• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanggung Jawab Pemeliharaan Dan Nafkah Anak Anak Dalam Hal Kedua Orang Tuanya Pisah Ranjang Di Kalangan Warga Negara Indonesia Yang Beragama Hindu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tanggung Jawab Pemeliharaan Dan Nafkah Anak Anak Dalam Hal Kedua Orang Tuanya Pisah Ranjang Di Kalangan Warga Negara Indonesia Yang Beragama Hindu"

Copied!
168
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Oleh

S U M E N

117011055/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

S U M E N

117011055/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Nama Mahasiswa : SUMEN Nomor Pokok : 117011055

Program Studi : MAGISTER KENOTARIATAN

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)

Pembimbing Pembimbing

(Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum) (Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, MHum)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)

(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Runtung, SH, MHum

(5)

Nama : SUMEN

Nim : 117011055

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : TANGGUNG JAWAB PEMELIHARAAN DAN NAFKAH ANAK DALAM HAL KEDUA ORANGTUANYA

BERCERAI DI KALANGAN WARGA NEGARA INDONESIA YANG BERAGAMA HINDU

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri

bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena

kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi

Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas

perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan

sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

(6)

berada di bawah umur. Pemeliharaan anak tersebut diikuti oleh kewajiban ayah untuk membiayai kebutuhan si anak. Sedangkan terhadap anak yang telah dewasa tetap harus mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya meskipun keduanya telah bercerai. Kenyataan yang ditemukan dalam masyarakat Hindu bahwa perihal pemeliharaan anak apabila jatuh ke tangan salah satu pihak maka pihak yang lain tidak memperdulikan si anak. Misal apabila anak jatuh ke tangan suami maka isteri tidak memperdulikan si anak demikian pula sebaliknya. Bahkan dalam suatu peristiwa perceraian yang didahului oleh pisah ranjang maka anak diberikan pilihan apakah akan ikut ayahnya atau ibunya. Apabila ia ikut ayahnya maka pemeliharaan dan nafkah anak ada pada ayahnya dan apabila ia mengikuti ibu maka pemeliharaan dan nafkah anak jatuh pada ibunya semata.

Permasalahan yang diajukan dalam penelitian tesis ini adalah bagaimana pelaksanaan pemeliharaan anak yang orang tuanya bercerai menurut Agama Hindu, bagaimana pemeliharaan anak akibat percerauan yang orang tuanya menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan apakah upaya dalam hambatan mengatasi pemeliharaan anak yang orang tuanya bercerai menurut Agama Hindu.

Hasil penelitian dan pembahasan menjelaskan perceraian tidak dikenal dalam Agama Hindu, namun demikian dalam prakteknya sering terjadi perceraian yang berakibat pada tujuan pemeliharaan anak. Dalam hasil penelitian, apabila terjadi perceraian maka pemeliaharaan anak sering kali berada ditangan ibunya tanpa adanya pembebanan tunjangan dari bapak kandung anak tersebut. Pemeliharaan anak akibat perceraian orang tuanya menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 berada di tangan kedua orang tuanya meskipun anak tersebut berada di bawah asuhan ibunya. Dengan perkataan lain apabila timbul perceraian maka kedua orang tuanya memiliki kewajiban untuk melakukan pemeliharaan anak yang didapatkan dalam perkawinan sebelumnya. Hambatan dalam pemeliharaan anak yang orang tuanya bercerai menurut Agama Hindu adalah faktor ekonomi, faktor orang tua menikah lagi, faktor psikologis, faktor orang tua perempuan mampu untuk memberikan biaya nafkah anak. Sedangkan upaya mengatasi pemeliharaan anak yang orang tuanya bercerai menurut ajaran Agama Hindu adalah meningkatkan peran dan tanggung jawab orang tua yang bercerai melalui keberadaan lembaga agama seperti Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) serta meningkatkan peran dan tanggung jawab masyarakat dan negara dalam pemeliharaan anak akibat perceraian bagi orang tua yang tidak mampu melakukan pemeliharaan anak.

(7)

Maintenance of the child's father followed by the obligation to finance the needs of the child. While the grown-up children still have to get the love of both parents even though they have been divorced. Found in the fact that the Hindu society regarding child maintenance if falling into the hands of one party that the other party does not care about the child. For example if a child falls into the hands of the husband and wife did not care for the child and vice versa. Even in the event of a divorce, which is preceded by the estranged son be given a choice whether to follow his father or his mother. When he joined his father and the maintenance of a living child then there are the father and mother when he followed the child's care and living alone falls on the mother.

Problems posed in this thesis is how the implementation of maintenance children whose parents divorced according to Hinduism, how maintenance child of divorce whose parents under the act of Marriage Law No. 1 of 1974, and whether efforts to overcome barriers to maintenance of children whose parents are divorced according to Hinduism.

The results and discussion explaining divorce is not recognized in Hinduism, but in practice often resulting in divorce child maintenance purposes. In the research, in the event of divorce then the maintenance of the children are often in the hands of his mother without the imposition of allowance of the child's natural father. Maintenance of children due to divorce their parents according to act of Marriage Law No. 1 of 1974 was in the hands of her parents even if the child is under the care of his mother. In other words if you develop the divorce both parents have an obligation to make child maintenance obtained in previous marriages. Barriers in the maintenance of the child whose parents are divorced according to Hinduism is economic factors, factors parents remarried, psychological factors, factors female parent is able to provide cost of living children. While efforts to address the welfare of the children whose parents divorced in Hinduism is to increase the role and responsibilities of parents who divorced over religious institutions such as the existence of the Hindu Association of Indonesia (PHDI) and increasing the role and responsibilities of the community and the state in the maintenance of children of divorce for men old child is not able to perform maintenance of the children.

(8)

judul Tanggung Jawab Pemeliharaan Dan Nafkah Anak Anak Dalam Hal Kedua Orang Tuanya Pisah Ranjang Di Kalangan Warga Negara Indonesia Yang Beragama

Hindu, yang disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara.

Pada penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan moril

berupa bimbingan dan arahan sehingga Penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis

ini. Oleh karena itu dalam kesempatan ini Penulis mengucapkan terimaksih kepada

komisi pembimbing, yang terhormat Bapak Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum, Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum, dan ibu Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, M.Hum.

Selanjutnya Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), Sp.A(K) selaku

Rektor Universitas Sumatera Utara di Medan

2. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi

Magister Kenotariatan (MKn)

4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M,Hum selaku Sekretaris Program

(9)

6. Para pegawai/karyawan pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Rekan-rekan mahasiswa pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara angkatan 2011.

8. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Teristimewa dengan ketulusan hati penulis men gucapkan terima kasih kepada

yang tercinta kedua orangtua Penulis ayahanda (alm) S.selwarajen. SE dan Ibunda

S.Kanega yang telah memberikan doa, perhatian dan kasih sayang serta dukungannya

kepada Penulis. Penulis berharap semoga perhatian dan bantuan yang telah diberikan

mendapatkan balasan yang sebaik-baiknya dari Tuhan Yang Maha Esa. Penulis

menyadari bahwa penulisan tesis ini jauh dari sempurna, walaupun demikian Penulis

mengharapkan semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Januari 2014 Penulis

(10)

Nama : Sumen

Tempat, Tanggal Lahir : Medan, 16 Mei 1987

Jenis Kelamin : Laki-laki

Status : Menikah

Agama : Hindu

Alamat : Jalan M. Idrris Gg. Berdikari No. 9

II. KELUARGA

Nama Ayah : S. Selwarajen, SE

Nama Ibu : S. Kanega

Nama Istri : Kalyani Kambuna Vita

III. PENDIDIKAN

SD Swasta Kalam Kudus Medan : 1993-1999

SLTP Swasta Kalam Kudus Medan : 1999-2002

SMU Swasta Tunas Jaka Sempurna Jakarta : 2002-2005

S1 Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara, Medan : 2005-2010

(11)

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR INDEX ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Manfaat Penelitian ... 12

E. Keaslian Penelitian ... 13

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 14

G. Metode Penelitian ... 19

BAB II PEMELIHARAAN ANAK AKIBAT PERCERAIAN ORANG TUA MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 ... 23

A. Alasan-Alasan Perceraian Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 ... 23

B. Akibat Hukum Perceraian... 28

C. Pemeliharaan Anak Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 ... 35

D. Ketentuan Mengenai Pemeliharaan Anak Setelah Terjadi Perceraian ... 42

BAB III PEMELIHARAAN ANAK AKIBAT PERCERAIAN ORANG TUANYA MENURUT AGAMA HINDU... 61

(12)

BAB IV HAMBATAN DAN UPAYA MENGATASI ATAS PEMELIHARAAN ANAK YANG KEDUA ORANG

TUANYA BERCERAI MENURUT AGAMA HINDU... 93

A. Pandangan Hukum Tentang Pemeliharaan Anak ... 93

B. Pandangan Agama Islam Tentang Pemeliharaan Anak... 104

C. Hambatan-Hambatan dan Upaya Penyelesaian Pemeliharaan Anak Yang Orang Tuanya Bercerai Menurut Ajaran Agama Hindu ... 110

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 143

A. Kesimpulan ... 143

B. Saran ... 144

(13)

2. Arthadana : Harta benda

3. Bhisuka : Masa melakukan tapabrata yoga samadi. 4. Brahmacari : Masa menuntut ilmu

5. Catur asrama : Pembagian kehidupan menjadi empat

6. Daksina : Adanya suatu penghormatan dalam bentuk upacara dan harta benda atau uang yang dihaturkan secara ikhlas kepada pendeta yang memimpin upacara.

