WAHYU ADI SETYANINGSIH. Pengaruh Habitat Buatan Terhadap Jumlah dan Ukuran Oosit Spons Petrosia (petrosia) nigricans. Supervise by NEVIATY PUTRI ZAMANI dan ADI WINARTO.
Penelitian ini merupakan pengembangan teknik budidaya spons dengan melakukan transplantasi di habitat buatan (kolam pemeliharaan) dengan sistem resirkulasi. Tujuan penelitian ini yaitu untuk melihat pengaruh habitat buatan (kolam pemeliharaan) terhadap jumlah dan ukuran oosit spons Petrosia (petrosia) nigricans dan disertai pengukuran data serupa pada spons yang hidup di habitat alam sebagai kontrol. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2010 sampai November 2011 di Laboratorium Pusat Studi Kelautan Institut Pertanian Bogor Jakarta Utara dan analisis data di Laboratorium Histologis Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Analisis data jumlah dan ukuran oosit spons menggunakan analisis deskriptif dan analisis uji-t dua sampel dengan
α = 0,05 menggunakan Software Minitab 14. Hasil pengukuran parameter fisik dan kimia menunjukkan bahwa kondisi perairan kolam pemeliharaan masih dalam batas toleransi bagi kehidupan spons sehingga dapat menunjang pertumbuhan spons Petrosia (petrosia) nigricans. Pengamatan histologis menunjukkan bahwa tipe reproduksi spons Petrosia (petrosia) nigricans yang di transplantasikan di kolam percobaan ini adalah gonokhorik, yang teridentifikasi sebagai individu betina dan masih berada pada perkembangan tahap oosit I pada setiap sampel histologis. Hasil tersebut disebabkan kondisi kolam pemeliharaan dengan nilai parameter fisik dan kimia yang ada belum dapat menopang perkembangan oosit spons. Keadaan kolam yang semi tertutup mempengaruhi cahaya bulan yang diterima oleh spons pada setiap fase bulan tidak maksimal, sehingga
perkembangan reproduksi spons terganggu. Nutrien yang terdapat pada kolam pemeliharaan hanya cukup untuk pemulihan spons akibat pemotongan spons tiap pengambilan sampel. Uji statistik menunjukkan bahwa habitat buatan (kolam pemeliharaan) berpengaruh terhadap penurunan nilai ukuran dan jumlah oosit spons. Spons yang memiliki luka akan mengutamakan energi yang tersedia untuk pemulihan pertahanan tubuhnya terlebih dahulu dibandingkan meningkatkan fungsi reproduksinya.
WAHYU ADI SETYANINGSIH. The Influence of Habitats Artificial Over the Amount and Size of an Oocyte a Sponge Petrosia (petrosia) nigricans. Supervise by NEVIATY PUTRI ZAMANI dan ADI WINARTO.
This research is the development of cultivation techniques of sponge by doing a transplant in artificial habitat (pond maintenance) with a recirculation system. The purpose of this study is to find out the influence of artificial habitat (pond maintenance) on the number and size of the oocyte sponge Petrosia (petrosia) nigricans and accompanied by similar data on measurement of sponge that lives in the natural habitat as a control. The research was carried out in September 2010 to November 2011 in the laboratory of Marine Studies Centre of Bogor Agricultural University in North Jakarta and data analysis in Histological Laboratory, Faculty of Veterinary Medicine of Bogor Agricultural University. Analysis of data amount and the size of the oocyte sponge using descriptive analysis and t-test two samples analysis with α = 0,05 using Minitab Software 14. The results of measurements of physical and chemical parameters indicate that the condition of waters pond maintenance still within the limits of tolerance for the life of a sponge so that it can support the growth of Petrosia (petrosia) nigricans. Histological observation shows that the type of reproduction a sponge Petrosia (petrosia) nigricans that transplant in the pond maintenance at this experiment is a gonokhorik, which is identified as an individual female, and are still in
1.1.Latar Belakang
Spons merupakan kelompok hewan laut multiseluler primitif yang
tergolong ke dalam Filum Porifera yang hidupnya menetap pada substrat seperti
pasir, batu-batuan, maupun karang-karang di bawah laut. Spons adalah salah satu
hewan laut yang potensial mengandung senyawa bioaktif. Senyawa bioaktif yang
berasal dari spons dapat dimanfaatkan antara lain sebagai bahan obat-obatan,
diantaranya sitotoksik dan tumor (Kobayashi dan Rachmaniar, 1999),
anti-virus (Munro et al., 1989), dan anti-jamur. Spons Petrosia (petrosia) nigricans
mengandung senyawa bioaktif kelompok poliasetilen dan kelompok sterol.
Senyawa-senyawa tesebut memiliki kemampuan sebagai anti-bakteri, anti-fungi,
dan anti-fouling (Kim et al., 2002).
Keberadaan spons menjadi sorotan dalam dunia bioteknologi, terutama
untuk mencari senyawa bioaktif baru dan pengembangan di bidang riset
obat-obatan. Meningkatnya kebutuhan akan bahan bioaktif ini menjadi tantangan untuk
menemukan metode penyediaan stok spons secara berkesinambungan, salah satu
upaya yang dapat dilakukan yaitu budidaya spons. Upaya budidaya secara
aseksual melalui fragmentasi dengan metode transplantasi perlu dikembangkan
untuk memproduksi anakan atau penyediaan bibit bagi keperluan restocking,
penelitian, maupun pemanfaatan agar keanekaragaman hayati di perairan
Indonesia tetap terjaga (Rani dan Haris, 2005).
Penelitian awal yang pernah dilakukan oleh Tim Hibah Pasca (IPB 2005)
menunjukkan bahwa Kepulauan Seribu (P. Lancang, P. Pari dan P. Pramuka)
memiliki jumlah jenis dan kelimpahan spons yang tinggi. Spons yang ditemukan
dalam jumlah dan kelimpahan yang dominan diantaranya adalah Petrosia sp..
Penelitian yang dilakukan oleh Kardono (2006) dan Susanna (2006) juga
menunjukkan bahwa kedua jenis spons ini memiliki kecenderungan peningkatan
jumlah dan kelimpahan seiring pertambahan kedalaman. Budidaya spons untuk
spesies Petrosia (petrosia) nigricans dengan metode transplantasi belum diketahui
secara jelas pengaruhnya terhadap reproduksi seksualnya, oleh karena itu perlu
dilakukan penelitian mengenai pengaruh transplantasi pada kolam pemeliharaan
terhadap aspek reproduksi seksual spons yang dapat dijadikan dasar dalam
pengembangan budidaya spons di masa yang akan datang. Upaya transplantasi ini
menjaga agar sumberdaya hayati spons laut dapat dilestarikan dan dapat
dimanfaatkan secara bijaksana.
Spons tersebut dicobakan untuk difragmentasi dan dirawat di dalam
habitat buatan (kolam) yang terkontrol dengan persediaan air laut yang berasal
dari Ancol, Jakarta Utara. Penggunaan kolam dalam penelitian ini bertujuan untuk
melihat pengaruh kegiatan fragmentasi dan pemindahan spons terutama terhadap
fungsi reproduksi seksual spons di habitat baru tersebut. Penelitian pendahuluan
tentang reproduksi seksual spons Aaptos aaptos hasil transplantasi oleh Wini
(2008) di habitat buatan (kolam) yang terkontrol dan oleh Dahlia (2007) di
Kepulauan Seribu.
1.2. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh habitat buatan (kolam
pemeliharaan) terhadap jumlah dan ukuran oosit spons Petrosia (petrosia)
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Klasifikasi Spons
Spons merupakan hewan tidak bertulang belakang yang bersifat primitif
dan sessil (menetap di dasar perairan). Spons tidak bergerak tetapi tinggal dan
hidup sampai dewasa pada suatu tempat seperti layaknya tumbuhan. Sebarannya
didukung oleh larva yang bergerak aktif atau oleh hewan muda yang terbawa arus
sebelum mereka menempel. Spons termasuk ke dalam Filum Porifera yang dibagi
menjadi 3 kelas yaitu Calcarea, Hexactinellida, dan kelas Demospongiae
(Romimohtarto dan Juwana, 2001; Brusca dan Brusca, 1990).
Kelas Calcarea adalah satu-satunya spons dengan spikul yang tersusun dari
zat kapur karbonat. Kelas ini terdiri atas 2 subkelas, 4 ordo, 19 famili dan 98
genera (Hooper, 2000). Saat ini Calcarea banyak tersebar di daerah laut tropis.
Spons ini mempunyai struktur sederhana dibandingkan yang lainnya. Spikulnya
terdiri dari kalsium karbonat dalam bentuk calcite. Kelas Hexactinellida biasa
disebut juga dengan spons gelas yang sebagian besar hidup di laut dalam dan
tersebar luas di alam. Kelas ini terdiri atas 2 subkelas, 4 ordo, 19 famili dan 113
genera.. Spikulnya terdiri atas silikat dan tidak mengandung spongin (Brusca dan
Brusca, 1990; Romimohtarto dan Juwana, 2001). Kelas Demospongiae adalah
kelompok spons spons paling dominan diantara kelas porifera lainnya. Kelas ini
terdiri lebih dari 90% yang diperkirakan sekitar 4.500-5.000 spesies dari total
spesies yang hidup di dunia. Kelas ini dibagi menjadi 3 subkelas, 13 ordo, 71
famili dan 1005 genera (Hooper, 2000). Spons ini umumnya bertipe leuconoid
dan spikulnya terdiri dari silika.
