• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemeliharaan spons Petrosia ( petrosia ) nigricans

PENGARUH HABITAT BUATAN TERHADAP JUMLAH DAN UKURAN OOSIT SPONS Petrosia ( petrosia ) nigricans

2. TINJAUAN PUSTAKA

3.3. Prosedur Penelitian

3.3.2. Pemeliharaan spons Petrosia ( petrosia ) nigricans

Spons Petrosia (petrosia) nigricans ditransplantasi di habitat buatan berupa kolam dengan ukuran 5 m x 1,5 m x 1,5 m, ketinggian air dari dasar kolam 1 meter, dan diberi substrat rubble (Gambar 4).

Gambar 4. Kolam pemeliharaan spons Petrosia (petrosia) nigricans

Kondisi perairan kolam dengan kualitas air yang mendukung sangat penting bagi kehidupan spons. Kolam pemeliharaan merupakan habitat baru bagi spons sehingga sedemikian rupa diatur agar sama dengan habitat alaminya dan spons dapat bertahan hidup dengan jangka waktu yang lama. Kolam

pemeliharaan ini dilengkapi dengan aerator yang berguna untuk memberi sirkulasi udara di kolam, dan protein skimmer yang berguna sebagai perangkap amonia serta racun yang terkandung dalam air kolam. Kolam dilengkapi dengan dua pompa air yang diletakkan dibagian protein skimmer dan bak penyaringan. Air mengalir dan bersirkulasi selama 24 jam (Gambar 5).

Keramik

Spons diletakan di atas keramik yang terdapat di dasar kolam. Air kolam berasal dari filter Seaworld yang dialirkan dengan pompa berkapasitas besar ke Pusat Studi Ilmu Kelautan Ancol, Jakarta. Spons diaklimatisasi selama satu bulan untuk beradaptasi dengan lingkungan yang baru (kolam pemeliharaan) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 6, sehingga dapat mengurangi stres akibat perubahan kondisi dari lingkungan sebelumnya. Spons yang telah diaklimatisasi kemudian dipotong menjadi bagian yang lebih kecil sehingga berjumlah 12 fragmen.

(a) (b)

Gambar 6. (a) Aklimatisasi awal pemindahan spons Petrosia (petrosia) nigricans di kolam pemeliharaan, (b) Spons Petrosia (petrosia) nigricans di atas keramik di dasar kolam pemeliharaan

3.3.3. Pengukuran parameter lingkungan

Pengukuran parameter lingkungan dilakukan untuk mengetahui kondisi perairan pada lokasi penelitian berdasarkan standar baku mutu kualitas perairan (Lampiran 1). Parameter lingkungan yang diukur adalah parameter fisik dan kimia yang dilakukan secara in situ dan pengamatan melalui analisis laboratorium. Parameter fisik yang di ukur yaitu suhu dan salinitas, pengukuran dilakukan setiap minggu selama 5 minggu masa pemeliharaan spons di kolam. Pengukuran suhu

dilakukan dengan menggunakan termometer yang terpasang pada kolam pemeliharaan, sedangkan pengukuran salinitas menggunakan refraktometer dengan cara meneteskan contoh air kolam pada refraktometer kemudian bisa dilihat langsung besarnya nilai salinitas air kolam pemeliharaan. Parameter kimia yang di ukur yaitu nitrat, nitrit dan amonia. Pengukuran dilakukan sebanyak dua kali selama 5 minggu masa pemeliharaan spons di kolam, yakni pada awal

minggu pertama dan akhir minggu kelima. Contoh air untuk dianalisis kandungan kimia perairannya diambil dengan botol sampel kemudian disimpan ke dalam coolbox. Analisa kandungan nitrat, nitrit, dan amonia dilakukan di Laboratorium Produksi Lingkungan, MSP-IPB. Pengukuran parameter laut dilakukan juga sebagai kontrol pada setiap pengambilan sampel laut. Tabel 3 menunjukkan satuan, cara pengukuran, dan alat pengukuran parameter fisik dan kimia perairan yang di ukur.

