TESIS
Oleh
S U M E N
117011055/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
S U M E N
117011055/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Nama Mahasiswa : SUMEN Nomor Pokok : 117011055
Program Studi : MAGISTER KENOTARIATAN
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
Pembimbing Pembimbing
(Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum) (Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, MHum)
Ketua Program Studi, Dekan,
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Runtung, SH, MHum
Nama : SUMEN
Nim : 117011055
Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU
Judul Tesis : TANGGUNG JAWAB PEMELIHARAAN DAN NAFKAH ANAK DALAM HAL KEDUA ORANGTUANYA
BERCERAI DI KALANGAN WARGA NEGARA INDONESIA YANG BERAGAMA HINDU
Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri
bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena
kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi
Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas
perbuatan saya tersebut.
Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan
sehat.
Medan,
Yang membuat Pernyataan
berada di bawah umur. Pemeliharaan anak tersebut diikuti oleh kewajiban ayah untuk membiayai kebutuhan si anak. Sedangkan terhadap anak yang telah dewasa tetap harus mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya meskipun keduanya telah bercerai. Kenyataan yang ditemukan dalam masyarakat Hindu bahwa perihal pemeliharaan anak apabila jatuh ke tangan salah satu pihak maka pihak yang lain tidak memperdulikan si anak. Misal apabila anak jatuh ke tangan suami maka isteri tidak memperdulikan si anak demikian pula sebaliknya. Bahkan dalam suatu peristiwa perceraian yang didahului oleh pisah ranjang maka anak diberikan pilihan apakah akan ikut ayahnya atau ibunya. Apabila ia ikut ayahnya maka pemeliharaan dan nafkah anak ada pada ayahnya dan apabila ia mengikuti ibu maka pemeliharaan dan nafkah anak jatuh pada ibunya semata.
Permasalahan yang diajukan dalam penelitian tesis ini adalah bagaimana pelaksanaan pemeliharaan anak yang orang tuanya bercerai menurut Agama Hindu, bagaimana pemeliharaan anak akibat percerauan yang orang tuanya menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan apakah upaya dalam hambatan mengatasi pemeliharaan anak yang orang tuanya bercerai menurut Agama Hindu.
Hasil penelitian dan pembahasan menjelaskan perceraian tidak dikenal dalam Agama Hindu, namun demikian dalam prakteknya sering terjadi perceraian yang berakibat pada tujuan pemeliharaan anak. Dalam hasil penelitian, apabila terjadi perceraian maka pemeliaharaan anak sering kali berada ditangan ibunya tanpa adanya pembebanan tunjangan dari bapak kandung anak tersebut. Pemeliharaan anak akibat perceraian orang tuanya menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 berada di tangan kedua orang tuanya meskipun anak tersebut berada di bawah asuhan ibunya. Dengan perkataan lain apabila timbul perceraian maka kedua orang tuanya memiliki kewajiban untuk melakukan pemeliharaan anak yang didapatkan dalam perkawinan sebelumnya. Hambatan dalam pemeliharaan anak yang orang tuanya bercerai menurut Agama Hindu adalah faktor ekonomi, faktor orang tua menikah lagi, faktor psikologis, faktor orang tua perempuan mampu untuk memberikan biaya nafkah anak. Sedangkan upaya mengatasi pemeliharaan anak yang orang tuanya bercerai menurut ajaran Agama Hindu adalah meningkatkan peran dan tanggung jawab orang tua yang bercerai melalui keberadaan lembaga agama seperti Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) serta meningkatkan peran dan tanggung jawab masyarakat dan negara dalam pemeliharaan anak akibat perceraian bagi orang tua yang tidak mampu melakukan pemeliharaan anak.
Maintenance of the child's father followed by the obligation to finance the needs of the child. While the grown-up children still have to get the love of both parents even though they have been divorced. Found in the fact that the Hindu society regarding child maintenance if falling into the hands of one party that the other party does not care about the child. For example if a child falls into the hands of the husband and wife did not care for the child and vice versa. Even in the event of a divorce, which is preceded by the estranged son be given a choice whether to follow his father or his mother. When he joined his father and the maintenance of a living child then there are the father and mother when he followed the child's care and living alone falls on the mother.
Problems posed in this thesis is how the implementation of maintenance children whose parents divorced according to Hinduism, how maintenance child of divorce whose parents under the act of Marriage Law No. 1 of 1974, and whether efforts to overcome barriers to maintenance of children whose parents are divorced according to Hinduism.
The results and discussion explaining divorce is not recognized in Hinduism, but in practice often resulting in divorce child maintenance purposes. In the research, in the event of divorce then the maintenance of the children are often in the hands of his mother without the imposition of allowance of the child's natural father. Maintenance of children due to divorce their parents according to act of Marriage Law No. 1 of 1974 was in the hands of her parents even if the child is under the care of his mother. In other words if you develop the divorce both parents have an obligation to make child maintenance obtained in previous marriages. Barriers in the maintenance of the child whose parents are divorced according to Hinduism is economic factors, factors parents remarried, psychological factors, factors female parent is able to provide cost of living children. While efforts to address the welfare of the children whose parents divorced in Hinduism is to increase the role and responsibilities of parents who divorced over religious institutions such as the existence of the Hindu Association of Indonesia (PHDI) and increasing the role and responsibilities of the community and the state in the maintenance of children of divorce for men old child is not able to perform maintenance of the children.
judul “Tanggung Jawab Pemeliharaan Dan Nafkah Anak Anak Dalam Hal Kedua Orang Tuanya Pisah Ranjang Di Kalangan Warga Negara Indonesia Yang Beragama
Hindu”, yang disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara.
Pada penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan moril
berupa bimbingan dan arahan sehingga Penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis
ini. Oleh karena itu dalam kesempatan ini Penulis mengucapkan terimaksih kepada
komisi pembimbing, yang terhormat Bapak Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum, Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum, dan ibu Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, M.Hum.
Selanjutnya Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), Sp.A(K) selaku
Rektor Universitas Sumatera Utara di Medan
2. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi
Magister Kenotariatan (MKn)
4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M,Hum selaku Sekretaris Program
6. Para pegawai/karyawan pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
7. Rekan-rekan mahasiswa pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara angkatan 2011.
8. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Teristimewa dengan ketulusan hati penulis men gucapkan terima kasih kepada
yang tercinta kedua orangtua Penulis ayahanda (alm) S.selwarajen. SE dan Ibunda
S.Kanega yang telah memberikan doa, perhatian dan kasih sayang serta dukungannya
kepada Penulis. Penulis berharap semoga perhatian dan bantuan yang telah diberikan
mendapatkan balasan yang sebaik-baiknya dari Tuhan Yang Maha Esa. Penulis
menyadari bahwa penulisan tesis ini jauh dari sempurna, walaupun demikian Penulis
mengharapkan semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Medan, Januari 2014 Penulis
Nama : Sumen
Tempat, Tanggal Lahir : Medan, 16 Mei 1987
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status : Menikah
Agama : Hindu
Alamat : Jalan M. Idrris Gg. Berdikari No. 9
II. KELUARGA
Nama Ayah : S. Selwarajen, SE
Nama Ibu : S. Kanega
Nama Istri : Kalyani Kambuna Vita
III. PENDIDIKAN
SD Swasta Kalam Kudus Medan : 1993-1999
SLTP Swasta Kalam Kudus Medan : 1999-2002
SMU Swasta Tunas Jaka Sempurna Jakarta : 2002-2005
S1 Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara, Medan : 2005-2010
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... v
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR INDEX ... viii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 12
C. Tujuan Penelitian ... 12
D. Manfaat Penelitian ... 12
E. Keaslian Penelitian ... 13
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 14
G. Metode Penelitian ... 19
BAB II PEMELIHARAAN ANAK AKIBAT PERCERAIAN ORANG TUA MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 ... 23
A. Alasan-Alasan Perceraian Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 ... 23
B. Akibat Hukum Perceraian... 28
C. Pemeliharaan Anak Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 ... 35
D. Ketentuan Mengenai Pemeliharaan Anak Setelah Terjadi Perceraian ... 42
BAB III PEMELIHARAAN ANAK AKIBAT PERCERAIAN ORANG TUANYA MENURUT AGAMA HINDU... 61
BAB IV HAMBATAN DAN UPAYA MENGATASI ATAS PEMELIHARAAN ANAK YANG KEDUA ORANG
TUANYA BERCERAI MENURUT AGAMA HINDU... 93
A. Pandangan Hukum Tentang Pemeliharaan Anak ... 93
B. Pandangan Agama Islam Tentang Pemeliharaan Anak... 104
C. Hambatan-Hambatan dan Upaya Penyelesaian Pemeliharaan Anak Yang Orang Tuanya Bercerai Menurut Ajaran Agama Hindu ... 110
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 143
A. Kesimpulan ... 143
B. Saran ... 144
2. Arthadana : Harta benda
3. Bhisuka : Masa melakukan tapabrata yoga samadi. 4. Brahmacari : Masa menuntut ilmu
5. Catur asrama : Pembagian kehidupan menjadi empat
6. Daksina : Adanya suatu penghormatan dalam bentuk upacara dan harta benda atau uang yang dihaturkan secara ikhlas kepada pendeta yang memimpin upacara.