Klasifikasi hewan uji spons Petrosia (petrosia) nigricans Lindgren, 1897
menurut Hooper dan Van Soest (2002) (Gambar 1) adalah sebagai berikut:
Kingdom: Animalia
Filum: Porifera
Kelas: Demospongiae
Sub kelas: Ceractinomorpha
Ordo: Haplosclerida
Famili: Petrosiidae
Genus: Petrosia
Spesies: Petrosia (petrosia) nigricans Lindgren, 1897
Gambar 1. Spons Petrosia (petrosia) nigricans (Ismet, 2007)
Bentuk luar spons laut sangat dipengaruhi oleh faktor fisik, kimiawi, dan
biologis lingkungannya. Spesimen yang berada di lingkungan yang terbuka dan
berombak besar cenderung pendek pertumbuhannya atau merambat. Sebaliknya
yang lebih dalam dan berarus tenang, pertumbuhannya cenderung tegak dan
tinggi. Pada perairan yang lebih dalam spons cenderung memiliki tubuh yang
lebih simetris dan lebih besar sebagai akibat lingkungan yang lebih stabil apabila
dibandingkan dengan jenis yang sama yang hidup pada perairan yang dangkal
(Bergquist, 1978). Jumlah dan kelimpahan Petrosia sp. menjadi lebih tinggi
seiring bertambahnya kedalaman. Spons yang hidup pada perairan yang lebih
dangkal akan dipengaruhi oleh sedimentasi yang lebih besar dari pada spons yang
hidup di perairan dalam.
2.2. Morfologi Spons
Spons merupakan hewan yang paling sederhana karena tidak memiliki
jaringan, syaraf, otot-otot, dan organ dalam. Morfologi luar spons laut sangat
dipengaruhi oleh faktor fisik, kimiawi, dan biologis lingkungannya. Spesimen
yang berada di lingkungan yang terbuka dan berombak besar cenderung pendek
pertumbuhannya atau juga merambat. Sebaliknya spesimen dari jenis yang sama
pada lingkungan yang terlindung atau pada perairan yang lebih dalam dan berarus
tenang, pertumbuhannya cenderung tegak dan tinggi (Amir dan Budiyanto, 1996).
Spons dapat berbentuk sederhana seperti tabung dengan dinding tipis,
atau masif bentuknya dan agak tidak teratur. Banyak spons juga terdiri dari
segumpal jaringan yang tak tentu bentuknya, menempel dan membuat kerak
pada batu, cangkang, tonggak, atau tumbuh-tumbuhan. Kelompok spons lain
mempunyai bentuk lebih teratur dan melekat pada dasar perairan melalui
sekumpulan spikula. Bentuk-bentuk yang dimiliki spons dapat beragam.
seperti cawan atau seperti kubah. Ukuran spons juga beragam, mulai dari jenis
berukuran sebesar kepala jarum pentul, sampai ke jenis yang ukuran garis
tengahnya 0,9 m dan tebalnya 30,5 cm. Jenis-jenis spons tertentu nampak
berbulu getar karena spikulanya menyembul keluar dari badannya
(Romimohtarto & Juwana 1999).
Spons merupakan biota multiseluler primitif yang bersifat filter feeder,
menghisap air dan bahan-bahan lain disekelilingnya melalui pori-pori (ostia) yang
kemudian dialirkan ke seluruh bagian tubuhnya melalui saluran (channel).
Selanjutnya air akan dikeluarkan melalui pori-pori yang terbuka (ostula). Spons
merupakan hewan laut yang masuk kedalam filum porifera yang berarti memiliki
pori-pori dan saluran. Pori-pori dan saluran-saluran ini dialiri air yang diserap
oleh sel khusus yang dinamakan sel leher (koanosit), yang dalam banyak hal
menyerupai cambuk. Filum hewan ini lebih dikenal sebagai spons, yakni hewan
multiseluler (bersel banyak) yang primitif, yang berasal dari zaman paleozoik
sekitar 1,6 milyar tahun yang lalu. Gambar 2 memberi gambaran mengenai
bentuk dan struktur dinding tubuh spons (Romimohtarto & Juwana, 2001)
Spons mempunyai tiga lapisan selular utama yaitu, pinacoderm yang
terletak di bagian luar spons yang terdiri dari satu lapisan sel yang disebut
pinacocytes. Lapisan kedua adalah choanoderm yang tersusun dari sel
choanocytes. Lapisan ketiga adalah mesohyl yang terletak antara pinacoderm dan choanoderm yang membuat tubuh spons menjadi besar. Pinacocytes di bagian dasar dapat mengeksresikan bahan yang melekatkan spons ke substrat.
Choanocytes berfungsi untuk membuat arus dan mengarahkan air melewati sistem saluran air pada spons. Choanocytes mempunyai flagela dan berperan utama pada
fagositosis karena memiliki vakuola makanan (Brusca dan Brusca, 1990).
Saluran yang terdapat pada spons bertindak seperti halnya sistem sirkulasi
pada hewan tingkat tinggi yang merupakan pelengkap untuk menarik makanan ke
dalam tubuh dan untuk mengangkut zat buangan keluar dari tubuh. Karena hal
inilah maka spons dimasukan kedalam kelompok hewan filter feeder. Arus air
yang masuk melalui sistem saluran dari spons diakibatkan oleh cambuk koanosit
yang bergerak terus menerus. Koanosit juga mencernakan partikel makanan, baik
disebelah maupun di dalam sel leher. Sisa makanan yang tidak tercerna dibuang
keluar dari dalam sel leher. Makanan tersebut dipindahkan dari satu sel ke sel lain
kemudian diedarkan dalam batas-batas tertentu oleh sel-sel amuba yang
berkeliaran di dalam lapisan tengah spons (McConnaughey, 1970).
2.3. Fisiologi Spons
Kehidupan spons sangat dipengaruhi oleh sirkulasi air. Arus air yang
lewat melalui spons membawa serta zat buangan dari tubuh spons, maka penting
sudah tidak berisi makanan lagi, tetapi mengandung asam karbon dan sampah
nitrogen yang beracun bagi hewan tersebut (Romimohtarto dan Juwana, 2001).
Aliran air sangat mempengaruhi proses fisiologi dari spons. Spons merupakan
hewan penyaring makanan (filter feeder) yang bergantung pada arus yang
melewati tubuhnya sebagai pembawa sumber makanan (Ruppert dan Barnes,
1991). Hewan ini mencari makan dengan menghisap dan menyaring air yang
melalui seluruh permukaan tubuhnya secara aktif. Partikel makanan masuk
bersamaan dengan aliran air melalui ostium yang terbuka dalam air kemudian
diseleksi berdasarkan ukuran dan disaring dalam aliran menuju ke dalam rongga
lambung atau ruang-ruang berflagella yang bergerak secara terus-menerus.
Partikel yang berukuran kecil seperti bakteri (< 1µm) ditelan oleh choanocytes,
sedangkan partikel yang berukuran antara 5 sampai 50 µm dimakan dan dibawa
oleh amebocytes. Pencernaan dilakukan secara intraseluler dan hasil
pencernaannya disimpan dalam archeocytes.
2.4. Reproduksi
2.4.1. Reproduksi aseksual
Proses reproduksi aseksual pada spons umumnya terjadi secara alami
yang didasarkan pada potensi perkembangan archaeocytes. Proses reproduksi
seksual spons antara lain yaitu pembentukan pucuk (bud formation),
penyembuhan luka (wound healing), pertumbuhan somatik (somatic growth) dan
pembentukan gemule (gemmules formation) (Harrison dan De Vos, 1991).
Reproduksi aseksual buatan pada spons dapat dilakukan melalui
menggunakan pisau stainless steel serta menanam atau menaruh fragmen tersebut
pada substrat buatan di kedalaman atau lokasi tertentu yang telah ditentukan
sebelumnya (MacMilan, 1996).
2.4.2. Reproduksi seksual
2.4.2.1. Tipe dan cara reproduksi seksual spons
Seksualitas pada spons dapat dikelompokan pada dua tipe (Kozloff, 1990),
yaitu:
a). Hermaprodit, yaitu spons yang menghasilkan baik gamet jantan maupun gamet
betina selama hidupnya. Tipe Hermaprodit pada spons terbagi atas:
• Hermaprodit bersamaan, yaitu apabila spons menghasilkan gamet jantan dan
betina pada waktu yang bersamaan. Contohnya pada spons jenis Neofibularia
nolitangere.
• Hermaprodit bergantian, yaitu apabila spons menghasilkan gamet jantan dan
betina secara bergantian. Contohnya pada spons jenis Polymastia mammilaris
dan Suberitas massa (Hadromerida), Hymeniacidon carincula dan
Hymeniacidon heliophila (Halichonsrida) (Sara, 1992)
b). Gonokhorik, khususnya ditemukan pada Ordo Hadromerida didapatkan pada
jenis Tethya cryta, Tethya auratum (Tethydae); Chondrosia reniformis,
Chondrilla nucula (Chondrosiidae); Aaptos aaptos (Polymastiidae). Selain itu seksualitas tipe gonokhorik labil ditemukan pada spons jenis Suberitas carnous
2.4.2.2. Spermatogenesis spons
Spermatogonia pada spons berasal dari choanocytes dan achaeocytes
karna ada fakta yang menunjukkan bahwa choanocytes mengalami transformasi
ke achaeocytes atau sebaliknya (Sara, 1992), dan spermatogenesis terjadi pada
spermatic cyst. Diferensiasi sperma terbagi atas tiga bentuk, yaitu:
• Semua sel pada semua cyst mungkin berkembang secara bersama-sama
(synchronous), misalnya Polimastia mammilaris, Axinella damicornis
• Diferensiasi sel dalam sebuah cyst secara bersama-sama, tetapi tahap
perkembangan bervariasi pada cyst yang berbeda, misalnya pada spons air
tawar Ephydatia fluviatilis.