Tabel 3. Parameter fisik dan kimia perairan yang di ukur

No Parameter Satuan Pengukuran Alat/Metode Parameter Fisik

1 Suhu oC in situ Termometer Hg

2 Salinitas PSU (Practical

Salinity Unit) in situ Refraktometer Parameter Kimia

1 Nitrat mg/l laboratorium Spektrofotometer 2 Nitrit mg/l laboratorium Spektrofotometer 3 Amonia mg/l laboratorium Spektrofotometer

3.3.4. Pengambilan sampel di kolam

Pengambilan sampel spons yang dipelihara di kolam dilakukan pada setiap fase bulan secara beraturan, yaitu fase bulan baru/mati, fase bulan ¼ , fase bulan ¾, dan fase bulan purnama. Sedangkan pengambilan sampel spons alam

pengambilan spons di kolam pada fase yang sama. Spons yang diambil harus dalam kondisi yang baik sebanyak tiga buah sampel dari fragmen yang berbeda pada setiap fase. Spons dipotong dengan ukuran 0,5 x 0,5 cm2. Sampel kemudian dimasukkan ke dalam plastik sampel dan diawetkan dengan formalin 10% dan air laut dengan perbandingan 1:9 sebagai pengawet.

3.3.5. Pembuatan preparat awetan

Pembuatan preparat awetan dengan menggunakan metode histologis standar yaitu metode parafin dengan pewarnaan HE (Haematoxylin Eosin)

(Gunarso, 1989) (Lampiran 2). Berikut ini prosedur dalam histologis (Gambar 7),

Sampel spons Petrosia (petrosia) nigricans

Difiksasi dalam larutan formalin 10%

Desilifikasi Dehidrasi

Gambar 7. Diagram alir proses standar histologis spons

3.3.6. Pengamatan laboratorium

Pengamatan preparat histologis dilakukan di Laboratorium Histologis Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor untuk mendapatkan beberapa data, antara lain:

1). Pengukuran diameter terpanjang dan diameter terpendek oosit

Embedding dan Blocking Clearing Staining (pewarnaan) Sectioning (± 5µm) Mounting Mikrofotografi

Oosit yang diukur adalah oosit yang memiliki inti. Diameter terpanjang oosit diukur pada bagian yang paling panjang, sedangkan diameter terpendek oosit diukur pada bagian yang paling panjang (Gambar 8).

Gambar 8. Pengukuran diameter terpanjang dan diameter terpendek oosit

2). Pengukuran jumlah oosit

Pengukuran jumlah oosit yang ditemukan pada setiap lapang pandang.

3.4. Analisis Data

Jumlah dan ukuran oosit spons Petrosia (petrosia) nigricans dianalisis dengan melakukan pengamatan preparat histologis secara visual dengan mikroskop (perbesaran lensa 100x dan 400x) dan gambar hasil mikrofotografi berdasarkan fase bulan pada kolam pemeliharaan dan habitat aslinya (laut), kemudian membandingkannya dengan pustaka terbaru atau jurnal. Jumlah oosit diukur dengan menghitung rata-rata jumlah oosit terbanyak yang ditemukan pada lima lapang pandang di tiga sayatan berseri koloni sampel. Pengukuran diameter terpanjang serta diameter terpendek dilakukan dengan menggunakan alat

mikrometer. Rata-rata geometrik diameter di dapat dari akar perkalian antara diameter terpanjang dan diameter terpendek. Rumus yang digunakan yaitu (Permata et al., 2000):

... (1) diameter terpanjang diameter terpendek

Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis dengan menggunakan uji-t untuk dua sampel dengan nilai α = 0,05 menggunakan Software Minitab 14. Analisis ini dilakukan untuk melihat pengaruh penggunaan metode transplantasi di lokasi transplantasi dengan habitat buatan (kolam) terhadap fungsi reproduksi spons Petrosia (petrosia) nigricans. Apabila nilai P < 0,05 maka terima Ho yang berarti ada perbedaan nyata pada reproduksi seksual spons dalam hal ini terhadap pengaruh lokasi hidupnya (kolam dan laut), dan sebaliknya. Prosedur penelitian ditampilkan dengan diagram alir pada Gambar 9.

