengan waktu penggantian masing-masing 1 jam. c. Dehidarasi dan penjernihan: dilakukan secara bertahap dengan
merendam bahan dalam larutan seri Johansen I-VII (Lampiran 3). d. Infiltrasi : wadah berisi material dan campuran TBA, minyak
parafin serta parafin beku disimpan pada suku kamar selama 1 sampai 4 jam (tutup dibuka), lalu dimasukan dalam oven (58 0C) selama 12 jam (tutup dibuka). Keesokan harinya dilakukan 3 kali penggantian parafin setiap 6 jam dalam oven pada suhu 58 0C.
e. Penanaman (blok) : satu jam sebelum penanaman material, dilakukan penggantian parafin dengan parafin cair murni dan disimpan dalam oven pada suhu 58 0C. Selanjutnya material ditanam dalam blok parafin.
f. Pelunakan jaringan : blok yang berisi material dilunakan dengan merendam dalam larutan Gifford (Lampiran 4 ) selama dua minggu. g. Penyayatan : blok yang sudah dirapikan ditempel pada holder dan
disayat dengan mikrotom putar setebal 10 µm.
h. Perekatan : sayatan direkatkan pada gelas objek yang telah diolesi gelas albumin-gliserin dan ditetesi air. Kemudian gelas berisi pita parafin dipanaskan pada hot-plate dengan suhu 400C selama 24 jam. i. Pewarnaan : dilakukan pewarnaan ganda yang terdiri dari sarafin 2%
j. Penutupan : bahan diberi media entellan lalu ditutup dengan gelas penutup, diberi label dan dimasukan ke dalam oven 500C selama 24 jam.
k. Pengamatan di bawah mikroskop.
Parameter anatomi daun yang diamati pada irisan transversal adalah tebal daun, tebal kutikula, tebal jaringan epidermis, tebal jaringan palisade, dan tebal jaringan bunga karang. Pengukuran setiap parameter irisan transversal dilakukan pada 4 bidang pandang di bawah mikroskop.
3.5 Analisis Data
Analisis data menggunakan uji t-student dengan menggunakan software Statistic Product and Service Solution (SPSS) 17.0 untuk menguji perbandingan anatomi daun antara tanaman daerah yang tercemar debu vulkanik Gunung Merapi dengan daerah kotrol atau daerah yang relatif tidak tercemar. Parameter anatomi yang dibandingkan meliputi kerapatan stomata, indeks stomata, ukuran stomata, kerusakan sel epidermis, abnormalitas stomata, tebal daun, tebal jaringan kutikula, tebal jaringan epidermis, tebal jaringan palisade, dan jaringan bunga karang.
Kriteria uji menggunakan tingkat kepercayaan 95% dengan asumsi:
H0 :Pencemaran udara dari debu vulkanik Merapi tidak memberikan
pengaruh nyata terhadap parameter yang diamati.
H1 : Pencemaran udara dari debu vulkanik Merapi memberikan pengaruh
yang nyata terhadap parameter yang diamati.
Hasil analisis statistik data yang dianalisis didapatkan dengan menggunakan nilai signifikansi.
Signifikansi < 0,05 = Berbeda Nyata (Tolak H0, terima H1)
BAB IV
KONDISI UMUM LOKASI
4.1 Kota Yogyakarta (Daerah Istimewa Yogyakarta 4.1.1 Letak Geografis dan Administrasi
Secara geografis DI. Yogyakarta terletak antara 7º 30' - 8º 15' lintang selatan dan 110º 04' - 110º 52' Bujur Timur. Sebagai identitas daerah, Provinsi D.I.Y. menetapkan identitas flora adalah pohon kepel (Stelechocarpus burahol) dan faunanya perkutut (Geopelia striata). Iklim di Daerah Istimewa Yogyakarta termasuk tipe C (Smith dan Ferguson) yaitu rata-rata curah hujan 2.070 milimeter pertahun dengan 99 hari hujan. Suhu rata-rata 26,7º C dan kelembaban rata-rata 83,4 %.
Luas wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta adalah 3.185,80 km², kurang lebih hanya 0,17% dari seluruh wilayah Indonesia. Lebih dari separuh luas wilayahnya merupakan tanah kering, yang penggunaannya dapat dibedakan atas lahan sawah, lahan kering dan hutan. Jenis tanahnya dapat dibedakan atas regosol, latosol, dan alluvial. Provinsi ini mempunyai elevasi yang bervariasi mulai dari vulkano, pegunungan, dataran rendah, dan pesisir. Kawasan hutan DIY berdasarkan SK. 171/Kpts-II/ 2000 tentang Peta Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah sebagai berikut:
1. Kawasan Suaka Alam dan Pelestarian Alam Darat : 910,34 Ha. 2. Hutan Lindung : 2.067,90 Ha.
3. Hutan Produksi Tetap : 13.851,28 Ha.
Daerah Istimewa Yogyakarta luas wilayahnya hampir 50 % masuk ke wilayah Kabupaten Gunung Kidul dengan luas 1.485,35 Km², dengan kondisi fisik di sebelah selatan merupakan kawasan pegunungan kapur yang merupakan rangkaian dari Pegunungan Seribu dengan kondisi tanah yang tandus dan rawan kekeringan pada musim kemarau.
bencana tanah longsor. Secara administratif Daerah Istimewa Yogyakarta terdiri atas satu kota (Yogyakarta) dan empat kabupaten (Sleman, Bantul, Kulon Progo dan Gunung Kidul).