7. Danda : Hukuman kepada anak 8. Deva rna : Bakti kepada dewa

9. Dewi Kunti : Dalam kisah Mahabharata adalah putri dari Prabu Kuntiboja. Ia adalah saudara dari Basudewa yang merupakan ayah dari Baladewa, Kresna dan Subadra. Ia juga adalah ibu kandung Yudistira, Werkodara (Bima), dan Arjuna dan juga adalah istri pertama Pandu yang sah. Selain itu Kunti juga ibu kandung Karna.

10.Dhana : Motivasi bagi si anak

11.Dharma : Perbuatan baik yang mendatangkan karma baik

12.Dharmadana : Nasihat/wejangan atau petunjuk hidup, yang mampu mengubah kehidupan seseorang menjadi lebih baik.

13.Dharmasampati : Kedua mempelai secara bersama-sama melaksanakandharma

14.Garva : Wanita yang mengikatkan diri dengan pria/ belahan jiwa

15.Grahasta : Masa berumah tangga

16.Ida Sang Hyang Widhi Wase : Sebutan bagi Tuhan yang Maha Esa dalam agama Hindu

17.Jagadhita : Kebahagiaan di dunia

(14)

sloka (ayat).

20. Kitab suci Veda : Kitab suci agama Hindu

21.Laja HomaatauAgni Homa : Pemberkahan yaitu pandita menyampaikan puja stuti untuk kebahagiaan kedua mempelai.

22.Lascarya : Suatu yajña yang dilakukan dengan penuh keiklasan.

23.Mantra : Dalam pelaksanaan upacara yajña harus ada mantra atau nyanyian pujaan yang dilantunkan.Annasewa artinya dalam pelaksanaan upacara yajña hendaknya ada jamuan makan dan menerima tamu dengan ramah tamah.

24.Moksa : Kebahagiaan di surga

25.Moksatham jagadhita ya ca iti dharma : Kebahagiaan lahir dan batin atau

26.Mulih daha : Kembali ke rumah asal

27.Nasmita : Suatu upacara yajña hendaknya tidak dilaksanakan dengan tujuan untuk memamerkan kemewahan.

28.Panca yadnya : Lima jenis karya suci yang diselenggarakan oleh umat Hindu di dalam usaha mencapai kesempurnaan hidup.

29.Panigraha : Upacara bergandengan tangan adalah simbol mempertemukan kedua calon mempelai di depan altar yang dibuat untuk tujuan upacara perkawinan.

30.Parisada Hindu Dharma Indonesia : Majelis Wipra (Brahmana ahli, cendekiawan) yang berfungsi semacam Badan Legislatif, memegang peranan penting di dalam memecahkan berbagai permasalahan keagamaan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat Hindu.

31.Pawiwahan : Perkawinan

32.Pitra rna : Bakti kepada leluhur 33.Pradhana : Ganjaran

(15)

37.Rna : Jalan untuk menebus utang 38.Rsi rna : Bakti kepada guru

39.Rwa-bhineda : Dua yang berbeda

40.Samskara : Pelaksanaan upacara perkawinan

41.Sancita Karmapala : Kemungkinan penjelmaan terdahulu berbuat serakah

42.Sapta : Melangkah tujuh langkah kedepan, simbolis penerimaan kedua mempelai itu.

43.Sastra : Suatu yajña harus dilakukan sesuai dengan sastra atau kitab suci.

44.Semara Reka dan Angastya Prana: Mendidik seorang anak dimulai semenjak dalam kandungan

45.Shri Mariamman : Kuil Hindu tertua di Kota Medan, Indonesia. Kuil ini dibangun pada tahun 1884 (ada pula yang menyebut 1881) untuk memuja dewi Kali.

46.Sraddha : Pelaksanaan samskara hendaknya dilakukan dengan keyakinan penuh bahwa apa yang telah diajarkan dalam kitab suci mengenai pelaksanaan yajña harus diyakini kebenarannya.

47.Tri Hita Karana : Waktu, biaya layanan sosial kemanusiaan dan lingkungan

48.Vasudhaivakutumbakam : Semua mahluk adalah bersaudara 49.Vidyadana : Pendidikan

50.Wana prasta : Masa memperdalam, menerapkan dan mensosialisasikan ilmu pengetahuan

51.Wiwaha : Pesta pernikahan, perkawinan

52.Yajña : Tindakan bukan sekedar kalimat yang diucapkan.

(16)

berada di bawah umur. Pemeliharaan anak tersebut diikuti oleh kewajiban ayah untuk membiayai kebutuhan si anak. Sedangkan terhadap anak yang telah dewasa tetap harus mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya meskipun keduanya telah bercerai. Kenyataan yang ditemukan dalam masyarakat Hindu bahwa perihal pemeliharaan anak apabila jatuh ke tangan salah satu pihak maka pihak yang lain tidak memperdulikan si anak. Misal apabila anak jatuh ke tangan suami maka isteri tidak memperdulikan si anak demikian pula sebaliknya. Bahkan dalam suatu peristiwa perceraian yang didahului oleh pisah ranjang maka anak diberikan pilihan apakah akan ikut ayahnya atau ibunya. Apabila ia ikut ayahnya maka pemeliharaan dan nafkah anak ada pada ayahnya dan apabila ia mengikuti ibu maka pemeliharaan dan nafkah anak jatuh pada ibunya semata.

Permasalahan yang diajukan dalam penelitian tesis ini adalah bagaimana pelaksanaan pemeliharaan anak yang orang tuanya bercerai menurut Agama Hindu, bagaimana pemeliharaan anak akibat percerauan yang orang tuanya menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan apakah upaya dalam hambatan mengatasi pemeliharaan anak yang orang tuanya bercerai menurut Agama Hindu.

Hasil penelitian dan pembahasan menjelaskan perceraian tidak dikenal dalam Agama Hindu, namun demikian dalam prakteknya sering terjadi perceraian yang berakibat pada tujuan pemeliharaan anak. Dalam hasil penelitian, apabila terjadi perceraian maka pemeliaharaan anak sering kali berada ditangan ibunya tanpa adanya pembebanan tunjangan dari bapak kandung anak tersebut. Pemeliharaan anak akibat perceraian orang tuanya menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 berada di tangan kedua orang tuanya meskipun anak tersebut berada di bawah asuhan ibunya. Dengan perkataan lain apabila timbul perceraian maka kedua orang tuanya memiliki kewajiban untuk melakukan pemeliharaan anak yang didapatkan dalam perkawinan sebelumnya. Hambatan dalam pemeliharaan anak yang orang tuanya bercerai menurut Agama Hindu adalah faktor ekonomi, faktor orang tua menikah lagi, faktor psikologis, faktor orang tua perempuan mampu untuk memberikan biaya nafkah anak. Sedangkan upaya mengatasi pemeliharaan anak yang orang tuanya bercerai menurut ajaran Agama Hindu adalah meningkatkan peran dan tanggung jawab orang tua yang bercerai melalui keberadaan lembaga agama seperti Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) serta meningkatkan peran dan tanggung jawab masyarakat dan negara dalam pemeliharaan anak akibat perceraian bagi orang tua yang tidak mampu melakukan pemeliharaan anak.

