• Tidak ada hasil yang ditemukan

NH. Dini and the Globalization

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "NH. Dini and the Globalization"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

NH. Dini and the Globalization

Yuli Christiana Yoedo

yulichy@peter.petra.ac.id Sutorejo Tengah 14/6 Surabaya 60113

Petra Christian University English Department Faculty of Letters Surabaya Indonesia Abstract

It is unavoidable that Indonesia must enter the era of globalization. This means every Indonesian citizen will be engaged with the effects of globalization, both the positive and the negative ones. Teachers, therefore, are responsible for preparing the students to grasp with the positive effects and to cope with the negative ones during such era in order to survive the globalization. Introduction to Gender Studies, one of the general courses at Petra Christian University, often discusses the works of literature in relation to the norms as implicit in the culture. One of the literary works that is often discussed in such a way is the ones written by Nh. Dini, an Indonesian writer who consistently presents women’s endless struggle facing the challenges of life. Connecting the forms of the struggle as well as the challenges to the realities as part of the process of globalization, one of her works titled Jalan Bandungan provides appropriate learning materials for both the teacher and the students for discussion. This is especially because this novel discusses about an Indonesian woman who struggles to regain her dignity as part of the norms which is caged in the culture where she lives. It can be stated that what she fights for is a change of mindset, where women are considered sub-ordinate class, which is very common in South East Asia, and especially in Java as the central part of Indonesia. From such discussion, students are facilitated with the materials containing both the acceptable as well as unacceptable cultural norms in life. Such acceptable norms in Javanese culture are called Toto Urip, Toto Kromo and Toto Laku. Besides, students might also be facilitated to learn how to build relationships and cooperate with other people. The question arises is how Jalan Bandungan can effectively be used to materialize the students as the future generation so that they are ready for globalization. Defined as the process of embracing whole parts of the world, the discussion connects the struggle of the main female character with the process of globalization by involving the role of the principles of feminism and the norms of Javanese culture. In this novel, it is obvious that the norms play an important role in the life of the main female character who is Javanese. The Javanese cultural norms which encourage the main female character to bravely face the challenge in her life will possibly give enlightenment to the students to do the same things—as in the novel—and even more. There is, therefore, a very tight connection between cultural norms and the process of globalization. That is, cultural norms help prepare human being ready for globalization.

(2)

Keywords: globalization, connection, cultural norms, mindset, ready Pendahuluan

Kata “globalisasi”berasal dari kata “global” yang berarti “internasional” atau “universal”. Karena luasnya cakupan yang termasuk globalisasi, sampai saat ini belum ada definisi yang bisa diterima di berbagai bidang. Salah satu definisi yang sering dipakai, globalisasi adalah “Suatu proses yang bersifat alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia ini semakin terkait dan terikat satu sama lain untuk kemudian dari proses itu melahirkan suatu tatanan kehidupan yang serba baru dengan menyingkirkan berbagai bentuk batas-batas geografis, sosial, ekonomi, budaya, keagamaan, pandangan politik, tradisi, keyakinan dan lain sebagainya”. Menurut Thomas L. Friedman, wartawan dan redaktur senior suratkabar The New York Times Amerika, globalisasi memang merupakan fenomena pasca Perang Dingin yang kehadirannya tidak akan dapat dihindari. Meskipun globalisasi tidak memiliki bentuk yang dapat dilihat, seperti halnya peluru kendali dengan hulu ledak nuklir, namun globalisasi memiliki “daya ledak” yang justru lebih hebat. Dalam era globalisasi ini, negara industri maju akan senantiasa berusaha terus menerus untuk memaksakan kehendaknya terhadap negara yang miskin dan ini menyebabkan negara-negara yang makmur semakin bertambah makmur, sementara yang miskin akan terus kalah bersaing dengan negara makmur [Sudjono, 2008: 10-1, 35].

Indonesia yang merupakan bagian tak terpisahkan dari dunia, mau tidak mau juga akan terkena ledakannya. Oleh karena itu, bangsa Indonesia dalam menyikapi keberadaannya di abad XXI ini harus benar-benar lebih mewaspadai kemungkinan berbagai fenomena globalisasi. Menurut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, betapapun derasnya arus globalisasi yang terjadi dan mempunyai potensi mengancam eksistensi bangsa Indonesia, namun sesungguhnya semua itu tetap dapat diantisipasi. Globalisasi yang telah, sedang dan akan terus menggejala, memang berbahaya. Agar kita tidak terseret menjadi korban, bahkan dapat tampil sebagai pemenang diperlukan usaha untuk meningkatkan kemampuan diri dan berjejaring. Indonesia akan dapat menjadi negara yang maju pada tahun 2050 dengan memperhatikan lima paradigma, yaitu: bagaimana dapat melaksanakan pembangunan nasional yang tertib dan terpadu, serta berdimensi kewilayahan dan kelestarian lingkungan. Kedua, bagaimana agar dapat memadukan resource-based dan knowledge-based secara baik.. Tiga, bagaimana agar semua proses pembangunan nasional kita dapat mewujudkan terjadinya pertumbuhan yang diikuti oleh pemerataan. Keempat, bagaimana memperkokoh ketahanan dan kemandirian bangsa dalam kerjasama internasional yang konstruktif. Kelima, mendorong peranserta dan kontribusi semua elemen dan warga bangsa [Sudjono, 2008: 3-5, 35].

Ledakan akibat globalisasi ini tidak pandang bulu, para mahasiswa sebagai generasi muda yang akan melanjutkan kepemimpinan di negeri tercinta ini juga akan terkena dampaknya, baik yang positif maupun negatif. Oleh karena itu, para dosen bertanggungjawab untuk mempersiapkan mahasiswanya untuk meyiapkan diri guna memanfaatkan semua kemungkinan peluang yang ada dalam pengertian yang positif, sekaligus mengurangi atau menghilangkan semua ancaman yang mungkin akan timbul, sehingga pada saatnya dapat memperkuat atau memanfaatkan dampak positif dan mengatasi dampak negatifnya agar dapat tetap bertahan dalam menghadapi segala tantangan akibat globalisasi. Salah satu dampak negatif tersebut adalah terkikisnya

(3)

budaya lokal. Karena itu perlu dipikirkan cara agar mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa dapat memanfaatkan budaya lokal untuk dapat bertahan dalam era globalisasi.

Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan mengajak mahasiswa untuk mendiskusikan novel yang sarat dengan nilai-nilai budaya lokal dan perjuangan pantang menyerah menghadapi tantangan kehidupan. Novel Jalan Bandungan, karya Nh. Dini misalnya, dapat dipakai karena sarat dengan nilai-nilai budaya Jawa serta mengisahkan perjuangan gigih seorang wanita dalam menghadapi tantangan dalam hidupnya. Seperti diketahui bersama dalam era globalisasi, tantangan bukan hanya semakin sedikit, melainkan semakin banyak dan semakin bervariasi. Jadi, dengan mendiskusikan Jalan Bandungan, setidaknya ada dua manfaat yang dapat dipetik mahasiswa, yaitu: mengenal budaya Jawa dan belajar bagaimana memperlakukan tantangan hidup sehingga dapat bertahan bahkan keluar sebagai pemenang.