4.1.2 Topografi
Secara umum, Kota Yogyakarta merupakan dataran rendah dengan kemiringan relative sama yaitu sekitar 0,5% - 2%, kecuali di beberapa tempat terutama di daerah pinggiran sungai. Ketinggian wilayah dari permukaan laut hingga 199 m di atas permukaan laut dimana sebagian wilayahnya (luas kurang lebih 1657 ha) terletak pada ketinggian kurang dari 100 m dan sisanya 1593 ha berada pada ketinggian antara 100-199 m.
4.1.3 Geologi
Kondisi tanah Kota Yogyakarta cukup subur dan memungkinkan ditanami berbagai tanaman pertanian maupun perdagangan, disebabkan oleh letaknya yang berada di dataran lereng Gunung Merapi (fluvia volcanic foot plain) yang garis besarnya mengandung tanah regosol atau tanah vulkanis muda. Sejalan dengan perkembangan perkotaan dan permukiman yang pesat, lahan pertanian di Kota Yogyakarta setiap tahun mengalami penyusutan.
4.1.4 Hidrologi
Terdapat 3 sungai yang melintasi Kota Yogyakarta, yaitu Sungai Gajah Wong yang mengalir di bagian timur kota, Sungai Gede di bagian tengah dan Sungai Winongo di bagian barat kota. Ketiga sungai ini merupakan drainase utama kota Yogyakarta.
4.1.5 Iklim
Berdasarkan klasifikasi oleh Koppen, wilayah Kota Yogyakarta termasuk tipe iklim “Am dan Aw”, dimana artinya merupakan daerah yang beriklim hujan tropic dengan suhu bulan tertinggi > 18 ºC (Handoko 1994). Curah hujan rata-rata 2,012 mm/tahun dengan 119 hari hujan, suhu rata-rata 27,2 ºC dan kelembapan rata-rata 75%. Angin pada umumnya bertiup angin munson dan pada musim hujan bertiup angin barat daya dengan arah 220º bersifat basah dan mendatangkan hujan, pada musim kemarau bertiup angin muson tenggara yang agak kering dengan arah ± 90º - 140º dengan rata-rata kecepatan 9,5 – 29,7 km/jam.
4.2 Kota Solo (Surakarta)
Kota Surakarta adalah Kota terbesar kedua setelah Kota Semarang di Provinsi Jawa Tengah. Kota Surakarta terletak disebelah barat sungai Bengawan Solo. Pertumbuhan Kota Surakarta berkembang kedua arah, yaitu perkembangannya terjadi ke arah utara dan ke arah barat. Perkembangan ke arah utara terjadi karena arah tersebut masih banyak lahan kosong dan resiko untuk banjir relatif kecil dibandingkan dengan arah selatan. Kota Surakarta memiliki sejarah yang panjang serta memiliki tradisi yang khas, dan sudah lama menjadi pusat peradaban kebudayaan di Jawa. Kota ini didirikan pada tahun 1745, ketika Sultan Pakubuwono II memindahkan ibukota dari Kartosura ke Desa Sala di tepi Bengawan Solo, yang kelak namanya berubah menjadi Kota Surakarta. Pada tahun 1795 kota ini dibagi menjadi dua yaitu Kasunanan Surakarta dan Pura Mangkunegaran, akibat terdapat dua istana menyebabkan adanya fokus kembar di Kota Surakarta hingga saat ini.
4.2.1 Letak Geografis dan Administrasi
dari Daerah Aliran Sungai Solo. Batas administrasi Kota Surakarta adalah sebagai berikut :
a. Sebelah utara : Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Karanganyar. b. Sebelah Timur : Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Karanganyar c. Sebelah Selatan : Kabupaten Sukoharjo
d. Sebelah Barat : Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Karanganyar.
Luas Kota Surakarta yaitu 4404,06 hektar yang terdiri dari lima kecamatan dan 51 kelurahan
4.2.2 Topografi
Kota Surakarta terletak pada ketinggian rata-rata 92 m dari permukaan laut. Topografinya relatif dasar dengan kemiringan 0-3%. Daerah terendah di daerah timur dengan ketinggian 85 m dari permukaan laut, memiliki kemiringan rata-rata 0,3%. Kota Surakarta dilalui oleh beberapa sungai yang merupakan anak Sungai Bengawan Solo. Dengan kondisi topografi yang demikian, maka sering terjadi genangan banjir akibat meluapnya sungai-sungai tersebut, terutama di daerah yang berada di sepanjang aliran sungai.
