• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PEMELIHARAAN ANAK AKIBAT PERCERAIAN

C. Pemeliharaan Anak Menurut Undang-Undang No. 1

Pada setiap masyarakat manapun baik yang beraneka ragam corak kehidupannya maupun yang tidak, setiap perkawinan tidak dapat dipandang lepas dari kemungkinan menurunkan keturunan atau anak yang merupakan salah satu tujuan dari perkawinan, karena seorang anak dianggap salah satu pembawa kebahagiaan dari hasil dari perkawinannya tersebut.

Pengertian anak secara umum dipahami masyarakat adalah keturunan kedua setelah ayah dan ibu.48Yang dimaksud dengan keturunan ialah hubungan antara anak dengan orang tua, atau lebih luas dari itu: antara di satu pihak para anak, di lain pihak para orang tua beserta nenek-moyang mereka.49

Memang dalam kehidupan yang nyata tujuan perkawinan tidak hanya untuk memperoleh keturunan, namun demikian tetap dikhawatirkan perkawinan akan mudah putus apabila tujuan tersebut tidak tercapai dalam arti tidak adanya anak yang lahir selama perkawinan berlangsung.

Suatu rumah tangga yang ideal tidak hanya cukup jika dilandasi atas dasar

48Departemen Pendidikan Nasional,Op.Cit., hal. 38-39.

49H.F.A. Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, Cet. I, (Jakarta: CV. Rajawali, 1983), hal.121.

kasih sayang semata-mata, lambat laun rasa kasih sayang ini dapat menjadi pudar bilamana kehadiran seorang anak yang merupakan penghubung cinta kasih antara suami dan istri tersebut tidak ada. Maka dari itu dipandang dari sudut lingkungan kekeluargaan yang meliputi suami dan istri tersebut, keturunan adalah sangat penting untuk mempertahankan keutuhan rumah tangga yang kelak akan dibina disamping sebagai penerus keturunan yang merupakan ikatan turun temurun dalam silsilah keluarga.

Menurut pengertian yang sebenarnya, anak adalah hasil dari perbuatan bersetubuh seorang laki-laki dengan seorang perempuan, lahirlah dari tubuh si perempuan seorang manusia lain yang dapat dikatakan, bahwa laki-laki tadi adalah bapaknya dan perempuan tadi adalah ibunya.50

Ketentuan-ketentuan mengenai anak ini dimuat pula dalam Pasal 250 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi “Tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan memperoleh si suami sebagai bapaknya.

Sekalipun dari hubungan yang tidak sah dalam kaca mata hukum. Ia tetap dinamakan anak, sehingga pada definisi ini tidak dibatasi dengan usia. Sedangkan dalam pengertian Hukum Perkawinan Indonesia, anak yang belum mencapai usia 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya. Selama mereka tidak dicabut dari kekuasaan.51 Pengertian ini bersandar pada kemampuan anak, jika anak telah mencapai umur 18 tahun, namun belum mampu

50Prodjodikoro,Op.Cit., hal.57.

menghidupi dirinya sendiri, maka ia termasuk katagori anak. Namun berbeda apabila ia telah melakukan perbuatan hukum, maka ia telah dikenai peraturan hukum atau perUndang-Undangan.

Anak menurut Undang-Undang Perkawinan. Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Pokok Perkawinan (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974) mengatakan, seorang pria hanya diizinkan kawin apabila telah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita umur 16 (enam belas) tahun. Penyimpangan hal tersebut hanya dapat dimintakan dispensasi kepada Pengadilan Negeri.

Selain itu, dalam Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 juga mengatakan bahwa, “Anak yang belum mencapai 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama ia tidak dicabut dari kekuasaanya.

Mengenai perwalian dalam Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa, “Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada dibawah kekuasaan wali.

Anak menurut Undang-Undang Kesejahteraan Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin.52 Dalam perspektif Undang-Undang Peradilan Anak, anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin.53 Sementara dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 98 (1) dikatakan bahwa batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah usia

52Pasal 1 (2), UU. No. 4 Tahun 1974 Tentang Kesejahteraan Anak.

21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.54 Adapun pengertian anak menurut Pasal 45 KUHP adalah orang yang belum cukup umur, yaitu mereka yang melakukan perbuatan (tindak pidana) sebelum umur 16 (enam belas) tahun.55

Sedangkan dalam Konvensi Hak Anak (KHA), anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 tahun, kecuali berdasarkan Undang-Undang yang berlaku bagi anak yang ditentukan bahwa usia dewasa telah mencapai lebih awal.56 Dengan demikian pasal ini mengakui bahwa batas usia kedewasaan dalam aturan hukum sebuah Negara mungkin berbeda dengan ketentuan KHA. Dalam kasus ini Komite Hak Anak menekankan agar Negara meratifikasi KHA menyelaraskan peraturan-peraturan hukumnya dengan KHA.

Dari pengertian ini tidak terlihat permulaan atau dimulainya status anak. Apakah sejak anak tersebut lahir, ataukah sejak anak tersebut masih dalam kandungan ibunya. Dalam hal ini KHA tidak menyebutkan secara tegas. Tetapi dalam bagian mukadimah, dinyatakan bahwa anak dikarenakan ketidakmatangan jasmani dan mentalnya memerlukan pengamanan dan pemeliharaan khusus termasuk perlindungan hukum yang layak sebelum dan sesudah kelahirannya.57 Pada prinsipnya pokok pikiran yang harus dipegang adalah bahwa Negara yang

54Instruksi Presden Nomor 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama Islam, 2001), hal. 50.