Topik feminisme perlu ditampilkan di sini karena topik tersebut memang masih menarik untuk dibicarakan dikarenakan sistem Patriarki yang masih lekat di budaya Indonesia pada umumnya. Topik yang berkaitan dengan perjuangan wanita tersebut perlu juga ditampilkan karena mayoritas penduduk Indonesia adalah wanita. Tokoh utama wanita dalam novel ini dapat menjadi contoh teladan bagi wanita lainnya untuk berani menghadapi tantangan hidup dan keluar sebagai pemenang. Bila kaum wanitanya kuat, negarapun akan kuat. Bila kaum wanitanya maju, negarapun akan maju. Selain wanita, laki-lakipun perlu mempelajari apa yang dilakukan tokoh utama wanita tersebut agar laki-laki pun dapat memahami penderitaan wanita dan akhirnya ikut memajukan wanita karena perjuangan untuk memajukan kaum wanita tidak dapat dilakukan oleh wanita sendiri tetapi harus dilakukan bersama, bahu-membahu dengan kaum laki-laki.

Perjuangan wanita dalam novel Jalan Bandungan ini merupakan salah satu materi pembelajaran dari mata kuliah Introduction to Gender Studies yang merupakan mata kuliah pilihan di UK Petra. Mata kuliah dengan bobot 2 sks tersebut dapat diambil oleh mahasiswa dari semua Jurusan. Perlu diketahui bahwa mayoritas mahasiswa UK Petra adalah keturunan Tionghoa yang berasal dari berbagai pulau di Indonesia yang tidak terlalu memahami budaya Jawa bahkan ada dari mereka yang sama sekali tidak mengetahui budaya Jawa meskipun dilahirkan di pulau Jawa. Dengan demikian, apa yang dilakukan selama proses belajar mengajar dapat dikatakan merupakan salah satu usaha untuk melestarikan budaya Jawa. Mereka bukan hanya diperkenalkan dengan budaya Jawa tetapi juga diajak melihat norma-norma mana yang cocok dan tidak cocok dalam menyambut globalisasi. Lebih tepatnya, mereka perlu mengenal norma-norma mana yang merugikan dan menguntungkan wanita dalam menyongsong globalisasi.

Wanita dan Patriarki

Dalam masyarakat yang menganut sistem Patriarki seperti suku Jawa, posisi laki-laki dianggap lebih tinggi daripada wanita sehingga mereka mendapatkan hak-hak dan perlakuan yang lebih baik [Williams, 2000: 6, 105; Hellwig, 1997: 14]. Salah satu contohnya, istri mempunyai kewajiban untuk melayani suaminya dan tidak berlaku sebaliknya. Bahkan masyarakat akan memberi penilaian negatif kepada istri yang tidak melayani suaminya [Dini, 1989: 89, 268].

Dalam sistem ini, tugas wanita dalam rumah tangga sangat berat. Wanita yang bekerja di luar rumah tetap harus menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, seperti:

(4)

berbelanja, memasak, membersihkan rumah, mencuci dan merawat anak sedangkan laki-laki tidak. Jadi, wanita menjalani kerja rangkap atau mempunyai beban ganda (beban pekerjaan dengan upah, yaitu: sebagai wanita karir dan pekerjaan tanpa upah, yaitu: sebagai ibu rumah tangga) [Bhasin dan Khan, 1995: 27-8].

Para janda muda sering mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan karena mereka dianggap rendah oleh masyarakat [Dini, 1995: 123]. Mereka acapkali menjadi sasaran kejahilan ulah laki dan keisengan lidah atau objek pergunjingan, baik laki-laki maupun wanita. Bukan hanya itu saja, Jika ada laki-laki-laki-laki yang telah beristri terpikat kepada janda, seringkali kesalahan ditimpakan kepada pihak janda bukan kepada laki-laki penggoda tersebut. Yang juga sering menyakitkan hati adalah pembicaraan mengenai janda selalu dikaitkan dengan masalah seks [Dini, 1989: 300].

Jalan Bandungan dan Globalisasi

Dua tokoh utama dalam Jalan Bandungan, yaitu Muryati dan Widodo dilahirkan sebagai orang Jawa dan hidup dalam budaya-budaya Jawa yang dipengaruhi oleh sistem Patriarki. Dalam sistem ini, suami ditempatkan pada posisi yang lebih tinggi dari istri [lihat: Williams, 2000: 8,105; Hellwig, 1997: 14]. Suami memegang kekuasaan dalam rumah tangga, yaitu kekuasaan hukum, ekonomi, emosi dan hawa nafsu [Kramarae, 1993: 397-8]. Pengaruh Patriarki dapat dilihat dari sikap-sikap dan tindakan mereka berikut.

Tindakan Widodo melarang Muryati bekerja di luar rumah adalah cerminan bahwa suami memegang kekuasaan hukum dalam rumah tangga. Sikap Widodo ini sejalan dengan pendapat Bhasin dan Khan bahwa suami di negara seperti Indonesia berperan sebagai pembuat keputusan penting dalam keluarga [Bhasin dan Khan, 1995: 25]. Sebagai pemegang kekuasaan hukum, Widodo beranggapan bahwa dirinya berhak memerintah istri dan anak-anaknya untuk tunduk pada semua keputusannya Dalam kasus pelarangan bekerja di luar rumah, tindakan Widodo tersebut dapat dikatakan semena-mena karena pengambilan keputusan tersebut dilakukan tanpa mempertimbangkan pendapat Muryati yang mengerti betul kebutuhan keluarga dan tanpa memikirkan kondisi yang ada. Muryati berpendapat bahwa dengan bekerja sebagai guru, dia dapat membantu Widodo untuk menyejahterakan keluarga. Gaji dengan jumlah yang sama dan diterima secara teratur tersebut tentu sangat berguna bagi keluarga mereka. Meskipun jumlahnya tidak banyak, paling sedikit dapat memudahkannya mengatur keuangan keluarga. Widodo tidak mempedulikan argumen Muryati, dia semata-mata hanya berpatokan pada pandangan masyarakat yang dipercayainya benar, yaitu: bahwa istri yang baik adalah istri yang senang bekerja di rumah karena sambil bekerja dapat mencurahkan perhatian kepada anak-anak dan menyelesaikan pekerjaan rumah tangga dengan baik [lihat: Saadawi, 2000: xii-iv]. Muryati memang menurut dengan membuat penganan dan masakan untuk dijual yang dapat dilakukan di rumah meskipun hasilnya tidak teratur tapi bebannya bertambah karena Widodo tidak memberi modal usaha, tidak pernah membantu bekerja sepulang dari kantor, tidak membantu menjaga anak dan tidak melakukan pekerjaan rumah tangga.