Analisis deskriptif

Analisis data Pengolahan data

Jumlah dan ukuran gamet spons alami Pengamatan preparat

jumlah dan ukuran gamet spons hasil transplantasi di

habitat buatan (kolam)

Pengambilan sampel spons

Petrosia (petrosia) nigricans

dari alam

Pembuatan preparat Transplantasi spons di

habitat buatan (kolam)

Pengambilan sampel spons

Petrosia (petrosia) nigricans dari transplantasi di habitat buatan

(kolam)

Sampel Petrosia (petrosia) nigricans dari alam

jumlah dan ukuran gamet spons alami jumlah dan ukuran gamet spons hasil transplantasi di habitat buatan (kolam)

Uji-t untuk dua sampel (Minitab 14) (Jumlah dan ukuran oosit)

Pvalue > 0,05 tidak ada perbedaan nyata pada fungsi reproduksi spons terhadap lokasi hidupnya Tolak H0 Pvalue < 0,05 Terima H0 ada perbedaan nyata pada fungsi

reproduksi spons terhadap lokasi

hidupnya

4.1. Kondisi Kolam Pemeliharaan

Pengukuran parameter lingkungan dilakukan untuk mengetahui kondisi perairan pada lokasi penelitian. Hasil pengukuran parameter fisik-kimia di kolam meliputi suhu, salinitas, nitrat, nitrit, dan amonia dapat dilihat pada Tabel 4 dan Tabel 5.

Tabel 4. Nilai kisaran hasil pengukuran parameter fisik kolam pemeliharaan

Parameter Satuan Kolam Laut Baku Mutu* Batas Toleransi** Suhu oC 27-29 28-30 28-30 26-31 Salinitas 0/00 28-32 31-32 33-34 28-38

*Sumber Kep. Men 179/Men. KLH/2004, **Sumber De Voogd (2005)

Nilai kualitas perairan kolam pemeliharaan spons Petrosia (petrosia) nigricans secara umum berada dalam kisaran baku mutu kualitas air untuk biota laut (Kep. Men 179/Men. KLH/2004). Kisaran nilai parameter fisik, suhu dan salinitas diperoleh dari pengukuran yang dilakukan setiap minggu selama 5 minggu pemeliharaan di kolam (Tabel 4). Nilai kisaran suhu perairan kolam selama penelitian antara 27-29 ˚C, sedangkan nilai suhu perairan laut yang terukur pada saat pengambilan sampel sebesar 28-30 ˚C. Suhu tersebut berada pada kisaran suhu yang baik untuk kehidupan spons sesuai dengan baku mutu kualitas air untuk spons. Perubahan suhu perairan dapat disebabkan oleh perubahan waktu dan cuaca pada saat pengukuran. Nilai salinitas pada kolam pemeliharaan

berkisar antara 28-32 0/00(permil), sedangkan nilai salinitas perairan laut yang terukur pada saat pengambilan sampel sebesar 31-32 0/00. Hasil pengukuran salinitas tersebut tidak sesuai dengan baku mutu air laut namun masih berada

dalam kisaran nilai toleransi hidup spons. Kecerahan pada kolam semi tertutup mencapai 100%, karena kondisi perairan kolam jernih sehingga dasar kolam dapat terlihat sangat jelas.

Pengukuran parameter kimia pada perairan kolam pemeliharaan spons dilakukan dua kali, yakni minggu pertama dan minggu kelima selama masa pemeliharaan (Tabel 5).

Tabel 5. Hasil pengukuran parameter kimia kolam pemeliharaan

Parameter Satuan Kolam Laut Baku Mutu* Batas Toleransi ** I II

Nitrat (NO3) mg/l 0,912 0,354 0,080 0,008 -

Nitrit (NO2) mg/l 0,005 0,006 0,034 0,06 0,050

Amonia (NH3) mg/l 0,643 0,954 0,322 0,300 -

*Sumber Kep. Men 179/Men. KLH/2004 **Sumber Effendi (2003)

Nitrat (NO3) adalah senyawa anorganik yang berperan sebagai nutrien.