(17)

Maintenance of the child's father followed by the obligation to finance the needs of the child. While the grown-up children still have to get the love of both parents even though they have been divorced. Found in the fact that the Hindu society regarding child maintenance if falling into the hands of one party that the other party does not care about the child. For example if a child falls into the hands of the husband and wife did not care for the child and vice versa. Even in the event of a divorce, which is preceded by the estranged son be given a choice whether to follow his father or his mother. When he joined his father and the maintenance of a living child then there are the father and mother when he followed the child's care and living alone falls on the mother.

Problems posed in this thesis is how the implementation of maintenance children whose parents divorced according to Hinduism, how maintenance child of divorce whose parents under the act of Marriage Law No. 1 of 1974, and whether efforts to overcome barriers to maintenance of children whose parents are divorced according to Hinduism.

The results and discussion explaining divorce is not recognized in Hinduism, but in practice often resulting in divorce child maintenance purposes. In the research, in the event of divorce then the maintenance of the children are often in the hands of his mother without the imposition of allowance of the child's natural father. Maintenance of children due to divorce their parents according to act of Marriage Law No. 1 of 1974 was in the hands of her parents even if the child is under the care of his mother. In other words if you develop the divorce both parents have an obligation to make child maintenance obtained in previous marriages. Barriers in the maintenance of the child whose parents are divorced according to Hinduism is economic factors, factors parents remarried, psychological factors, factors female parent is able to provide cost of living children. While efforts to address the welfare of the children whose parents divorced in Hinduism is to increase the role and responsibilities of parents who divorced over religious institutions such as the existence of the Hindu Association of Indonesia (PHDI) and increasing the role and responsibilities of the community and the state in the maintenance of children of divorce for men old child is not able to perform maintenance of the children.

(18)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974, perkawinan adalah ikatan lahir

batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan

membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan

Yang Maha Esa. Maksud dilaksanakannya perkawinan adalah untuk hidup dalam

pergaulan yang sempurna yang merupakan jalan yang amat mulia untuk mengatur

rumah tangga dan anak-anak yang akan dilahirkan sebagai satu pertalian yang amat

teguh guna memperkokoh pertalian persaudaraan antara kaum kerabat suami dengan

kaum kerabat istri yang pertalian itu akan menjadi suatu jalan yang membawa kepada

saling menolong antara satu kaum dengan yang lain, dan akhirnya rumah tangga

tersebut menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.

Oleh karena itu, suami istri dalam suatu perkawinan mempunyai secara

vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa di samping mempunyai hak dan kewajiban

secara timbal balik suami dan istri serta anak-anak yang lahir dalam perkawinan.1

Namun dalam pergaulan antara suami isteri tidak jarang terjadi perselisihan

dan pertengkaran yang terus menerus maupun sebab-sebab lain yang kadang-kadang

menimbulkan suatu keadaan yang menyebabkan suatu perkawinan tidak dapat

(19)

pihak maupun keluarga tidak membawa hasil yang maksimal sehingga pada akhirnya

jalan keluar yang harus ditempuh tidak lain adalah perceraian.

Setiap tahun kasus perceraian mengalami peningkatan di Kota Medan. Untuk

tahun 2011, kasus perceraian yang terjadi mencapai 1.900 kasus. Sedangkan sampai

pertengahan Februari 2012, kasus perceraian yang tengah ditangani Pengadilan

Negeri (PN) dan Pengadilan Agama Medan mencapai 321 kasus. Menariknya lagi,

kaum istri saat ini lebih banyak menuntut perceraian dibandingkan suami yakni 196

orang dari 321 kasus.2

Sedangkan angka perceraian di kalangan Warga Negara Indonesia khususnya

yang beragama Hindu yang tercatat di Pengadilan Negeri Medan untuk tahun 2011

ada sebanyak 41 kasus, dan tahun 2012 mengalami peningkatan menjadi 46 kasus.3

Angka tersebut lebih kecil dari perceraian yang dilakukan di bawah tangan

dengan cara pisah ranjang di kalangan Warga Negara Indonesia yang beragama

Hindu. Menurut Parisada Hindu Dharma Medan ada sebanyak 76 kasus perceraian

yang dilaporkan ke Parisada Hindu Dharma Medan untuk tahun 2012 dan didahului

dengan pisah ranjang.4

Seperti halnya perkawinan yang menimbulkan hak dan kewajiban, perceraian

membawa akibat-akibat hukum bagi kedua belah pihak dan juga terhadap anak-anak

yang dilahirkan dalam perkawinan. Anak-anak tersebut harus hidup dalam suatu

1 Iman Jauhari, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Keluarga Poligami, (Jakarta:

Pustaka Bangsa, 2003), hal. 86-87.

2Data Perceraian Pada Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri Medan. 3Data Perceraian Pada Pengadilan Negeri Medan.

(20)

keluarga yang tidak harmonis sebagaimana mestinya misalnya harus hidup dalam

suatu keluarga dengan orang tua tunggal seperti dengan seorang ibu atau dengan

seorang ayah saja.5

Salah satu persoalan hukum yang muncul sehubungan dengan perceraian

adalah mengenai pemeliharaan dan nafkah anak. Pemeliharaan dan nafkah anak

menjadi penting karena anak biasanya tidak mengetahui apa yang dihadapinya setelah

perceraian kedua orang tuanya.

Dalam hal terjadinya perceraian orangtua, biasanya anaklah yang menjadi

korban. Orangtua beranggapan bahwa dalam perceraian mereka, persoalan anak akan

dapat diselesaikan nanti setelah masalah perceraian diselesaikan. Padahal tidak

demikian adanya, dan tidak demikian sederhananya, bahwa penyelesaian terbaik bagi

anak akan dapat dengan mudah dicapai. Dalam kondisi apapun harus tetap diingat

bahwa anak adalah juga individu yang mempunyai hak-hak dasar yang diakui

sebagaimana halnya orang dewasa. Ini berarti bahwa anak adalah subjek kehidupan,

bukan objek yang dapat diperlakukan sesuka hati orang dewasa (orangtua). Oleh

sebab itu, dalam kasus perceraian orangtua, anak merupakan salah satu subjek dan

kepentingan anak tetap harus menjadi prioritas utama.

Pada beberapa peristiwa setelah terjadinya perceraian antara orang tuanya ada

kalanya terjadi perebutan antara suami dan isteri terhadap anak-anaknya. Ada pula

(21)

sangat merugikan kelangsungan hidup anak.

Anak merupakan penerus bangsa yang mengemban tugas bangsa yang belum

terselesaikan oleh generasi-generasi sebelumnya. Sebagai penerus cita-cita bangsa

dan negara, anak harus dapat tumbuh dan berkembang menjadi manusia dewasa yang

sehat rohani dan jasmani, cerdas, bahagia, berpendidikan dan bermoral tinggi. Untuk

itu, anak tersebut harus memperoleh kasih sayang, perlindungan, pembinaan, dan

pengarahan yang tepat.

Untuk mencapai kondisi ideal seperti di atas tentunya bukan tugas negara dan

masyarakat semata tetapi terutama merupakan tugas dan tanggung jawab orang tua.

Dalam ajaran Islam, anak justru yang sangat berguna bagi orang tua setelah ia

meninggal dunia yaitu adanya amal yang tidak terputus dari anak yang soleh (human

ment).6

Secara kemasyarakatan, anak mempunyai peranan penting antara lain sebagai

penyambung keturunan dan ahli waris Bahkan dalam hukum adat, anak adalah

sebagai penerus keturunan, penerus kekerabatan dan sebagai kelanjutan dari

keputusan orang tuanya. Sedangkan dalam skala negara dan bangsa sebagaimana

telah disinggung terdahulu, anak adalah merupakan aset bangsa yang tidak ternilai

harganya yang dapat dijadikan sebagai salah satu indikator utama (leading indicator)

ekonomi suatu bangsa.

5Ahmad Kamil,Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia, (Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 2008), hal 5.

(22)

Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur dengan

tegas kewajiban orang tua terhadap anak. Dengan demikian, suami isteri memikul

kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang kekal dan bahagia.

Hak maupun kewajiban orang tua terhadap anak dalam hukum dikenal dengan

istilah hukum sebagai “kekuasaan orang tua” (ouderlijkemacht). Kekuasaan orang tua

ini penting artinya bagi kehidupan seorang anak terutama yang belum dewasa karena

melalui lembaga hukum ini hak-hak dasar anak akan dipenuhi.7 Dalam keluarga

dengan kondisi yang bercerai, pertumbuhan anak dalam standar yang ideal

kemungkinan sulit tercapai karena kebutuhan jasmani dan rohaninya tidak dapat

dipenuhi secara sempurna.