Tindakan Widodo melarang Muryati bekerja di luar rumah adalah juga cerminan apa yang terjadi dalam masyarakat bahwa suamilah yang memegang kekuasaan ekonomi

(5)

dalam rumah tangga. Bhasin dan Khan menjelaskan bahwa dalam masyarakat Jawa, memang sudah menjadi tugas suami untuk mencari nafkah bagi keluarganya [Bhasin dan Khan, 1995: 25]. Di sini kesewenang-wenangan terjadi karena sebagai pencari nafkah keluarga, Widodo tidak berusaha memberi uang belanja yang cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Bahkan, uang yang dia berikan kepada Muryati tidak pernah bertambah selama lima tahun. meskipun jumlah anggota keluarga bertambah.

Dalam era globalisasi, pekerjaan di luar rumah yang dapat dilakukan wanita akan sangat bervariasi. Tidak semua wanita senang bekerja di dalam rumah dan tidak semua pekerjaan dapat dilakukan di dalam rumah. Melarang wanita bekerja di dalam rumah hanya akan membatasi gerak wanita. Jika dirasa berakibat buruk bagi anak, suami dan istri dapat berunding untuk mencari jalan keluarnya.

Tindakan Widodo mengacuhkan pendapat Muryati dalam pengambilan keputusan keluarga dapat dikatakan suatu perbuatan yang keliru. Perbuatan tersebut mendatangkan kerugian bukan hanya bagi diri Muryati tetapi juga bagi keluarga. Kerugian bagi Muryati adalah bahwa dia kehilangan kepribadian sedangkan kerugian bagi keluarga adalah ide-ide cemerlang Muryati yang sebenarnya dapat digunakan untuk membantu memecahkan persoalan keluarga, salah satunya persoalan keuangan, kandas.

Keadaan yang tergambar dalam novel, suami sebagai kepala rumah tangga memang berkewajiban mencari nafkah dan istri berkewajiban mengurus rumah tangga, termasuk mengatur uang belanja. Hal ini sejalan dengan pendapat Koentjaraningrat bahwa suami banyak menghabiskan waktu di luar rumah sedangkan istri banyak menghabiskan waktu di dalam rumah [lihat: Koentjaraningrat, 1994: 145,264]. Dengan dasar pemikiran tersebut, dengan alasan apapun, Widodo tetap tidak mengijinkan Muryati untuk meninggalkan anak-anak dan bekerja di luar rumah. Dalam pandangan Widodo, kekurangan uang untuk mencukupi kebutuhan keluarga adalah kesalahan Muryati, bukan kesalahannya karena Muryati tidak dapat mengatur uang belanja dengan sebaik-baiknya [lihat: Dini, 1989: 90]. Karena itu, Widodo tidak pernah berupaya mencari tambahan nafkah lain yang halal.

Hal ini merupakan suatu kebodohan karena ternyata Muryati itu pandai. Salah satu buktinya adalah dia mendapat bea siswa ke Belanda. Dari cerita tersebut, mahasiswa bisa mengambil ide bahwa sebenarnya bisa saja seorang istri lebih pandai dari suaminya. Sebagai kepala rumah tangga, suami dapat mempunyai hak untuk mengambil keputusan tetapi dia dapat mempertimbangkan pendapat istrinya. Akan tetapi suami di sini harus bijaksana. Seharusnya istri diberi juga kepercayaan untuk mengambil keputusan penting jika memang dia lebih menguasai permasalahannya. Sebagai kepala rumah tangga, suami dapat mendelegasikan kepada istrinya tanpa merasa gengsinya turun.

Kenyataan dalam cerita seperti ini dapat membekali mahasiswa putri untuk mencari calon suami yang pandai, berwawasan luas dan dapat menghargai pendapat istri. Ketampanan dan kekayaan saja tidak cukup sebagai kriteria. Permasalahan di era globalisasi akan semakin rumit, jika mempunyai suami yang tidak pandai, tidak berwawasan luas dan egois. Paling sedikit sama pandainya atau lebih baik lagi jika lebih pandai dari dirinya. Dari segi mahasiswa putra, diharapkan mahasiswa tidak melestarikan pemikiran yang merugikan dan sudah bukan jamannya lagi.

Selain memegang kekuasaan hukum dan ekonomi, suami juga memegang kekuasaan atas emosi. Pemikiran demikian ini menyebabkan Widodo merasa berhak berbicara dengan kasar dan melontarkan kata-kata yang menyakitkan kepada Muryati

(6)

tetapi tidak bagi orang lain. Bagi Widodo, kekuasaan tersebut memberikan hak kepadanya untuk bebas mengekspresikan kemarahannya dengan kasar setiap kali Muryati ”berbicara”, mengajukan pertanyaan atau pendapat yang tidak berkenan di hatinya. Sebaliknya, Muryati tidak memiliki hak yang sama. Apa yang telah Widodo lakukan identik dengan membatasi kebebasan Muryati untuk ”berbicara” perbuatan tersebut dapat dikatakan tidak adil karena Widodo dapat ”berbicara” apa saja sedangkan dia tidak menghendaki Muryati melakukan hal yang sama. Perlakuan yang demikian terhadap wanita dapat menimbulkan luka batin yang sangat sukar untuk disembuhkan.

Keegoisan Widodo dalam berhubungan intim berawal dari tradisi bahwa suami mempunyai kuasa atas hawa nafsu. Widodo merasa berhak menuntut Muryati melakukan apa saja yang diinginkannya sehingga dia dapat mencapai kepuasan seks. Sebaliknya, dia tidak merasa mempunyai kewajiban untuk memikirkan kepuasan Muryati.

Dari perlakuan Widodo, sebagai suami, terhadap Muryati sebagai istri, mahasiswa dapat mengambil pelajaran bahwa wanita jadi kurang produktif jika kebutuhan biologisnya diabaikan. Pengabaian seperti ini dapat menurunkan self-esteem seseorang dan selanjutnya, berakibat pada penurunan kinerjanya. Jika dia tidak puas, dia akan mencari kepuasan di luar rumah dengan laki-laki lain atau wanita lain. Alat-alat seks semakin mudah diperoleh dan akses berkaitan dengan kepuasan seks akan menjadi lebih mudah. Rumah tangga akan berantakan. Moral akan turun. Dalam konteks demikian, globalisasi hanya akan membawa kehancuran rumah tangga.