• Sel berkembang pada beberapa cyst yang berbeda, misalnya Aaptos aaptos
(Harrison dan De Vos, 1991).
2.4.2.3. Oogenesis spons
Oogonia pada spons berasal dari achaeocytes atau choanocytes (Ruppert
dan Barnes, 1991). Oogonia yang asal mulanya dari choanocytes, seperti pada
spons jenis Suberitas massa, Oscarella lobularis dan Clathirina cerebrum.
Choanocystes memanjang, dan nukleusnya berkembang dengan nukleolus yang menonjol. Sitoplasma berisi peningkatan jumlah mitokondria dan menjadi lebar.
Badan golgi semakin lama semakin berkembang. Choanocystes kehilangan sel-sel
leher dan flagellanya sebelum bermigrasi ke dalam mesohyl dan mengakumulasi
phagosome (Harrison dan De Vos, 1991). 2.4.2.4. Fertilisasi
Sperma dan sel telur dihasilkan oleh amoebocytes. Sperma keluar dari
melalui ostium juga bersama aliran air. Sperma akan masuk ke choanocytes atau
amoebocytes yang berada di dalam spongocoel atau flagellated chamber. Sel amoebocytes beserta sperma melebur dengan sel telur, selanjutnya terjadi
pembuahan (fertilisasi). Perkembangan embrio sampai menjadi larva berflagela
masih di dalam mesohyl. Larva berflagela (larva amphiblastula) keluar dari
mesohyl dan bersama aliran air keluar dari tubuh induk melalui osculum. Larva amphiblastula berenang bebas, beberapa saat kemudian menempel pada substrat dan berkembang menjadi spons muda sessile dan akhirnya tumbuh menjadi besar
dan dewasa.
2.4.2.5. Faktor yang mempengaruhi fungsi reproduksi spons
Mekanisme yang mengatur atau mempengaruhi reproduksi spons
dikelompokan menjadi dua kategori, yaitu pengaruh internal dan pengaruh
eksternal.
Pengaruh internal yang mempengaruhi reproduksi spons adalah:
1). Kontrol genetik
Kontrol genetik mempengaruhi pematangan seksual. Spons Axinella
damicornis dan Axinella verrucosa mempunyai genus yang sama dan habitat yang sama tetapi memperlihatkan periode reproduksi yang sangat berbeda.
Variasi siklus reproduksi ditunjukkan juga oleh jenis yang berbeda pada daerah
cuaca yang sama. Hal ini merupakan argumentasi lain diferensiasi seksual
yang dipengaruhi oleh kontrol genetik (Sara, 1992).
2). Senyawa yang mirip dengan hormon
Penelitian penggabungan spesimen yang tidak berdiferensiasi seksual pada
penggabungan spesimen ke bercampurnya gamet heterolog atau ke sebuah
pengaruh satu tipe gamet yang lainnya. Kenyataan ini terjadi pada Polymastis
sp. yang menunjukkan bahwa dengan petunjuk yang terbatas, senyawa yang
mirip hormon berpengaruh pada seksualitas spons dan kelihatannya
mengindikasikan sebuah dasar genetik pada diferensiasi (Sara, 1992).
3). Pengaruh umur dan ukuran spons
Umur spesimen yang mungkin berkorelasi dengan ukurannya, merupakan
mekanisme lain yang dapat mengontrol reproduksi pada spons. Ukuran
reproduktif minimum pada Tethya serrica panjangnya kira-kira 10 cm.
Hippospongia lanchne diameternya kira-kira 14 cm. Mycale sp. hanya spesimen yang volume bersihnya lebih besar dari 200 ml mengalami
oogenesis, sedangkan spesimen yang kecil memperlihatkan spermatogenesis.
Sebaliknya, pada Suberitas ficus, oogenesis sering terjadi hanya pada spesimen
yang ukurannya tidak lebih dari kira-kira 5 cm (Sara, 1992).
Pengaruh eksternal yang mempengaruhi reproduksi spons adalah:
1). Suhu dan cahaya
Perubahan suhu memberikan penngaruh terhadap spons. Spons tumbuh pada
kisaran suhu optimal 26-31 ºC dan di daerah empat musim suhu merupakan
faktor lingkungan utama yang mengatur reproduksi spons, sangat berhubungan
dengan perubahan suhu yang mencolok pada tiap musimnya. Umumnya spons
tidak mampu beradaptasi pada perubahan suhu yang sangat cepat. Peningkatan
suhu dan intensitas cahaya memberikan kontribusi pada pemilihan waktu
gametogenesis pada spons di perairan tropis pada Great Barrier Reef. Tiga
berhubungan dengan awal dan penghentian aktifitas reproduksi pada tiga jenis
spons, yaitu Haliclona amboinensis, Haliclona cymiformis, dan Niphates nitida
(Fromont, 1994). Namun beberapa penelitian juga memperlihatkan bahwa
gametogenesis sama sekali tidak berhubungan dengan faktor suhu (Simpson,
1984).
2). Fotoperiode
Fotoperiode penting untuk pematangan oosit, misalnya pada spons intertidal
Haliclona perlmolis di pantai Oregon Tengah. Pematangan oosit ini berhubungan dengan suhu jaringan pada spons ini yang diakibatkan oleh
fotoperiode. Permulaan oogenesis terjadi selama awal bulan maret
berhubungan dengan peningkatan intensitas cahaya, sementara
spermatogenesis berhubungan dengan suhu jaringan. Spons ini secara fisiologi
dapat membentuk oosit pada suhu rendah sementara yang lainnya membentuk
spermatosit lebih lambat pada suhu yang lebih tinggi. Pengaruh positif
fotoperiode terjadi juga pada proses pembentukan gemmule pada spons ini
(Sara, 1992).
3). Fase bulan
Pengeluaran gamet spons pada daerah tropik berhubungan erat dengan fase
bulan. Spawning pada dua individu Agelas clathrodes terjadi pada pagi hari
sebelum fase purnama (Hoppe, 1987). Namun pengeluaran sperma dan telur
2.5. Histologis
Histologis adalah cabang ilmu biologi yang mempelajari tentang jaringan.
Histologis mempelajari jaringan dengan lebih mendalam mengenai struktur,
tekstur dan fungsi dari bagian yang diamati. Jaringan dasar yang biasanya diamati
adalah jaringan epithel, jaringan ikat, jaringan otot, dan jaringan saraf. Histologis
sel gonad merupakan cara pengamatan sel gonad secara mikroskopis. Melalui
histologis diharapkan akan dapat diketahui secara lebih mendalam mengenai
perkembangan yang terjadi di dalam sel gonad. Struktur sel dan jaringan serta
hasil produksi sel diusahakan supaya dapat dilihat sehingga dapat dipelajari
dengan menggunakan bahan-bahan kimia yang dapat mengawetkan jaringan dari
pembusukan, memfiksasi komponen-komponen sel dan matriks tadi sesuai
dengan bentuk aslinya untuk mencegah kerusakan, dan pewarnaan yang
memungkinkan pengamatan bagian-bagian sel matriks dengan kontras yang cukup
15 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Sampel spons Petrosia (petrosia) nigricans yang digunakan untuk penelitian di laboratorium di peroleh di bagian barat daya Pulau Pramuka Gugusan Kepulauan Seribu DKI Jakarta pada kedalaman 7 meter. Perawatan spons yang telah difragmentasi dilakukan selama 3 bulan (September – November 2010) di Laboratorium Pusat Studi Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Jakarta Utara. Waktu pengambilan sampel sesuai dengan penanggalan Bulan Qomariyah selama satu bulan. Pengawetan dan pengamatan sampel spons dilakukan di Laboratorium Histologis Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
3.2. Bahan dan Alat
Bahan dan alat yang digunakan pada penelitian ini disajikan pada Tabel 1 dan Tabel 2 di bawah.
Tabel 1. Bahan yang digunakan dalam penelitian
Bahan Kegunaan
Spons jenis Petrosia (petrosia) nigricans Jenis yang diteliti
Formalin (4% dan 10%) Bahan pengawet, desilifikasi
Air destilasi Desilifikasi, bahan pencuci dalam pewarnaan
Air keran Desilifikasi, bahan pencuci dalam pewarnaan
HCl (Asam Klorida) Bahan desilifikasi
Parafin bahan embedding dan blocking
Xylol bahan clearing
Etanol (70%, 80%, 90%, 95%, dan 100%) bahan dehidrasi dan rehidrasi
Enthellan perekat mounting
Tabel 2. Alat yang digunakan dalam penelitian
Alat Kegunaan
Underwater camera (Canon A640) Dokumentasi Alat selam (satu set) Mengambil sampel Cutter dan pisau stainless steel Memotong jaringan spons Plastik sample Menyimpan sampel spons Kolam Pemeliharaan Wadah pemeliharaan
Kapal motor Transportasi pengambilan sample di alam
Cool box Wadah pengangkutan sampel
Jaring sample Wadah saat pengambilan sampel Botol sample Tempat sampel air
Tali Polyetilen (benang kenur) Alat bantu aklimatisasi sampel Termometer lapangan, Refraktometer Mengukur suhu, salinitas Kertas label Memberi nama sampel
Basket jaringan Tempat jaringan saat dehidrasi Pinset dan jarum Alat bantu sectioning
Gelas objek dan cover glass Meletakan preparat awetan Blok kayu Menempelkan hasil blocking Korek Api Alat bakar
Mangkok Tempat air
Mikrotom Spencer 820 Alat bantu sectioning Tutup pagoda Alat bantu blocking
Lemari pendingin Tempat penyimpanan sampel Lemari asam Membantu pergantian larutan Alat pemanas air Eyela Water Bath SB-650 Alat bantu sectioning
Embedding Console Tissue-Tek TEC Alat blocking
Inkubator Memmert Menyimpan hasil sectioning EyelaSoft Inkubator SLI-450 Menyimpan parafin cair
Mikrometer objektif dan okuler Alat ukur
Mikroskop cahaya dan Stereo Olympus CH20 Mengamati jaringan pensil dan spidol permanen Alat tulis
Optilab viewer Mikrofotografi
3.3. Prosedur Penelitian
3.3.1. Pengambilan sampel di alam
ditusuk dengan jarum yang telah diikatkan benang kenur, setiap potongan diberi jarak ± 2 cm.