Bagi anak-anak mempunyai keluarga yang utuh adalah hal yang sangat

membahagiakan. Mereka tidak pernah membayangkan bahwa akan ada perceraian

dalam keluarganya. Keadaan psikologi anak akan sangat terguncang karena adanya

perceraian dalam keluarga. Mereka akan sangat terpukul, kehilangan harapan,

cenderung menyalahkan diri sendiri atas apa yang terjadi pada keluarganya. Sangat

sulit menemukan cara agar anak-anak merasa terbantu dalam menghadapi masa-masa

sulit karena perceraian orangtuanya.

Sekalipun ayah atau ibu berusaha memberikan yang terbaik yang mereka bisa,

segala yang baik tersebut tetap tidak dapat menghilangkan kegundahan hati

anak-7 Irma Setyowati Soemitro, Kekuasaan Orang Tua Setelah Perceraian (Suatu PenelitianDi

(23)

anaknya. Beberapa psikolog menyatakan bahwa bantuan yang paling penting yang

dapat diberikan oleh orangtua yang bercerai adalah mencoba menenteramkan hati dan

meyakinkan anak-anak bahwa mereka tidak bersalah. Yakinkan bahwa mereka tidak

perlu merasa harus ikut bertanggung jawab atas perceraian orangtuanya. Hal lain

yang perlu dilakukan oleh orangtua yang akan bercerai adalah membantu anak-anak

untuk menyesuaikan diri dengan tetap menjalankan kegiatan-kegiatan rutin di rumah.

Jangan memaksa anak-anak untuk memihak salah satu pihak yang sedang cekcok

serta jangan sekali-sekali melibatkan mereka dalam proses perceraian tersebut. Hal

lain yang dapat membantu anak-anak adalah mencarikan orang dewasa lain seperti

bibi atau paman, yang untuk sementara dapat mengisi kekosongan hati mereka

setelah ditinggal ayah atau ibunya. Maksudnya, supaya anak-anak merasa

mendapatkan topangan yang memperkuat mereka dalam mencari figur pengganti

ayah ibu yang tidak lagi hadir seperti ketika belum ada perceraian.8

Apabila dikaitkan pula dengan kebutuhan materi/jasmani anak yang hidup

dalam keluarga yang kedua orang tuanya sudah bercerai, pertumbuhan dan

perkembangan anak tentu akan mengalami hambatan yang serius apabila kebutuhan

materi/jasmani anak berupa biaya pemeliharaan dan biaya pendidikan anak sampai

dewasa tidak ada kejelasannya.

Dalam simposium aspek-aspek hukum masalah perlindungan anak dilihat dari

segi pembinaan generasi muda yang diselenggarakan BPHN telah dicatat beberapa

8Bah Warnadi, “Dampak Perceraian Bagi Perkembangan Psikologis Anak”,

(24)

http://www.dishidros.go.id/buletin/umum/221-dampak-perceraian-bagi-perkembangan-psikologis-kesepakatan antara lain bahwa konsepsi perlindungan anak meliputi ruang lingkup

yang luas dalam arti bahwa perlindungan anak tidak hanya mengenai perlindungan

atas semua hak serta kepentingan yang dapat menjamin pertumbuhan dan

perkembangannya dengan wajar baik secara rohani, jasmani maupun sosial,

melainkan perlindungan anak juga menyangkut aspek pembinaan generasi muda.9

Secara garis besar maka dapat disebutkan bahwa perlindungan anak dapat

dibedakan dalam dua pengertian, yaitu :10

a. Perlindungan yang bersifat yuridis yang meliputi :

- Bidang hukum publik.

- Bidang hukum keperdataan.

b. Perlindungan yang bersifat non yuridis yang meliputi :

- Bidang sosial.

- Bidang kesehatan.

- Bidang pendidikan.

Menyadari demikian pentingnya anak dalam kedudukan keluarga, individu,

masyarakat, bangsa dan negara maka beberapa undang-undang telah mengatur

hak-hak anak misalnya dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

Undang-Undang No.4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang

No. 3 tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun

anak.html,Diakses tanggal 28 Maret 2013.

9Aminah Azis,Aspek Hukum Perlindungan Anak, (Medan: USU Press, 1998), hal. 26. 10 Irma Setyowati Soemitro, Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990),

(25)

2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan berbagai

peraturan perundang-undangan lain. Demikian pula hak-hak anak diakui oleh

sejumlah putusan pengadilan.

Di samping hak-hak anak memperoleh pengakuan dalam peraturan

perundang-undangan nasional, hak-hak anak juga memperoleh pengakuan dalam

peraturan perundang-undangan nasional, maupun secara internasional. Hal tersebut

terlihat dalam berbagai konvensi-konvensi internasional yang memfokuskan

perhatiannya terhadap persoalan anak seperti misalnyaConvention on The Rights of

Child Tahun 1989, ILO Convention No. 182 Concerning The Prohibition and

Amediate Action for The Worst Forms of the Child Labour tahun 1999 dan lain

sebagainya.

Namun meskipun telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan

dan adanya kecenderungan internasional yang memfokuskan perhatian terhadap anak,

pada kenyataannya masih banyak anak yang tidak beruntung (disadvantaged

children) dalam mencukupi kehidupannya.

Sebagai salah satu faktor ketidakberuntungan anak dalam proses pertumbuhan

dan perkembangannya baik dilihat dari aspek rohani maupun aspek jasmani berupa

pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari dan pendidikan yang layak bagi anak adalah

akibat adanya perceraian kedua orang tuanya.

Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam pasal-pasalnya

dengan tegas mengatur tentang kewajiban orang tua terhadap biaya nafkah anak

(26)

kepada orang tua laki-laki (ayah).

Suatu hal yang patut dipahami dalam menyikapi perihal pemeliharaan anak

yang orang tuanya bercerai adalah keberadaan hukum agama dari pasangan yang

bercerai. Hukum Agama ini memegang peranan yang sangat penting dalam

menyikapi permasalahan hukum dan sosial di tengah masyarakat, termasuk perihal

pemeliharaan anak.

Dalam ajaran agama Hindu lapangan kehidupan dibagi menjadi empat yang di

sebut dengancatur asrama, yaknibrahmacariadalah masa menuntut ilmu, grahasta

adalah masa berumah tangga, wana prasta adalah masa memperdalam, menerapkan

dan mensosialisasikan ilmu pengetahuan dan bhisuka adalah masa melakukan tapa

brata yoga samadi. Empat tahap kehidupan dalam agama Hindu harus dilalui dalam

kehidupan untuk mencapai tujuan hidup yang di sebut kebahagiaan lahir dan batin

atau “moksatham jagadhita ya ca iti dharma”11

Dalam masa grahastaseseorang akan dapat melaksanakan kewajibannya baik

secara vertikal yaitu melaksanakan hubungan dengan Ida Sang Hyang Widhi Wase

melalui pelaksanaan upacara panca yadnya, maupun secara horizontal yakni

melakukan hubungan antara sesama yang diatur dalam ikatan suka duka suatu

banjar/desa. Semua hak dan kewajiban yang dilakukan dalam masagrahasta adalah

untuk mendukung proses pencapaian keharmonisan dalam hidup yang dapat dicapai

11Swastyastu, “Makna Mengangkat Anak Menurut Ajaran Moral Agama Hindu”,

(27)

dalam berbagai aspek kehidupan. Terwujudnya keluarga yang bahagia dan sejahtera

dalam keluarga salah satunya karena hadirnya seorang anak dalam keluarga tersebut.

Namun sebagaimana diketahui tidak semua keluarga bisa mencapai tujuan

perkawinan dilangsungkan, sehingga putus di tengah jalan.

Perkawinan disebut sebagai Dharma. Dharma itu perbuatan baik yang

mendatangkan karma baik seperti perkawinan. Maka sesuai hukum alam:

rwa-bhineda (dua yang berbeda), maka ada pula yang disebut Adharma yaitu perbuatan

buruk yang mendatangkan karma buruk. Contoh Adharma seperti perceraian. Maka

dalam Agama Hindu, perceraian sangat dihindari, karena termasuk perbuatan

Adharma atau dosa.