7. Danda : Hukuman kepada anak 8. Deva rna : Bakti kepada dewa
9. Dewi Kunti : Dalam kisah Mahabharata adalah putri dari Prabu Kuntiboja. Ia adalah saudara dari Basudewa yang merupakan ayah dari Baladewa, Kresna dan Subadra. Ia juga adalah ibu kandung Yudistira, Werkodara (Bima), dan Arjuna dan juga adalah istri pertama Pandu yang sah. Selain itu Kunti juga ibu kandung Karna.
10.Dhana : Motivasi bagi si anak
11.Dharma : Perbuatan baik yang mendatangkan karma baik
12.Dharmadana : Nasihat/wejangan atau petunjuk hidup, yang mampu mengubah kehidupan seseorang menjadi lebih baik.
13.Dharmasampati : Kedua mempelai secara bersama-sama melaksanakandharma
14.Garva : Wanita yang mengikatkan diri dengan pria/ belahan jiwa
15.Grahasta : Masa berumah tangga
16.Ida Sang Hyang Widhi Wase : Sebutan bagi Tuhan yang Maha Esa dalam agama Hindu
17.Jagadhita : Kebahagiaan di dunia
sloka (ayat).
20. Kitab suci Veda : Kitab suci agama Hindu
21.Laja HomaatauAgni Homa : Pemberkahan yaitu pandita menyampaikan puja stuti untuk kebahagiaan kedua mempelai.
22.Lascarya : Suatu yajña yang dilakukan dengan penuh keiklasan.
23.Mantra : Dalam pelaksanaan upacara yajña harus ada mantra atau nyanyian pujaan yang dilantunkan.Annasewa artinya dalam pelaksanaan upacara yajña hendaknya ada jamuan makan dan menerima tamu dengan ramah tamah.
24.Moksa : Kebahagiaan di surga
25.Moksatham jagadhita ya ca iti dharma : Kebahagiaan lahir dan batin atau
26.Mulih daha : Kembali ke rumah asal
27.Nasmita : Suatu upacara yajña hendaknya tidak dilaksanakan dengan tujuan untuk memamerkan kemewahan.
28.Panca yadnya : Lima jenis karya suci yang diselenggarakan oleh umat Hindu di dalam usaha mencapai kesempurnaan hidup.
29.Panigraha : Upacara bergandengan tangan adalah simbol mempertemukan kedua calon mempelai di depan altar yang dibuat untuk tujuan upacara perkawinan.
30.Parisada Hindu Dharma Indonesia : Majelis Wipra (Brahmana ahli, cendekiawan) yang berfungsi semacam Badan Legislatif, memegang peranan penting di dalam memecahkan berbagai permasalahan keagamaan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat Hindu.
31.Pawiwahan : Perkawinan
32.Pitra rna : Bakti kepada leluhur 33.Pradhana : Ganjaran
37.Rna : Jalan untuk menebus utang 38.Rsi rna : Bakti kepada guru
39.Rwa-bhineda : Dua yang berbeda
40.Samskara : Pelaksanaan upacara perkawinan
41.Sancita Karmapala : Kemungkinan penjelmaan terdahulu berbuat serakah
42.Sapta : Melangkah tujuh langkah kedepan, simbolis penerimaan kedua mempelai itu.
43.Sastra : Suatu yajña harus dilakukan sesuai dengan sastra atau kitab suci.
44.Semara Reka dan Angastya Prana: Mendidik seorang anak dimulai semenjak dalam kandungan
45.Shri Mariamman : Kuil Hindu tertua di Kota Medan, Indonesia. Kuil ini dibangun pada tahun 1884 (ada pula yang menyebut 1881) untuk memuja dewi Kali.
46.Sraddha : Pelaksanaan samskara hendaknya dilakukan dengan keyakinan penuh bahwa apa yang telah diajarkan dalam kitab suci mengenai pelaksanaan yajña harus diyakini kebenarannya.
47.Tri Hita Karana : Waktu, biaya layanan sosial kemanusiaan dan lingkungan
48.Vasudhaivakutumbakam : Semua mahluk adalah bersaudara 49.Vidyadana : Pendidikan
50.Wana prasta : Masa memperdalam, menerapkan dan mensosialisasikan ilmu pengetahuan
51.Wiwaha : Pesta pernikahan, perkawinan
52.Yajña : Tindakan bukan sekedar kalimat yang diucapkan.
berada di bawah umur. Pemeliharaan anak tersebut diikuti oleh kewajiban ayah untuk membiayai kebutuhan si anak. Sedangkan terhadap anak yang telah dewasa tetap harus mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya meskipun keduanya telah bercerai. Kenyataan yang ditemukan dalam masyarakat Hindu bahwa perihal pemeliharaan anak apabila jatuh ke tangan salah satu pihak maka pihak yang lain tidak memperdulikan si anak. Misal apabila anak jatuh ke tangan suami maka isteri tidak memperdulikan si anak demikian pula sebaliknya. Bahkan dalam suatu peristiwa perceraian yang didahului oleh pisah ranjang maka anak diberikan pilihan apakah akan ikut ayahnya atau ibunya. Apabila ia ikut ayahnya maka pemeliharaan dan nafkah anak ada pada ayahnya dan apabila ia mengikuti ibu maka pemeliharaan dan nafkah anak jatuh pada ibunya semata.
Permasalahan yang diajukan dalam penelitian tesis ini adalah bagaimana pelaksanaan pemeliharaan anak yang orang tuanya bercerai menurut Agama Hindu, bagaimana pemeliharaan anak akibat percerauan yang orang tuanya menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan apakah upaya dalam hambatan mengatasi pemeliharaan anak yang orang tuanya bercerai menurut Agama Hindu.
Hasil penelitian dan pembahasan menjelaskan perceraian tidak dikenal dalam Agama Hindu, namun demikian dalam prakteknya sering terjadi perceraian yang berakibat pada tujuan pemeliharaan anak. Dalam hasil penelitian, apabila terjadi perceraian maka pemeliaharaan anak sering kali berada ditangan ibunya tanpa adanya pembebanan tunjangan dari bapak kandung anak tersebut. Pemeliharaan anak akibat perceraian orang tuanya menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 berada di tangan kedua orang tuanya meskipun anak tersebut berada di bawah asuhan ibunya. Dengan perkataan lain apabila timbul perceraian maka kedua orang tuanya memiliki kewajiban untuk melakukan pemeliharaan anak yang didapatkan dalam perkawinan sebelumnya. Hambatan dalam pemeliharaan anak yang orang tuanya bercerai menurut Agama Hindu adalah faktor ekonomi, faktor orang tua menikah lagi, faktor psikologis, faktor orang tua perempuan mampu untuk memberikan biaya nafkah anak. Sedangkan upaya mengatasi pemeliharaan anak yang orang tuanya bercerai menurut ajaran Agama Hindu adalah meningkatkan peran dan tanggung jawab orang tua yang bercerai melalui keberadaan lembaga agama seperti Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) serta meningkatkan peran dan tanggung jawab masyarakat dan negara dalam pemeliharaan anak akibat perceraian bagi orang tua yang tidak mampu melakukan pemeliharaan anak.