Kandungan nitrat pada hasil pengukuran awal mencapai 0,912 mg/l dan pada pengukuran kedua nilainya menurun menjadi 0,354 mg/l, sedangkan nilai

kandungan nitrat perairan laut yang terukur pada saat pengambilan sampel sebesar 0,080 mg/l. Kandungan nitrat yang terukur melebihi ambang batas aman baku mutu (Kep. Men 179/Men. KLH/2004) yaitu 0,008 mg/l. Nilai nitrat yang

melebihi 0,200 mg/l dapat memicu terjadinya eutrofikasi perairan yang kemudian dapat menstimulir pertumbuhan algae dan tumbuhan air secara pesat (Effendi, 2003). Kandungan nitrit (NO2) pada pengukuran pertama sebesar 0,006 mg/l dan

pada pengukuran kedua sebesar 0,005 mg/l, sedangkan nilai kandungan nitrit perairan laut yang terukur pada saat pengambilan sampel sebesar 0,034 mg/l. Nilai tersebut masih dalam batas aman karena apabila kadar nitrit dalam suatu perairan melebihi 0,050 mg/l dapat bersifat toksik bagi organisme perairan yang

sangat sensitif (Effendi, 2003). Keberadaan nitrit menggambarkan

berlangsungnya proses biologis perombakan bahan organik yang memiliki kadar oksigen terlarut sangat rendah (Effendi, 2003). Hasil pengukuran amonia (NH3)

pada awal pemeliharaan 0,643 mg/l dan pada pengukuran kedua 0,954 mg/l, sedangkan nilai kandungan nitrat perairan laut yang terukur pada saat

pengambilan sampel sebesar 0,322 mg/l. Amonia yang dihasilkan diduga berasal dari proses metabolisme biota-biota yang hidup diperairan. Pengambilan sample air yang dekat dengan populasi spons juga diduga merupakan penyebab tingginya nilai amonia pada penelitian ini, hal tersebut dikarenakan buangan spons

mengandung amonia. Data ini sekaligus mengindikasikan bahwa buangan yang dikeluarkan spons melalui oskulum adalah benar mengandung amonia. Kadar amonia yang tinggi dalam suatu perairan akan bersifat toksik atau akan

menyebabkan pencemaran. Amonia yang terkandung dalam air kolam berasal dari sisa metabolisme spons dan biota-biota lain yang hidup di kolam seperti Aiptasia sp., dan algae.

Berdasarkan hasil pengukuran kualitas air, dapat terlihat bahwa kondisi perairan dalam kolam pemeliharaan cukup baik, sehingga dapat menunjang pertumbuhan spons Petrosia (petrosia) nigricans. Pada kolam pemeliharaan dipasang pipa di dua sudut kolam yang berlawanan sehingga terjadi aliran air yang tidak terlalu besar menyerupai arus. Namun ada beberapa faktor yang belum dapat disesuaikan pada kolam pemeliharaan yaitu pasang surut dan kedalaman yang berbeda dengan kondisi di alam yang sangat mungkin berpengaruh terhadap pertumbuhan spons.

4.2. Pengamatan Mikroskopis Terhadap Preparat Histologis Spons Petrosia (petrosia) nigricans

Spons memiliki kemampuan untuk bereproduksi secara seksual akan tetapi keterangan mengenai proses ini masih sedikit diketahui karena keberadaan gonad, gamet dan embrio yang berada di mesohyl belum teridentifikasi dengan jelas. Hal tersebut dikarenakan tidak adanya organ tubuh tertentu yang secara struktural dikatakan sebagai organ reproduksi, sehingga cenderung sulit untuk menentukan seksualitasnya. Penentuan seksualitas spons dapat dilakukan melalui pengamatan histologis dengan keberadaan sel gamet yang berbeda antara jantan dan betina. Perkembangan gamet-gametnya merupakan diferensiasi cadangan sel-sel spons dewasa (choanocytes dan archaeocytes) ke dalam bentuk spermatogonia atau oogonia yang terbentuk dalam mesohyl.

Sampel spons yang ditransplantasikan di kolam percobaan ini adalah spons Petrosia (petrosia) nigricans yang berasal dari Pulau Pramuka kepulauan Seribu. Pengamatan mikroskop terhadap preparat histologis spons Petrosia (petrosia) nigricans untuk menentukan seksualitasnya dilakukan dengan

pewarnaan Haematoxylin dan Eosin. Pengidentifikasian individu betina ditentukan dengan adanya oosit di dalamnya, sedangkan individu jantan terindentifikasi dengan adanya spermatosit yang terdapat di dalam individu tersebut. Pada

penelitian ini, sampel teridentifikasi sebagai individu betina. Individu jantan tidak teridentifikasi dengan jelas karena tidak ditemukan spermatosit di dalamnya. Kesulitan dalam mengidentifikasi spermatosit atau spermatozoa spons disebabkan oleh kecilnya ukuran spermatosit. Berdasarkan pengamatan hasil histologis yang dilakukan, tipe reproduksi spons Petrosia (petrosia) nigricans yang di

memproduksi gamet jantan atau betina saja selama hidupnya. Seksualitas spons betina ini ditentukan berdasarkan hasil pengamatan preparat histologis yang hanya ditemukan sel oosit saja tanpa teridentifikasi organ reproduksi jantan pada

individu yang sama saat pengamatan.