Persoalan pemeliharaan anak akibat perceraian dalam masyarakat Hindu

dilakukan secara bersama-sama antara orang tuanya. Seorang ibu yang bercerai dalam

agama Hindu memiliki kewajiban memelihara anak khususnya anak yang masih

berada di bawah umur. Pemeliharaan anak tersebut diikuti oleh kewajiban ayah untuk

membiayai kebutuhan si anak. Sedangkan terhadap anak yang telah dewasa tetap

harus mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya meskipun keduanya telah

bercerai.12

Kenyataan yang ditemukan dalam masyarakat Hindu bahwa perihal

pemeliharaan anak apabila jatuh ke tangan salah satu pihak maka pihak yang lain

tidak memperdulikan si anak. Misal apabila anak jatuh ke tangan suami maka isteri

(28)

tidak memperdulikan si anak demikian pula sebaliknya.

Bahkan dalam suatu peristiwa perceraian yang didahului oleh pisah ranjang

maka anak diberikan pilihan apakah akan ikut ayahnya atau ibunya. Apabila ia ikut

ayahnya maka pemeliharaan dan nafkah anak ada pada ayahnya dan apabila ia

mengikuti ibu maka pemeliharaan dan nafkah anak jatuh pada ibunya semata.

Dengan sebab perceraian dilarang dalam Agama Hindu maka sebahagian

besar masyarakat yang beragama Hindu melakukan pisah ranjang sebagai suatu

implementasi telah terjadinya perceraian, artinya pisah ranjang menunjukkan telah

terjadi perceraian. Berbeda halnya dengan masyarakat Hindu di kalangan profesional

dan memiliki pendidikan tinggi, maka perceraian dianggap oleh mereka sebagai

akibat perkawinan sehingga dalam keadaan ini mereka melakukan praktek

sebagaimana hukum di negara mereka tinggal, yaitu mendaftarkan kasus perceraian

tersebut di Pengadilan.

Bagi kaum awam pisah ranjang merupakan bentuk telah terjadinya perceraian

sementara dalam kalangan profesional atau kalangan yang berpendidikan tinggi

putusan pengadilan yang sah dan berkuatan hukum tetap merupakan bentuk

perceraian.

Memperhatikan fenomena di atas, maka dilakukan penelitian tentang

(29)

B. Perumusan Masalah

Adapun perumusan masalah dalam penelitian tesis ini adalah:

1. Bagaimana pemeliharaan anak akibat percerauan yang orang tuanya menurut

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974?

2. Bagaimana pelaksanaan pemeliharaan anak yang orang tuanya bercerai menurut

Agama Hindu?

3. Apakah hambatan dalam upaya mengatasi pemeliharaan anak yang orang tuanya

bercerai menurut Agama Hindu?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang

hendak dicapai dalam penelitian tesis ini adalah:

1. Untuk menganalisis pemeliharaan anak akibat perceraian yang orang tuanya

menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.

2. Untuk menganalisis pelaksanaan pemiliharaan anak yang orang tuanya bercerai

menurut Agama Hindu.

3. Untuk menganalisis hambatan dalam upaya mengatasi pemeliharaan anak yang

orang tuanya bercerai menurut Agama Hindu.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian merupakan pencerminan secara konkrit kegiatan ilmu dalam

memproses ilmu pengetahuan.13 Penelitian hukum dilakukan untuk mencari

13Bahder Johan Nasution,Metode Penelitian Ilmu Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2008),

(30)

pemecahan atas isu hukum yang timbul.14 Oleh karena itu penelitian hukum

merupakan suatu penelitian didalam kerangka know-how didalam hukum. Dengan

melakukan penelitian hukum diharapkan hasil yang dicapai adalah untuk memberikan

preskripsi mengenai apa yang seyogyanya atas isu yang diajukan.15Bertitik tolak dari

tujuan penelitian sebagaimana tersebut diatas, diharapkan dengan penelitian ini akan

dapat memberikan manfaat atau kegunaan secara teoritis dan praktis dibidang hukum

yaitu :

1. Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat untuk penambahan khasanah

kepustakaan di bidang keperdataan khususnya tentang masalah pemeliharaan

anak akibat perceraian orang tuanya.

2. Dari segi praktis, penelitian ini sebagai suatu bentuk sumbangan pemikiran dan

masukan bagi para pihak yang berkepentingan khususnya bagi masyarakat untuk

mengetahui tentang hak-hak anak akibat perceraian orang tuanya khususnya bagi

masyarakat yang beragama Hindu dikaitkan dengan Undang-Undang No. 1 Tahun

1974.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi yang ada, penelusuran kepustakaan, khususnya di

lingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Magister

Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara belum ada penelitian yang

14Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,

2007), hal.41

(31)

membicarakan masalah Tanggung Jawab Pemeliharaan Anak Dalam Hal Kedua

Orang Tuanya Bercerai Di Kalangan Warga Negara Indonesia Yang Beragama

Hindu, oleh karena itu penelitian ini baik dari segi objek permasalahan dan substansi

adalah asli serta dapat dipertanggung jawabkan secara akademis dan ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Ilmu hukum dalam perkembangannya tidak terlepas dari ketergantungan pada

berbagai bidang ilmu lainnya. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Soerjono

Soekanto bahwa “perkembangan ilmu hukum selain bergantung pada metodologi,

aktivitas penelitian dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh teori”.16

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik

atau proses tertentu terjadi. Suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada

fakta-fakta yang dapat menunjukkan kebenarannya”.17 Fungsi teori dalam penelitian

ini adalah untuk memberikan arahan/petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan

gejala yang diamati. Kerangka teori yang dimaksud, adalah kerangka pemikiran atau

butir-butir pendapat, teori, thesis dari para penulis ilmu hukum di bidang hukum.

Adanya suatu perkawinan tidak terlepas dari adanya aturan hukum dan

menimbulkan akibat hukum bagi para pihak yang terkait di dalamnya Hukum pada

hakikatnya adalah sesuatu yang abstrak, tetapi dalam manifestasinya dapat berwujud

16Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 1986), hal . 6. 17J.J. M. Wuisman,Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Penyunting, M. Hisyam, (Jakarta: UI Press,

(32)

konkrit. “Suatu ketentuan hukum baru dapat dinilai baik jika akibat-akibat yang

dihasilkan dari penerapannya adalah kebaikan, kebahagiaan yang sebesar-besarnya

dan berkurangnya penderitaan”.18

Menurut teori konvensional, tujuan hukum adalah ”mewujudkan keadilan

(rechtsgerechtigheid), kemanfaatan (rechtsutiliteit) dan kepastian hukum

(rechtszekerheid).”19 “Dalam hal mewujudkan keadilan, Adam Smith, Guru Besar

dalam bidang filosofi moral dan sebagai ahli teori hukum dariGlasgow University

pada Tahun 1750, telah melahirkan ajaran mengenai keadilan (justice)”.20 Smith

mengatakan bahwa: “tujuan keadilan adalah untuk melindungi diri dari kerugian” (the

end of justice is to secure from injury).21

Menurut Satjipto Raharjo:

Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur, dalam arti, ditentukan keluasan dan kedalamannya. Kekuasaan yang demikian itulah yang di sebut hak. Tetapi tidak di setiap kekuasaan dalam masyarakat bisa disebut sebagai hak, melainkan hanya kekuasaan tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada seseorang.22

Semua teori yang dipaparkan di atas dijadikan sebagai pisau analisis untuk

mengkaji dan memahami lebih jauh tentang pemeliharaan dan nafkah anak dalam

18Lili Rasjidi dan I. B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Remaja Rosdakarya,

1993), hal. 79

19Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), (Jakarta:

Gunung Agung Tbk, 2002), hal. 85

20Bismar Nasution,Mengkaji Ulang sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi, Pidato pada

Pengukuhan sebagai Guru Besar, USU – Medan, 17 April 2004, hal. 4-5. Sebagaimana dikutip dari Neil Mac Cormick, “Adam Smith On Law”, Valvaraiso University Law Review, Vol. 15, 1981 hal. 244.

21Ibid., hal 244.

(33)

hal kedua orang tuanya pisah ranjang khususnya bagi warga negara Indonesia yang

beragama Hindu. Kemudian memahami dalam objek penelitian sebagai hukum yakni

sebagai kaidah hukum atau sebagai isi kaidah hukum seperti yang ditentukan dalam

peraturan-peraturan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

Teori pendukung lain atau wacana yang berikutnya dalam analisis ini adalah

teori keadilan,23 merupakan teori yang menganalisis dan menjelaskan tentang hak

mengasuh, merawat, memelihara dan mewujudkan perlindungan hak-hak anak. Dapat

dipastikan adanya ketidakadilan apabila anak yang telah hilang orang tuanya tidak

mendapat perhatian apapun dari orang lain atau juga tidak adil apabila orang tua yang

tidak memperoleh anak tidak mendapat tempat mencurahkan kasih sayangnya.24

Perlindungan anak merupakan suatu bidang pembangunan nasional. Hakikat

pembangungan nasional adalah membangun manusia seutuhnya. Melindungi anak

adalah melindungi manusia yaitu membangun manusia seutuhnya. Mengabaikan

masalah perlindungan anak tidak akan memantapkan pembangunan nasional.