Maintenance of the child's father followed by the obligation to finance the needs of the child. While the grown-up children still have to get the love of both parents even though they have been divorced. Found in the fact that the Hindu society regarding child maintenance if falling into the hands of one party that the other party does not care about the child. For example if a child falls into the hands of the husband and wife did not care for the child and vice versa. Even in the event of a divorce, which is preceded by the estranged son be given a choice whether to follow his father or his mother. When he joined his father and the maintenance of a living child then there are the father and mother when he followed the child's care and living alone falls on the mother.
Problems posed in this thesis is how the implementation of maintenance children whose parents divorced according to Hinduism, how maintenance child of divorce whose parents under the act of Marriage Law No. 1 of 1974, and whether efforts to overcome barriers to maintenance of children whose parents are divorced according to Hinduism.
The results and discussion explaining divorce is not recognized in Hinduism, but in practice often resulting in divorce child maintenance purposes. In the research, in the event of divorce then the maintenance of the children are often in the hands of his mother without the imposition of allowance of the child's natural father. Maintenance of children due to divorce their parents according to act of Marriage Law No. 1 of 1974 was in the hands of her parents even if the child is under the care of his mother. In other words if you develop the divorce both parents have an obligation to make child maintenance obtained in previous marriages. Barriers in the maintenance of the child whose parents are divorced according to Hinduism is economic factors, factors parents remarried, psychological factors, factors female parent is able to provide cost of living children. While efforts to address the welfare of the children whose parents divorced in Hinduism is to increase the role and responsibilities of parents who divorced over religious institutions such as the existence of the Hindu Association of Indonesia (PHDI) and increasing the role and responsibilities of the community and the state in the maintenance of children of divorce for men old child is not able to perform maintenance of the children.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974, perkawinan adalah ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa. Maksud dilaksanakannya perkawinan adalah untuk hidup dalam
pergaulan yang sempurna yang merupakan jalan yang amat mulia untuk mengatur
rumah tangga dan anak-anak yang akan dilahirkan sebagai satu pertalian yang amat
teguh guna memperkokoh pertalian persaudaraan antara kaum kerabat suami dengan
kaum kerabat istri yang pertalian itu akan menjadi suatu jalan yang membawa kepada
saling menolong antara satu kaum dengan yang lain, dan akhirnya rumah tangga
tersebut menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.
Oleh karena itu, suami istri dalam suatu perkawinan mempunyai secara
vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa di samping mempunyai hak dan kewajiban
secara timbal balik suami dan istri serta anak-anak yang lahir dalam perkawinan.1
Namun dalam pergaulan antara suami isteri tidak jarang terjadi perselisihan
dan pertengkaran yang terus menerus maupun sebab-sebab lain yang kadang-kadang
menimbulkan suatu keadaan yang menyebabkan suatu perkawinan tidak dapat
pihak maupun keluarga tidak membawa hasil yang maksimal sehingga pada akhirnya
jalan keluar yang harus ditempuh tidak lain adalah perceraian.
Setiap tahun kasus perceraian mengalami peningkatan di Kota Medan. Untuk
tahun 2011, kasus perceraian yang terjadi mencapai 1.900 kasus. Sedangkan sampai
pertengahan Februari 2012, kasus perceraian yang tengah ditangani Pengadilan
Negeri (PN) dan Pengadilan Agama Medan mencapai 321 kasus. Menariknya lagi,
kaum istri saat ini lebih banyak menuntut perceraian dibandingkan suami yakni 196
orang dari 321 kasus.2
Sedangkan angka perceraian di kalangan Warga Negara Indonesia khususnya
yang beragama Hindu yang tercatat di Pengadilan Negeri Medan untuk tahun 2011
ada sebanyak 41 kasus, dan tahun 2012 mengalami peningkatan menjadi 46 kasus.3
Angka tersebut lebih kecil dari perceraian yang dilakukan di bawah tangan
dengan cara pisah ranjang di kalangan Warga Negara Indonesia yang beragama
Hindu. Menurut Parisada Hindu Dharma Medan ada sebanyak 76 kasus perceraian
yang dilaporkan ke Parisada Hindu Dharma Medan untuk tahun 2012 dan didahului
dengan pisah ranjang.4
Seperti halnya perkawinan yang menimbulkan hak dan kewajiban, perceraian
membawa akibat-akibat hukum bagi kedua belah pihak dan juga terhadap anak-anak
yang dilahirkan dalam perkawinan. Anak-anak tersebut harus hidup dalam suatu
1 Iman Jauhari, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Keluarga Poligami, (Jakarta:
Pustaka Bangsa, 2003), hal. 86-87.
2Data Perceraian Pada Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri Medan. 3Data Perceraian Pada Pengadilan Negeri Medan.
keluarga yang tidak harmonis sebagaimana mestinya misalnya harus hidup dalam
suatu keluarga dengan orang tua tunggal seperti dengan seorang ibu atau dengan
seorang ayah saja.5
Salah satu persoalan hukum yang muncul sehubungan dengan perceraian
adalah mengenai pemeliharaan dan nafkah anak. Pemeliharaan dan nafkah anak
menjadi penting karena anak biasanya tidak mengetahui apa yang dihadapinya setelah
perceraian kedua orang tuanya.
Dalam hal terjadinya perceraian orangtua, biasanya anaklah yang menjadi
korban. Orangtua beranggapan bahwa dalam perceraian mereka, persoalan anak akan
dapat diselesaikan nanti setelah masalah perceraian diselesaikan. Padahal tidak
demikian adanya, dan tidak demikian sederhananya, bahwa penyelesaian terbaik bagi
anak akan dapat dengan mudah dicapai. Dalam kondisi apapun harus tetap diingat
bahwa anak adalah juga individu yang mempunyai hak-hak dasar yang diakui
sebagaimana halnya orang dewasa. Ini berarti bahwa anak adalah subjek kehidupan,
bukan objek yang dapat diperlakukan sesuka hati orang dewasa (orangtua). Oleh
sebab itu, dalam kasus perceraian orangtua, anak merupakan salah satu subjek dan
kepentingan anak tetap harus menjadi prioritas utama.
Pada beberapa peristiwa setelah terjadinya perceraian antara orang tuanya ada
kalanya terjadi perebutan antara suami dan isteri terhadap anak-anaknya. Ada pula
sangat merugikan kelangsungan hidup anak.
Anak merupakan penerus bangsa yang mengemban tugas bangsa yang belum
terselesaikan oleh generasi-generasi sebelumnya. Sebagai penerus cita-cita bangsa
dan negara, anak harus dapat tumbuh dan berkembang menjadi manusia dewasa yang
sehat rohani dan jasmani, cerdas, bahagia, berpendidikan dan bermoral tinggi. Untuk
itu, anak tersebut harus memperoleh kasih sayang, perlindungan, pembinaan, dan
pengarahan yang tepat.
Untuk mencapai kondisi ideal seperti di atas tentunya bukan tugas negara dan
masyarakat semata tetapi terutama merupakan tugas dan tanggung jawab orang tua.
Dalam ajaran Islam, anak justru yang sangat berguna bagi orang tua setelah ia
meninggal dunia yaitu adanya amal yang tidak terputus dari anak yang soleh (human
ment).6
Secara kemasyarakatan, anak mempunyai peranan penting antara lain sebagai
penyambung keturunan dan ahli waris Bahkan dalam hukum adat, anak adalah
sebagai penerus keturunan, penerus kekerabatan dan sebagai kelanjutan dari
keputusan orang tuanya. Sedangkan dalam skala negara dan bangsa sebagaimana
telah disinggung terdahulu, anak adalah merupakan aset bangsa yang tidak ternilai
harganya yang dapat dijadikan sebagai salah satu indikator utama (leading indicator)
ekonomi suatu bangsa.
5Ahmad Kamil,Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2008), hal 5.
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur dengan
tegas kewajiban orang tua terhadap anak. Dengan demikian, suami isteri memikul
kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang kekal dan bahagia.