Keberatan Widodo untuk membantu melakukan pekerjaan rumah tangga, termasuk mengasuh anak disebabkan anggapan bahwa pekerjaan tersebut tidak pantas dilakukan laki-laki, mahasiswa perlu tahu bahwa dalam sistem patriarki, suami tidak mempunyai kewajiban untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga [lihat: Bhasin dan Khan, 1995: 27-8]. Namun hal itu bukan sesuatu yang harus diterima dengan serta merta. Dalam masyarakat Jawa, sebetulnya suatu hal yang lumrah bila suami tidak menyibukkan diri dengan masalah rumah tangga [Koentjaraningrat, 1994: 145,234-5,264]. Sikap Widodo dikatakan sewenang-wenang karena keberatan Widodo tersebut tidak memperhatikan kondisi. Dia tetap tidak bersedia melakukan pekerjaan tersebut meskipun Muryati hamil atau anak mereka dalam keadaan sakit. Widodo mempunyai interpretasi bahwa sebagai suami, dia sama sekali tidak perlu membantu urusan rumah, termasuk merawat anak yang sedang sakit. Baginya, tugas mencari nafkahlebih penting daripada melakukan pekerjaan rumah tangga karena itu pekerjaan rumah tangga cukup dilakukan istri yang kedudukannya dianggap lebih rendah daripada suami. Suami tidak perlu membantu sepulang dari bekerja karena harus menghemat tenaga untuk dipakai keesokkan harinya. Bahkan, selain mengerjakan pekerjaan rumah tangga, istri mempunyai kewajiban untuk melayani segala kebutuhan suami [Dini, 1989: 89,268].

Dalam beberapa hal, memang benar bahwa kalau istri terlalu sibuk mengerjakan peran gandanya, yaitu: karir dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga maka tidak cukup waktu dan energi untuk mendidik anak. Namun, dalam berbagai hal lain banyak wanita yang sukses dalam keduanya, karir dan mendidik anak.

Selanjutnya, ada dua penyebab mengapa Muryati menerima sikap Widodo tersebut. Pertama, Muryati menyadari bahwa dalam masyarakat Jawa yang menganut sistem patriarki, suamilah yang memegang kekuasaan dalam rumah tangga, istri dan anak-anak mempunyai kewajiban untuk tunduk kepadanya. Kedua, Muryati belum mencapai kemandirian ekonomis. Padahal, untuk menjadi subjek, menurut Djajanegara,

(7)

wanita harus mencapai kemandirian ekonomis [Djajanegara, 2000: 5]. Dia masih bergantung kepada Widodo dalam mencukupi kebutuhan keluarga. Muryati sadar bahwa dalam kondisi seperti itu, dia tidak mungkin melakukan perlawanan karena dapat berdampak buruk bagi anak-anak mereka. Karena itu, dia hanya dapat pasrah diperlakukan sebagai objek. Dari cerita ini, mahasiswa perlu tahu bahwa dalam era globalisasi, untuk menjadi mandiri, wanita perlu memiliki kemandirian lainnya.

Sikap Muryati menerima kesewenang-wenangan Widodo ini tampaknya berkaitan dengan Prinsip Toto Kromo dan Toto laku. Sebagai istri, Muryati mempunyai kewajiban untuk bersopan santun kepada suaminya. Dalam menghadapi sikap Widodo yang sewenang-wenang, Muryati menjalankan Toto Laku dengan mengendalikan emosinya ketika harus tunduk kepada Widodo. Bukanlah suatu hal yang mudah bagi Muryati untuk melakukannya karena sebelum menikah, Muryati mempunyai kebebasan untuk mengekspresikan diri. Dia menganggap bahwa dengan menerima sikap Widodo, kepentingan anak-anak dan dirinya akan terlindungi. Tampaknya ada prinsip-prinsip aliran Kejawen yang juga melandasi reaksi Muryati tersebut. Ada juga prinsip pengendalian diri, memandang secara positif kesusahan dan kegagalan, menyucikan diri dari kemarahan, bersikap sabar ketika disakiti, bersedia memaafkan keesalahan dan mensyukuri segala hasil keputusan [lihat: Soesilo, 2000: vii-ix,18-9,181-2].

Kepatuhan Muryati kepada Widodo tidak terlepas dari peranan ibunya yang senantiasa memberikan nasehat untuk menerima semua perlakuan Widodo dengan lapang dada dan tidak menuntut Widodo untuk membahagiakannya. Sebaliknya, masih sesuai ajaran ibunya, Muryati yang harus menciptakan kebahagiaan bagi dirinya sendiri [Dini, 1989: 89]. Dalam masyarakat Jawa, anak-anak mempunyai kewajiban untuk menghormati orang tua, yaitu dengan memperhatikan apa yang dikatakan oleh orang tua mereka [Koentjaraningrat, 1994: 271]. Bentuk penghormatan Muryati kepada ibunya adalah dengan mematuhi nasehatnya untuk menerima sikap buruk Widodo terhadapnya.

Alasan lain kepatuhan Muryati kepada Widodo adalah karena dia tidak ingin mendapat kesan negatif dari masyarakat. Dalam masyarakat Jawa, sebenarnya istri harus menghormati dan siap untuk melayani suaminya. Sebagai konsekuensinya, bila tuntutan ini tidak dipenuhinya, masyarakat akan memberi kesan yang jelek terhadapnya [lihat: Dini, 1989: 203-4]. Dia mengetahui dengan pasti konsekuensi tersebut dan tidak berniat mengambilnya.

Sementara itu, penyebab Muryati menentang sikap Widodo disebabkan karena timbulnya kesadaran akan adanya penindasan Widodo terhadap dirinya dan adanya kesadaran untuk menghapuskan penindasan tersebut. Kepatuhannya kepada Widodo hanyalah merupakan pengorbanan yang sia-sia karena tidak ada timbal balik dari pihak Widodo untuk menghargai Muryati. Dia sadar bahwa tuntutan Widodo terhadapnya bukanlah suatu kewajiban melainkan suatu penindasan dan hal itu akan berlangsung bila Muryati tidak melakukan suatu aksi. Sebagaimana dinyatakan Leclerc, penindasan tidak dapat dilawan dengan kepasifan [Leclerc, 2000: vi]. Penindasan harus dilawan dengan keberanian untuk ”berbicara” dan bertindak [Hellwig, 1997: 15-6]. Sebagai kepala keluarga, Widodo tidak bertanggung jawab. Dengan statusnya sebagai tahanan PKI, keluarganya bukan hanya terlantar secara materi, tetapi juga mendapat hinaan dan hujatan dari masyarakat.

Keputusan Muryati untuk menentang Widodo adalah karena dia ingin membuat hidupnya berarti. Salah satu prinsip penganut aliran kejawen adalah bahwa manusia harus

(8)

berani menentukan pilihan, mengambil keputusan atau menentukan sikap jika ingin hidupnya berarti [Soesilo, 2000: 182]. Muryati ingin mengikuti jejak ibunya, yaitu berani mengambil keputusan. Muryati melihat bahwa karena keberanian ibunya tersebut, mereka sekeluarga dapat bertahan hidup dengan layak, tanpa bergantung kepada orang lain [Dini, 1989: 262]. Keputusan untuk menentang diambil karena dia tidak ingin lagi menjadi bayang-bayang Widodo.