4.2.3 Geologi
Kondisi geologi Kota Surakarta sebagian besar terdiri dari tanah liat berpasir (regosol kelabu) dengan nilai permeabilitas k bervariasi 10-4 – 10-6 yang relatif dapat membantu penyerapan (percolation drainage) selama belum jenuh air (tergantung kondisi muka air tanah). Dibeberapa tempat pada elevasi tinggi terdapat tanah padas dan di wilayah tengah serta bagian timur berbatasan dengan Sungai Bengawan Solo ( daerah Keraton dan Kedunglumbu) merupakan endapan lumpur relatif padat bekas rawa pada zaman dahulu. Daya dukung tanah (bearing capacity) pada dataran Kota Surakarta antara 0,50-1,75 Kg/cm2, Rata-rata 0,80 Kg/cm2 .
4.2.4 Hidrologi
a. Bengawan Solo
Terletak di perbatasan timur Kota Surakarta, yang menjadi muara semua sungai yang ada di Kota Surakarta, kondisi air mengalir sepanjang tahun. b. Kali Anyar
Terletak di bagian tengah Kota Surakarta dari arah barat menuju ke timur
yang bermuara di Bengawan Solo. Kondisi air Kali Anyar mengalir sepanjang
tahun, namun pada Kali Anyar Hilir pada musim kemarau tidak ada aliran air
karena dari Kali Anyar hulu dialirkan menuju Kali Pepe sebagai glontoran.
c. Kali Pepe
Kali Pepe terletak di bagian tengah Kota Surakarta dan merupakan anak Kali Anyar yang berfungsi sebagai jaringan drainase dan pengglontor yang bermuara di Bengawan Solo.
d. Kali Palemwulung
Kali Pelemwulung terletak di perbatasan selatan Kota Surakarta dari arah barat mengalir ke arah timur dan bermuara di Bengawan Solo.
e. Kali Jenes
Kali Jenes terletak di bagian Selatan Kota Surakarta yang merupakan anak sungai Kali Pelemwulung yang mengalir menuju muara Kali Pepe.
Sedangkan kondisi air tanah dangkal, memiliki kedalaman relatif dangkal, yaitu antara 5-10 m di Kota Surakarta bagian selatan dan 10-20m di Kota Surakarta bagian utara. Sebagian wilayah, masyarakat masih menggunakan air tanah dangkal tersebut untuk kebutuhan air bersih.
Sedangkan air tanah dalam (> 100m) dimanfaatkan oleh PDAM untuk memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat, serta sebagian oleh perusahaan swasta (industri) untuk memenuhi kebutuhan proses produksinya.
4.2.5 Iklim
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Kualitas Udara Lokasi Penelitian
Data kulitas udara kota Yogyakarta dan Solo diambil dari Badan Lingkungan Hidup masing-masing kota (Lampiran 5 – 8). Kemudian dilakukan perbandingan terhadap beberapa parameter kualitas udara SO2, NO2, dan TSP
pada tahun 2010, dengan pertimbangan bahwa peristiwa meletusnya Gunung Merapi terjadi pada tahun tersebut. Hasil perbandingan parameter kualitas udara kota Yogyakarta dan Kota Solo dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Perbandingan parameter kualitas udara kota Yogyakarta dan Solo sebelum dan sesudah Letusan Gunung Merapi tahun 2010
Parameter
Lokasi
Yogyakarta Solo
Sebelum Sesudah BML 1 Sebelum Sesudah BML 2
SO2 (µg/Nm3) 535,60 53,6 900 9,28 15,41 632
NO2(µg/Nm3) 57,59 533,6 400 24,80 81,54 316
TSP(µg/Nm3) 172 418 230 - * - * 230
Keterangan : * kurang dari 10µg/Nm3
Sumber : BLH Solo dan BLH Yogyakarta (2010)
Data kualitas udara didapatkan dari pemantauan yang dilakukan oleh Balai Lingkungan Hidup masing-masing kota. Data kualitas udara kota Yogyakarta sesudah letusan Gunung Merapi menggunakan data hasil pemantauan Balai Lingkungan Hidup di Perempatan Tugu pada tanggal 5 November 2010 (Tabel 4). Hal ini dikarenakan, lokasi tersebut merupakan lokasi terdekat dengan daerah pengambilan sampel daun.
Berdasarkan data rata-rata kandungan udara yang diperoleh, dapat diketahui bahwa konsentrasi SO2, NO2 dan TSP Kota Yogyakarta sebelum dan sesudah
bencana Gunung Merapi meletus lebih tinggi jika dibandingkan Kota Solo. Dari tiga parameter yang dibandingkan, di Kota Yogyakarta, TSP dan NO2 adalah
parameter udara yang mengalami peningkatan pasca letusan Gunung Merapi. Peningkatan yang terjadi cukup jauh melebihi baku mutu lingkungan. Sedangkan SO2 konsentrasinya menurun. Penurunan konsentrasi SO2 dikarenakan gas SO2
Sehingga pada saat Gunung Merapi meletus, kandungan SO2 sudah jauh
berkurang. Hal ini yang mengakibatkan rendahnya kadar SO2 pada data
pengukuran pasca letusan Gunung Merapi.