Gambar 3 menunjukkan rangkaian spons yang disusun pada benang lalu letakan kembali ke habitat awalnya dengan posisi tergantung pada karang mati atau artificial reef yang ada disekitarnya. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan untuk membantu proses aklimatisasi spons sehingga dapat mengurangi tingkat stress pada spons. Proses aklimatisasi dilakukan selama satu bulan sebelum dibawa ke habitat buatan (kolam pemeliharaan).
Setelah aklimatisasi selama satu bulan spons dipindahkan ke kolam pemeliharaan. Pengemasan sampel spons menggunakan plastik transparan berukuran sedang, kemudian diberi oksigen dan dimasukkan ke dalam cool box yang berisi batu es.
Gambar 3. Aklimatisasi spons Petrosia (petrosia) nigricans di alam
3.3.2. Pemeliharaan spons Petrosia (petrosia) nigricans
Gambar 4. Kolam pemeliharaan spons Petrosia (petrosia) nigricans
Kondisi perairan kolam dengan kualitas air yang mendukung sangat penting bagi kehidupan spons. Kolam pemeliharaan merupakan habitat baru bagi spons sehingga sedemikian rupa diatur agar sama dengan habitat alaminya dan spons dapat bertahan hidup dengan jangka waktu yang lama. Kolam
pemeliharaan ini dilengkapi dengan aerator yang berguna untuk memberi sirkulasi udara di kolam, dan protein skimmer yang berguna sebagai perangkap amonia serta racun yang terkandung dalam air kolam. Kolam dilengkapi dengan dua pompa air yang diletakkan dibagian protein skimmer dan bak penyaringan. Air mengalir dan bersirkulasi selama 24 jam (Gambar 5).
Keramik
Spons diletakan di atas keramik yang terdapat di dasar kolam. Air kolam berasal dari filter Seaworld yang dialirkan dengan pompa berkapasitas besar ke Pusat Studi Ilmu Kelautan Ancol, Jakarta. Spons diaklimatisasi selama satu bulan untuk beradaptasi dengan lingkungan yang baru (kolam pemeliharaan) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 6, sehingga dapat mengurangi stres akibat perubahan kondisi dari lingkungan sebelumnya. Spons yang telah diaklimatisasi kemudian dipotong menjadi bagian yang lebih kecil sehingga berjumlah 12 fragmen.
(a) (b)
Gambar 6. (a) Aklimatisasi awal pemindahan spons Petrosia (petrosia) nigricans di kolam pemeliharaan, (b) Spons Petrosia (petrosia) nigricans di atas keramik di dasar kolam pemeliharaan
3.3.3. Pengukuran parameter lingkungan
dilakukan dengan menggunakan termometer yang terpasang pada kolam pemeliharaan, sedangkan pengukuran salinitas menggunakan refraktometer dengan cara meneteskan contoh air kolam pada refraktometer kemudian bisa dilihat langsung besarnya nilai salinitas air kolam pemeliharaan. Parameter kimia yang di ukur yaitu nitrat, nitrit dan amonia. Pengukuran dilakukan sebanyak dua kali selama 5 minggu masa pemeliharaan spons di kolam, yakni pada awal
minggu pertama dan akhir minggu kelima. Contoh air untuk dianalisis kandungan kimia perairannya diambil dengan botol sampel kemudian disimpan ke dalam coolbox. Analisa kandungan nitrat, nitrit, dan amonia dilakukan di Laboratorium Produksi Lingkungan, MSP-IPB. Pengukuran parameter laut dilakukan juga sebagai kontrol pada setiap pengambilan sampel laut. Tabel 3 menunjukkan satuan, cara pengukuran, dan alat pengukuran parameter fisik dan kimia perairan yang di ukur.
Tabel 3. Parameter fisik dan kimia perairan yang di ukur
No Parameter Satuan Pengukuran Alat/Metode Parameter Fisik
1 Suhu oC in situ Termometer Hg
2 Salinitas PSU (Practical
Salinity Unit) in situ Refraktometer Parameter Kimia
1 Nitrat mg/l laboratorium Spektrofotometer 2 Nitrit mg/l laboratorium Spektrofotometer 3 Amonia mg/l laboratorium Spektrofotometer
3.3.4. Pengambilan sampel di kolam
Pengambilan sampel spons yang dipelihara di kolam dilakukan pada setiap fase bulan secara beraturan, yaitu fase bulan baru/mati, fase bulan ¼ , fase bulan ¾, dan fase bulan purnama. Sedangkan pengambilan sampel spons alam
pengambilan spons di kolam pada fase yang sama. Spons yang diambil harus dalam kondisi yang baik sebanyak tiga buah sampel dari fragmen yang berbeda pada setiap fase. Spons dipotong dengan ukuran 0,5 x 0,5 cm2. Sampel kemudian dimasukkan ke dalam plastik sampel dan diawetkan dengan formalin 10% dan air laut dengan perbandingan 1:9 sebagai pengawet.
3.3.5. Pembuatan preparat awetan
Pembuatan preparat awetan dengan menggunakan metode histologis standar yaitu metode parafin dengan pewarnaan HE (Haematoxylin Eosin)
(Gunarso, 1989) (Lampiran 2). Berikut ini prosedur dalam histologis (Gambar 7),
Sampel spons Petrosia (petrosia) nigricans
Difiksasi dalam larutan formalin 10%
Desilifikasi
Dehidrasi
Gambar 7. Diagram alir proses standar histologis spons
3.3.6. Pengamatan laboratorium
Pengamatan preparat histologis dilakukan di Laboratorium Histologis Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor untuk mendapatkan beberapa data, antara lain:
1). Pengukuran diameter terpanjang dan diameter terpendek oosit
Embedding dan Blocking Clearing
Staining (pewarnaan)
Sectioning (± 5µm)
Mounting
Oosit yang diukur adalah oosit yang memiliki inti. Diameter terpanjang oosit diukur pada bagian yang paling panjang, sedangkan diameter terpendek oosit diukur pada bagian yang paling panjang (Gambar 8).
Gambar 8. Pengukuran diameter terpanjang dan diameter terpendek oosit
2). Pengukuran jumlah oosit
Pengukuran jumlah oosit yang ditemukan pada setiap lapang pandang.
3.4. Analisis Data
Jumlah dan ukuran oosit spons Petrosia (petrosia) nigricans dianalisis dengan melakukan pengamatan preparat histologis secara visual dengan mikroskop (perbesaran lensa 100x dan 400x) dan gambar hasil mikrofotografi berdasarkan fase bulan pada kolam pemeliharaan dan habitat aslinya (laut), kemudian membandingkannya dengan pustaka terbaru atau jurnal. Jumlah oosit diukur dengan menghitung rata-rata jumlah oosit terbanyak yang ditemukan pada lima lapang pandang di tiga sayatan berseri koloni sampel. Pengukuran diameter terpanjang serta diameter terpendek dilakukan dengan menggunakan alat
mikrometer. Rata-rata geometrik diameter di dapat dari akar perkalian antara diameter terpanjang dan diameter terpendek. Rumus yang digunakan yaitu (Permata et al., 2000):
Analisis deskriptif
jumlah dan ukuran gamet spons hasil transplantasi di
habitat buatan (kolam)
Pengambilan sampel spons
Petrosia (petrosia) nigricans
dari alam
Pembuatan preparat Transplantasi spons di
habitat buatan (kolam)
Pengambilan sampel spons
Petrosia (petrosia) nigricans dari transplantasi di habitat buatan
(kolam)
Sampel Petrosia (petrosia) nigricans dari alam
jumlah dan
Uji-t untuk dua sampel (Minitab 14) (Jumlah dan ukuran oosit)
Pvalue > 0,05
4.1. Kondisi Kolam Pemeliharaan
Pengukuran parameter lingkungan dilakukan untuk mengetahui kondisi perairan pada lokasi penelitian. Hasil pengukuran parameter fisik-kimia di kolam meliputi suhu, salinitas, nitrat, nitrit, dan amonia dapat dilihat pada Tabel 4 dan Tabel 5.