Meskipun dipenuhi kemarahan, Muryati tetap bertahan menjadi istri Widodo atau tidak mengajukan perceraian. Alasan yang terutama adalah karena perceraian dapat berakibat buruk bagi anak-anak. Seperti yang dinyatakan oleh Bhasin dan Khan, untuk dapat berkembang dengan baik, anak-anak memerlukan perhatian bersama suami dan istri karena tugas membesarkan anak merupakan tugas bersama, bukan hanya tugas istri seorang [Bhasin dan Khan, 1995: 45]. Meskipun Widodo berada dalam penjara, demi kepentingan anak-anak, kondisi tersebut lebih baik daripada Widodo dan dirinya bercerai [Dini, 1989: 127]. Anak-anak memang memerlukan bimbingan dari ayah dan ibu bersama-sama agar terhindar dari pengaruh buruk globalisasi. Dengan kata lain, anak-anak membutuhkan, model kesatuan ayah dan ibu.

Alasan lainnya adalah karena status sebagai janda muda tidak lebih baik daripada status sebagai istri tahanan PKI. Status sebagai janda muda juga dianggap rendah dalam masyarakat [Dini, 1995: 123]. Mereka menjadi objek kejahilan ulah laki-laki serta objek pergunjingan, baik laki-laki maupun wanita [Dini, 1989: 300].

Alasan lainnya adalah bahwa Muryati tidak ingin kehilangan anak-anaknya. Jika Muryati memutuskan untuk bercerai, ada kemungkinan dia akan kehilangan anak-anaknya setelah Widodo dibebaskan dari penjara. Menurut tradisi Jawa, jika suami istri bercerai, anak-anak biasanya dibagi, sebagian ikut ayahnya dan sebagian lagi ikut ibunya [Koentjaraningrat, 1994: 151]. Jika anak-anak ikut Widodo, tipis kemungkinan bagi Muryati untuk bertemu mereka dengan bebas karena Widodo dapat membawa mereka kemanapun yang dia inginkan atau menggunakan mereka sebagai senjata bila dia menginginkan sesuatu dari Muryati.

Kalau akhirnya perceraian diajukan, keputusan tersebut dilandasi tekad untuk benar-benar lepas dari penindasan karena Muryati tidak tahan lagi dengan sikap Widodo [Dini, 1989: 262]. Istri mempunyai hak meninggalkan suaminya bila tidak tahan lagi dengan sikap suaminya [Djajanegara, 2000: 56]. Bhasin dan Khan yakin bahwa kesadaran akan adanya penindasan saja tidak cukup, harus diikuti usaha untuk menghapuskan penindasan tersebut [Bhasin dan Khan, 1995: 5-6]. Pengajuan perceraian tersebut merupakan langkah terakhir Muryati untuk menghapuskan penindasan Widodo terhadap dirinya. Selain itu, pemberontakan Muryati ternyata tidak berhasil membuat Widodo sadar dan menghentikan penindasannya terhadap Muryati. Berbeda dengan laki-laki dalam Mozaik Kehidupan Orang jawa: Pria dan wanita dalam Masyarakat indonesia Modern, yang merupakan contoh suami yang baik. Setelah istrinya menolak untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga jika dia tidak membantunya, laki-laki tersebut memutuskan untuk berubah sikap [Williams, 1995: 99].

Pengajuan perceraian tidak terlepas dari kesadaran Muryati akan esensi dari perkawinannya. Baginya, perkawinannya identik dengan penjara dimana Widodo dapat mengikatnya. Padahal, sesungguhnya perkawinan bukanlah penjara bagi wanita [Lugton, 1986: 202; Saadawi, 2000: 126]. Sebelum memasuki perkawinan, Muryati dapat mereguk kebebasan mengekspresikan dirinya [Dini, 1989: 42,46,58,67,84,225]. Namun,

(9)

kebebasannya tersebut terenggut setelah dia menikah [Dini, 1989: 84-6]. Kenyataan tersebut membawa Muryati pada pemikiran untuk segera melepaskan diri dari belenggu perkawinan.

Penyebab perceraian berikutnya adalah karena Muryati ingin menghindari beban ganda [Dini, 1989: 233]. Yang dimaksudkan dengan beban ganda di sini adalah beban pekerjaan dengan upah (sebagai wanita karir) dan beban pekerjaan tanpa upah (sebagai ibu rumah tangga) [Bhasin dan Khan, 1995: 27-8]. Dapat dipastikan dengan status sebagai bekas tahanan pulau buru, Widodo akan kesulitan mendapatkan pekerjaan sengan gaji yang mencukupi kebutuhan keluarga setelah dia bebas dari penjara. Dengan demikian, Muryati yang harus bekerja sekaligus bertanggungjawab terhadap urusan rumah tangga, termasuk melayani Widodo yang tidak bersedia mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Keadaan berbeda jika perceraian terjadi, Muryati hanya mempunyai beban untuk mencari nafkah karena pekerjaan rumah tangga dapat dialihkan kepada pembantu. Selain itu, Muryati tidak perlu lagi melayani Muryati.

Setelah perceraian, Muryati yakin tidak akan mengalami masalah dalam mendidik anak-anaknya karena sahabat-sahabat dan sanak keluarganya, baik laki-laki maupun wanita yang mempunyai pendidikan dan kepribadian yang lebih baik dari Widodo akan turun tangan untuk membantunya. Ketika Widodo berada di dalam penjara, mereka telah berperan sebagai ayah dan ibu bagi anak-anaknya. Dengan demikian, Muryati yakin bahwa kasih sayang yang sedemikian besar kepada anak-anaknya tidak akan luntur setelah dia bercerai, bahkan kasih sayang tersebut akan semakin melimpah.

Faktor penentu perceraian yang tidak kalah pentingnya adalah hubungan persaudaraan yang disebut sisterhood, yaitu: ikatan yang kuat di antara wanita dengan didasari saling pengertian dan rasa hormat yang dalam [Lugones dan Rosezelle, 1993: 406-7]. Hubungan seperti ini terjalin di antara Muryati, Murgiyani (Ganik), Sriati, Siswiah dan Murniyah [Dini, 1989: 55]. Muryati mendapatkan dukungan yang dibutuhkannya, baik moril maupun materiil [Dini, 1989: 126,161,188,274,299,303,318]. Hubungan semacam itu membantu Muryati untuk berani menyongsong masa depan tanpa Widodo [lihat: Hellwig, 1997: 17].