Badan Lingkungan Hidup kota Yogyakarta menggunakan baku mutu lingkungan berdasarkan Keputusan Gubernur DIY No. 153 Tahun 2002 tentang Baku Mutu Udara Ambien DIY. Sedangkan kota Solo menggunakan baku mutu lingkungan berdasarkan Keputusan Gubernur Jawa Tengah No 8 Tahun 2001 tentang Baku Mutu Udara Ambien Provinsi Jawa Tengah. Data kualitas udara Kota Solo menunjukan adanya peningkatan konsentrasi bahan pencemar sesudah bencana meletusnya Gunung Merapi yang tidak terlalu tinggi. Seluruh data bahan pencemar yang dibandingkan berada dibawah baku mutu lingkungan. Pemantauan terhadap parameter TSP Kota Solo dalam beberapa tahun terakhir menunjukan hasil yang sangat kecil (<10 µg) sehingga parameter tersebut termasuk dalam parameter kualitas udara yang tidak terdeteksi.
Kedua lokasi penelitian memiliki kebijakan menggunakan baku mutu lingkungan yang nilainya lebih ketat jika dibandingkan baku mutu lingkungan berdasarkan Peraturan Pemerintah No 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara yang memiliki batas kandungan SO2 900 µg/Nm3, NO2 400
µg/Nm3, dan TSP 230 µg/m3. Hal ini diperbolehkan sesuai PP No 41 Tahun 1999 pasal 4 ayat 3 yang menjelaskan bahwa baku mutu udara ambien daerah yang ditetapkan berdasarkan pertimbangan status mutu udara di daerah yang bersangkutan ditetapkan dengan ketentuan sama dengan atau lebih ketat dari baku mutu udara ambient nasional.
Tabel 4 Laporan hasil uji udara ambient bulan November 2010
Lokasi Parameter
CO SOx NOx PM 2,5 PM 10
BML = 35 ppm
BML = 0.340 ppm
BML = 0.212 ppm
BML = 65 µg/Nm3
BML = 150 µg/Nm3
1 9 0.03 0.28 192 204
2 12 0.01 0.31 224 253
3 9 0.02 0.29 205 418
4 3 0.09 0.28 159 180
5 0 0.1 0.05 13 35
Keterangan :
1. Perempatan jalan Magelang 2. Jalan Urip Sumoharjo 3. Perempatan Tugu
4. Perempatan Wirobrajan 5. Terminal Giwangan
Data yang diambil di daerah-daerah perbatasan Kota Yogyakarta yaitu Perempatan Jalan Magelang (1), Jalan Urip Sumoharjo (2), Perempatan Tugu (3), Perempatan Wirobrajan (4), dan Terminal Giwangan (5) menunjukan perubahan yang cukup signifikan terutama untuk parameter TSP. Lokasi 1, 2 dan 3 merupakan lokasi yang lebih dekat dengan Gunung Merapi sehingga kandungan debu vulkanik dalam udara lebih tinggi jika dibandingkan dengan lokasi 4 dan 5 yang letaknya lebih jauh.
Secara alamiah partikel debu dapat dihasilkan dari debu tanah kering yang terbawa oleh angin atau berasal dari muntahan letusan gunung berapi. Debu vulkanik yang keluar dari letusan gunung berapi biasanya memiliki ukuran diameter aerodinamik <10 µm atau yang lebih dikenal dengan nama PM10.
Namun Badan Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta melakukan pemantauan hingga pada debu yang memiliki ukuran diameter aerodinamik <2,5 µm. Kandungan PM2.5 di udara mencapai angka tertinggi 224 µ g/Nm3 terpantau di
daerah Jalan Urip Sumoharjo sedangkan konsentrasi PM10 tertinggi terpantau di
daerah Perempatan Tugu dengan nilai 418 µg/Nm3. Angka ini sangat jauh melebihi baku mutu udara yang ditetapkan berdasarkan Kep. Gub.DIY No 153 tahun 2002 yaitu 65 µg/m3 untukPM2.5 dan150 µg/Nm3 untuk PM10.
Hasil pemantauan yang dilakukan di lima lokasi perbatasan kota Yogyakarta menujukan bahwa kandungan TSP pada daerah tersebut jauh melebihi ambang batas baku mutu udara ambien, kecuali Terminal Giwangan yang masih di bawah baku mutu udara (13 µg/Nm3 untuk PM2.5 dan 35 µgN/m3 untuk PM10).
masih dalam batas toleransi baku mutu lingkungan, sedangkan NO2 pada daerah
jalan Urip Sumoharjo sedikit di atas batas BML.
Tingginya konsentrasi TSP dan bahan pencemar lain seperti SO2 dan NO2 di
udara dapat dipastikan memberikan pengaruh terhadap lingkungan yang ada di sekitar kawasan Merapi termasuk kota Yogyakarta. Menurut WHO (1996) dalam Pudjiastuti (2002) pertikel debu dengan ukuran 0,1 µm sampai 10 µm berbahaya bagi kesehatan dan dapat merusak lingkungan. Perubahan yang terjadi disebabkan karena gas dan materi polutan yang masuk melalui stomata dapat mengakibatkan terganggunya proses metabolisme di dalam tanaman (Riikonen et al. 2010).