Tabel 4. Nilai kisaran hasil pengukuran parameter fisik kolam pemeliharaan
Parameter Satuan Kolam Laut Baku Mutu* Batas Toleransi** Suhu oC 27-29 28-30 28-30 26-31
Salinitas 0/00 28-32 31-32 33-34 28-38
*Sumber Kep. Men 179/Men. KLH/2004, **Sumber De Voogd (2005)
Nilai kualitas perairan kolam pemeliharaan spons Petrosia (petrosia) nigricans secara umum berada dalam kisaran baku mutu kualitas air untuk biota laut (Kep. Men 179/Men. KLH/2004). Kisaran nilai parameter fisik, suhu dan salinitas diperoleh dari pengukuran yang dilakukan setiap minggu selama 5 minggu pemeliharaan di kolam (Tabel 4). Nilai kisaran suhu perairan kolam selama penelitian antara 27-29 ˚C, sedangkan nilai suhu perairan laut yang terukur pada saat pengambilan sampel sebesar 28-30 ˚C. Suhu tersebut berada pada kisaran suhu yang baik untuk kehidupan spons sesuai dengan baku mutu kualitas air untuk spons. Perubahan suhu perairan dapat disebabkan oleh perubahan waktu dan cuaca pada saat pengukuran. Nilai salinitas pada kolam pemeliharaan
berkisar antara 28-32 0/00(permil), sedangkan nilai salinitas perairan laut yang terukur pada saat pengambilan sampel sebesar 31-32 0/00. Hasil pengukuran salinitas tersebut tidak sesuai dengan baku mutu air laut namun masih berada
dalam kisaran nilai toleransi hidup spons. Kecerahan pada kolam semi tertutup mencapai 100%, karena kondisi perairan kolam jernih sehingga dasar kolam dapat terlihat sangat jelas.
Pengukuran parameter kimia pada perairan kolam pemeliharaan spons dilakukan dua kali, yakni minggu pertama dan minggu kelima selama masa pemeliharaan (Tabel 5).
Tabel 5. Hasil pengukuran parameter kimia kolam pemeliharaan
Parameter Satuan Kolam Laut Baku Mutu* Batas Toleransi ** I II
Nitrat (NO3) mg/l 0,912 0,354 0,080 0,008 -
Nitrit (NO2) mg/l 0,005 0,006 0,034 0,06 0,050
Amonia (NH3) mg/l 0,643 0,954 0,322 0,300 -
*Sumber Kep. Men 179/Men. KLH/2004 **Sumber Effendi (2003)
Nitrat (NO3) adalah senyawa anorganik yang berperan sebagai nutrien.
Kandungan nitrat pada hasil pengukuran awal mencapai 0,912 mg/l dan pada pengukuran kedua nilainya menurun menjadi 0,354 mg/l, sedangkan nilai
kandungan nitrat perairan laut yang terukur pada saat pengambilan sampel sebesar 0,080 mg/l. Kandungan nitrat yang terukur melebihi ambang batas aman baku mutu (Kep. Men 179/Men. KLH/2004) yaitu 0,008 mg/l. Nilai nitrat yang
melebihi 0,200 mg/l dapat memicu terjadinya eutrofikasi perairan yang kemudian dapat menstimulir pertumbuhan algae dan tumbuhan air secara pesat (Effendi, 2003). Kandungan nitrit (NO2) pada pengukuran pertama sebesar 0,006 mg/l dan
sangat sensitif (Effendi, 2003). Keberadaan nitrit menggambarkan
berlangsungnya proses biologis perombakan bahan organik yang memiliki kadar oksigen terlarut sangat rendah (Effendi, 2003). Hasil pengukuran amonia (NH3)
pada awal pemeliharaan 0,643 mg/l dan pada pengukuran kedua 0,954 mg/l, sedangkan nilai kandungan nitrat perairan laut yang terukur pada saat
pengambilan sampel sebesar 0,322 mg/l. Amonia yang dihasilkan diduga berasal dari proses metabolisme biota-biota yang hidup diperairan. Pengambilan sample air yang dekat dengan populasi spons juga diduga merupakan penyebab tingginya nilai amonia pada penelitian ini, hal tersebut dikarenakan buangan spons
mengandung amonia. Data ini sekaligus mengindikasikan bahwa buangan yang dikeluarkan spons melalui oskulum adalah benar mengandung amonia. Kadar amonia yang tinggi dalam suatu perairan akan bersifat toksik atau akan
menyebabkan pencemaran. Amonia yang terkandung dalam air kolam berasal dari sisa metabolisme spons dan biota-biota lain yang hidup di kolam seperti Aiptasia sp., dan algae.
Berdasarkan hasil pengukuran kualitas air, dapat terlihat bahwa kondisi perairan dalam kolam pemeliharaan cukup baik, sehingga dapat menunjang pertumbuhan spons Petrosia (petrosia) nigricans. Pada kolam pemeliharaan dipasang pipa di dua sudut kolam yang berlawanan sehingga terjadi aliran air yang tidak terlalu besar menyerupai arus. Namun ada beberapa faktor yang belum dapat disesuaikan pada kolam pemeliharaan yaitu pasang surut dan kedalaman yang berbeda dengan kondisi di alam yang sangat mungkin berpengaruh terhadap pertumbuhan spons.
4.2. Pengamatan Mikroskopis Terhadap Preparat Histologis Spons Petrosia (petrosia) nigricans
Spons memiliki kemampuan untuk bereproduksi secara seksual akan tetapi keterangan mengenai proses ini masih sedikit diketahui karena keberadaan gonad, gamet dan embrio yang berada di mesohyl belum teridentifikasi dengan jelas. Hal tersebut dikarenakan tidak adanya organ tubuh tertentu yang secara struktural dikatakan sebagai organ reproduksi, sehingga cenderung sulit untuk menentukan seksualitasnya. Penentuan seksualitas spons dapat dilakukan melalui pengamatan histologis dengan keberadaan sel gamet yang berbeda antara jantan dan betina. Perkembangan gamet-gametnya merupakan diferensiasi cadangan sel-sel spons dewasa (choanocytes dan archaeocytes) ke dalam bentuk spermatogonia atau oogonia yang terbentuk dalam mesohyl.
Sampel spons yang ditransplantasikan di kolam percobaan ini adalah spons Petrosia (petrosia) nigricans yang berasal dari Pulau Pramuka kepulauan Seribu. Pengamatan mikroskop terhadap preparat histologis spons Petrosia (petrosia) nigricans untuk menentukan seksualitasnya dilakukan dengan
pewarnaan Haematoxylin dan Eosin. Pengidentifikasian individu betina ditentukan dengan adanya oosit di dalamnya, sedangkan individu jantan terindentifikasi dengan adanya spermatosit yang terdapat di dalam individu tersebut. Pada
penelitian ini, sampel teridentifikasi sebagai individu betina. Individu jantan tidak teridentifikasi dengan jelas karena tidak ditemukan spermatosit di dalamnya. Kesulitan dalam mengidentifikasi spermatosit atau spermatozoa spons disebabkan oleh kecilnya ukuran spermatosit. Berdasarkan pengamatan hasil histologis yang dilakukan, tipe reproduksi spons Petrosia (petrosia) nigricans yang di
memproduksi gamet jantan atau betina saja selama hidupnya. Seksualitas spons betina ini ditentukan berdasarkan hasil pengamatan preparat histologis yang hanya ditemukan sel oosit saja tanpa teridentifikasi organ reproduksi jantan pada
individu yang sama saat pengamatan.
4.3. Gonad Betina 4.3.1. Oosit
Oosit pada spons yang diamati terlihat menyebar pada lapisan mesohyl dan mempunyai lapisan luar yang jelas sehingga dapat dibedakan dengan sel lainnya. Oosit berasal dari diferensiasi sel-sel archaeocytes atau choanocytes (Ruppert dan Barnes, 1991). Penentuan tahapan perkembangan oosit dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan morfologi dan ukuran dari oosit pada pengamatan histologis dengan pewarnaan Haematoksilin-Eosin. Karakteristik dan tahap perkembangan gamet betina spons Petrosia (petrosia) nigricans berdasarkan hasil penelitian Ramili (2007).
Hasil pengamatan secara histologis pada penelitian ini menunjukkan bahwa oosit yang ditemukan pada spons Petrosia (petrosia) nigricans hasil pemeliharaan di habitat buatan (kolam) masih berada pada tahap oosit I di setiap pengambilan sampel. Pada tahap ini, oosit menyebar dalam lapisan mesohyl, mempunyai ukuran yang masih kecil dengan rata-rata geometrik diameter oosit 7,58±1,21 µm, inti sel sudah dapat terlihat jelas tetapi anak ini tidak terlihat.
belum terlihat dengan jelas. Oosit yang ditemukan pada fase ini merupakan oosit tahap I (Gambar 10).
b
in
dt
Gambar 10. Foto mikroskopis telur Petrosia (petrosia) nigricans pada fase bulan mati tahap oosit I di kolam pemeliharaan; in: inti telur, dt: dinding telur (Pewarnaan Haematoksilin-Eosin)
Hasil pengamatan histologis pada spons laut (alam) pada fase bulan baru/mati menunjukkan bahwa oosit yang didapatkan belum beraturan. Dinding sel belum terlihat jelas, inti sudah terlihat namun anak inti tidak terlihat. Oosit dari spons laut (alam) memperlihatkan butiran lemak dan ukuran yang lebih besar daripada oosit spons hasil transplantsi di kolam pemeliharaan. Oosit yang ditemukan pada fase ini merupakan oosit tahap I (Gambar 11).
in
dt
Oosit yang ditemukan pada fase bulan purnama untuk hasil histologis spons di kolam pemeliharaan terlihat menyebar dan mempunyai kepadatan yang tinggi dalam lapisan mesohyl. Inti telur dapat terlihat dengan jelas namun anak inti tidak terlihat, dinding telur mulai terlihat menebal, dan butiran lemak sudah terlihat. Oosit yang ditemukan juga masih berada pada tahap I atau oosit awal (Gambar 12).