Akibat tidak adanya perlindungan anak akan menimbulkan berbagai

permasalahan sosial, yang dapat menggangu ketertiban, keamanan dan pembangunan

nasional. Berarti perlindungan anak yang salah satu upayanya melalui pengangkatan

anak harus diusahakan apabila ingin mensukseskan pembangunan nasional kita.

Teori pengayoman dapat juga sebagai teori pendukung lainnya. Hukum

23Sayyid Sabiq,Fiqh Sunnah,(Bandung: Al-Maarif, 1994), hal. 160,

24 A. Hamid Saarong, Kedudukan Anak Angkat Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Medan:

(34)

melindungi manusia secara aktif dan pasif. Secara aktif, dengan memberikan

perlindungan yang meliputi berbagai usaha untuk menciptakan keharmonisan dalam

masyarakat dan mendorong manusia untuk melakukan hal-hal yang manusiawi.

Melindungi secara pasif adalah memberikan perlindungan dalam berbagai kebutuhan,

menjaga ketertiban dan keamanan, taat hukum dan peraturan sehingga manusia yang

diayomi dapat hidup damai dan tentram.25

Perlindungan hukum terhadap hak-hak anak diatur dalam Pasal 22

Undang-Undang Perlindungan Anak, didalamnya diatur bahwa negara dan pemerintah

berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dukungan dan prasarana dalam

menyelenggarakan perlindungan anak. Pasal 23 ayat (1) menyebutkan negara dan

pemerintah mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak.

Kemudian Pasal 24 juga menyebutkan negara dan pemerintah menjamin anak

untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia

dan tingkat kecerdasan anak. Selanjutnya Pasal 25 menyebutkan bahwa kewajiban

dan tanggung jawab masyarakat terhadap perlindungan anak dilaksanakan melalui

peran masyarakat dalam menyelenggarakan perlindungan anak.

2. Kerangka Konsepsi

Konsep merupakan bagian terpenting daripada teori. Konsep dapat dilihat dari

2 (dua) segi yaitu segi subyektif dan dari segi obyektif. Dari segi subyektif konsep

merupakan suatu kegiatan intelektual untuk menangkap sesuatu. Sedangkan dari segi

(35)

obyektif, konsep merupakan sesuatu yang ditangkap oleh kegiatan intelektual

tersebut. Hasil dari responsibilitas akal manusia itulah yang dinamakan konsep.26

Adapun uraian daripada konsep yang dipakai dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya

yang di sengaja maupun yang tidak di sengaja. Tanggung jawab juga berarti

berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajiban.27

2. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita

sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga), yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.28

3. Perceraian adalah putusnya perkawinan antara suami istri karena tidak terdapat

kerukunan dalam rumah tangga atau sebab lain seperti mandulnya istri atau

suami.29

4. Anak adalah anak yang berusia 19 (Sembilan belas) untuk laki-laki dan 16 (enam

belas) untuk perempuan dan belum pernah kawin.30

5. Pemeliharaan anak adalah upaya yang dilakukan orang tua atau bagian dari

1993), hal. 245.

26Yooke Tjuparmah S. Komaruddin, Kamus Istilah Karya Tulis Ilmuah, (Jakarta: Bumi

Aksara, 2006), hal. 122.

27Pemuda Indonesia, “Manusia dan Tanggung Jawab”,

http://baguspemudaindonesia.blogdetik.com/2011/04/20/manusia-dan-tanggung-jawab/, Diakses tanggal 1 November 2013.

28Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Undang-Undang Perkawinan Pasal 1.

29Abdul Manan,Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta:

Prenada Media, 2005). hal. 443.

(36)

keluarga untuk memberi kesempatan bagi anak untuk tumbuh dan berkembang

serta belajar tingkah laku untuk perkembangannya

6. Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak

dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara

optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat

perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

7. Pisah ranjang adalah perpisahan suami isteri secara sementara, tahapan sebelum

terjadinya perceraian.

8. Agama Hindu adalah (Sanskerta: Sanātana Dharma Kebenaran Abadi), dan

Vaidika-Dharma (Pengetahuan Kebenaran) adalah sebuah agama yang berasal

dari anak benua India. Agama ini merupakan lanjutan dari agama Weda

(Brahmanisme) yang merupakan kepercayaan bangsa Indo-Iran (Arya). Agama

ini diperkirakan muncul antara tahun 3102 SM sampai 1300 SM dan merupakan

agama tertua di dunia yang masih bertahan hingga kini. Agama ini merupakan

agama ketiga terbesar di dunia setelah agama Kristen dan Islam dengan jumlah

umat sebanyak hampir 1 miliar jiwa.31

9. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 adalah adalah undang-undang yang secara

nasional mengatur perihal perkawinan dan akibat hukumnya. Diundangkan di

Jakarta tangga pada tanggal 2 Januari 1974 dan dimuat dalam Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1.

G. Metode Penelitian

1. Spesifikasi Penelitian

(37)

Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian hukum yuridis normatif yaitu

suatu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam

peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Hal ini sejalan dengan

pendapat Ronald Dworkin yang menyebutkan bahwa “metode penelitian normatif

juga sebagai penelitian doktrinal ataudoctrinal research, yaitu suatu penelitian yang

menganalisis baik hukum sebagai law as it written in the book, maupun hukum

sebagailaw as it is decided by the judge through judicial process.32

2. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.

1. Data primer adalah data yang didapatkan melalui penelitian lapangan yang

dilakukan di Parisada Hindu Dharma Medan.

2. Data sekunder, yaitu data berupa:

a. Bahan hukum primer, yang terdiri dari ;

1) Norma atau kaidah dasar

2) Peraturan dasar

3) Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan hokum perkawinan

b. Bahan hukum sekunder, seperti hasil-hasil penelitian, laporan-laporan, artikel,

hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan

penelitian ini.

32Bismar Nasution,Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Makalah

(38)

c. Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan

yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan

sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah dan jurnal ilmiah,

serta bahan-bahan primer, sekunder dan tersier (penunjang) di luar bidang

hukum, misalnya yang berasal dari bidang teknologi informasi dan

komunikasi, ekonomi, filsafat dan ilmu pengetahuan lainnya yang dapat

dipergunakan untuk melengkapi atau sebagai data penunjang dari penelitian

ini.

3. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data dalam penelitian tesis ini adalah:

a. Studi dokumen, yaitu suatu alat pengumpulan data penelitian dengan

melakukan analisa terhadap bahan kepustakaan.

b. Pedoman wawancara adalah susunan daftar pertanyaan yang dijadikan

pedoman dalam mewawancarai responden beberapa pasang yg melakukan

pisah ranjang dan bercerai dan nara sumber yaitu pandita di Parisada Hindu

Dharma Medan.

4. Analisis Data

Analisis data merupakan hal yang sangat penting dalam suatu penelitian.

Sesuai dengan sifat penelitiannya, maka analisis data dilakukan dengan

pengelompokan terhadap bahan-bahan hukum tertulis yang sejenis untuk kepentingan

(39)

yaitu data yang sudah ada dikumpulkan, dipilah-pilah dan kemudian dilakukan

pengolahannya.

Setelah dipilah-pilah dan diolah lalu dianalisis secara logis dan sistematis

dengan menggunakan metode deskriptif analisis. Dengan demikian diharapkan

penelitian yang dilakukan dapat menghasilkan kesimpulan yang bisa

(40)

BAB II

PEMELIHARAAN ANAK AKIBAT PERCERAIAN ORANG TUA MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974

A. Alasan-Alasan Perceraian Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Untuk melakukan perceraian diperlukan alasan-alasan yang sah, jadi tidak

bisa dilakukan dengan semena-mena. Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974

mengatur alasan-alasan untuk melakukan perceraian di dalam penjelasan Pasal 39

Ayat (2) yang dicantumkan kembali di dalam ketentuan Pasal 19 Peraturan

Pemerintah No. 9 Tahun 1975 sebagai berikut :

1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

Zina yaitu hubungan kelamin (sexsual)intercourseyang dilakukan oleh suami

atau isteri dengan seseorang pihak ketiga yang berlainan seks.33

Suatu perbuatan zina kemungkinan dapat dilakukan :

- Dalam keadaan terpaksa atau dalam keadaan tidak bebas,

- Atas persetujuan pihak suami atau pihak isteri,

- Tanpa sepengetahuan pihak suami atau isteri yang bersangkutan.