Secara spesifik polusi udara berpengaruh terhadap fungsi tanaman, seperti debu udara dapat menutupi mulut daun sehingga membatasi proses fotosintesis. Kristanto (2004) menjelaskan bahwa debu berpengaruh terhadap tanaman karena debu jika bergabung dengan uap air atau air hujan akan membentuk kerak yang tebal pada permukaan daun dan tidak dapat dibilas oleh air hujan kecuali dengan menggosoknya. Lapisan kerak tersebut akan mengganggu berlangsungnya proses fotosintesis pada tanaman karena menghambat masuknya sinar matahari ke permukaan daun dan menghambat pertukaran CO2 ke atmosfer. Terganggunya
proses fotosintesis menyebabkan pembentukan protein dan lemak sebagai sumber energi menjadi sedikit sehingga pertumbuhan tanaman akan terganggu. Pengaruh lain dari masuknya bahan pencemar debu adalah terjadinya perobekan atau luka pada jaringan epidermis, hal ini disebabkan karena debu vulkanik mengandungsilika (SiO2) yang bersifat tajam. Selain itu, sifat debu yang mampu
menyerap bahan pencemar yang berupa gas seperti SO2 dan NO2 dapat
mengakibatkan bahan-bahan pencemar tersebut bertahan lebih lama dalam daun bila terserap (Sinuhaji 2011). Sedangkan gas SO2 dan NO2 dapat menyebabkan
konsentrasi bahan pencemar, serta lamanya terpolusi juga turut berperan. Sebagian besar tanaman tidak tahan terhadap gas-gas pencemar yang berada di atmosfer berapapun konsentrasinya, namun beberapa jenis tanaman dapat tahan terhadap gas pencemar yang ada ( Fitter dan Hay 1981).
5.2 Pengamatan Sediaan Mikroskopik Sayatan Paradermal Daun Akasia Stomata tanaman akasia dapat ditemukan pada sisi atas (adaksial) dan bawah (abaksial) daunnya, sehingga berdasarkan letak stomatanya daun akasia masuk dalam tipe amfistomatik. Jika dilihat tipe susunan stomatanya, daun akasia termasuk tipe parasitic atau rubiaceous dimana setiap sel penjaga bergabung dengan satu atau lebih sel tetangga, sumbu membujurnya sejajar dengan sumbu sel penjaga dan apertur (Fahn 1991).
[image:35.595.100.513.42.816.2]Analisis statistik dengan menggunakan SPSS terhadap parameter anatomi sayatan paradermal daun akasia daerah tercemar TSP dengan tanaman kontrol dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Hasil uji-T terhadap parameter anatomi sayatan paradermal daun akasia daerah tercemar dengan tanaman kontrol
Parameter Nilai rata-rata lokasi Solo Nilai rata-rata lokasi Yogyakarta Nilai signifikansi Hasil uji
a. Sisi atas daun (Adaksial)
Panjang stomata (µm) 20,85 21,57 0,406 TBN
Lebar stomata (µm) 13,91 13,75 0,778 TBN
Kerapatan stomata (jumlah /mm2) 491,53 471,68 0,130 TBN
Indeks stomata 12,02 11,05 0,029 BN
Kerusakan sel epidermis (jumlah /mm2) 0,13 4,80 0,001 BN
Abnormalitas stomata (jumlah /mm2) 0 2,06 0,011 BN
b. Sisi bawah daun (Abaksial)
Panjang stomata (µm) 20,87 21,50 0,397 TBN
Lebar stomata (µm) 13,80 13,95 0,807 TBN
Kerapatan stomata (jumlah /mm2) 499,45 471,11 0,192 TBN
Indeks stomata 12,25 11,48 0,205 TBN
Kerusakan Sel Epidermis (jumlah /mm2) 0,66 4,59 0,008 BN
Abnormalitas stomata (jumlah /mm2) 0,06 1,86 0,011 BN
Keterangan :
TBN : Tidak Berbeda Nyata pada selang kepercayaan 95% BN : Berbeda Nyata pada selang kepercayaan 95%
menunjukan hasil berbeda nyata adalah indeks stomata sisi adaksial daun serta jumlah kerusakan sel epidermis dan abnormalitas stomata pada kedua sisi daun akasia.
Secara statistik ukuran kerapatan stomata pada kedua sisi daun menunjukan hasil yang tidak berbeda nyata namun terdapat kecenderungan kerapatan stomata menjadi lebih rendah. Daun akasia pada daerah yang tercemar memiliki kerapatan stomata adaksial (471,68/mm2) dan abaksial (471,11/mm2) yang lebih rendah jika dibandingkan dengan daun akasia yang terdapat pada daerah kontrol (491,53/mm2 dan 499,45/mm2). Maulana (2004) melaporkan bahwa tanaman akan mengurangi jumlah stomatanya sebagai respon terhadap peningkatan konsentrasi bahan pencemar. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Pedroso dan Alves (2008) yang melaporkan bahwa peningkatan bahan pencemar terutama O3 menyebabkan
penurunan kerapatan stomata pada daun Nicotania tobacum L.