Hak maupun kewajiban orang tua terhadap anak dalam hukum dikenal dengan
istilah hukum sebagai “kekuasaan orang tua” (ouderlijkemacht). Kekuasaan orang tua
ini penting artinya bagi kehidupan seorang anak terutama yang belum dewasa karena
melalui lembaga hukum ini hak-hak dasar anak akan dipenuhi.7 Dalam keluarga
dengan kondisi yang bercerai, pertumbuhan anak dalam standar yang ideal
kemungkinan sulit tercapai karena kebutuhan jasmani dan rohaninya tidak dapat
dipenuhi secara sempurna.
Bagi anak-anak mempunyai keluarga yang utuh adalah hal yang sangat
membahagiakan. Mereka tidak pernah membayangkan bahwa akan ada perceraian
dalam keluarganya. Keadaan psikologi anak akan sangat terguncang karena adanya
perceraian dalam keluarga. Mereka akan sangat terpukul, kehilangan harapan,
cenderung menyalahkan diri sendiri atas apa yang terjadi pada keluarganya. Sangat
sulit menemukan cara agar anak-anak merasa terbantu dalam menghadapi masa-masa
sulit karena perceraian orangtuanya.
Sekalipun ayah atau ibu berusaha memberikan yang terbaik yang mereka bisa,
segala yang baik tersebut tetap tidak dapat menghilangkan kegundahan hati
anak-7 Irma Setyowati Soemitro, Kekuasaan Orang Tua Setelah Perceraian (Suatu PenelitianDi
anaknya. Beberapa psikolog menyatakan bahwa bantuan yang paling penting yang
dapat diberikan oleh orangtua yang bercerai adalah mencoba menenteramkan hati dan
meyakinkan anak-anak bahwa mereka tidak bersalah. Yakinkan bahwa mereka tidak
perlu merasa harus ikut bertanggung jawab atas perceraian orangtuanya. Hal lain
yang perlu dilakukan oleh orangtua yang akan bercerai adalah membantu anak-anak
untuk menyesuaikan diri dengan tetap menjalankan kegiatan-kegiatan rutin di rumah.
Jangan memaksa anak-anak untuk memihak salah satu pihak yang sedang cekcok
serta jangan sekali-sekali melibatkan mereka dalam proses perceraian tersebut. Hal
lain yang dapat membantu anak-anak adalah mencarikan orang dewasa lain seperti
bibi atau paman, yang untuk sementara dapat mengisi kekosongan hati mereka
setelah ditinggal ayah atau ibunya. Maksudnya, supaya anak-anak merasa
mendapatkan topangan yang memperkuat mereka dalam mencari figur pengganti
ayah ibu yang tidak lagi hadir seperti ketika belum ada perceraian.8
Apabila dikaitkan pula dengan kebutuhan materi/jasmani anak yang hidup
dalam keluarga yang kedua orang tuanya sudah bercerai, pertumbuhan dan
perkembangan anak tentu akan mengalami hambatan yang serius apabila kebutuhan
materi/jasmani anak berupa biaya pemeliharaan dan biaya pendidikan anak sampai
dewasa tidak ada kejelasannya.
Dalam simposium aspek-aspek hukum masalah perlindungan anak dilihat dari
segi pembinaan generasi muda yang diselenggarakan BPHN telah dicatat beberapa
8Bah Warnadi, “Dampak Perceraian Bagi Perkembangan Psikologis Anak”,
http://www.dishidros.go.id/buletin/umum/221-dampak-perceraian-bagi-perkembangan-psikologis-kesepakatan antara lain bahwa konsepsi perlindungan anak meliputi ruang lingkup
yang luas dalam arti bahwa perlindungan anak tidak hanya mengenai perlindungan
atas semua hak serta kepentingan yang dapat menjamin pertumbuhan dan
perkembangannya dengan wajar baik secara rohani, jasmani maupun sosial,
melainkan perlindungan anak juga menyangkut aspek pembinaan generasi muda.9
Secara garis besar maka dapat disebutkan bahwa perlindungan anak dapat
dibedakan dalam dua pengertian, yaitu :10
a. Perlindungan yang bersifat yuridis yang meliputi :
- Bidang hukum publik.
- Bidang hukum keperdataan.
b. Perlindungan yang bersifat non yuridis yang meliputi :
- Bidang sosial.
- Bidang kesehatan.
- Bidang pendidikan.
Menyadari demikian pentingnya anak dalam kedudukan keluarga, individu,
masyarakat, bangsa dan negara maka beberapa undang-undang telah mengatur
hak-hak anak misalnya dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
Undang-Undang No.4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang
No. 3 tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
anak.html,Diakses tanggal 28 Maret 2013.
9Aminah Azis,Aspek Hukum Perlindungan Anak, (Medan: USU Press, 1998), hal. 26. 10 Irma Setyowati Soemitro, Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990),
2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan berbagai
peraturan perundang-undangan lain. Demikian pula hak-hak anak diakui oleh
sejumlah putusan pengadilan.
Di samping hak-hak anak memperoleh pengakuan dalam peraturan
perundang-undangan nasional, hak-hak anak juga memperoleh pengakuan dalam
peraturan perundang-undangan nasional, maupun secara internasional. Hal tersebut
terlihat dalam berbagai konvensi-konvensi internasional yang memfokuskan
perhatiannya terhadap persoalan anak seperti misalnyaConvention on The Rights of
Child Tahun 1989, ILO Convention No. 182 Concerning The Prohibition and
Amediate Action for The Worst Forms of the Child Labour tahun 1999 dan lain
sebagainya.
Namun meskipun telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan
dan adanya kecenderungan internasional yang memfokuskan perhatian terhadap anak,
pada kenyataannya masih banyak anak yang tidak beruntung (disadvantaged
children) dalam mencukupi kehidupannya.
Sebagai salah satu faktor ketidakberuntungan anak dalam proses pertumbuhan
dan perkembangannya baik dilihat dari aspek rohani maupun aspek jasmani berupa
pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari dan pendidikan yang layak bagi anak adalah
akibat adanya perceraian kedua orang tuanya.
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam pasal-pasalnya
dengan tegas mengatur tentang kewajiban orang tua terhadap biaya nafkah anak
kepada orang tua laki-laki (ayah).
Suatu hal yang patut dipahami dalam menyikapi perihal pemeliharaan anak
yang orang tuanya bercerai adalah keberadaan hukum agama dari pasangan yang
bercerai. Hukum Agama ini memegang peranan yang sangat penting dalam
menyikapi permasalahan hukum dan sosial di tengah masyarakat, termasuk perihal
pemeliharaan anak.
Dalam ajaran agama Hindu lapangan kehidupan dibagi menjadi empat yang di
sebut dengancatur asrama, yaknibrahmacariadalah masa menuntut ilmu, grahasta
adalah masa berumah tangga, wana prasta adalah masa memperdalam, menerapkan
dan mensosialisasikan ilmu pengetahuan dan bhisuka adalah masa melakukan tapa
brata yoga samadi. Empat tahap kehidupan dalam agama Hindu harus dilalui dalam
kehidupan untuk mencapai tujuan hidup yang di sebut kebahagiaan lahir dan batin
atau “moksatham jagadhita ya ca iti dharma”11
Dalam masa grahastaseseorang akan dapat melaksanakan kewajibannya baik
secara vertikal yaitu melaksanakan hubungan dengan Ida Sang Hyang Widhi Wase
melalui pelaksanaan upacara panca yadnya, maupun secara horizontal yakni
melakukan hubungan antara sesama yang diatur dalam ikatan suka duka suatu
banjar/desa. Semua hak dan kewajiban yang dilakukan dalam masagrahasta adalah
untuk mendukung proses pencapaian keharmonisan dalam hidup yang dapat dicapai
11Swastyastu, “Makna Mengangkat Anak Menurut Ajaran Moral Agama Hindu”,
dalam berbagai aspek kehidupan. Terwujudnya keluarga yang bahagia dan sejahtera
dalam keluarga salah satunya karena hadirnya seorang anak dalam keluarga tersebut.
Namun sebagaimana diketahui tidak semua keluarga bisa mencapai tujuan
perkawinan dilangsungkan, sehingga putus di tengah jalan.
Perkawinan disebut sebagai Dharma. Dharma itu perbuatan baik yang
mendatangkan karma baik seperti perkawinan. Maka sesuai hukum alam:
rwa-bhineda (dua yang berbeda), maka ada pula yang disebut Adharma yaitu perbuatan
buruk yang mendatangkan karma buruk. Contoh Adharma seperti perceraian. Maka
dalam Agama Hindu, perceraian sangat dihindari, karena termasuk perbuatan
Adharma atau dosa.