4.3. Gonad Betina 4.3.1. Oosit

Oosit pada spons yang diamati terlihat menyebar pada lapisan mesohyl dan mempunyai lapisan luar yang jelas sehingga dapat dibedakan dengan sel lainnya. Oosit berasal dari diferensiasi sel-sel archaeocytes atau choanocytes (Ruppert dan Barnes, 1991). Penentuan tahapan perkembangan oosit dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan morfologi dan ukuran dari oosit pada pengamatan histologis dengan pewarnaan Haematoksilin-Eosin. Karakteristik dan tahap perkembangan gamet betina spons Petrosia (petrosia) nigricans berdasarkan hasil penelitian Ramili (2007).

Hasil pengamatan secara histologis pada penelitian ini menunjukkan bahwa oosit yang ditemukan pada spons Petrosia (petrosia) nigricans hasil pemeliharaan di habitat buatan (kolam) masih berada pada tahap oosit I di setiap pengambilan sampel. Pada tahap ini, oosit menyebar dalam lapisan mesohyl, mempunyai ukuran yang masih kecil dengan rata-rata geometrik diameter oosit 7,58±1,21 µm, inti sel sudah dapat terlihat jelas tetapi anak ini tidak terlihat.

Hasil pengamatan histologis pada fase bulan baru/mati menunjukkan bahwa oosit spons di kolam pemeliharaan yang diperoleh memiliki ukuran yang sangat kecil. Dinding oosit sudah terlihat, inti sudah terlihat namun anak inti

belum terlihat dengan jelas. Oosit yang ditemukan pada fase ini merupakan oosit tahap I (Gambar 10).

b

in

dt

Gambar 10. Foto mikroskopis telur Petrosia (petrosia) nigricans pada fase bulan mati tahap oosit I di kolam pemeliharaan; in: inti telur, dt: dinding telur (Pewarnaan Haematoksilin-Eosin)

Hasil pengamatan histologis pada spons laut (alam) pada fase bulan baru/mati menunjukkan bahwa oosit yang didapatkan belum beraturan. Dinding sel belum terlihat jelas, inti sudah terlihat namun anak inti tidak terlihat. Oosit dari spons laut (alam) memperlihatkan butiran lemak dan ukuran yang lebih besar daripada oosit spons hasil transplantsi di kolam pemeliharaan. Oosit yang ditemukan pada fase ini merupakan oosit tahap I (Gambar 11).

in

dt

Gambar 11. Foto mikroskopis telur Petrosia (petrosia) nigricans pada fase bulan mati tahap oosit I di laut (alam); in: inti telur, dt: dinding telur (Pewarnaan Haematoksilin-Eosin)

Oosit yang ditemukan pada fase bulan purnama untuk hasil histologis spons di kolam pemeliharaan terlihat menyebar dan mempunyai kepadatan yang tinggi dalam lapisan mesohyl. Inti telur dapat terlihat dengan jelas namun anak inti tidak terlihat, dinding telur mulai terlihat menebal, dan butiran lemak sudah terlihat. Oosit yang ditemukan juga masih berada pada tahap I atau oosit awal (Gambar 12).

in

b

dt

Gambar 12. Foto mikroskopis telur Petrosia (petrosia) nigricans pada fase bulan Purnama tahap oosit I di kolam pemeliharaan; in: inti telur, dt: dinding telur, b: butiran lemak (Pewarnaan Haematoksilin-Eosin)

