• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP MEREK

B. Pemegang dan Pemilik Atas Merek Terdaftar

Apabila sutu merek digunakan secara sah, yakni didaftarkan maka kepada pemilik merek tersebut diberi hak atas merek. Hak atas merek menurut pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya. Kecuali secara tegas dinyatakan lain, yang di maksud dengan pihak dalam Undang-Undang Merek adalah seseorang, beberapa orang secara bersama-sama, atau badan hukum.

Hak merek dinyatakan sebagai hak ekslusif karena hak tersebut merupakan hak yang sangat pribadi bagi pemiliknya dan diberi hak untuk menggunakan sendiri atau memberi izin kepada orang lain untu,k menggunakan sebagaimana ia sendiri menggunakannya. Pemberian izin oleh pemilik merek kepada orang lain ini berupa pemberian lisensi, yakni memberikan izin kepada orang lain untuk

47

jangka waktu tertentu menggunakan merek tersebut sebagaimana ia sendiri menggunakannya.37

Hak merek dinyatakan sebagai hak ekslusif karena hak tersebut merupakan hak yang sangat pribadi bagi pemiliknya dan diberi hak untuk menggunakan sendiri atau memberi izin kepada orang lain untuk menggunakan sebagaimana ia sendiri menggunakannya. Pemberian izin oleh pemilik merek kepada orang lain ini berupa pemberian lisensi, yakni memberikan izin kepada orang lain untuk jangka waktu tertentu menggunakan merek tersebut sebagaimana ia sendiri menggunakannya.38

Pemilik merek adalah pihak yang mengajukan permohonan pendaftaran merek. Mereka bisa sebagai:

a. Orang (person) atau perseorangan;

b. Badan hukum (recht person); atau

c. Beberapa orang atau badan hukum (pemilikan bersama atau merek kolektif).

Suatu merek dapat menjadi merek terdaftar harus melalui prosedur pendaftaran merek yang ada. Merek tersebut harus didaftarkan dengan memenuhi syarat-syarat pendaftaran merek. Dalam waktu selambatlambatnya 10 (sepuluh) hari terhitung sejak tanggal disetujuinya permohonan untuk didaftar, kantor merek akan mengumumkan permohonan tersebut dalam Berita Resmi Merek.

Pengumuman tersebut akan berlangsung selama 3 (bulan) hari yang dilakukan dengan menempatkannya dalam Berita Resmi Paten yang diterbitkan secara

37 hmadi Miru, Hukum Merek: Cara Mudah Mempelajari Undang-Undang Merek, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2005, hal. 12

38 Ibid.

berkala, atau dengan menempatkannya pada sarana khusus yang dengan mudah serta jelas dapat dilihat oleh masyarakat misalnya internet.39

Setelah berakhirnya masa pengumuman dan permintaan pendaftaran merek tersebut telah disetujui, maka kantor merek:

1) Mendaftar merek tersebut dalam Daftar Umum Merek;

2) Memberitahukan pendaftaran merek tersebut kepada orang atau badan hukum atau kuasanya yang mengajukan permintaan pendaftaran merek;

3) Memberikan sertifikat merek;

4) Mengumumkan pendaftaran tersebut dalam Berita Resmi Merek.

Pendaftaran merek dapat dimintakan untuk 2 (dua) kelas barang atau lebih dan/atau jasa secara bersamaan. Prosedur demikian ini memberikan kemudahan kepada pemilik merek dan pemeriksa merek karena administrasi dan penanganan pemeriksaannya lebih sederhana, dan pula tidak bertentangan dengan ketentuan yang mengatur perlindungan hukum terhadap orang atau jasa yang berada pada jenis yang bersangkutan. Merek yang telah terdaftar di Ditjen HKI membawa akibat bagi pemilik merek memperoleh hak atas merek. Pemilik merek diberi hak eksklusif oleh negara untuk menggunakan mereknya dalam dunia perdagangan.