Selain dukungan materiil dari sahabat-sahabatnya, kemampuan Muryati menghidupi anak dengan tanpa bergantung pada Widodo membuatnya berani melepaskan diri dari Widodo [Dini, 1989: 233-4]. Seperti yang telah disebutkan terdahulu, alasan ekonomi merupakan salah satu penghalang Muryati untuk mengajukan perceraian, jika masalah tersebut dapat diatasi, tentunya perjalanan menuju perceraian menjadi mulus [Dini, 1989: 86]. Perlu dicatat bahwa, kemandirian dalam segi ekonomi tersebut dapat diraihnya setelah dia menempuh pendidikan yang memadai [Dini, 1989: 125,261]. Jelas sekali di sini bahwa Nh. Dini ingin menekankan bahwa pendidikan sangatlah penting bagi wanita Indonesia untuk maju. Meskipun telah menikah dan berusia tidak muda lagi Muryati tetap menuntut ilmu untuk semakin melengkapi dirinya. Rupanya ada kesamaan antara Nh. Dini dengan Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam mempersiapkan diri menuju masa globalisasi, yaitu memantapkan kemampuan diri sehingga dapat bersaing di dunia internasional [lihat: Sudjono, 2008: 35].

Penyebab lainnya pengajuan perceraian adalah karena Muryati tidak ingin diperlakukan lagi sebagai objek seks Widodo [Dini, 1989: 181]. Apa yang diinginkannya adalah terjadinya hubungan saling memberi dan menerima sehingga dia pun dapat mencapai kenikmatan, bukan hanya Widodo saja. Sebagaimana dinyatakan Darma,

(10)

wanita juga mempunyai hak yang sama dengan laki-laki dalam menikmati kepuasan seks [Darma, 2000: 13].

Pengajuan perceraian juga merupakan tindakan Muryati untuk menghentikan konflik batinnya, antara bercerai atau tidak [Dini, 1989: 262]. Keputusan diambil karena Muryati sadar bahwa hidupnya akan berati bila dia berani membuat pilihan. Seperti diketahui, dalam hidupnya manusia akan selalu dihadapkan pada pilihan dan manusia harus menentukan pilihannya jika ingin hidupnya berhasil [Soesilo, 2000: 182].

Perceraian diajukan karena tidak ada usaha dari kedua belah pihak, Muryati dan Widodo, untuk menciptakan keharmonisan di antara mereka berdua. Padahal usaha semacam itu harys tetap dilakukan agar perkawinan tetap langgeng [Koentjaraningrat, 1994: 145]. Selama itu perkawinan dapat dipertahankan karena dari pihak Muryati selalu ada usaha untuk menciptakan keharmonisan tetapi usaha tersebut tidak berlanjut semenjak pengkhianatan Widodo terbongkar [Dini, 1989: 159,166].

Pengajuan perceraian diperkuat dengan adanya restu untuk bercerai dari ibunda [Dini, 1989: 126-7]. Dia sangat memperhatikan restu untuk bercerai tersebut karena ibunya yang merupakan sumber kekuatannya dalam berbagai bentuk mengetahui benar kondisi perkawinannya [Dini, 1989: 117]. Seperti yang dinyatakan oleh Koentjaraningrat, dalam keluarga Jawa, perkataan orang tua mendapat perhatian yang serius dari anak-anaknya [Koentjaraningrat, 1994: 271].

Keputusan Muryati untuk bercerai merupakan cerminan dari prinsip Toto Urip yang dijalaninya. Dia ingin merencanakan hidupnya dengan baik dan mengatur cara-cara yang baik untuk mencapainya karena dia tidak ingin mempunyai hidup yang tak menentu [Dini, 1989: 261]. Salah satu bukti Muryati merencanakan hidupnya dengan baik adalah dengan memperdalam pengetahuannya di Belanda karena bukti hasil belajar dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga [Dini, 1989:125]. Tetapi langkahnya akan terhambat jika status sebagai istri tahanan pulau Buru masih melekat padanya. Sebaik apapun rencana yang dirancangnya dan segiat apapun dia berusaha merealisasikannya, semua akan sia-sia jika dia tidak bercerai dari Widodo.

Kalau kita mengikuti perjuangan Muryati dari awal sampai akhir, kita akan dapat mengkategorikan wanita ini sebagai manusia yang kuat. Kekuatannya dalam menghadapi tantangan hidup tersebut, bersumber dari sang Penciptanya. Dalam kesehariannya, dia tidak pernah lupa menghadap Allah dengan melakukan puasa dan tirakat seperti yang dilakukan pengikut aliran Kejawen lainnya. Selain itu, dia sungguh penuh perhitungan dan perencanaan dalam menjalani kehidupan. Jika kegagalan atau persoalan datang, dia pun mencoba untuk selalu bersyukur [Dini, 1989: 35,45,47-8,71,97,109-10]. Sikap hidup yang demikian perlu sekali untuk diteladani karena di era globalisasi dimana persaingan dan tantangan semakin besar, manusia memerlukan kekuatan dari Sang Pencipta, sumber kekuatan sejati.

Dalam kaitannya dengan dampak globalisasi, Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan bahwa betapapun derasnya arus globalisasi terjadi dan mempunyai potensi mengancam eksistensi bangsa Indonesia, namun sesungguhnya semua itu tetap dapat diantisipasi. Globalisasi yang telah, sedang dan akan terus menggejala, memang berbahaya. Agar kita tidak terseret menjadi korban, bahkan dapat tampil sebagai pemenang diperlukan usaha untuk meningkatkan kemampuan diri dan berjejaring. Beliau menambahkan bahwa Indonesia akan dapat menjadi negara yang maju pada tahun 2050 dengan memperhatikan lima paradigma, yaitu: bagaimana dapat

(11)

melaksanakan pembangunan nasional yang tertib dan terpadu, serta berdimensi kewilayahan dan kelestarian lingkungan. Kedua, bagaimana agar dapat memadukan resource-based dan knowledge-based secara baik. Ketiga, bagaimana agar semua proses pembangunan nasional kita dapat mewujudkan terjadinya pertumbuhan yang diikuti oleh pemerataan. Keempat, bagaimana memperkokoh ketahanan dan kemandirian bangsa dalam kerjasama internasional yang konstruktif. Kelima, mendorong peranserta dan kontribusi semua elemen dan warga bangsa [Sudjono, 2008: 3-5, 35].

Apa yang telah Nh. Dini lakukan dalam Jalan Bandungan adalah suatu hal yang tepat. Kenyataan di masyarakat berkaitan dengan pembatasan-pembatasan gerak wanita sesungguhnya bukanlah hal yang menguntungkan, baik wanita maupun laki-laki sendiri dalam konteks sempit, yaitu keluarga, dan konteks lebih luas, yaitu negara. Dapat dibayangkan betapa besarnya kerugian yang dialami oleh bangsa ini bila suami-suami berperilaku seperti Widodo. Sebaliknya, kita pun dapat membayangkan keuntungan besar yang kita peroleh bila wanita-wanita mempunyai kebebasan untuk beraktualisasi diri, baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Nh. Dini sudah menghitung keuntungan yang ada di depan mata jika para suami rela mengurangi waktu minum kopi, merokok, membaca koran dan menonton sepak bola untuk bergabung dengan istrinya di dapur atau bermain dengan anak-anaknya sehingga istri mereka dapat mempunyai lebih banyak waktu untuk memperlengkapi diri dengan ilmu. Adalah suatu hal yang tidak benar jika pola pokir yang salah tetap dipertahankan. Keuntungan sangat besar dapat segera diperoleh jika wanita yang merupakan penduduk mayoritas di Indonesia tidak terkukung oleh penjara Patriarki.