Hasil pengamatan histologis pada fase bulan purnama untuk hasil

histologis spons laut menunjukkan bahwa bentuk oosit diperoleh sudah beraturan. Oosit memiliki kepadatan yang tinggi di dalam lapisan mesohyl. Dinding oosit sudah menebal dan terlihat jelas, inti sudah terlihat namun anak inti tidak terlihat, dan butiran lemak sudah terlihat. Oosit yang ditemukan pada sampel spons laut (alam) memiliki ukuran yang lebih besar daripada oosit spons hasil transplantasi di kolam pemeliharaan. Oosit yang ditemukan pada fase ini merupakan oosit tahap I (Gambar 13).

b dt

in

Gambar 13. Foto mikroskopis telur Petrosia (petrosia) nigricans pada fase bulan Purnama tahap oosit I di laut; in: inti telur, dt: dinding telur, b: butiran lemak (Pewarnaan Haematoksilin-Eosin)

Pada penelitian ini oosit yang ditemukan tidak berkembang, namun jumlah oosit meningkat terutama pada fase bulan purnama. Oosit yang tidak berkembang diduga disebabkan oleh pengaruh kondisi kolam pemeliharaan yang berbeda dari habitat aslinya (laut). Sel tubuh spons yang berperan dalam regenerasi dan rekonstruksi bagian tubuh spons yang terluka adalah archaeocyte. Archaeocyte merupakan sel yang memiliki kemampuan untuk mengubah bentuknya menjadi beberapa tipe sel sesuai dengan yang dibutuhkan oleh spons. Pada spons yang terfragmentasi archaeocyte sangat mungkin terfokus dalam kegiatan pemulihan jaringan bekas luka, sehingga mengganggu proses reproduksi seksual pada spons yang terfragmentasi saat pemeliharaan.

4.3.2. Pengaruh fase bulan pada reproduksi spons Petrosia (petrosia) nigricans

Siklus bulan merupakan salah satu faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi proses gametogenesis pada sebagian besar hewan laut. Siklus bulan diduga memicu pematangan sperma dan telur (Philips et al. 1990 in Rani 2004). Hoppe dan Reichert (1987) menyatakan bahwa pengeluaran gamet spons jenis Neofibularia nolitangere pada daerah tropik berhubungan erat dengan fase

bulan. Perkembangan reproduksi spons dalam fase Bulan Qomariyah dapat diamati dari jumlah oosit yang terdapat dalam fragmen-fragmen spons. Siklus bulan diduga berpengaruh terhadap intensitas cahaya (Lampiran 9) yang diperoleh spons di kolam pemeliharaan.

Oosit spons Petrosia (petrosia) nigricans diukur dengan menggunakan mikrometer pada setiap fase bulan. Ukuran oosit yang dilihat berdasarkan diameter terpanjang dan diameter terpendek. Diameter gamet dihitung

menggunakan metode Geometrik mean (rata-rata geometrik) dengan menghitung rata-rata geometrisnya, yaitu akar dari perkalian diameter terpanjang dan diameter terpendek gamet betina (oosit) yang ditemukan (Permata et al., 2000).

Oosit pada spons Petrosia (petrosia) nigricans hasil transplantasi di kolam pemeliharaan berada pada oosit tahap I di setiap waktu pengambilan fase Bulan Qomariyah. Masing-masing kisaran nilai rata-rata geometrik oosit pada fase bulan baru/mati, fase bulan ¼, fase bulan ¾, maupun fase bulan purnama sebagai berikut: 4,72 - 9,96 µm dengan rata-ratanya 7,58 µm dan standar deviasinya 1,30; 5,06 - 9,50 µm dengan rata-ratanya 7,26 µm dan standar deviasinya 0,90; 5,23 – 9,79 µm dengan rata-ratanya 7,15 µm dan standar deviasinya 1,04; 6,22 – 11,03 µm dengan rata-ratanya 8,33 µm dan standar deviasinya 1,22. Rata-rata

geometrik diameter oosit pada spons Petrosia (petrosia) nigricans sampel hasil transplantasi di kolam pemeliharaan pada setiap fase bulan disajikan pada Gambar 14.

Gambar 14. Rata-rata geometrik diameter oosit pada spons Petrosia (petrosia) nigricans hasil transplantasi di kolam pemeliharaan pada setiap fase bulan

Menurut Fromont (1988) pada spons jenis Xestospongia testudinari pada tahap awal perkembangan telurnya, oosit mempunyai inti dan anak inti yang terlihat jelas dengan diameter oosit awal sekitar 7 µm. Berdasarkan ukuran telur yang didapatkan pada masing-masing fase bulan, dapat dinyatakan bahwa telur yang didapat pada penelitian ini dikategorikan pada oosit tahap I.