Indeks stomata akasia sayatan adaksial adalah parameter anatomi yang menunjukan hasil berbeda nyata. Indeks stomata tanaman di lokasi tercemar lebih rendah jika dibanding dengan lokasi kontrol. Hasil ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Riikonen et al. (2010) yang melaporkan bahwa indeks stomata spesies Betula papyrifera meningkat setelah terjadi peningkatan bahan pencemar berupa gas. Penelitian Gostin (2009) terhadap beberapa spesies Fabaceae dan Verma et al. (2009) pada spesies Ipomea pes-trigridis L menunjukkan hasil indeks stomata yang meningkat akibat adanya peningkatan bahan pencemar.
Hasil uji-t terhadap parameter pengamatan menunjukkan hasil yang signifikan (BN) pada sisi adaksial daun akasia lebih banyak dibandingkan sisi abaksialnya. Riikonen et al. (2010) menyatakan bahwa kontak antara daun dengan udara (bahan pencemar) paling besar kemungkinnya terjadi pada sisi adaksial.
plasmolisis, granulasi (kekacauan sel), hancurnya sel atau mati dan pigmentasi (perubahan warna sel menjadi lebih gelap). Fitter dan Hay (1981) menjelaskan bahwa beberapa tempat utama dalam tanaman yang dapat dipengaruhi oleh pencemar gas antara lain pada stomata dan kloroplas.
[image:37.595.110.481.37.827.2]Abnormalitas stomata ditandai dengan ukuran yang jauh berbeda dari ukuran stomata normal. Ukuran stomata menjadi lebih besar atau lebih kecil dengan perbedaan ukuran yang cukup jauh (terlihat berbeda dari stomata lainnya). Sisi paling luar stomata biasanya akan berwarna lebih tebal dibandingkan dengan stomata yang lain. Abnormalitas sel stomata ini dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Abnormalitas sel stomata pada sayatan paradermal daun akasia.
Selain abnormalitas stomata, secara mikroskopik terdapat pula kerusakan sel epidermis pada daun akasia. Kerusakan sel epidermis ini terlihat seperti lubang yang mengakibatkan sel epidermis terbelah menjadi lebih banyak dan kecil-kecil. Gambar kerusakan sel epidermis pada sayatan paradermal daun akasia dapat dilihat pada Gambar 3.
[image:37.595.114.505.78.487.2]Abnormalitas stomata dan kerusakan sel epidermis ini cukup banyak ditemukan pada daun akasia yang berada pada daerah tercemar sebagai akibat dari peningkatan konsentrasi bahan pencemar yang cukup tinggi. Hal ini dapat disebabkan karena bahan pencemar seperti SO2,NO2 dan TSP yang terakumulasi
di dalam daun. Hal ini sesuai dengan penjelasan Black dan Black (1979) bahwa SO2 pada konsentrasi yang cukup tinggi dapat mengakibatkan kerusakan pada sel
penjaga dan sel epidermis daun.
Perbedaan sayatan paradermal sisi adaksial dan sisi abaksial daun akasia pada daerah tercemar dengan kontrolnya dapat dilihat pada Gambar 4. Kerusakan sel epidermis banyak dijumpai pada sayatan adaksial dan abaksial daun akasia yang berasal dari daerah yang tercemar ( Gambar 4B dan 4D)
[image:38.595.116.508.290.690.2]
5.3 Pengamatan Sediaan Mikroskopik Sayatan Transversal Daun Akasia Jaringan palisade daun akasia dapat ditemukan pada sisi adaksial dan abaksial. Oleh karena itu, berdasarkan letak jaringan palisadenya, daun akasia bersifat isolateral atau isobilateral. Jaringan palisade daun akasia sisi adaksial dan abaksial merupakan palisade yang tersusun atas dua lapis
[image:39.595.112.506.292.433.2]Hasil analisis statistik dengan menggunakan SPSS terhadap parameter anatomi sayatan transversal daun akasia daerah tercemar TSP dengan tanaman kontrol dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Hasil uji-T terhadap parameter anatomi sayatan transversal daun akasia daerah tercemar dengan tanaman kontrol
Parameter Nilai rata-rata lokasi Solo Nilai rata-rata lokasi Yogyakarta Nilai signifikansi Hasil uji
Tebal daun (µm) 206,25 211,51 0,781 TBN
Tebal jaringan epidermis atas (µ m) 10,27 10,42 0,793 TBN
Tebal jaringan epidermis bawah (µm) 9,86 9,58 0,760 TBN
Tebal jaringan palisade atas (µ m) 41,67 43,40 0,725 TBN
Tebal jaringan palisade bawah (µ m) 39,58 43,30 0,442 TBN
Tebal jaringan bunga karang (µ m) 101,25 102,36 0,924 TBN
Tebal kutikula atas (µm) 1,29 4,39 0,001 BN
Tebal kutikula bawah (µ m) 1,23 4,06 0,002 BN
Keterangan :
TBN : Tidak Berbeda Nyata pada selang kepercayaan 95% BN : Berbeda Nyata pada selang kepercayaan 95%
Berdasarkan hasil uji-t terhadap parameter anatomi sayatan transversal daun akasia, hasil berbeda nyata (BN) hanya dijumpai pada parameter tebal lapisan kutikula.