Persoalan pemeliharaan anak akibat perceraian dalam masyarakat Hindu
dilakukan secara bersama-sama antara orang tuanya. Seorang ibu yang bercerai dalam
agama Hindu memiliki kewajiban memelihara anak khususnya anak yang masih
berada di bawah umur. Pemeliharaan anak tersebut diikuti oleh kewajiban ayah untuk
membiayai kebutuhan si anak. Sedangkan terhadap anak yang telah dewasa tetap
harus mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya meskipun keduanya telah
bercerai.12
Kenyataan yang ditemukan dalam masyarakat Hindu bahwa perihal
pemeliharaan anak apabila jatuh ke tangan salah satu pihak maka pihak yang lain
tidak memperdulikan si anak. Misal apabila anak jatuh ke tangan suami maka isteri
tidak memperdulikan si anak demikian pula sebaliknya.
Bahkan dalam suatu peristiwa perceraian yang didahului oleh pisah ranjang
maka anak diberikan pilihan apakah akan ikut ayahnya atau ibunya. Apabila ia ikut
ayahnya maka pemeliharaan dan nafkah anak ada pada ayahnya dan apabila ia
mengikuti ibu maka pemeliharaan dan nafkah anak jatuh pada ibunya semata.
Dengan sebab perceraian dilarang dalam Agama Hindu maka sebahagian
besar masyarakat yang beragama Hindu melakukan pisah ranjang sebagai suatu
implementasi telah terjadinya perceraian, artinya pisah ranjang menunjukkan telah
terjadi perceraian. Berbeda halnya dengan masyarakat Hindu di kalangan profesional
dan memiliki pendidikan tinggi, maka perceraian dianggap oleh mereka sebagai
akibat perkawinan sehingga dalam keadaan ini mereka melakukan praktek
sebagaimana hukum di negara mereka tinggal, yaitu mendaftarkan kasus perceraian
tersebut di Pengadilan.
Bagi kaum awam pisah ranjang merupakan bentuk telah terjadinya perceraian
sementara dalam kalangan profesional atau kalangan yang berpendidikan tinggi
putusan pengadilan yang sah dan berkuatan hukum tetap merupakan bentuk
perceraian.
Memperhatikan fenomena di atas, maka dilakukan penelitian tentang
B. Perumusan Masalah
Adapun perumusan masalah dalam penelitian tesis ini adalah:
1. Bagaimana pemeliharaan anak akibat percerauan yang orang tuanya menurut
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974?
2. Bagaimana pelaksanaan pemeliharaan anak yang orang tuanya bercerai menurut
Agama Hindu?
3. Apakah hambatan dalam upaya mengatasi pemeliharaan anak yang orang tuanya
bercerai menurut Agama Hindu?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang
hendak dicapai dalam penelitian tesis ini adalah:
1. Untuk menganalisis pemeliharaan anak akibat perceraian yang orang tuanya
menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.
2. Untuk menganalisis pelaksanaan pemiliharaan anak yang orang tuanya bercerai
menurut Agama Hindu.
3. Untuk menganalisis hambatan dalam upaya mengatasi pemeliharaan anak yang
orang tuanya bercerai menurut Agama Hindu.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian merupakan pencerminan secara konkrit kegiatan ilmu dalam
memproses ilmu pengetahuan.13 Penelitian hukum dilakukan untuk mencari
13Bahder Johan Nasution,Metode Penelitian Ilmu Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2008),
pemecahan atas isu hukum yang timbul.14 Oleh karena itu penelitian hukum
merupakan suatu penelitian didalam kerangka know-how didalam hukum. Dengan
melakukan penelitian hukum diharapkan hasil yang dicapai adalah untuk memberikan
preskripsi mengenai apa yang seyogyanya atas isu yang diajukan.15Bertitik tolak dari
tujuan penelitian sebagaimana tersebut diatas, diharapkan dengan penelitian ini akan
dapat memberikan manfaat atau kegunaan secara teoritis dan praktis dibidang hukum
yaitu :
1. Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat untuk penambahan khasanah
kepustakaan di bidang keperdataan khususnya tentang masalah pemeliharaan
anak akibat perceraian orang tuanya.
2. Dari segi praktis, penelitian ini sebagai suatu bentuk sumbangan pemikiran dan
masukan bagi para pihak yang berkepentingan khususnya bagi masyarakat untuk
mengetahui tentang hak-hak anak akibat perceraian orang tuanya khususnya bagi
masyarakat yang beragama Hindu dikaitkan dengan Undang-Undang No. 1 Tahun
1974.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi yang ada, penelusuran kepustakaan, khususnya di
lingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Magister
Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara belum ada penelitian yang
14Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2007), hal.41
membicarakan masalah Tanggung Jawab Pemeliharaan Anak Dalam Hal Kedua
Orang Tuanya Bercerai Di Kalangan Warga Negara Indonesia Yang Beragama
Hindu, oleh karena itu penelitian ini baik dari segi objek permasalahan dan substansi
adalah asli serta dapat dipertanggung jawabkan secara akademis dan ilmiah.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Ilmu hukum dalam perkembangannya tidak terlepas dari ketergantungan pada
berbagai bidang ilmu lainnya. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Soerjono
Soekanto bahwa “perkembangan ilmu hukum selain bergantung pada metodologi,
aktivitas penelitian dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh teori”.16
Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik
atau proses tertentu terjadi. Suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada
fakta-fakta yang dapat menunjukkan kebenarannya”.17 Fungsi teori dalam penelitian
ini adalah untuk memberikan arahan/petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan
gejala yang diamati. Kerangka teori yang dimaksud, adalah kerangka pemikiran atau
butir-butir pendapat, teori, thesis dari para penulis ilmu hukum di bidang hukum.
Adanya suatu perkawinan tidak terlepas dari adanya aturan hukum dan
menimbulkan akibat hukum bagi para pihak yang terkait di dalamnya Hukum pada
hakikatnya adalah sesuatu yang abstrak, tetapi dalam manifestasinya dapat berwujud
16Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 1986), hal . 6. 17J.J. M. Wuisman,Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Penyunting, M. Hisyam, (Jakarta: UI Press,
konkrit. “Suatu ketentuan hukum baru dapat dinilai baik jika akibat-akibat yang
dihasilkan dari penerapannya adalah kebaikan, kebahagiaan yang sebesar-besarnya
dan berkurangnya penderitaan”.18
Menurut teori konvensional, tujuan hukum adalah ”mewujudkan keadilan
(rechtsgerechtigheid), kemanfaatan (rechtsutiliteit) dan kepastian hukum
(rechtszekerheid).”19 “Dalam hal mewujudkan keadilan, Adam Smith, Guru Besar
dalam bidang filosofi moral dan sebagai ahli teori hukum dariGlasgow University
pada Tahun 1750, telah melahirkan ajaran mengenai keadilan (justice)”.20 Smith
mengatakan bahwa: “tujuan keadilan adalah untuk melindungi diri dari kerugian” (the
end of justice is to secure from injury).21
Menurut Satjipto Raharjo:
Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur, dalam arti, ditentukan keluasan dan kedalamannya. Kekuasaan yang demikian itulah yang di sebut hak. Tetapi tidak di setiap kekuasaan dalam masyarakat bisa disebut sebagai hak, melainkan hanya kekuasaan tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada seseorang.22
Semua teori yang dipaparkan di atas dijadikan sebagai pisau analisis untuk
mengkaji dan memahami lebih jauh tentang pemeliharaan dan nafkah anak dalam
18Lili Rasjidi dan I. B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
1993), hal. 79
19Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), (Jakarta:
Gunung Agung Tbk, 2002), hal. 85
20Bismar Nasution,Mengkaji Ulang sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi, Pidato pada
Pengukuhan sebagai Guru Besar, USU – Medan, 17 April 2004, hal. 4-5. Sebagaimana dikutip dari Neil Mac Cormick, “Adam Smith On Law”, Valvaraiso University Law Review, Vol. 15, 1981 hal. 244.