Jika dicermati, ada kaitan antara visi Nh. Dini dengan kelima paradigma yang diusulkan Bapak presiden di atas. Nh. Dini menyuguhkan realita dalam bentuk fiksi, terutama untuk mengubah pola pikir masyarakat agar pembangunan dapat dilaksanakan dengan tertib, resource-based dan knowledge-based dapat terpadu secara baik, pertumbuhan dapat merata, pertahanan negara dan kemandirian bangsa dalam kerjasama internasional menjadi kokoh serta terbentuknya kesatuan hati dari semua warga masyarakat untuk membangun negara. Nh. Dini telah menunjukkan fakta, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono telah memberikan pengarahan dan sekarang tinggal kita menentukan kapan akan bergerak agar lokomotif globalisasi tidak melindas kita.

Proses Belajar Mengajar di kelas Introduction to Gender Studies.

Tujuan instruksional umum dari kelas Introduction to Gender Studies adalah agar mahasiswa mempunyai pola pikir tentang peran laki-laki dan wanita yang sesuai dengan Alkitab. Para dosen dan mahasiswa membahas tingkah laku manusia, baik laki-laki maupun wanita, dan mengaitkannya dengan kemajuan manusia. Materi bahasan diantaranya melingkupi iklan, acara televisi dan karya sastra. Mahasiswa, dari semua jurusan di UK Petra, diajak untuk berperan aktif membahas materi-materi tersebut dan tidak lupa merefleksikan dengan kehidupan mereka sendiri. Pada akhirnya apa yang coba diraih adalah adanya perubahan pola pikir yang berguna bagi kemajuan manusia. Dengan kata lain, mahasiswa diharapkan tidak hanya mempunyai pengetahuan melainkan juga tekad yang kuat untuk menjadi agen perubahan di masa kini dan akan datang.

(12)

Inilah poin-poin yang menjadi bahan bahasan dalam proses belajar mengajar di kelas Introduction to Gender Studies:

a. Peran orang tua dan mertua dalam kehidupan rumah tangga anak. b. Hubungan antara Jalan Bandungan dan globalisasi.

c. Dalam era globalisasi, wanita kadang-kadang perlu bekerja di luar rumah sebagai bagian keikutsertaannya mendukung kebutuhan keluarga.

d. Untuk bisa mandiri dalam era globalisasi, wanita perlu didukung kemandiriannya dari segi ekonomi agar tidak terlalu tergantung kepada suami yang dapat memperkuat aspek-aspek dalam system patriarki.

e. Untuk mencapai kemandirian dalam hal pengambilan keputusan, wanita perlu mendapatkan pendidikan yang setara dengan laki-laki.

f. Adanya peran Patriarki yang masih terasa dominan dalam cerita Jalan Bandungan.

g. Adanya norma-norma negatif dalam masyarakat Jawa yang disebabkan oleh sistem Patriarki.

h. Adanya norma-norma positif dalam masyarakat Jawa yang disebabkan oleh sistem Patriarki.

i. Adanya perubahan sikap peran wanita dalam menyikapi budaya Jawa.

j. Adanya perubahan pola pikir yang tergambar lewat tokoh wanita dalam cerita Jalan Bandungan.

k. Di era globalisasi, meskipun telah merasa mandiri wanita memiliki sederet pertimbangan untuk memutuskan apakah bercerai atau tidak.

l. Hal-hal apa saja yang perlu dikomunikasikan di antara suami dan istri.

Adapun kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan, diantaranya adalah sebagai berikut:

Mahasiswa mendiskusikan poin-poin di atas dalam kelompok yang terdiri atas laki-laki dan wanita agar tinjauan dapat dilakukan dari dua sudut pandang yang berbeda. Diskusi akan menjadi lebih menarik karena dilakukan oleh laki-laki dan wanita yang mempunyai sudut pandang yang berbeda.

Mahasiswa memberikan komentar terhadap pernyataan-pernyataan tokoh-tokoh. Salah satu pernyataan yang dapat dikomentari adalah: ”Kebanyakan anak menjadi remaja yang berkeinginan cepat kaya, supaya bisa hidup seenak mungkin. Kebahagiaan dan kesejahteraan hidup melulu didasari oleh adanya uang di saku mereka. Itulah kepercayaan mereka. Dunia kebendaan adalah yang utama, lebih dimenangkan daripada kejiwaan”. Tentu saja di dalam memberikan komentar, mahasiswa diminta untuk memberikan argumentasi yang kuat. Di sini mahasiswa diajar untuk berpikir kritis.

Mahasiswa mengadakan acara debat. Kelompok pertama adalah kelompok yang setuju mendukung keberadaan Patriarki sedangkan kelompok kedua adalah kelompok yang menentang eksistensi Patriarki. Sebelum mereka mulai berdebat, mereka mendapat tugas untuk mempelajari sistem Patriarki agar perdebatan dapat dilakukan secara mendalam.

Mahasiswa memberikan presentasi yang berkaitan dengan komparasi norma-norma budaya Jawa dalam Jalan Bandungan dengan norma-norma-norma-norma budaya daerah atau negara lain. Sebagai contoh, mahasiswa dari Jurusan Sastra Tionghoa dapat berbicara banyak tentang kesamaan dan perbedaan norma-norma yang ada dalam budaya Tionghoa

(13)

dan budaya Jawa. Akan menarik juga bila ada mahasiswa yang berasal dari daerah Minangkabau yang menganut sistem Matriarki.

Cara yang lainnya adalah Mahasiswa dapat menulis refleksi dari materi yang didiskusikan atau pengalaman yang diperoleh berkaitan dengan ketidakadilan yang diterimanya. Mereka dapat menuangkan perasaan atau pendapatnya dalam refleksi tersebut. Kemudian refleksi ini diberikan ke mahasiswa lainnya untuk dipakai sebagai bahan renungan agar dapat memetik hikmahnya dan bahkan dapat memberi masukan yang dapat membangun. Pada akhirnya, refleksi tersebut kembali kepada mahasiswa yang menulisnya. Apa yang sudah ditulis oleh teman-temannya diharapkan dapat menjadi masukan yang sangat berarti baginya untuk menjadi manusia yang lebih baik.

Meskipun tidak semua mahasiswa berasal dari Jurusan Sastra, mereka diminta untuk berimajinasi dengan menulis cerita pendek tentang Indonesia di era globalisasi beberapa puluh tahun ke depan. Apa yang ditulis sebetulnya adalah impian mereka. Di sini mahasiswa dilatih untuk berani mempunyai impian karena, seperti kita ketahui, banyak kesuksesan berawal dari impian.