Secara statistik, tebal lapisan kutikula adaksial dan abaksial daun pada kedua lokasi menunjukan perbedaan yang nyata dengan nilai signifikansi 0,001 dan 0,002. Daun akasia yang diambil dari Yogyakarta memiliki lapisan kutikula sisi adaksial dan abaksial yang lebih tebal (4,39 µm dan 4,056 µm) dibandingkan dengan daun akasia yang berasal dari Solo (1,29 µm dan 1,23 µm).
penguapan sehingga meminimalkan kehilangan air. Selain menjaga kelembaban, kutikula juga berfungsi menjadi pertahanan awal terhadap masuknya benda asing termasuk bahan pencemar dari udara ke dalam daun (Fahn 1991). Hal ini terjadi pada daun akasia di Yogyakarta, daun akasia melakukan adaptasi terhadap tingginya konsentrasi bahan pencemar akibat debu vulkanik terutama TSP yang keluar pada saat Merapi meletus dengan meningkatkan ketebalan lapisan kutikulanya. Kutikula merupakan pertahanan pertama daun terhadap bahan-bahan pencemar yang masuk melalui daun karena letaknya yang berada di atas lapisan epidermis. Modifikasi pada tebal kutikula merupakan respon untuk mengurangi transpirasi dan reaksi tanaman terhadap masuknya bahan pencemar. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Weryszko et al (2005) yang melaporkan bahwa pengaruh bahan pencemar udara dapat meningkatkan tebal kutikula pada Glycine max
sebagai bentuk pertahanannya.
Jaringan palisade daun tercemar cenderung menjadi lebih tipis dibandingkan kontrolnya (Gambar 5). Hal ini juga merupakan respon tanaman akasia. Namun secara statistik tidak berbeda nyata. Peningkatan bahan pencemar pasca letusan Gunung Merapi dalam jangka waktu tertentu ini belum memberikan dampak yang signifikan terhadap parameter-parameter anatomi daun sayatan transversal kecuali pada tebal jaringan kutikula. Jaringan bunga karang dan palisade daun akasia juga tidak mengalami kerusakan. Hasil ini berbeda dengan pernyataan Ormond (1987) dalam Santosa (2004) yang mejelaskan bahwa kadar bahan pencemar seperti HF, SO dan debu yang tinggi dapat menyebabkan rusaknya jaringan bunga karang dan palisade. Hal ini didukung oleh Treshow (1970) yang menyatakan bahwa gas SO2
dengan konsentrasi tertentu yang masuk dalam daun dapat mengakibatkan kerusakan pada jaringan bunga karang, lapisan epidermis, dan palisade. Treshow (1970) juga menjelaskan bahwa partikel padat yang terjerap maupun terserap khususnya yang bersifat tajam (abrasif) juga mampu mengakibatkan luka melalui gesekan dengan permukaan yang lain dan akan menjadi media yang baik bagi organisme patogen untuk menginfeksi daun.
gelas dan tampak berujung runcing sehingga dapat melukai jaringan-jaringan di dalam daun (Sinuhaji 2011).
Sayatan transversal daun akasia di lokasi tercemar dengan kontrolnya dapat dilihat pada Gambar 5.
Keterangan :
1. Tebal daun 2. Epidermis atas
3. Epidermis bawah 4. Palisade atas
5. Palisade bawah
[image:41.595.105.502.104.820.2]6. Bunga karang
Gambar 5 Sayatan transversal daun akasia kontrol (A) dan tercemar (B).
Gambar 6 Tebal kutikula atas daun kontrol (A1) dan daun tercemar (B1), tebal kutikula bawah daun kontrol (C1) dan daun tercemar (D2).
5.4 Pengamatan Sediaan Mikroskopik Sayatan Paradermal Daun Mahoni Berdasarkan letak stomatanya, tanaman mahoni masuk dalam tipe
stomatanya akan menyebar tidak teratur seperti pada mahoni. Jika dilihat berdasarkan tipe susunan stomatanya, daun mahoni termasuk dalam tipe anisositik
[image:42.595.115.510.184.332.2]atau stomata dengan sel penjaga yang dikelilingi oleh tiga sel tetangga yang ukurannya tidak sama (Fahn 1991).
Gambar 7 Sisi adaksial daun mahoni tanpa stomata (A) dan sisi abaksial mahoni dengan stomata (B).