21Ibid., hal 244.
hal kedua orang tuanya pisah ranjang khususnya bagi warga negara Indonesia yang
beragama Hindu. Kemudian memahami dalam objek penelitian sebagai hukum yakni
sebagai kaidah hukum atau sebagai isi kaidah hukum seperti yang ditentukan dalam
peraturan-peraturan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.
Teori pendukung lain atau wacana yang berikutnya dalam analisis ini adalah
teori keadilan,23 merupakan teori yang menganalisis dan menjelaskan tentang hak
mengasuh, merawat, memelihara dan mewujudkan perlindungan hak-hak anak. Dapat
dipastikan adanya ketidakadilan apabila anak yang telah hilang orang tuanya tidak
mendapat perhatian apapun dari orang lain atau juga tidak adil apabila orang tua yang
tidak memperoleh anak tidak mendapat tempat mencurahkan kasih sayangnya.24
Perlindungan anak merupakan suatu bidang pembangunan nasional. Hakikat
pembangungan nasional adalah membangun manusia seutuhnya. Melindungi anak
adalah melindungi manusia yaitu membangun manusia seutuhnya. Mengabaikan
masalah perlindungan anak tidak akan memantapkan pembangunan nasional.
Akibat tidak adanya perlindungan anak akan menimbulkan berbagai
permasalahan sosial, yang dapat menggangu ketertiban, keamanan dan pembangunan
nasional. Berarti perlindungan anak yang salah satu upayanya melalui pengangkatan
anak harus diusahakan apabila ingin mensukseskan pembangunan nasional kita.
Teori pengayoman dapat juga sebagai teori pendukung lainnya. Hukum
23Sayyid Sabiq,Fiqh Sunnah,(Bandung: Al-Maarif, 1994), hal. 160,
24 A. Hamid Saarong, Kedudukan Anak Angkat Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Medan:
melindungi manusia secara aktif dan pasif. Secara aktif, dengan memberikan
perlindungan yang meliputi berbagai usaha untuk menciptakan keharmonisan dalam
masyarakat dan mendorong manusia untuk melakukan hal-hal yang manusiawi.
Melindungi secara pasif adalah memberikan perlindungan dalam berbagai kebutuhan,
menjaga ketertiban dan keamanan, taat hukum dan peraturan sehingga manusia yang
diayomi dapat hidup damai dan tentram.25
Perlindungan hukum terhadap hak-hak anak diatur dalam Pasal 22
Undang-Undang Perlindungan Anak, didalamnya diatur bahwa negara dan pemerintah
berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dukungan dan prasarana dalam
menyelenggarakan perlindungan anak. Pasal 23 ayat (1) menyebutkan negara dan
pemerintah mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak.
Kemudian Pasal 24 juga menyebutkan negara dan pemerintah menjamin anak
untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia
dan tingkat kecerdasan anak. Selanjutnya Pasal 25 menyebutkan bahwa kewajiban
dan tanggung jawab masyarakat terhadap perlindungan anak dilaksanakan melalui
peran masyarakat dalam menyelenggarakan perlindungan anak.
2. Kerangka Konsepsi
Konsep merupakan bagian terpenting daripada teori. Konsep dapat dilihat dari
2 (dua) segi yaitu segi subyektif dan dari segi obyektif. Dari segi subyektif konsep
merupakan suatu kegiatan intelektual untuk menangkap sesuatu. Sedangkan dari segi
obyektif, konsep merupakan sesuatu yang ditangkap oleh kegiatan intelektual
tersebut. Hasil dari responsibilitas akal manusia itulah yang dinamakan konsep.26
Adapun uraian daripada konsep yang dipakai dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya
yang di sengaja maupun yang tidak di sengaja. Tanggung jawab juga berarti
berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajiban.27
2. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga), yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.28
3. Perceraian adalah putusnya perkawinan antara suami istri karena tidak terdapat
kerukunan dalam rumah tangga atau sebab lain seperti mandulnya istri atau
suami.29
4. Anak adalah anak yang berusia 19 (Sembilan belas) untuk laki-laki dan 16 (enam
belas) untuk perempuan dan belum pernah kawin.30
5. Pemeliharaan anak adalah upaya yang dilakukan orang tua atau bagian dari
1993), hal. 245.
26Yooke Tjuparmah S. Komaruddin, Kamus Istilah Karya Tulis Ilmuah, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2006), hal. 122.
27Pemuda Indonesia, “Manusia dan Tanggung Jawab”,
http://baguspemudaindonesia.blogdetik.com/2011/04/20/manusia-dan-tanggung-jawab/, Diakses tanggal 1 November 2013.
28Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Undang-Undang Perkawinan Pasal 1.
29Abdul Manan,Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta:
Prenada Media, 2005). hal. 443.
keluarga untuk memberi kesempatan bagi anak untuk tumbuh dan berkembang
serta belajar tingkah laku untuk perkembangannya
6. Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak
dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara
optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
7. Pisah ranjang adalah perpisahan suami isteri secara sementara, tahapan sebelum
terjadinya perceraian.
8. Agama Hindu adalah (Sanskerta: Sanātana Dharma Kebenaran Abadi), dan
Vaidika-Dharma (Pengetahuan Kebenaran) adalah sebuah agama yang berasal
dari anak benua India. Agama ini merupakan lanjutan dari agama Weda
(Brahmanisme) yang merupakan kepercayaan bangsa Indo-Iran (Arya). Agama
ini diperkirakan muncul antara tahun 3102 SM sampai 1300 SM dan merupakan
agama tertua di dunia yang masih bertahan hingga kini. Agama ini merupakan
agama ketiga terbesar di dunia setelah agama Kristen dan Islam dengan jumlah
umat sebanyak hampir 1 miliar jiwa.31
9. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 adalah adalah undang-undang yang secara
nasional mengatur perihal perkawinan dan akibat hukumnya. Diundangkan di
Jakarta tangga pada tanggal 2 Januari 1974 dan dimuat dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1.
G. Metode Penelitian
1. Spesifikasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian hukum yuridis normatif yaitu
suatu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam
peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Hal ini sejalan dengan
pendapat Ronald Dworkin yang menyebutkan bahwa “metode penelitian normatif
juga sebagai penelitian doktrinal ataudoctrinal research, yaitu suatu penelitian yang
menganalisis baik hukum sebagai law as it written in the book, maupun hukum
sebagailaw as it is decided by the judge through judicial process.32
2. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.
1. Data primer adalah data yang didapatkan melalui penelitian lapangan yang
dilakukan di Parisada Hindu Dharma Medan.
2. Data sekunder, yaitu data berupa:
a. Bahan hukum primer, yang terdiri dari ;
1) Norma atau kaidah dasar
2) Peraturan dasar
3) Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan hokum perkawinan
b. Bahan hukum sekunder, seperti hasil-hasil penelitian, laporan-laporan, artikel,
hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan
penelitian ini.
32Bismar Nasution,Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Makalah
c. Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan
yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan
sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah dan jurnal ilmiah,
serta bahan-bahan primer, sekunder dan tersier (penunjang) di luar bidang
hukum, misalnya yang berasal dari bidang teknologi informasi dan
komunikasi, ekonomi, filsafat dan ilmu pengetahuan lainnya yang dapat
dipergunakan untuk melengkapi atau sebagai data penunjang dari penelitian
ini.
3. Alat Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data dalam penelitian tesis ini adalah:
a. Studi dokumen, yaitu suatu alat pengumpulan data penelitian dengan
melakukan analisa terhadap bahan kepustakaan.
b. Pedoman wawancara adalah susunan daftar pertanyaan yang dijadikan
pedoman dalam mewawancarai responden beberapa pasang yg melakukan
pisah ranjang dan bercerai dan nara sumber yaitu pandita di Parisada Hindu
Dharma Medan.
4. Analisis Data
Analisis data merupakan hal yang sangat penting dalam suatu penelitian.
Sesuai dengan sifat penelitiannya, maka analisis data dilakukan dengan
pengelompokan terhadap bahan-bahan hukum tertulis yang sejenis untuk kepentingan
yaitu data yang sudah ada dikumpulkan, dipilah-pilah dan kemudian dilakukan
pengolahannya.