Oleh karena itu pemilik merek harus konsekuen dengan merek yang telah terdaftar tersebut. Konsekuensinya pemilik merek harus tetap menggunakan mereknya

39 Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum dalam Bisnis, Jakarta, Rineka Cipta, 2007, hal.112

49

untuk berdagang dengan tetap memproduksi objek sesuai dengan kelasnya sebagaimana dalam pendaftaran merek.40

Apabila pemilik merek pasif, tidak melakukan kegiatan perdagangan dengan menggunakan merek yang telah terdaftar, maka akibatnya merek tidak mendapat perlindungan hukum untuk masa yang akan datang. Dalam hal ini ada dua kemungkinan yang dapat terjadi, yaitu:

1) Pemilik merek tidak dapat memperpanjang masa perlindungan merek;

2) Ditjen HKI melakukan penghapusan pendaftaran merek.

Mengenai pemilik merek tidak dapat memperpanjang masa perlindungan merek adalah sudah sangat logis karena mereknya saja tidak digunakan dalam perdagangan, tidak ada gunanya pemilik merek diberi kesempatan untuk memperpanjang masa perlindungan mereknya. Kalaupun dilakukan perpanjangan masa perlindungannya merupakan pekerjaan yang sia-sia karena tidak ada gunanya sama sekali. Merek yang demikian walaupun tetap dilindungi hukum akan tetapi tidak ada nilainya.

Merek terdaftar yang tidak dugunakan oleh pemiliknya sudah tepat apabila pendaftaran mereknya dihapuskan. Merek yang tidak digunakan selama tiga tahun berturut-turut akan dihapuskan dari pendaftarannya. Pemiliknya saja sudah tidak lagi menggunakannya dan untuk apa harus tetap dilindungi oleh hukum. Dengan dilakukan penghapusan pendaftaran merek oleh Ditjen HKI dapat mencegah perbuatan pelanggaran merek oleh pihak lain yang sengaja memanfaatkan keadaan untuk memperoleh keuntungan yang tidak wajar.

40 Gatot Supramono, Menyelesaikan Sengketa Merek Menurut Hukum Indonesia, Pekanbaru, Rineka Cipta, 2008, hal. 42

C. Pelanggaran Terhadap Kepemilikan Merek

Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis yaitu dalam Pasal 76 ayat (1) , seorang pemilik merek atau penerima lisensi merek dapat menuntut seseorang yang tanpa izin telah menggunakan merek yang memiliki persamaan pada pokoknya dengan merek orang lain yang bergerak dalam bidang perdagangan atau jasa yang sama. Setelah itu, Pengadilan Niagalah yang berwenang menyidangkan kasus tersebut (Pasal 76 ayat (2) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis). Putusan dari Pengadilan Niaga dapat diajukan kasasi ke Mahkamah Agung (Pasal 79 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis).

Pasal 84 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis memberikan pilihan penyelesaian sengketa merek melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa.

Bentuk pelanggaran merek misalnya adalah penggandaan merek.

Penggandaan dapat diartikan sebagai tindakan menduplikasi atau membuat dengan semirip mungkin atau bahkan dapat juga membuat sama seperti aslinya.

Di Indonesia pada zaman Hindia Belanda, zaman Orde Lama, dan zaman Orde Baru yang baru saja berhukum hak cipta telah mendapat tempatnya dalam berbagai perundang- undangan internasional maupun nasional berbagai negara termasuk Indonesia.

Sebelum adanya regulasi hak cipta, telah dikenal adanya azas perlindungan otomatis (automatical protection), sehingga tidak ada kewajiban untuk

51

mendaftarkan ciptaannya. Artinya, bahwa sebuah karya cipta yang diwujudkan oleh penciptanya, maka sejak saat itu secara otomatis karya cipta tersebut memiliki hak cipta dan mendapatkan perlindungan hukum. 41

Namun, setelah perkembangan yang cukup dinamis, sering sekali terjadi pelanggaran dengan cara menggandakan hak cipta milik orang lain tanpa sepengetahuan dan tanpa seizin dari pemilik hak cipta itu sendiri. Tentu perbuatan seperti ini adalah perbuatan ilegal dan dapat dikategorikan juga sebagai tindakan pembohongan terhadap publik. Karya cipta yang diklaim sebagai hak miliknya yang ternyata adalah hasil karya seni atau ciptaan milik orang lain. Tindakan seperti ini sangat bertentangan dengan regulasi yang telah diberlakukan di Indonesia dan bahkan dunia. 42

Atas desakan tersebut maka dibuatlah regulasi- regulasi tentang perlindungan terhadap hak cipta. Dalam perlindungan atas hak cipta tersebut, kemudian dikenal beberapa prinsip pengaturan, yaitu sebagai berikut: 43

a. Yang dilindungi hak cipta adalah ide yang berwujud. Artinya, perlindungan hukum hak cipta diberikan apabila karya cipta telah melalui proses konkretisasi dan menunjukkan identitas penciptanya.