Analisis statistik dengan menggunakan SPSS terhadap parameter anatomi sayatan paradermal daun mahoni tanaman kontrol dengan mahoni daerah tercemar TSP dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Hasil uji-t terhadap parameter anatomi sayatan paradermal sisi abaksial daun mahoni daerah tercemar dengan tanaman kontrol
Parameter
Nilai rata-rata lokasi
Solo
Nilai rata-rata lokasi Yogyakarta
Nilai
signifikansi Hasil uji
Panjang stomata (µm) 18,07 16,60 0,077 TBN
Lebar stomata (µm) 13,19 12,03 0,088 TBN
Kerapatan stomata (jumlah/mm2) 660,24 597,05 0,207 TBN
Indeks stomata 18,52 18,18 0,589 TBN
Kerusakan sel epidermis
(jumlah/mm2) 0 0,33 0,152 TBN
Abnormalitas stomata( jumlah/mm2) 0,13 3,93 0,021 BN
Keterangan :
TBN : Tidak Berbeda Nyata pada selang kepercayaan 95% BN : Berbeda Nyata pada selang kepercayaan 95%
penurunan dari 18,07 µm menjadi 16,60 µm. Namun hasil uji-t pada sayatan transversal daun mahoni menunjukan hasil yang tidak signifikan (TBN). Kozlowski dan Mudd (1975) menjelaskan bahwa tanaman yang tumbuh pada lingkungan yang terpolusi akan cenderung mempertahankan diri dengan meningkatkan ukuran stomatanya.
Jumlah stomata daun mahoni tercemar juga cenderung menurun, hal ini terlihat dari kerapatan stomata tanaman tercemar (597,05/mm2) yang lebih rendah jika dibandingkan kerapatan stomata tanaman kontrol (660,2/mm2). Jumlah stomata yang menjadi lebih sedikit dan ukuran lebar stomata yang menjadi lebih kecil merupakan salah satu respon tanaman mahoni untuk mengurangi jumlah bahan pencemar yang masuk ke dalam daun baik yang berupa gas maupun partikel debu meskipun secara statistik hasil yang ditunjukan adalah tidak berbeda nyata. Penelitian yang dilaporkan oleh Maulana (2004) menyatakan bahwa tanaman yang berada pada kondisi bahan pencemar yang lebih tinggi akan memberikan respon dengan mengurangi jumlah stomata. Dickinson (2000) menjelaskan bahwa stomata merupakan tempat utama bagi polutan untuk melakukan penetrasi terhadap tanaman. Struktur stomata, frekuensi, dan distribusinya telah diasumsikan menjadi variabel signifikan yang mempengaruhi sensitivitas tanaman dan ketahanan daun terhadap masuknya bahan pencemar.
Parameter lain yang diuji adalah adanya kerusakan jaringan epidermis dan abnormalitas stomata pada daun mahoni yang tercemar. Hasil uji-t menujukkan hanya abnormalitas stomata yang menunjukan hasil berbeda nyata (BN) dengan nilai signifikansi 0.021. Kondisi mikroskopik tanaman kontrol cenderung rapi dan jarang terlihat adanya kerusakan bahkan tidak ada, berbeda dengan tanaman mahoni tercemar yang banyak terdapat kerusakan.
dapat ditemukan pada daun mahoni pada lokasi tercemar. Sayatan paradermal daun mahoni pada kedua lokasi dan abnormalitas stomata dapat dilihat pada Gambar 8.
Selain abnormalitas stomata, secara mikroskopik terdapat pula kerusakan sel epidermis pada daun mahoni. Kerusakan sel epidermis ini terlihat seperti lubang atau pusaran yang mengakibatkan sel epidermis menjadi terbelah menjadi banyak, kecil-kecil dan seolah mengumpul. Treshow (1970) menjelaskan bahwa polusi udara terutama yang mengandung SO dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan epidermis atas dan bawah. Gambar kerusakan sel epidermis pada sayatan paradermal daun mahoni dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 8 Abnormalitas stomata pada sayatan paradermal daun mahoni kontrol (A) dan daerah tercemar (B).
Gambar 9 Kerusakan sel epidermis pada sayatan paradermal daun mahoni.
5.5 Pengamatan Sediaan Mikroskopik Sayatan Transversal Daun Mahoni Berdasarkan keberadaan jaringan palisadenya, daun mahoni bersifat
kontrol tersusun atas satu lapis sel. Pengamatan sayatan transversal daun mahoni dilakukan terhadap tujuh parameter yaitu tebal daun, tebal jaringan epidermis atas dan bawah, jaringan palisade atas, jaringan bunga karang serta lapisan kutikula atas dan bawah (Gambar 10 dan 11).
[image:45.595.111.510.65.842.2]Hasil uji-t dengan menggunakan SPSS terhadap parameter anatomi sayatan transversal daun mahoni daerah tercemar dengan tanaman kontrol dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8 Hasil uji-t terhadap parameter anatomi sayatan transversal daun mahoni daerah tercemar dengan tanaman kontrol
Parameter
Nilai rata-rata
lokasi Solo
Nilai