Nilai rata-rata geometrik oosit pada spons Petrosia (petrosia) nigricans non transplantasi (laut) dikategorikan pada oosit tahap I di setiap waktu

pengambilan fase bulan. Masing-masing kisaran nilai rata-rata geometrik oosit pada fase bulan baru/mati dan fase bulan purnama sebagai berikut: 12,59 – 19,41 µm dengan rata-ratanya 16,09 µm dan standar deviasinya 1,51; 13,08 – 19,97 µm dengan rata-ratanya 16,55 µm dan standar deviasinya 1,88.

Gambar 15 menunjukkan bahwa pada fase bulan baru/mati dan fase bulan purnama memiliki rata-rata geometrik diameter oosit Petrosia (petrosia) nigricans hasil transplantasi di kolam pemeliharaan lebih kecil dibandingkan dengan rata- rata geometrik diameter oosit non transplantasi (laut) pada tahap oosit yang sama. Hal ini diduga karena pada spons yang ditransplantasi di kolam pemeliharaan

mengalami penurunan fungsi reproduksi akibat adanya luka dari aktivitas fragmentasi. Luka yang terdapat pada fragmen spons tersebut menyebabkan kehilangan sebagian jaringan sehingga sumberdaya atau energi yang tesisa diutamakan untuk pemeliharaan dan perbaikan jaringan tubuh spons.

Gambar 15. Rata-rata geometrik diameter oosit pada spons Petrosia (petrosia) nigricans hasil transplantasi di kolam pemeliharaan dan non transplantasi (laut)

Uji statistik menggunakan uji-t dua sampel dengan nilai α = 0,05 dilakukan untuk mengetahui pengaruh habitat spons (kolam pemeliharaan dan laut) terhadap ukuran oosit spons. Hasil uji menunjukkan reproduksi seksual spons di kolam pemeliharaan berbeda nyata dengan spons yang hidup di habitat aslinya (laut) pada ukuran oosit, dibuktikan dengan nilai Pvalue < 0,05(Lampiran 7) yang berarti terima H0. Hal ini menjelaskan bahwa kolam pemeliharaan berpengaruh terhadap ukuran oosit spons. Hasil reproduksi seksual pada spons yang hidup di habitat aslinya (laut) lebih baik dari reproduksi seksual spons di kolam pemeliharaan, karena ukuran oosit spons di kolam lebih kecil dibandingkan dengan sampel spons di habitat asliny (laut).

Jumlah oosit diperoleh dari hasil pengamatan histologis per fragmen dengan asumsi bahwa 6 sayatan yang diambil pada setiap fragmen telah mewakili

jumlah oosit pada fragmen tersebut. Metode yang digunakan untuk menghitung jumlah oosit adalah metode sensus karena oosit pada semua fase bulan menyebar luas di lapisan mesohyl. Penggunaan metode sensus ini diharapkan semua oosit yang ada dapat terhitung. Jumlah oosit pada setiap fragmen kemudian dihitung rata-ratanya dalam setiap fase Bulan Qomariyah.

Jumlah oosit pada spons Petrosia (petrosia) nigricans hasil transplantasi di kolam pemeliharaan berada pada tahap oosit I di setiap waktu pengambilan fase bulan. Masing-masing kisaran jumlah oosit per lapang pandang pada fase bulan baru/mati, fase bulan ¼, fase bulan ¾, maupun fase bulan purnama sebagai berikut: 11 - 17 oosit dengan rata-ratanya 13 oosit dan standar deviasinya 1,76; 14 - 20 oosit dengan rata-ratanya 17 oosit dan standar deviasinya 1,71; 13 - 19 oosit dengan rata-ratanya 16 oosit dan standar deviasinya 1,60; 16 - 22 oosit dengan rata-ratanya 19 oosit dan standar deviasinya 1,68. Rata-rata jumlah oosit pada spons Petrosia (petrosia) nigricans sampel hasil transplantasi di kolam

pemeliharaan pada setiap fase bulan disajikan pada Gambar 16.

Dokumen terkait