Sebab jika tidak ada wujud dan identitas penciptanya, maka tidak dapat dilakukan perlindungan terhadap suatu karya cipta.

b. Hak cipta timbul dengan sendirinya (otomatis). Artinya, hak cipta diberi perlindungan sejak kali pertama dipublikasikan. Hal ini sejalan

41 Muhammad Djumhana, Hak Milik Intelektual (Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia), Bandung: PT. Cipta Aditya Bakti, 2003 hal. 19

42 Sudargo, Permbaharuan UUHC, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997 hal. 32

43 Butt Simon, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Bandung: PT. Alumni, 2013 hal. 97

dengan stelsel yang digunakan dalam hak cipta yaitu deklaratif.

Deklaratif mengandung makna bahwa hak cipta tersebut telah diumumkan kepada publik bahwa karya cipta tersebut adalah ciptaan si pencipta karya cipta.

c. Ciptaan tidak perlu didaftarkan untuk memperoleh hak cipta. Pada saat sebelum banyak terjadinya penjiplakan karya seni, prinsip ini masih dapat dijalankan. Namun pada perkembangannya, prinsip ini mulai tergeser disebabkan banyaknya sengketa penjiplakan yang memenangkan pelaku penggandaan suatu karya dikarenakan si pencipta asli tidak mendaftarkan karya ciptaannya.

d. Hak cipta sebagai suatu ciptaan merupakan hak diakui hukum yang harus dipisahkan dan harus dibedakan dari penguasaan fisik ciptaan.

Penguasaan fisik dapat dianggap sebagai pemilik hak cipta, dalam hal ini bisa saja suatu cipta diberikan kepada orang lain.

e. Hak cipta bukanlah hak mutlak (absolut), melainkan hak eksklusif.

Artinya hanya pencipta yang berhak atas ciptaan, kecuali atas izin penciptanya. Telah disbutkan di atas bahwa hak cipta dari si pencipta dapat diberikan kepada pihak lain, misalnya seorang seniman menjual ciptannya berupa logo kepada perusahaan. Kemudian perusahaan tersebut mendaftarkan logo tersebut sebagai hak cipta. Maka hak cipta logo tersebut adalah milik perusahaan.

f. Meskipun pendaftaran bukan keharusan, untuk kepentingan pembuktian kalau terjadi sengketa di kemudian hari, sebaiknya hak

53

cipta didaftarkan ke Dirjen HKI. Hal ini terkait dengan stelsel pendaftaran yang digunakan. Para ahli hukum di Indonesia menambahkan bahwa stelsel yang digunakan dalam hukum hak cipta tidak murni deklaratif, tetapi deklaratif negatif. Hal ini terlihat dengan dibukanya loket pendaftaran hak cipta. 44

Hak cipta di Indonesia termasuk hak cipta atas logo juga mengenal konsep hak ekonomi dan hak moral. Hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan, sedangkan hak moral adalah hak yang melekat pada diri pencipta atau pelaku (seni, rekaman, siaran) yang tidak dapat dihilangkan dengan alasan apapun, walaupun hak cipta atau hak terkait telah dialihkan. 45

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dalam Pasal 5 menyebutkan hak moral yang melekat secara abadi pada diri pencipta untuk:

a. Tetap mencantumkan atau tidak mencantumkan namanya pada salinan sehubungan dengan pemakaian ciptaannya untuk umum;

b. Menggunakan nama aslinya atau samarannya;

c. Mengubah ciptaannya sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat;

d. Mengubah judul dan anak judul ciptaannya;

e. Mempertahankan haknya dalam hal terjadi mutilasi ciptaan, modifikasi ciptaan, atau hal yang bersifat merugikan kehormatan diri atau reputasinya.