in
b
dt
Gambar 12. Foto mikroskopis telur Petrosia (petrosia) nigricans pada fase bulan Purnama tahap oosit I di kolam pemeliharaan; in: inti telur, dt: dinding telur, b: butiran lemak (Pewarnaan Haematoksilin-Eosin)
Hasil pengamatan histologis pada fase bulan purnama untuk hasil
b dt
in
Gambar 13. Foto mikroskopis telur Petrosia (petrosia) nigricans pada fase bulan Purnama tahap oosit I di laut; in: inti telur, dt: dinding telur, b: butiran lemak (Pewarnaan Haematoksilin-Eosin)
Pada penelitian ini oosit yang ditemukan tidak berkembang, namun jumlah oosit meningkat terutama pada fase bulan purnama. Oosit yang tidak berkembang diduga disebabkan oleh pengaruh kondisi kolam pemeliharaan yang berbeda dari habitat aslinya (laut). Sel tubuh spons yang berperan dalam regenerasi dan rekonstruksi bagian tubuh spons yang terluka adalah archaeocyte. Archaeocyte merupakan sel yang memiliki kemampuan untuk mengubah bentuknya menjadi beberapa tipe sel sesuai dengan yang dibutuhkan oleh spons. Pada spons yang terfragmentasi archaeocyte sangat mungkin terfokus dalam kegiatan pemulihan jaringan bekas luka, sehingga mengganggu proses reproduksi seksual pada spons yang terfragmentasi saat pemeliharaan.
4.3.2. Pengaruh fase bulan pada reproduksi spons Petrosia (petrosia) nigricans
bulan. Perkembangan reproduksi spons dalam fase Bulan Qomariyah dapat diamati dari jumlah oosit yang terdapat dalam fragmen-fragmen spons. Siklus bulan diduga berpengaruh terhadap intensitas cahaya (Lampiran 9) yang diperoleh spons di kolam pemeliharaan.
Oosit spons Petrosia (petrosia) nigricans diukur dengan menggunakan mikrometer pada setiap fase bulan. Ukuran oosit yang dilihat berdasarkan diameter terpanjang dan diameter terpendek. Diameter gamet dihitung
menggunakan metode Geometrik mean (rata-rata geometrik) dengan menghitung rata-rata geometrisnya, yaitu akar dari perkalian diameter terpanjang dan diameter terpendek gamet betina (oosit) yang ditemukan (Permata et al., 2000).
Oosit pada spons Petrosia (petrosia) nigricans hasil transplantasi di kolam pemeliharaan berada pada oosit tahap I di setiap waktu pengambilan fase Bulan Qomariyah. Masing-masing kisaran nilai rata-rata geometrik oosit pada fase bulan baru/mati, fase bulan ¼, fase bulan ¾, maupun fase bulan purnama sebagai berikut: 4,72 - 9,96 µm dengan rata-ratanya 7,58 µm dan standar deviasinya 1,30; 5,06 - 9,50 µm dengan rata-ratanya 7,26 µm dan standar deviasinya 0,90; 5,23 – 9,79 µm dengan rata-ratanya 7,15 µm dan standar deviasinya 1,04; 6,22 – 11,03 µm dengan rata-ratanya 8,33 µm dan standar deviasinya 1,22. Rata-rata
Gambar 14. Rata-rata geometrik diameter oosit pada spons Petrosia (petrosia) nigricans hasil transplantasi di kolam pemeliharaan pada setiap fase bulan
Menurut Fromont (1988) pada spons jenis Xestospongia testudinari pada tahap awal perkembangan telurnya, oosit mempunyai inti dan anak inti yang terlihat jelas dengan diameter oosit awal sekitar 7 µm. Berdasarkan ukuran telur yang didapatkan pada masing-masing fase bulan, dapat dinyatakan bahwa telur yang didapat pada penelitian ini dikategorikan pada oosit tahap I.
Nilai rata-rata geometrik oosit pada spons Petrosia (petrosia) nigricans non transplantasi (laut) dikategorikan pada oosit tahap I di setiap waktu
pengambilan fase bulan. Masing-masing kisaran nilai rata-rata geometrik oosit pada fase bulan baru/mati dan fase bulan purnama sebagai berikut: 12,59 – 19,41 µm dengan rata-ratanya 16,09 µm dan standar deviasinya 1,51; 13,08 – 19,97 µm dengan rata-ratanya 16,55 µm dan standar deviasinya 1,88.
mengalami penurunan fungsi reproduksi akibat adanya luka dari aktivitas fragmentasi. Luka yang terdapat pada fragmen spons tersebut menyebabkan kehilangan sebagian jaringan sehingga sumberdaya atau energi yang tesisa diutamakan untuk pemeliharaan dan perbaikan jaringan tubuh spons.
Gambar 15. Rata-rata geometrik diameter oosit pada spons Petrosia (petrosia) nigricans hasil transplantasi di kolam pemeliharaan dan non transplantasi (laut)
Uji statistik menggunakan uji-t dua sampel dengan nilai α = 0,05 dilakukan untuk mengetahui pengaruh habitat spons (kolam pemeliharaan dan laut) terhadap ukuran oosit spons. Hasil uji menunjukkan reproduksi seksual spons di kolam pemeliharaan berbeda nyata dengan spons yang hidup di habitat aslinya (laut) pada ukuran oosit, dibuktikan dengan nilai Pvalue < 0,05(Lampiran 7) yang berarti terima H0. Hal ini menjelaskan bahwa kolam pemeliharaan berpengaruh terhadap ukuran oosit spons. Hasil reproduksi seksual pada spons yang hidup di habitat aslinya (laut) lebih baik dari reproduksi seksual spons di kolam pemeliharaan, karena ukuran oosit spons di kolam lebih kecil dibandingkan dengan sampel spons di habitat asliny (laut).
jumlah oosit pada fragmen tersebut. Metode yang digunakan untuk menghitung jumlah oosit adalah metode sensus karena oosit pada semua fase bulan menyebar luas di lapisan mesohyl. Penggunaan metode sensus ini diharapkan semua oosit yang ada dapat terhitung. Jumlah oosit pada setiap fragmen kemudian dihitung rata-ratanya dalam setiap fase Bulan Qomariyah.
Jumlah oosit pada spons Petrosia (petrosia) nigricans hasil transplantasi di kolam pemeliharaan berada pada tahap oosit I di setiap waktu pengambilan fase bulan. Masing-masing kisaran jumlah oosit per lapang pandang pada fase bulan baru/mati, fase bulan ¼, fase bulan ¾, maupun fase bulan purnama sebagai berikut: 11 - 17 oosit dengan rata-ratanya 13 oosit dan standar deviasinya 1,76; 14 - 20 oosit dengan rata-ratanya 17 oosit dan standar deviasinya 1,71; 13 - 19 oosit dengan rata-ratanya 16 oosit dan standar deviasinya 1,60; 16 - 22 oosit dengan rata-ratanya 19 oosit dan standar deviasinya 1,68. Rata-rata jumlah oosit pada spons Petrosia (petrosia) nigricans sampel hasil transplantasi di kolam
pemeliharaan pada setiap fase bulan disajikan pada Gambar 16.
Berdasarkan Gambar 16 terlihat bahwa rata-rata jumlah oosit yang fluktuatif dalam setiap fase Bulan Qomariyah dengan rata-rata jumlah oosit maksimum terdapat pada fase bulan purnama dan jumlah oosit minimum terjadi pada fase bulan baru/mati. Kenaikan rata-rata jumlah oosit diduga disebabkan oleh oosit-oosit baru yang diproduksi oleh fragmen spons, sedangkan menurunnya rata-rata jumlah oosit di dalam suatu fase bulan seperti pada fase bulan ¾ diduga berhubungan dengan proses spawning telur ke kolom perairan.
Untuk mengetahui pengaruh dari transplantasi di kolam pemeliharaan maka diperlukan nilai pembanding, oleh karena itu diambil sampel dari habitat aslinya (laut) non transplantasi. Untuk waktu pengambilan sampel laut yaitu pada fase bulan baru/mati dan fase bulan purnama, karena pada fase bulan baru/mati memiliki pasang surut terendah dan pada fase bulan purnama memiliki pasang surut tertinggi.
Jumlah oosit pada spons Petrosia (petrosia) nigricans non transplantasi (laut) berada pada oosit tahap I di setiap waktu pengambilan fase bulan. Masing-masing kisaran jumlah oosit per lapang pandang pada fase bulan baru/mati dan fase bulan purnama sebagai berikut: 9 - 16 oosit dengan rata-ratanya 12 oosit dan standar deviasinya 1,96; 12 - 21 oosit dengan rata-ratanya 17 dan standar
deviasinya 2,37.
Gambar 17 menunjukkan bahwa pada fase bulan baru/mati dan fase bulan purnama memiliki rata-rata jumlah oosit Petrosia (petrosia) nigricans hasil transplantasi di kolam pemeliharaan lebih banyak dibandingkan dengan rata-rata jumlah oosit non transplantasi (laut) pada tahap oosit yang sama, namun
hasil transplantasi tersebut masih merasakan tekanan akibat proses transplantasi yang merusak jaringan tubuh spons. Reaksi yang muncul dalam fragmen yang secara morfologi telah pulih tersebut menghasilkan gamet yang lebih banyak sebagai pola adaptasi untuk memperbesar keberhasilan reproduksi. Rata-rata jumlah oosit pada spons kolam pemeliharaan mengalami peningkatan pada fase bulan purnama, hal tersebut disebabkan oleh tertahannya perkembangan oosit akibat proses penyembuhan luka akibat fragmentasi.