33 M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang-Undang No. 1

(41)

2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahu berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah karena atau hal lain di luar kemampuannya.

Apabila salah satu pihak dari kedua suami isteri yang bersangkutan

meninggalkan pihak lainnya selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain

dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya, maka pihak

yang ditinggalkannya dapat mengajukan gugatan perceraian dengan mempergunakan

alasan ini.

Pada dasarnya alasan untuk meninggalkan pihak lain ini haruslah dilakukan :

- Dengan penuh kesadaran dan kehendak bebas dari suami atau isteri yang

meninggalkan pihak lain itu,

- Bukan karena adanya keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan,

- Dengan tanpa izin dari pihak yang ditinggalkan dan tanpa alasan yang sah,

- Selama dua tahun berturut-turut.

Namun kenyatannya kadang-kadang sangatlah sulit untuk menentukan apakah

ketentuan seperti tersebut di atas adalah tepat untuk menentukan alasan meninggalkan

pihak lainnnya ini, oleh karena itu maka hakim dalam memeriksa gugatan perceraian

yang menggunakan alasan ini haruslah memperhatikan :

- Apakah yang menjadi penyebab salah satu pihak dari suami isteri tersebut

meninggalkan pihak lainnya,

- Dan di pihak manakah kesalahan yang menyebabkan salah satu pihak dari suami

(42)

3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat.

Bilamana seorang suami mendapat hukuman penjara selama 5 (lima) tahun

atau hukuman yang lebih berat maka isterinya dapat mengajukan gugatan perceraian

atas dasar alasan ini, demikian juga sebaliknya apabila seseorang isteri mendapat

hukuman penjara selama 5 (lima) tahun ataupun mendapatkan hukuman yang lebih

berat maka suaminya dapat mengajukan gugatan perceraian dengan memakai alasan

ini.

Hukuman penjara selama 5 tahun ini maupun hukuman yang lebih berat

seperti tersebut di atas harus dijatuhkan setelah perkawinan berlangsung, dengan

demikian disini tidaklah dipersoalkan kapan pihak yang mendapat hukuman tersebut

melakukan kejahatan, apakah ia melakukan sebelum perkawinan dilangsungkan

ataukah setelah perkawinan berlangsung. Yang penting dalam hal ini adalah

penjatuhan hukumannya haruslah dilakukan setelah perkawinan berlangsung.

Alasan perceraian ini dimaksudkan untuk melindungi para pihak yang

ditinggalkan dengan adanya penjatuhan hukuman penjara selama 5 (lima) tahun atau

lebih ini, jangan sampai mereka mengalami penderitaan.

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain.

Bila diperhatikan alasan ini maka dapat diperinci menjadi :

a. Melakukan kekejaman,

(43)

Melakukan kekejaman disini dimaksudkan adalah melakukan kekerasan.

Dengan demikian maka seorang suami yang sering berlaku kasar terhadap isterinya

walaupun sikap yang ia lakukan tidak sampai melakukan pemukulan ataupun

penganiayaan namun dapatlah si suami tersebut dikatakan telah melakukan

kekejaman terhadap isterinya.

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat melakukan kewajibannya sebagai suami isteri

Apabila salah satu pihak dari kedua suami isteri, yang bersangkutan mendapat

cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat melakukan kewajibannya

sebagai suami-isteri, maka pihak yang lain dapat mengajukan gugatan percaraian

dengan memakai alasan ini.

Untuk menentukan cacat badan atau penyakit yang diderita oleh salah satu

pihak dari kedua suami isteri yang bersangkutan yang mengakibatkan dirinya tidak

dapat melakukan kewajibannya sebagai suami atau isteri yang dapat dijadikan alasan

untuk menuntut perceraian, maka harus dilihat kembali ketentuan di dalam

undang-undang perkawinan ini yang mengatur mengenai kewajiban suami-isteri.

6. Antara suami isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga

Di dalam undang-undang perkawinan ini ditentukan bahwa suatu perkawinan

dilangsungkan dengan tujuan untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal, jadi

untuk mendapatkan kebahagian, baik kebahagian material maupun spritual di dalam

(44)

Dengan terjadinya pertengkaran dan perselisihan yang terus menerus di antara

kedua belah pihak suami isteri tersebut, maka keluarga bahagia yang semula

dicita-citakan akan terwujud di dalam perkawinan hanya akan menjadi cita-cita saja. Pasal

116 Kompilasi Hukum Islam menambah dua point lagi sebagai alasan terjadinya

perceraian sebagaimana yang diatur oleh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yaitu:

7. Suami melanggar taklik talak

Taklik talak adalah suatu ucapan yang dilafazkan suami tatkala selesai

melakukan akad nikah. Taklik talak tersebut diucapkan dihadapan wali pengantin

perempuan dan juga pegawai pencatat nikah. Taklik talak dibuat untuk memberikan

perlindungan kepada wanita atas kesewenang-wenangan suami. Dan apabila taklik

talak tersebut dilanggar maka perceraian dapat terjadi.

8. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga

Pengertian murtad tidak terdapat dalam Hukum Islam. Tetapi dari

istilah-istilah yang timbul sehari-hari di kalangan masyarakat Islam maka pengertian murtad

itu adalah pindah agama.

Murtad menurut menurut Kamisa adalah keluar dari Islam.34

Dari uraian di atas maka dapat dilihat bahwa pada dasarnya pengertian tentang

murtad tersebut hanya dikenal dalam Hukum Islam, yaitu seseorang yang selama ini

berada dalam lingkungan agama Islam baik itu bertingkah laku maupun di dalam

34

(45)

masyarakat, lalu merubah statusnya tersebut dengan berpindah ke agama lain.

Apabila salah satu pasangan dalam suatu perkawinan berpindah agama ke agama di

luar Islam maka pada secara langsung perkawinan tersebut putus.

B. Akibat Hukum Perceraian

Akibat hukum adalah akibat yang ditimbulkan oleh peristiwa hukum.35

Sedangkan pengertian peristiwa hukum adalah peristiwa kemasyarakatan yang

membawa akibat yang diatur oleh hukum.36 Adapun akibat hukum dalam kaitannya

dengan akibat perceraian ini diatur di dalam Pasal 41 UU Perkawinan yang telah

dijelaskan sebelumnya.

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian diatur dalam Pasal 156 Inpres

Nomor 1 tahun 1991. Ada tiga akibat putusnya perkawinan karena perceraian yaitu:

1. Terhadap anak-anaknya,

2. Terhadap harta bersama (harta yang diperoleh selama dalam perkawinan).

3. Terhadap mut’ah (pemberian bekas suami kepada bekas isterinya yang dijatuhi

talak berupa benda atau uang dan lainnya).

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat uraian berikut.

(46)

1. Akibat terhadap anak

Keluarga yang pecah ialah keluarga dimana terdapat ketiadaan salah satu dari

orang tua karena kematian, perceraian, hidup berpisah, untuk masa yang tak terbatas

ataupun suami meninggalkan keluarga tanpa memberitahukan kemana ia pergi.37Hal

ini menyebabkan :

1. Anak kurang mendapatkan perhatian, kasih sayang, dan tuntutan pendidikan

orang tua, terutama bimbingan ayah, karena ayah dan ibunya masing-masing

sibuk mengurusi permasalahan mereka.

2. Kebutuhan fisik maupun psikis anak remaja menjadi tidak terpenuhi, keinginan

harapan anak-anak tidak tersalur dengan memuaskan, atau tidak mendapatkan

kompensasinya.

3. Anak-anak tidak mendapatkan latihan fisik dan mental yang sangat diperlukan

untuk hidup susila. Mereka tidak dibiasakan untuk disiplin dan kontrol diri yang

baik.

Jadi akibat yang timbul dari perceraian menyebabkan anak merasa terabaikan.