44 Sudrajat, Hak Kekayaan Intelektual (Memahami Prinsip Dasar, Cakupan dan Undang-Undang yang Berlaku), Bandung: Oase Media, 2010 hal. 46

45 Muhammad Djumhana, Op. Cit, hal. 25

Mengacu pada hal di atas, maka penggandaan atas logo yang dilakukan secara ilegal adalah melanggar peraturan tentang hak cipta. Pasal 5 huruf e menyebutkan bahwa atas pelanggaran hak cipta, si pencipta dapat mempertahankan hak ciptaannya atas perbuatan mutilasi, modifikasi karya ciptanya yang dapat merugikan si pencipta. Memutilasi atau bahkan memodifikasi sama halnya dengan menggandakan suatu karya cipta dan tidak berarti menghilangkan hak cipta dari pencipta semula.

Pelanggaran hak cipta merupakan permasalahan hak cipta di Indonesia yang sampai sekarang masih belum dapat dilakukan penegakan hukum secara maksimal. Munculnya permasalahan hak cipta adalah seiring dengan masalah liberalisasi ekonomi yang berdampak pada keadaan sosial budaya masyarakat.

Liberalisasi telah menjadikan masyarakat Indonesia menjadi masyarakat transisi industrial. Masyarakat transisi industrial adalah masyarakat yang sedang mengalami perubahan dari masyarakat agraris yang berbudaya komunal/ social tradisional ke masyarakat yang berbudaya individual modern. Keadaan sosial budaya masyarakat Indonesia yang masih dalam proses perubahan sosial menuju masyarakat yang rasional dan komersial berdampak pada kurangnya pemahaman konsep hak cipta yang sebelumya belum pernah dikenal pada masyarakat tradisional. Pada keadaan masyarakat transisi industrial, tentunya hukum yang mengatur juga mengalami perubahan yaitu dari hukum tradisional menjadi hukum modern, contohnya adalah munculnya hukum yang mengatur masalah hak cipta.

Konsep hak cipta berasal dari negara Eropa dengan budaya masyarakat yang menjunjung tinggi hak individu, sedangkan masyarakat Indonesia dengan budaya

55

timurnya lebih mengutamakan nilai sosial (komunal). Hal ini tentunya berdampak pada pemikiran bahwa munculnya perasan senang dan tersanjung jika hasilkaryanya dapat bermanfaat bagi orang banyak, apalagi karyanya dapat dinikmati dan dikenal publik.46

Budaya masyarakat tradisional di Indonesia tidak mengenal konsep hak cipta. Nilai budaya masyarakat Indonesia juga tidak mengenal kepemilikan individu atas karya cipta dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra.

Kepemilikan cenderung bersifat sosial/ komunal, artinya dimiliki oleh keluarga atau masyarakat hukum adatnya. Karya seni asli yang ada tidak pernah mencantumkan nama atau tanda lain sebagai tanda pengenal penciptanya.47

Hukum hak cipta melindungi karya intelektual dan seni dalam bentuk ekspresi. Ekspresi yang dimaksud adalah dalam bentuk tulisan seperti lirik lagu, puisi, artikel, dan buku, dalam bentuk gambar seperti foto, logo, gambar arsitektur dan peta, serta dalam bentuk suara dan video seperti rekaman lagu, pidato, video pertunjukan, dan video koreografi. Pada dasarnya dengan adanya perlindungan hukum terhadap hak cipta, berarti hak dan kepentingan pencipta diakui dan dilindungi oleh Undang-Undang, sehingga mereka dapat menuntut setiap orang yang melanggar hak dan kepentingannya atas karya cipta tersebut. Upaya hukum untuk menuntut para pelanggar hak cipta dapat dilakukan oleh pencipta atau organisasi yang terkait dengan ciptaan tersebut, melalui tuntutan pidana atau gugatan secara perdata. Berdasarkan uraian tentang perlindungan hukum hak cipta

46 Maryadi, Transformasi Budaya, Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2000 hal.

53

47 Riswandi, Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004 hal. 140

dapat diketahui bahwa ketentuan- ketentuan hukum yang mengatur tentang hak cipta dengan segala aspeknya sudah cukup memadai dan mendukung perlindungan hak cipta. Namun demikian meskipun ketentuan hukum telah cukup memadai untuk memberikan perlindungan terhadap hak cipta, sebagaimana telah disebutkan masih ada saja hambatan yang sering menghadang dalam upaya penegakan hukum tersebut sehingga perlu ada solusi atau pemecahan terhadap hambatan tersebut.