Gambar 17. Rata-rata jumlah oosit pada spons Petrosia (petrosia) nigricans hasil transplantasi di kolam pemeliharaan dan non transplantasi (laut)
4.4. Pengaruh Transplantasi di Habitat Buatan (Kolam) Terhadap Reproduksi Seksual Spons
Berdasarkan data yang diperoleh peemindahan spons ke habitat baru (kolam pemeliharaan) dengan metode fragmentasi mempengaruhi ukuran oosit. Pada penelitian ini diketahui bahwa lokasi hidup spons dalam hal ini habitat buatan (kolam) mempengaruhi reproduksi seksual (jumlah dan ukuran oosit) spons Petrosia (petrosia) nigricans. Salah satu cara reproduksi aseksual buatan pada spons Petrosia (petrosia) nigricans yaitu melalui fragmentasi dengan memotong koloni spons menjadi fragmen menggunakan pisau stainless steel kemudian menanam atau meletakan fragmen tersebut pada substrat buatan di lokasi transplan (kolam). Spons yang mengalami luka setelah pemotongan dari habitat aslinya (laut) yang menyebabkan kehilangan sebagian jaringan sehingga terjadi penurunan fungsi reproduksi. Penurunan fungsi reproduksi merupakan respon umum yang terjadi karena pada spons yang terfragmentasi akan
mengalokasikan sumberdaya yang tersisa secara bertingkat mulai dari fungsi pemeliharaan, perbaikan, pertumbuhan, dan reproduksi. Penurunan fungsi reproduksi tersebut menyebabkan perubahan pada proses reproduksi dimana rata-rata ukuran oosit lebih kecil bila dibandingkan dengan rata-rata-rata-rata ukuran oosit pada habitat aslinya, dan rata-rata jumlah oosit di habitat buatan (kolam) lebih banyak dibandingkan dengan rata-rata jumlah oosit di habitat aslinya. Oosit yang didapat pada setiap fase bulan tidak mengalami perkembangan. Oosit yang didapat masih berada pada tahap I, baik pada fase bulan baru/mati, fase bulan ¼, fase bulan ¾, maupun fase bulan purnama.
pertumbuhan oosit spons. Keadaan kolam yang semi tertutup juga mempengaruhi cahaya pada setiap fase bulan yang diterima oleh spons tidak maksimal, sehingga perkembangan reproduksi spons terganggu. Faktor lain yang menyebabkan tidak adanya perkembangan pada reproduksi seksual spons yaitu nilai nutrien yang terdapat pada kolam pemeliharaan hanya cukup untuk pemulihan spons akibat pemotongan spons tiap pengambilan sampel. Pada spons yang memiliki luka akan mengutamakan energi yang tersedia untuk pemulihan pertahanan tubuhnya
terlebih dahulu dibandingkan meningkatkan fungsi reproduksinya. Luka akibat fragmentasi serta perubahan kondisi lingkungan akibat pemindahan ke habitat yang baru menyebabkan penurunan fungsi reproduksi yang disebabkan oleh fungsi pengaturan untuk adaptasi spons terhadap habitat baru sehingga
5.1. Kesimpulan
1. Tipe seksualitas spons Petrosia (petrosia) nigricans adalah gonokhorik
karena hanya ditemukan gamet betina pada preparat histologis fragmen
yang berbeda.
2. Oosit yang ditemukan pada sampel kolam pemeliharaan tidak
menunjukkan perkembangan yang berbeda pada setiap fase bulan (fase
bulan baru/mati, fase bulan ¼, fase bulan ¾, fase bulan purnama) dan
belum mencapai kematangan reproduksi seksual.
3. Kondisi fisik dan kimia pada kolam pemeliharaan dengan ukuran serta
volume air yang ada belum dapat menopang perkembangan reproduksi
spons khususnya jumlah dan ukuran oosit.
4. Habitat buatan (kolam pemeliharaan) mempengaruhi reproduksi seksual
spons. Nilai jumlah dan ukuran oosit spons hasil transplantasi di kolam
pemeliharaan terbukti berbeda signifikan dengan spons non transplantasi
di laut. Sampel hasil transplantasi di kolam pemeliharaan mengalami
penghambatan perkembangan reproduksi, baik jumlah maupun ukuran
oosit.
5.2. Saran
1. Perlu adanya pengukuran parameter fisik dan kimia lainnya, seperti kuat
arus, intensitas cahaya bulan, DO, pH. Data parameter merupakan
informasi penting dalam mengontrol kondisi lingkungan hidup biota.
2. Perlu adanya observasi perbandingan tingkah laku individu pada saat di
habitat buatan maupun di habitat aslinya, sehingga dapat diketahui
perbedaan tingkah laku individu dari setiap habitatnya.
3. Perlu adanya penelitian lanjutan mengenai gamet jantan sehingga
informasi mengenai karakteristik organ reproduksi spons dapat lebih
lengkap dan informatif.
4. Untuk memperoleh hasil maksimal, diusahakan tidak adanya cahaya lain
selain cahaya bulan, agar mengetahui pengaruh cahaya bulan terhadap
WAHYU ADI SETYANINGSIH
SKRIPSI
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
WAHYU ADI SETYANINGSIH. Pengaruh Habitat Buatan Terhadap Jumlah dan Ukuran Oosit Spons Petrosia (petrosia) nigricans. Supervise by NEVIATY PUTRI ZAMANI dan ADI WINARTO.
Penelitian ini merupakan pengembangan teknik budidaya spons dengan melakukan transplantasi di habitat buatan (kolam pemeliharaan) dengan sistem resirkulasi. Tujuan penelitian ini yaitu untuk melihat pengaruh habitat buatan (kolam pemeliharaan) terhadap jumlah dan ukuran oosit spons Petrosia (petrosia) nigricans dan disertai pengukuran data serupa pada spons yang hidup di habitat alam sebagai kontrol. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2010 sampai November 2011 di Laboratorium Pusat Studi Kelautan Institut Pertanian Bogor Jakarta Utara dan analisis data di Laboratorium Histologis Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Analisis data jumlah dan ukuran oosit spons menggunakan analisis deskriptif dan analisis uji-t dua sampel dengan
α = 0,05 menggunakan Software Minitab 14. Hasil pengukuran parameter fisik dan kimia menunjukkan bahwa kondisi perairan kolam pemeliharaan masih dalam batas toleransi bagi kehidupan spons sehingga dapat menunjang pertumbuhan spons Petrosia (petrosia) nigricans. Pengamatan histologis menunjukkan bahwa tipe reproduksi spons Petrosia (petrosia) nigricans yang di transplantasikan di kolam percobaan ini adalah gonokhorik, yang teridentifikasi sebagai individu betina dan masih berada pada perkembangan tahap oosit I pada setiap sampel histologis. Hasil tersebut disebabkan kondisi kolam pemeliharaan dengan nilai parameter fisik dan kimia yang ada belum dapat menopang perkembangan oosit spons. Keadaan kolam yang semi tertutup mempengaruhi cahaya bulan yang diterima oleh spons pada setiap fase bulan tidak maksimal, sehingga
perkembangan reproduksi spons terganggu. Nutrien yang terdapat pada kolam pemeliharaan hanya cukup untuk pemulihan spons akibat pemotongan spons tiap pengambilan sampel. Uji statistik menunjukkan bahwa habitat buatan (kolam pemeliharaan) berpengaruh terhadap penurunan nilai ukuran dan jumlah oosit spons. Spons yang memiliki luka akan mengutamakan energi yang tersedia untuk pemulihan pertahanan tubuhnya terlebih dahulu dibandingkan meningkatkan fungsi reproduksinya.
WAHYU ADI SETYANINGSIH. The Influence of Habitats Artificial Over the Amount and Size of an Oocyte a Sponge Petrosia (petrosia) nigricans. Supervise by NEVIATY PUTRI ZAMANI dan ADI WINARTO.
This research is the development of cultivation techniques of sponge by doing a transplant in artificial habitat (pond maintenance) with a recirculation system. The purpose of this study is to find out the influence of artificial habitat (pond maintenance) on the number and size of the oocyte sponge Petrosia (petrosia) nigricans and accompanied by similar data on measurement of sponge that lives in the natural habitat as a control. The research was carried out in September 2010 to November 2011 in the laboratory of Marine Studies Centre of Bogor Agricultural University in North Jakarta and data analysis in Histological Laboratory, Faculty of Veterinary Medicine of Bogor Agricultural University. Analysis of data amount and the size of the oocyte sponge using descriptive analysis and t-test two samples analysis with α = 0,05 using Minitab Software 14. The results of measurements of physical and chemical parameters indicate that the condition of waters pond maintenance still within the limits of tolerance for the life of a sponge so that it can support the growth of Petrosia (petrosia) nigricans. Histological observation shows that the type of reproduction a sponge Petrosia (petrosia) nigricans that transplant in the pond maintenance at this experiment is a gonokhorik, which is identified as an individual female, and are still in
Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul:
PENGARUH HABITAT BUATAN TERHADAP JUMLAH DAN
UKURAN OOSIT SPONS
Petrosia
(
petrosia
)
nigricans
adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir Skripsi ini.
Bogor, Juli 2012
WAHYU ADI SETYANINGSIH. Pengaruh Habitat Buatan Terhadap Jumlah dan Ukuran Oosit Spons Petrosia (petrosia) nigricans. Dibimbing oleh NEVIATY PUTRI ZAMANI dan ADI WINARTO.