Oleh karena itu, Kartini Kartono mengatkan bahwa :

Sebagai akibat bentuk pengabaian tersebut, anak menjadi bingung, resah, risau, malu, sedih, sering diliputi perasaan dendam, benci, sehingga anak menjadi kacau dan liar. Dikemudian hari mereka mencari kompensasi bagi kerisauan batin sendiri diluar lingkungan keluarga, yaitu menjadi anggota dari suatu gang kriminal; lalu melakukan banyak perbuatan brandalan dan kriminal. Pelanggaran kesetiaan loyalitas terhadap patner hidup, pemutusan tali perkawinan, keberantakan kohesi dalam keluarga. Semua ini juga memunculkan kecenderungan menjadi delinkuen pada anak-anak dan remaja. Setiap perubahan dalam relasi personal antara suami-istri menjurus pada arah

(47)

konflik dan perceraian. Maka perceraian merupakan faktor penentu bagi pemunculan kasus-kasus neurotik, tingkah laku asusila, dan kebiasaan delinkuen.38

Lebih lanjut Kartini kartono juga mengatakan bahwa :

Penolakan oleh orang tua atau ditinggalkan oleh salah seorang dari kedua orang tuanya, jelas menimbulkan emosi, dendam, rasa tidak percaya karena merasa dikhianati, kemarahan dan kebencian, sentimen hebat itu menghambat perkembangan relasi manusiawi anak. Muncullah kemudian disharmonis socialdan lenyapnya kontrol diri, sehingga anak dengan mudah dapat dibawa ke arus yang buruk, lalu menjadi kriminal. Anak ini memang sadar, tetapi mengembangkan kesadaran yang salah. Fakta menunjukkan bahwa tingkah laku yang jahat tidak terbatas pada strata sosial bawah, dan strata ekonomi rendah saja tetapi juga muncul pada semua kelas, khususnya dikalangan keluarga yang berantakan. Memang perceraian suami-istri dan perpisahan tidak selalu mengakibatkan kasus delinkuen dan karakter pada diri anak.39

Akan tetapi, “semua bentuk ketegangan batin dan konflik familiar itu

mengakibatkan bentuk ketidakseimbangan kehidupan psikis anak. Di samping itu

juga tidak berkembangnya tokoh ayah sebagai sumber otoritas bagi anak laki-laki”.40

“Sehingga anak berkembang menjadi kasar, liar, brutal, tidak terkendali, sangat

agresif dan kriminal”.41

2. Akibat terhadap harta

Menurut Pasal 35 UU Perkawinan harta perkawinan ada yang disebut harta

bersama yakni harta benda yang diperoleh selama perkawinan berlangsung.

Disamping ini ada yang disebut harta bawaan dari masing-masing suami dan istri

38Kartini Kartono.Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja. (Jakarta: Grafindo Persada, 2002),

hal 17.

39Ibid., hal 18

(48)

serta harta yang diperoleh dari masing-masing sebagai hadiah atau warisan sepanjang

para pihak tidak menentukan lain. Karena itu Pasal 36 UUP menentukan bahwa

mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua

belah pihak, sedang mengenai harta bawaan dan harta diperoleh masing-masing

sebagai hadiah atau warisan, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk

melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

“Suatu perceraian akan membawa akibat hukum yaitu adanya pembagian

harta bersama bagi para pihak yang ditinggalkannnya. Pembagian tersebut perlu

dilakukan guna menentukan hak-hak para pihak yang ditinggalkannya. Dari segi

bahasa harta yaitu barang-barang (uang dan sebagainya) yang menjadi kekayaan”.42

“Sedangkan yang dimaksud dengan harta bersama yaitu harta kekayaan yang

diperoleh selama perkawinan di luar hadiah atau warisan”.43Maksudnya adalah harta

yang didapat atas usaha mereka atau sendiri-sendiri selama masa ikatan perkawinan.

Sedangkan yang dimaksud harta benda perkawinan adalah “semua harta yang

dikuasai suami isteri selama mereka terikat dalam ikatan perkawinan, baik harta

kerabat yang dikuasai, maupun harta perorangan yang berasal dari harta warisan,

harta penghasilan sendiri, harta hibah, harta pencarian bersama suami isteri dan

barang-barang hadiah”.44

Menurut Mukti Arto dalam suatu perkawinan terdapat tiga macam harta

42Departemen Pendidikan Nasional,Op.Cit, hal. 199. 43

Ahmad Rofiq,Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 200 44 Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999),

(49)

kekayaan, yaitu:

1. Harta pribadi suami ialah:

a. Harta bawaan suami, yaitu yang dibawa sejak sebelum perkawinan, b. Harta yang diperolehnya sebagai hadiah atau warisan

2. Harta pribadi isteri ialah:

a. Harta bawaan isteri, yaitu yang dibawanya sejak sebelum perkawinan, b. Harta yang diperolehnya sebagai hadiah atau warisan.

c. Harta bersama suami isteri atau syirkah ialah harta yang diperoleh baik sendiri atau bersama suami-isteri selama dalam ikatan perkawinan, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.45

Ketentuan mengenai harta dalam perkawinan menurut Pasal 35

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan :

1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.

2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang

diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah

penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Dari ketentuan Pasal 35 Undang-Undang Perkawinan itu pula Satrio

menyimpulkan bahwa harta dalam perkawinan mungkin berupa :

1. Harta bersama

2. Harta Pribadi, dapat berupa: a. Harta bawaan suami b. Harta bawaan isteri

c. Harta hibahan/ warisan suami d. Harta hibahan/ warisan isteri.

Dengan demikian harta yang telah dipunyai pada saat (dibawa masuk ke

dalam) perkawinan terletak diluar harta bersama. Menurut Pasal 37 jo penjelasan

Pasal 35 UU Perkawinan, apabila perkawinan putus, maka harta bersama itu diatur

45 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka

(50)

menurut hukumnya masing-masing. Hal ini tidak dijelaskan perkawinan putus karena

apa. Oleh karena itu perkawinan putus mungkin karena salah satu pihak meninggal,

mungkin pula karena perceraian.

Dengan demikian penyelesaian harta bersama adalah sebagai berikut:

1. Bagi mereka yang kawin menurut agama Islam, hukum Islam tidak mengenal

harta bersama, karena istri diberi nafkah oleh suami, yang ada ialah harta milik

masing-masing suami dan istri. Harta ini adalah hak mereka masing-masing.

2. Bagi mereka yang kawin menurut agama Islam dan agama-agama lainnya, tetapi

tunduk kepada hukum adat yang mengenal harta bersama (gono-gini atau harta

guna kaya), jika terjadi perceraian bekas suami dan bekas istri masing-masing

mendapat separuh (Yurisprudensi Mahkamah Agung No.387k/ Sip/ 1958 tanggal

11-2-1959 dan No.392k/ Sip/ 1969 tanggal 30-8-1969).

3. Bagi mereka yang kawin menurut agama Kristen, tetap tunduk kepada KUH

Perdata yang mengenal harta bersama (persatuan harta sejak terjadi perkawinan).

Jika terjadi perceraian, harta bersama dibagi dua antara bekas suami dan bekas

istri, Pasal 128 KUH Perdata

Pasal 37 UUP belum memberikan penyelesaian tuntas mengenai harta

bersama dalam hal terjadi perceraian, malah masih menghidupkan dualisme hukum.

Padahal hukum adat sudah memberikan penyelesaian yang adil yaitu separuh bagi

bekas suami dan separuh bagi bekas istri. Demikian juga KUH Perdata memberikan

penyelesaian bahwa harta bersama dibagi dua antara bekas suami dan bekas istri.

Referensi

Dokumen terkait

Analisis dilakukan untuk mengidentifikasi trend CPUE dan kapasitas penangkapan ikan pelagis kecil menggunakan metode Peak to Peak Analysis di tiga zona

Penangkaran bibit lada di polibag untuk dijual/disalurkan kepada petani/pengguna bibit lada dilakukan menggunakan stek lada satu ruas berdaun tunggal varietas Natar 1, sumber

Berdasarkan Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Undang – Undang PPh

Peranan service quality dan perceived value untuk meningkatkan customer satisfaction yang berdampak pada repurchase intention konsumen rumah makan makassar di

landasan agama, dan disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan sekolah. Dalam landasan pengembangan kurikulum dilihat dari aspek agama,.. SMK Al Huda lebih menekankan

6 Saya mendapatkan kualitas jasa yang lebih baik dari promosi Go-Jek di bandingkan transportasi lainnya. SS S N TS

Hasil dari penelitian ini adalah strategi strategi yang akan diterapkan berdasarkan agen risiko terbesar untuk meminimasi risiko proses pengadaan material...

Selain sebagai indikator pelayanan yang menunjukkan seberapa cepat dan tanggap petugas kesehatan dalam menangani masalah dan memberikan pertolongan medis kepada