Selama ini berbagai usaha untuk mensosialisasikan penghargaan atas Hak Kekayaaan Intelektual (HKI) telah dilakukan secara bersama-sama oleh aparat pemerintah terkait beserta lembaga- lembaga pendidikan dan lembaga swadaya masyarakat. Akan tetapi sejauh ini upaya sosialisasi tersebut tampaknya belum cukup berhasil. Ada beberapa alasan yang mendasarinya. Pertama, konsep dan perlunya HKI belum dipahami secara benar di kalangan masyarakat. Kedua, kurang optimalnya upaya penegakan, baik oleh pemilik HKI itu sendiri maupunaparat penegak hukum. Ketiga, tidak adanya kesamaan pandangan dan pengertian mengenai pentingnya perlindungan dan penegakan HKI di kalangan pemilik HKI dan aparat penegak hukum, baik itu aparat Kepolisian, Kejaksaan maupun hakim.48

Dalam praktik pergaulan internasional, HKI telah menjadi salah satu isu penting yang selalu diperhatikan oleh kalangan negara-negara maju di dalam melakukan hubungan perdagangan dan atau hubungan ekonomi lainnya. Khusus dalam kaitannya dengan dengan Amerika Serikat misalnya,

48 Lindsey Tim, dkk, Hak Kekayaan Intelektual, Bandung: PT. Alumni, 2013 hal. 26

57

hingga saat ini status Indonesia masih tetap sebagai negara dengan status Priority Watch List (PWL) sehingga memperlemah negosiasi. Globalisasi yang sangat identik dengan free market, free competition dan transparansi memberikan dampak yang cukup besarterhadap perlindungan HKI di Indonesia. Situasi seperti ini pun memberikan tantangan kepada Indonesia, dimana Indonesia diharuskan untuk dapat memberikan perlindungan yang memadai atas HKI sehingga terciptanya persaingan yang sehat yang tentu saja dapat memberikan kepercayaan kepada investor untuk berinvestasi di Indonesia.

Lebih dari itu, meningkatnya kegiatan investasi yang sedikit banyak melibatkan proses transfer teknologi yang dilindungi HKI-nya akan terlaksana dengan baik, apabila terdapat perlindungan yang memadai atas HKI itu sendiri diIndonesia. Mengingat hal- hal tersebut, tanpa usaha sosialisasi di berbagai lapisan masyarakat, kesadaran akan keberhargaan HKI tidak akan tercipta. Sosialisasi HKI harus dilakukan pada semua kalangan terkait, seperti aparat penegak hukum, pelajar, masyarakat pemakai, para pencipta dan yang tak kalah pentingnya adalah kalangan pers karena dengan kekuatan tinta kalangan jurnalis upaya kesadaranakan pentingnya HKI akan relatif lebih mudah terwujud.

Upaya sosialisasi perlu dilakukan oleh semua stake holder secara sistematis, terarah dan berkelanjutan. Selain itu target audience dari kegiatan sosialisasi tersebut harus dengan jelas teridentifikasi dalam setiap bentuk sosialisasi, seperti diskusi ilmiah untuk kalangan akademisi, perbandingan sistem hukum dan pelaksanaannya bagi aparat dan praktisi hukum, dan

lain-lain. Berdasarkan praktik, belum begitu memasyarakatnya HKI menyebabkan perlindungan yang diberikan pemerintah belum optimal. Untuk itu pemilik hak perlu melakukan langkah- langkah non-legal untuk menegaskan kepemilikan haknya, dan juga menegaskan kepada pihak-pihak lain bahwa mereka akan mengambil tindakan yang tegas terhadap segala upaya penggunaan atau pemanfaatan secara tidak sahatas haknya tersebut. Upaya perlindungan HKI di Indonesia tidak cukup dengan menyerahkan perlindungan kepada aparat atau sistem hukum yang ada, tetapi perlu langkah-langkah non-legal. Langkah itu diantaranya adalah pemberian informasi mengenai kepemilikan HKI oleh pemilik hak, survei lapangan,peringatan kepada pelanggar, dan sebagainya.49