Setelah dipilah-pilah dan diolah lalu dianalisis secara logis dan sistematis
dengan menggunakan metode deskriptif analisis. Dengan demikian diharapkan
penelitian yang dilakukan dapat menghasilkan kesimpulan yang bisa
BAB II
PEMELIHARAAN ANAK AKIBAT PERCERAIAN ORANG TUA MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974
A. Alasan-Alasan Perceraian Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Untuk melakukan perceraian diperlukan alasan-alasan yang sah, jadi tidak
bisa dilakukan dengan semena-mena. Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
mengatur alasan-alasan untuk melakukan perceraian di dalam penjelasan Pasal 39
Ayat (2) yang dicantumkan kembali di dalam ketentuan Pasal 19 Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975 sebagai berikut :
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
Zina yaitu hubungan kelamin (sexsual)intercourseyang dilakukan oleh suami
atau isteri dengan seseorang pihak ketiga yang berlainan seks.33
Suatu perbuatan zina kemungkinan dapat dilakukan :
- Dalam keadaan terpaksa atau dalam keadaan tidak bebas,
- Atas persetujuan pihak suami atau pihak isteri,
- Tanpa sepengetahuan pihak suami atau isteri yang bersangkutan.
33 M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang-Undang No. 1
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahu berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah karena atau hal lain di luar kemampuannya.
Apabila salah satu pihak dari kedua suami isteri yang bersangkutan
meninggalkan pihak lainnya selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain
dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya, maka pihak
yang ditinggalkannya dapat mengajukan gugatan perceraian dengan mempergunakan
alasan ini.
Pada dasarnya alasan untuk meninggalkan pihak lain ini haruslah dilakukan :
- Dengan penuh kesadaran dan kehendak bebas dari suami atau isteri yang
meninggalkan pihak lain itu,
- Bukan karena adanya keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan,
- Dengan tanpa izin dari pihak yang ditinggalkan dan tanpa alasan yang sah,
- Selama dua tahun berturut-turut.
Namun kenyatannya kadang-kadang sangatlah sulit untuk menentukan apakah
ketentuan seperti tersebut di atas adalah tepat untuk menentukan alasan meninggalkan
pihak lainnnya ini, oleh karena itu maka hakim dalam memeriksa gugatan perceraian
yang menggunakan alasan ini haruslah memperhatikan :
- Apakah yang menjadi penyebab salah satu pihak dari suami isteri tersebut
meninggalkan pihak lainnya,
- Dan di pihak manakah kesalahan yang menyebabkan salah satu pihak dari suami
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat.
Bilamana seorang suami mendapat hukuman penjara selama 5 (lima) tahun
atau hukuman yang lebih berat maka isterinya dapat mengajukan gugatan perceraian
atas dasar alasan ini, demikian juga sebaliknya apabila seseorang isteri mendapat
hukuman penjara selama 5 (lima) tahun ataupun mendapatkan hukuman yang lebih
berat maka suaminya dapat mengajukan gugatan perceraian dengan memakai alasan
ini.
Hukuman penjara selama 5 tahun ini maupun hukuman yang lebih berat
seperti tersebut di atas harus dijatuhkan setelah perkawinan berlangsung, dengan
demikian disini tidaklah dipersoalkan kapan pihak yang mendapat hukuman tersebut
melakukan kejahatan, apakah ia melakukan sebelum perkawinan dilangsungkan
ataukah setelah perkawinan berlangsung. Yang penting dalam hal ini adalah
penjatuhan hukumannya haruslah dilakukan setelah perkawinan berlangsung.
Alasan perceraian ini dimaksudkan untuk melindungi para pihak yang
ditinggalkan dengan adanya penjatuhan hukuman penjara selama 5 (lima) tahun atau
lebih ini, jangan sampai mereka mengalami penderitaan.
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain.
Bila diperhatikan alasan ini maka dapat diperinci menjadi :
a. Melakukan kekejaman,
Melakukan kekejaman disini dimaksudkan adalah melakukan kekerasan.
Dengan demikian maka seorang suami yang sering berlaku kasar terhadap isterinya
walaupun sikap yang ia lakukan tidak sampai melakukan pemukulan ataupun
penganiayaan namun dapatlah si suami tersebut dikatakan telah melakukan
kekejaman terhadap isterinya.
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat melakukan kewajibannya sebagai suami isteri
Apabila salah satu pihak dari kedua suami isteri, yang bersangkutan mendapat
cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat melakukan kewajibannya
sebagai suami-isteri, maka pihak yang lain dapat mengajukan gugatan percaraian
dengan memakai alasan ini.
Untuk menentukan cacat badan atau penyakit yang diderita oleh salah satu
pihak dari kedua suami isteri yang bersangkutan yang mengakibatkan dirinya tidak
dapat melakukan kewajibannya sebagai suami atau isteri yang dapat dijadikan alasan
untuk menuntut perceraian, maka harus dilihat kembali ketentuan di dalam
undang-undang perkawinan ini yang mengatur mengenai kewajiban suami-isteri.
6. Antara suami isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga
Di dalam undang-undang perkawinan ini ditentukan bahwa suatu perkawinan
dilangsungkan dengan tujuan untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal, jadi
untuk mendapatkan kebahagian, baik kebahagian material maupun spritual di dalam
Dengan terjadinya pertengkaran dan perselisihan yang terus menerus di antara
kedua belah pihak suami isteri tersebut, maka keluarga bahagia yang semula
dicita-citakan akan terwujud di dalam perkawinan hanya akan menjadi cita-cita saja. Pasal
116 Kompilasi Hukum Islam menambah dua point lagi sebagai alasan terjadinya
perceraian sebagaimana yang diatur oleh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yaitu:
7. Suami melanggar taklik talak
Taklik talak adalah suatu ucapan yang dilafazkan suami tatkala selesai
melakukan akad nikah. Taklik talak tersebut diucapkan dihadapan wali pengantin
perempuan dan juga pegawai pencatat nikah. Taklik talak dibuat untuk memberikan
perlindungan kepada wanita atas kesewenang-wenangan suami. Dan apabila taklik
talak tersebut dilanggar maka perceraian dapat terjadi.
8. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga
Pengertian murtad tidak terdapat dalam Hukum Islam. Tetapi dari
istilah-istilah yang timbul sehari-hari di kalangan masyarakat Islam maka pengertian murtad
itu adalah pindah agama.
Murtad menurut menurut Kamisa adalah keluar dari Islam.34
Dari uraian di atas maka dapat dilihat bahwa pada dasarnya pengertian tentang
murtad tersebut hanya dikenal dalam Hukum Islam, yaitu seseorang yang selama ini
berada dalam lingkungan agama Islam baik itu bertingkah laku maupun di dalam
34
masyarakat, lalu merubah statusnya tersebut dengan berpindah ke agama lain.
Apabila salah satu pasangan dalam suatu perkawinan berpindah agama ke agama di
luar Islam maka pada secara langsung perkawinan tersebut putus.
B. Akibat Hukum Perceraian
Akibat hukum adalah akibat yang ditimbulkan oleh peristiwa hukum.35
Sedangkan pengertian peristiwa hukum adalah peristiwa kemasyarakatan yang
membawa akibat yang diatur oleh hukum.36 Adapun akibat hukum dalam kaitannya
dengan akibat perceraian ini diatur di dalam Pasal 41 UU Perkawinan yang telah
dijelaskan sebelumnya.
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian diatur dalam Pasal 156 Inpres
Nomor 1 tahun 1991. Ada tiga akibat putusnya perkawinan karena perceraian yaitu:
1. Terhadap anak-anaknya,
2. Terhadap harta bersama (harta yang diperoleh selama dalam perkawinan).
3. Terhadap mut’ah (pemberian bekas suami kepada bekas isterinya yang dijatuhi
talak berupa benda atau uang dan lainnya).
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat uraian berikut.
1. Akibat terhadap anak
Keluarga yang pecah ialah keluarga dimana terdapat ketiadaan salah satu dari
orang tua karena kematian, perceraian, hidup berpisah, untuk masa yang tak terbatas
ataupun suami meninggalkan keluarga tanpa memberitahukan kemana ia pergi.37Hal
ini menyebabkan :
1. Anak kurang mendapatkan perhatian, kasih sayang, dan tuntutan pendidikan
orang tua, terutama bimbingan ayah, karena ayah dan ibunya masing-masing
sibuk mengurusi permasalahan mereka.