Penelitian ini merupakan pengembangan teknik budidaya spons dengan melakukan transplantasi di habitat buatan, yaitu kolam pemeliharaan dengan sistem resirkulasi, yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh habitat buatan (kolam) terhadap jumlah dan ukuran oosit spons Petrosia (petrosia) nigricans, dan disertai pengukuran data serupa pada spons yang hidup di habitat alam sebagai kontrol. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2010 sampai November 2011 di Laboratorium Pusat Studi Kelautan Institut Pertanian Bogor Jakarta Utara dan analisis data di Laboratorium Histologis Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Pengukuran parameter kualitas air yang meliputi suhu, salinitas, nitrat, nitrit dan amonia. Waktu pengambilan sampel berdasarkan fase Bulan Qomariyah, kemudian dilakukan pembuatan preparat histologis untuk pengukuran jumlah dan ukuran oosit spons. Analisis data jumlah dan ukuran oosit spons menggunakan analisis deskriptif dan analisis uji-t dua sampel dengan α = 0,05 menggunakan Software Minitab 14.
Nilai kisaran suhu perairan kolam selama penelitian antara 27-29 ˚C dan salinitas pada kolam pemeliharaan berkisar antara 28-32 o/oo. Kecerahan pada kolam pemeliharaan mencapai 100%. Kandungan nitrat pada hasil pengukuran awal mencapai 0,912 mg/l dan pada pengukuran kedua nilainya menurun menjadi 0,354 mg/l. Kandungan nitrit pada pengukuran pertama sebesar 0,006 mg/l dan pada pengukuran kedua sebesar 0,005 mg/l. Hasil pengukuran amonia pada awal pemeliharaan 0,643 mg/l dan pada pengukuran kedua 0,954 mg/l. Hasil
pengukuran parameter fisik dan kimia menunjukkan bahwa kondisi perairan kolam pemeliharaan masih dalam batas toleransi bagi kehidupan spons sehingga dapat menunjang pertumbuhan spons Petrosia (petrosia) nigricans.
Pengamatan histologis menunjukkan bahwa tipe reproduksi spons Petrosia (petrosia) nigricans yang di transplantasikan di kolam percobaan ini adalah
gonokhorik, yang teridentifikasi sebagai individu betina. Pemeliharaan di habitat buatan (kolam) masih berada pada tahap oosit I di setiap pengambilan sampel. Pada tahap ini, oosit menyebar dalam lapisan mesohyl, mempunyai ukuran yang masih kecil dengan rata geometrik diameter oosit 7,58±1,21 µm dengan rata-rata jumlah oosit sebanyak 16 sel oosit, inti sel sudah dapat terlihat jelas tetapi anak ini tidak terlihat. Uji statistik menunjukkan bahwa habitat buatan (kolam pemeliharaan) berpengaruh terhadap penurunan nilai ukuran dan jumlah oosit spons. Hasil tersebut disebabkan kondisi kolam pemeliharaan dengan nilai parameter fisik dan kimia yang ada belum dapat menopang perkembangan oosit spons. Keadaan kolam yang semi tertutup mempengaruhi cahaya bulan yang diterima oleh spons pada setiap fase bulan tidak maksimal, sehingga
© Hak cipta milik Wahyu Adi Setyaningsih, tahun 2012
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
WAHYU ADI SETYANINGSIH
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
Judul Skripsi : PENGARUH HABITAT BUATAN TERHADAP JUMLAH DAN UKURAN OOSIT SPONS Petrosia (petrosia) nigricans
Nama Mahasiswa : Wahyu Adi Setyaningsih
Nomor Pokok : C54061568
Program Studi : Ilmu dan Teknologi Kelautan
Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc. NIP. 19641014 198803 2 001
Drh. Adi Winarto, Ph.D, PAVet. NIP. 19580516 198601 1 001
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc. NIP. 19580909 198303 1 003
Spons adalah organisme yang menarik untuk ditelaah. Hewan ini
memiliki kandungan senyawa bioaktif yang dapat dimanfaatkan dalam bidang
kesehatan. Pemanfaatan senyawa bioaktif spons yang dilakukan secara terus
menerus dapat mengancam kelestarian spons di alam. Upaya budidaya secara
aseksual diharapkan dapat membantu menyediakan stok spons, sehingga
keanekaragaman hayati di perairan Indonesia tetap terjaga. Untuk itu dalam
penelitian ini diajukan suatu topik mengenai salah satu spesies dari spons, yaitu
tentang spons Petrosia (petrosia) nigricans yang ditransplantasi di habitat buatan
(kolam). Topik yang diajukan adalah mengenai Pengaruh Habitat Buatan
Terhadap Jumlah dan Ukuran Oosit Spons Petrosia (petrosia) nigricans.
Penelitian ini merupakan tugas akhir yang dibuat sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar kesarjanaan. Penulis banyak mendapat bantuan dari
berbagai pihak dalam proses penelitian dan penulisan Skripsi, untuk itu Penulis
mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu proses
penyelesaian karya ilmiah ini antara lain:
1. Komisi Pembimbing, Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc. dan Drh. Adi
Winarto, Ph.D, PAVet.yang bersedia melayani penulis dalam diskusi
dan pencarian literatur.
2. Komisi Penguji, Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA. yang bersedia
melayani penulis dalam memberikan banyak masukan.
3. Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA. yang telah memberikan banyak
ide, masukan, dan bantuan dana untuk pelaksanaan penelitian ini.
4. Laboratorium Bagian Hidrobiologi Laut sebagai penyedia fasilitas
penelitian berupa kolam resirkulasi di Pusat Studi Ilmu Kelautan
(PSIK) - IPB.
5. Laboran dan staf ( Bapak Begin, Bapak Ito, Bapak Dondi, Ibu Citra,
Bapak Arja, Bapak Danu, Ibu Mayang, Ibu Rahma, Ibu Yanti, Bapak
Yayat, Bapak ketuk, Bapak Mardi) serta kepada rekan sepenelitian
Nugroho.
7. Sahabat terkasih Muhamad Kemal Idris beserta keluarga, yang selalu
memberi dukungan, saran serta kritik selama proses penulisan skripsi.
8. Teman-teman terbaik (Hila, Wiwid, Windri, Indah, Cory, Irwan,
Marsya) dan seluruh anngota PSM IPB Agria Swara serta
teman-teman angkatan 43 ITK-IPB atas kebersamaannya.
9. Keluarga Bapak Jayadi di Pulau Panggang di Pulau Panggang.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan, untuk itu saran dan kritik tetap penulis harapkan untuk menjadikan
tulisan ini lebih baik. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan
manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan maupun sebagai tambahan
informasi untuk memperkaya ilmu pengetahuan.
Bogor, Juli 2012
Halaman 2.4.2.5. Faktor yang mempengaruhi fungsi reproduksi
x
Petrosia (petrosia) nigricans ... 28 4.3. Gonad Betina ... 29 4.3.1. Oosit ... 29 4.3.2. Pengaruh fase bulan pada reproduksi spons Petrosia
(petrosia) nigricans ... 32 4.4. Pengaruh Transplantasi di Habitat Buatan (Kolam) Terhadap
Reproduksi Seksual Spons ... 39
5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 41 5.1. Kesimpulan ... 41 5.2. Saran ... 41
xi
Halaman
1. Spons Petrosia (petrosia) nigricans (Ismet, 2007) ... 4
2. Bentuk dan struktur dinding tubuh spons ... 6
3. Aklimatisasi spons Petrosia (petrosia) nigricans di alam ... 17
4. Kolam pemeliharaan spons Petrosia (petrosia) nigricans ... 18
5. Skema kolam pemeliharaan spons Petrosia (petrosia) nigricans ... 18
6. (a) Aklimatisasi awal pemindahan Petrosia (petrosia) nigricans di
kolam pemeliharaan ... 19
6. (b) Spons Petrosia (petrosia) nigricansdi atas keramik di dasar
kolam pemeliharaan ... 19
7. Diagram alir proses standar histologis spons ... 21
8. Pengukuran diameter terpanjang dan diameter terpendek oosit ... 22
9. Diagram alir penelitian ... 24
10. Foto mikroskopis telur Petrosia (petrosia) nigricans pada fase bulan mati tahap oosit I di kolam pemeliharaan; in: inti telur, dt: dinding
telur (Pewarnaan Haematoksilin-Eosin) ... 30
11. Foto mikroskopis telur Petrosia (petrosia) nigricans pada fase bulan mati tahap oosit I di laut (alam); in: inti telur, dt: dinding telur
(Pewarnaan Haematoksilin-Eosin) ... 30
12. Foto mikroskopis telur Petrosia (petrosia) nigricans pada fase bulan Purnama tahap oosit I di kolam pemeliharaan; in: inti telur, dt:
dinding telur, b: butiran lemak (Pewarnaan Haematoksilin-Eosin) ... 31
13. Foto mikroskopis telur Petrosia (petrosia) nigricans pada fase bulan Purnama tahap oosit I di laut; in: inti telur, dt: dinding telur, b:
xii
15. Rata-rata geometrik diameter oosit pada spons Petrosia (petrosia) nigricans hasil transplantasi di kolam pemeliharaan dan non
transplantasi (laut) ... 35
16. Rata-rata jumlah oosit pada spons Petrosia (petrosia) nigricans sampel hasil transplantasi di kolam pemeliharaan pada setiap fase
bulan ... 36
17. Rata-rata jumlah oosit pada spons Petrosia (petrosia) nigricans hasil