Pelanggaran terhadap hak merek motivasinya adalah untuk mendapatkan keuntungan secara mudah dengan mecoba meniru, atau memalsukan merk yang sudah terkenal di masyarakat. Tindakan tersebut dapat merugikan masyarakat baik terhadap produsen maupun konsumennya. Selain itu negarapun dirugikan atas tindakan tersebut. 50 Pemakaian merk tanpa hak dapat digugat berdasarkan perbuatan melanggar hukum (Pasal 1365 KUHPerdata).

Penyelesaian sengketa merk dijelaskan pada Pasal 83 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografi, yaitu:

1) Pemilik Merek terdaftar dan/atau penerima Lisensi Merek terdaftar dapat mengajukan gugatan terhadap pihak lain yang secara tanpa hak menggunakan Merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau

49 Edy Damian, Hukum Hak Cipta, Bandung: PT. Alumni, 2002 hal. 61

50 Jacklin Mangowal, Perlindungan Hukum Merk Terkenal Dalam Perspektif Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merk dan Indikasi Geografis, Lex Et Societatis, Volume V No. 9 November 2007

59

keseluruhannya untuk barang dan/atau jasa yang sejenis berupa: a.

gugatan ganti dan/atau b. penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan Merek tersebut.

2) Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat pula diajukan oleh pemilik Merek terkenal berdasarkan putusan pengadilan.

3) Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Pengadilan Niaga.

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merk dan Indikasi Geografi menjelaskan bahwa merk terkenal dapat mengajukan gugatan berdasarkan putusna pengadilan sebagaimana dijelaskan pada Pasl 84, yaitu:

1) Selama masih dalam pemeriksaan dan untuk mencegah kerugian yang lebih besar, pemilik Merek dan/atau penerima Lisensi selaku penggugat dapat mengajukan permohonan kepada hakim untuk menghentikan kegiatan produksi, peredaran, dan/atau perdagangan barang dan/atau jasa yang menggunakan Merek tersebut secara tanpa hak.

2) Dalam hal tergugat dituntut menyerahkan barang yang menggunakan Merek secara tanpa hak, hakim dapat memerintahkan penyerahan barang atau nilai barang tersebut dilaksanakan setelah putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap.

Tata cara gugatan pada Pengadilan Niaga diatur dalam Pasal 85 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merk dan Indikasi Geografi, yaitu:

1) Gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3), Pasal 68, Pasal 74, dan Pasal 76 diajukan kepada ketua Pengadilan Niaga dalam wilayah hukum tempat tinggal atau domisili tergugat.

2) Dalam hal salah satu pihak bertempat tinggal di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, gugatan tersebut diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.

3) Panitera mendaftarkan gugatan pada tanggal gugatan yang bersangkutan diajukan dan kepada penggugat diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani panitera dengan tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran gugatan.

4) Panitera menyampaikan gugatan kepada ketua Pengadilan Niaga dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari terhitung sejak gugatan didaftarkan.

5) Dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak tanggal gugatan disampaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ketua Pengadilan Niaga mempelajari gugatan dan menunjuk majelis hakim untuk menetapkan hari sidang.

6) Pemanggilan para pihak dilakukan oleh juru sita paling lama 7 (tujuh) hari setelah gugatan didaftarkan.

7) Sidang pemeriksaan sampai dengan putusan atas gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diselesaikan paling lama 90 (sembilan puluh) hari setelah perkara diterima oleh majelis yang memeriksa perkara tersebut dan dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari atas persetujuan Ketua Mahkamah Agung.

8) Putusan atas gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

9) Isi putusan Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud pada ayat (8) wajib disampaikan oleh juru sita kepada para pihak paling lama 14 (empat belas) hari setelah putusan atas gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diucapkan.

Ketentuan pidana atas peanggaran merk diatur pada Undangundang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merk dan Indikasi Geografi, diantaranya:

Pasal 100

1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan,

61

dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Dokumen terkait