55Agung Wahyono dan Siti Rahayu,Tinjauan tentang Peradilan Anak di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,1993), hal.19.

56KHA, Pasal 1.

57Lihat mukadimah KHA pada Darwin Prinst,Hukum Anak Indonesia, (Bandung: Aditya Bakti, 2003), hal. 103-104.

meratifikasi KHA harus memajukan dan melindungi kepentingan dan hak anak sebagai manusia hingga mereka bisa mencapai kematangan mental dan fisik.

Dalam perkembangan anak diklasifikasikan menjadi beberapa bagian. Pertama, anak sah, yaitu anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawian yang sah atau hasil perbuatan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut.58 Kedua, anak terlantar, yaitu anak yang tidak memenuhi kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial. Ketiga, anak yang menyandang cacat, yaitu anak yang mengalami hambatan secara fisik dan atau mental sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangan secara wajar. Keempat, anak yang memiliki keunggulan, yaitu anak yang mempunyai kecerdasan luar biasa, atau memiliki potensi dan atau bakat luar istimewa. Kelima, anak angkat, yaitu anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut kedalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atas penetapan pengadilan. Keenam, anak asuh, yaitu anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga untuk diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan karena orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembangnya anak secara wajar.59

Sedangkan dalam Undang-Undang peradilan anak dikatakan bahwa pengertian dari anak nakal adalah anak yang melakukan pidana atau anak yang

58KHI, Pasal 99.

melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perUndang-Undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Namun, dalam perkara anak nakal ini hanya bisa diajukan ke pengadilan apabila telah mencapai umur 8 (delapan) tahun, tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.60 Dan sesuai asas praduga tak bersalah, maka seorang anak nakal yang sedang dalam proses pengadilan tetap dianggap sebagai tidak bersalah sampai adanya putusan dari pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

Batas usia 8 tahun bagi anak nakal untuk dapat diajukan ke sidang anak berdasarkan pada pertimbangan sosiologis, psikologis, dan pedagogis, bahwa anak yang belum mencapai usia 8 tahun dianggap belum dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya.

Kedudukan anak, berhubungan dengan status yang disandangnya. Istilah status itu hampir sama dengan kedudukan. Secara literal, kata status berarti kedudukan.61 Kata status berarti “keadaan, tingkatan, organisasi, badan atau Negara dan sebagainya”.62 Adapun kata kedudukan adalah “keadaan dimana seseorang itu hidup menunjukan kepada suatu hubungan kekeluargaan tertentu”.63 Maka status anak sah yang dimaksudkan sebagai pandangan hukum terhadap anak sah. Sedangkan kedudukan anak sah menunjukan hubungan kekerabatan atau kekeluargaan.

60Pasal 1 dan 2, Undang-Undang Nomer 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak.

61 John M. Echols – Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, cet. Ke-XX, (Jakarta: Gramedia, 1992), hal 554.

62Departemen Pendidikan Nasionao,Op.Cit.

Anak tidak sah, yang oleh hukum positif diistilahkan dengan anak luar nikah64 atau menurut Hukum Islam disebut dengan anak zina, bila disahkan atau mendapatkan lembar pengesahan akan memiliki hubungan perdata dengan ibunya maupun dengan ayahnya, meskipun penguasa anak tersebut adalah walinya.65 Hubungan keperdataan anak luar kawin terjadi setelah mendapatkan pengakuan dari ayahnya. Hubungan itupun hanya terbatas sampai hubungan ibunya dan ayahnya saja. Anak ini tidak memiliki kakek dan nenek baik dari garis ayahnya maupun dari garis ibunya terus keatas.66 Dari pengertian inilah hukum positif membolehkan upaya pengakuan dan pengabsahan.

Berkenaan dengan kedudukan anak yang dilahirkan dari perkawinan campuran, pasal 29 Undang-Undang Perlindungan Anak menyatakan apabila terjadi perkawinan campuran antara warga Republik Indonesia dengan warga Negara asing, anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut berhak memperoleh kewarganegaraan dari ayah atau ibunya sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang-Undangan yang

64Belum menikah dan tidak ada larangan untuk kawin), (2) anak zina (pelaku zina atau salah satunya sedang dalam ikatan perkawinan), dan (3) anak sumbang (pelaku zina masih ada hubungan darah sehingga dilarang kawin). Anak luar nikah (anak alam) dibedakan dari anak zina dan sumbang. Dua jenis anak terakhir ini tidak bisa memiliki hubungan dengan ayah dan ibunya. Bila anak tersebut terpaksa disahkanpun tidak ada akibat hukumnya. Lihat KUH Perdata pasal 288. bandingkan dengan Vollmar, Pengantar Studi, hlm. 130. Kedudukan anak itu sangat menyedihkan. Namun pada prakteknya dijumpai hal-hal yang meringankan, karena biasanya anak zina dan sumbang hanya diketahui oleh pelaku zina saja itu sendiri. Asal anak lahir dalam keadaan ibunya terikat perkawinan yang sah, otomatis menjadi anak sah. Oleh karena itu kecenderungan hukum perdata itu membolehkan pengabsahan anak. Sedangkan menurut al-Qur’an, selain anak sah adalah anak zina (tidak sah). Lihat Abdurrouef,al-Qur’an dan Ilmu Hukum,(Jakarta: Bulan Bintang, 1997), hal. 96.

65KUH Perdata, Pasal 409.Vollmar,Pengantar Studi, hal. 131.

66 KUH Perdata, Pasal 281 atau Pasal 336 BW. Bandingkan dengan Vollmar, Pengantar Studi, hlm. 126-127.

berlaku.67