2. Kebutuhan fisik maupun psikis anak remaja menjadi tidak terpenuhi, keinginan
harapan anak-anak tidak tersalur dengan memuaskan, atau tidak mendapatkan
kompensasinya.
3. Anak-anak tidak mendapatkan latihan fisik dan mental yang sangat diperlukan
untuk hidup susila. Mereka tidak dibiasakan untuk disiplin dan kontrol diri yang
baik.
Jadi akibat yang timbul dari perceraian menyebabkan anak merasa terabaikan.
Oleh karena itu, Kartini Kartono mengatkan bahwa :
Sebagai akibat bentuk pengabaian tersebut, anak menjadi bingung, resah, risau, malu, sedih, sering diliputi perasaan dendam, benci, sehingga anak menjadi kacau dan liar. Dikemudian hari mereka mencari kompensasi bagi kerisauan batin sendiri diluar lingkungan keluarga, yaitu menjadi anggota dari suatu gang kriminal; lalu melakukan banyak perbuatan brandalan dan kriminal. Pelanggaran kesetiaan loyalitas terhadap patner hidup, pemutusan tali perkawinan, keberantakan kohesi dalam keluarga. Semua ini juga memunculkan kecenderungan menjadi delinkuen pada anak-anak dan remaja. Setiap perubahan dalam relasi personal antara suami-istri menjurus pada arah
konflik dan perceraian. Maka perceraian merupakan faktor penentu bagi pemunculan kasus-kasus neurotik, tingkah laku asusila, dan kebiasaan delinkuen.38
Lebih lanjut Kartini kartono juga mengatakan bahwa :
Penolakan oleh orang tua atau ditinggalkan oleh salah seorang dari kedua orang tuanya, jelas menimbulkan emosi, dendam, rasa tidak percaya karena merasa dikhianati, kemarahan dan kebencian, sentimen hebat itu menghambat perkembangan relasi manusiawi anak. Muncullah kemudian disharmonis socialdan lenyapnya kontrol diri, sehingga anak dengan mudah dapat dibawa ke arus yang buruk, lalu menjadi kriminal. Anak ini memang sadar, tetapi mengembangkan kesadaran yang salah. Fakta menunjukkan bahwa tingkah laku yang jahat tidak terbatas pada strata sosial bawah, dan strata ekonomi rendah saja tetapi juga muncul pada semua kelas, khususnya dikalangan keluarga yang berantakan. Memang perceraian suami-istri dan perpisahan tidak selalu mengakibatkan kasus delinkuen dan karakter pada diri anak.39
Akan tetapi, “semua bentuk ketegangan batin dan konflik familiar itu
mengakibatkan bentuk ketidakseimbangan kehidupan psikis anak. Di samping itu
juga tidak berkembangnya tokoh ayah sebagai sumber otoritas bagi anak laki-laki”.40
“Sehingga anak berkembang menjadi kasar, liar, brutal, tidak terkendali, sangat
agresif dan kriminal”.41
2. Akibat terhadap harta
Menurut Pasal 35 UU Perkawinan harta perkawinan ada yang disebut harta
bersama yakni harta benda yang diperoleh selama perkawinan berlangsung.
Disamping ini ada yang disebut harta bawaan dari masing-masing suami dan istri
38Kartini Kartono.Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja. (Jakarta: Grafindo Persada, 2002),
hal 17.
39Ibid., hal 18
serta harta yang diperoleh dari masing-masing sebagai hadiah atau warisan sepanjang
para pihak tidak menentukan lain. Karena itu Pasal 36 UUP menentukan bahwa
mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua
belah pihak, sedang mengenai harta bawaan dan harta diperoleh masing-masing
sebagai hadiah atau warisan, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk
melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
“Suatu perceraian akan membawa akibat hukum yaitu adanya pembagian
harta bersama bagi para pihak yang ditinggalkannnya. Pembagian tersebut perlu
dilakukan guna menentukan hak-hak para pihak yang ditinggalkannya. Dari segi
bahasa harta yaitu barang-barang (uang dan sebagainya) yang menjadi kekayaan”.42
“Sedangkan yang dimaksud dengan harta bersama yaitu harta kekayaan yang
diperoleh selama perkawinan di luar hadiah atau warisan”.43Maksudnya adalah harta
yang didapat atas usaha mereka atau sendiri-sendiri selama masa ikatan perkawinan.
Sedangkan yang dimaksud harta benda perkawinan adalah “semua harta yang
dikuasai suami isteri selama mereka terikat dalam ikatan perkawinan, baik harta
kerabat yang dikuasai, maupun harta perorangan yang berasal dari harta warisan,
harta penghasilan sendiri, harta hibah, harta pencarian bersama suami isteri dan
barang-barang hadiah”.44
Menurut Mukti Arto dalam suatu perkawinan terdapat tiga macam harta
42Departemen Pendidikan Nasional,Op.Cit, hal. 199. 43
Ahmad Rofiq,Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 200 44 Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999),
kekayaan, yaitu:
1. Harta pribadi suami ialah:
a. Harta bawaan suami, yaitu yang dibawa sejak sebelum perkawinan, b. Harta yang diperolehnya sebagai hadiah atau warisan
2. Harta pribadi isteri ialah:
a. Harta bawaan isteri, yaitu yang dibawanya sejak sebelum perkawinan, b. Harta yang diperolehnya sebagai hadiah atau warisan.
c. Harta bersama suami isteri atau syirkah ialah harta yang diperoleh baik sendiri atau bersama suami-isteri selama dalam ikatan perkawinan, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.45
Ketentuan mengenai harta dalam perkawinan menurut Pasal 35
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan :
1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah
penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Dari ketentuan Pasal 35 Undang-Undang Perkawinan itu pula Satrio
menyimpulkan bahwa harta dalam perkawinan mungkin berupa :
1. Harta bersama
2. Harta Pribadi, dapat berupa: a. Harta bawaan suami b. Harta bawaan isteri
c. Harta hibahan/ warisan suami d. Harta hibahan/ warisan isteri.
Dengan demikian harta yang telah dipunyai pada saat (dibawa masuk ke
dalam) perkawinan terletak diluar harta bersama. Menurut Pasal 37 jo penjelasan
Pasal 35 UU Perkawinan, apabila perkawinan putus, maka harta bersama itu diatur
45 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka
menurut hukumnya masing-masing. Hal ini tidak dijelaskan perkawinan putus karena
apa. Oleh karena itu perkawinan putus mungkin karena salah satu pihak meninggal,
mungkin pula karena perceraian.
Dengan demikian penyelesaian harta bersama adalah sebagai berikut:
1. Bagi mereka yang kawin menurut agama Islam, hukum Islam tidak mengenal
harta bersama, karena istri diberi nafkah oleh suami, yang ada ialah harta milik
masing-masing suami dan istri. Harta ini adalah hak mereka masing-masing.
2. Bagi mereka yang kawin menurut agama Islam dan agama-agama lainnya, tetapi
tunduk kepada hukum adat yang mengenal harta bersama (gono-gini atau harta
guna kaya), jika terjadi perceraian bekas suami dan bekas istri masing-masing
mendapat separuh (Yurisprudensi Mahkamah Agung No.387k/ Sip/ 1958 tanggal
11-2-1959 dan No.392k/ Sip/ 1969 tanggal 30-8-1969).
3. Bagi mereka yang kawin menurut agama Kristen, tetap tunduk kepada KUH
Perdata yang mengenal harta bersama (persatuan harta sejak terjadi perkawinan).
Jika terjadi perceraian, harta bersama dibagi dua antara bekas suami dan bekas
istri, Pasal 128 KUH Perdata
Pasal 37 UUP belum memberikan penyelesaian tuntas mengenai harta
bersama dalam hal terjadi perceraian, malah masih menghidupkan dualisme hukum.
Padahal hukum adat sudah memberikan penyelesaian yang adil yaitu separuh bagi
bekas suami dan separuh bagi bekas istri. Demikian juga KUH Perdata memberikan
penyelesaian bahwa harta bersama dibagi dua antara bekas suami dan bekas istri.