Kegiatan yang lainnya adalah mahasiswa dapat mengganti bagian tertentu dalam Jalan Bandungan yang tidak mereka sukai. Jika mereka tidak suka tindakan tokoh tertentu, mereka dapat menggantinya dengan tindakan yang mereka anggap lebih tepat. Kemungkinan yang lain, jika mereka tidak menyukai bagian akhir dari ceritanya, mereka dapat mengubah bagian akhir tersebut. Pada intinya mereka bebas mengekspresikan ide mereka.

Simpulan

Ada hubungan yang kuat antara norma-norma budaya yang tersirat di dalam novel Jalan Bandungan dengan proses globalisasi. Beberapa norma tersebut dapat dijadikan acuan sebagai persiapan manusia dalam menghadapi era globalisasi. Persiapan itu penting terutama bagi generasi muda yang merupakan pemimpin di masa depan, untuk menghadapi dampak negatif dari globalisasi. Nilai agung dalam norma-norma yang telah berakar kuat sejak lama dalam masyarakat tersebut dapat menjadi alat untuk menyiapkan manusia agar tampil sebagai pemenang dalam menghadapi tantangan globalisasi yang telah, sedang dan akan terus menggejala ini. Apa yang sudah ada di masa lampau ternyata berguna untuk menghadapi bahaya di masa kini dan masa depan.

Salah satu norma budaya yang ampuh untuk menangkal bahaya globalisasi tersebut adalah norma budaya Jawa. Prinsip Toto Urip, Toto Kromo, dan Toto Laku dapat diperkenalkan kepada generasi muda, dalam hal ini mahasiswa UK Petra yang berlatar belakang dari suku yang berbeda di Indonesia. Prinsip-prinsip tersebut mengajarkan kepada manusia untuk menghormati sang pencipta, menyayangi orang lain dan diri sendiri. Adanya unsur keseimbangan membuat manusia tetap waspada dan siap menghadapi goncangan globalisasi.

Nh. Dini, penulis Indonesia yang mempunyai wawasan global, secara jeli dapat melihat peluang tersebut. Melalui novelnya Jalan Bandungan, beliau telah mencoba mengingatkan manusia Indonesia akan pentingnya memperhatikan nasib wanita demi kemajuan Indonesia secara menyeluruh. Nh. Dini juga mengingatkan akan pentingnya usaha manusia, baik laki-laki maupun wanita untuk selalu meningkatkan diri, pentingnya membangun hubungan dengan berbagai pihak dan berharganya norma-norma budaya

(14)

Jawa dalam mempersiapkan manusia Indonesia untuk menghadapi ancaman globalisasi. Bisa dikatakan bahwa pelajaran-pelajaran dalam novel Jalan Bandungan merupakan materi yang sangat bermanfaat untuk didiskusikan dengan mahasiswa dalam usaha memperkenalkan materi Introduction to Gender Studies.

Sinopsis Jalan Bandungan

Jalan Bandungan adalah sebuah jalan di kota Semarang di mana terletak sebuah rumah yang menjadi saksi bisu cinta kasih yang murni seorang sahabat, cinta kasih dan keraguan suami, serta kebusukan hati mantan suami. Di dalam rumah di jalan Bandungan ini hidup tokoh utama wanita, Muryati, diperkaya dan dimatangkan. Membaca novel ini, pembaca akan merasakan kemarahan Nh. Dini, sang penulis, yang ditampilkan melalui tokoh-tokoh wanitanya terhadap laki-laki, baik individu maupun tradisi yang berorientasi pada kepentingan laki-laki. Kemarahan terhadap individu ditampilkan lewat tokoh utama wanita, yaitu: Muryati dan ditujukan kepada Widodo, tokoh utama laki-laki, yang selalu merendahkan dan menindas dirinya. Lewat tokoh utama wanita dan tokoh-tokoh wanita lainnya, Nh. Dini menunjukkan kemarahannya terhadap tradisi yang merugikan kaum wanita dimana wanita diposisikan sebagai objek.

Kemarahan Muryati muncul karena sebagai istri, dia diperlakukan Widodo dengan semena-mena. Pernikahan yang seharusnya menjadi tempat suami istri mencurahkan dan menikmati cinta, dalam novel ini justru menjadi sumber penderitaan bagi sang istri. Sebagai suami, Widodo, memperlakukan Muryati hanya sebagai objek. Akibatnya, Muryati kehilangan kepribadiannya sendiri. Keinginan suaminya menjadi keinginannya. Hal itu terjadi karena Muryati tidak leluasa mengatur hidupnya sendiri. Widodo selalu mengatur dan memaksakan kehendaknya. Sebagai suami, Widodo selalu ingin dilayani dan dituruti semua kehendaknya termasuk di dalam berhubungan intim.

Dalam hal keuangan Widodo begitu pelit sehingga Muryati harus membanting tulang dan menerima bantuan dari ibunya yang sudah menjanda untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Usaha Muryati untuk mengkomunikasikan kebutuhan rumah tangganya tersebut selalu kandas karena Widodo tidak pernah meresponsnya. Komunikasi yang coba dibangun Muryati selalu dirobohkan dengan palu emosi. Kebutuhan mendesak yang ada di depan mata tidak membuat nalar Widodo bekerja. Sebagai contoh, dalam keadaan hamil tua, Mutyati harus mengangkat ember air. Widodo tidak berusaha untuk membantu ataupun mencari pembantu yang dapat melakukan pekerjaan tersebut. Contoh yang lain, uang gaji Widodo yang diberikan kepada Muryati guna memenuhi kebutuhan rumah tangga tidak bertambah jumlahnya selama lima tahun meskipun kebutuhan semakin bertambah dan harga-harga semakin naik. Widodo tidak berusaha untuk mencari tambahan penghasilan. Dapat dikatakan, tidak ada komunikasi yang baik diantara mereka berdua. Setiap kali masalah keuangan datang, Muryati harus menghadapinya sendiri dan mencari solusi untuk dapat menyelesaikannya. Dia harus membanting tulang untuk mencari tambahan uang guna memenuhi kebutuhan rumah tangganya.

Kemesraan, perlindungan, pengertian dan perhatian seakan haram diberikan Widodo kepada Muryati. Perlakuan tersebut tentu saja menibulkan kemarahan pada diri Muryati dan akhirnya kemarahan tersebut menjelma menjadi dendam; dendam yang

(15)

bercampur dengan keputusasaan karena dia tidak mampu mengubah keadaan. Apa yang dilakukannya hanyalah memenuhi kewajibannya sebagai istri, tidak lebih dari itu. Karena Muryati tidak mempunyai keberanian untuk menentang, maka dendam tersebut hanya dapat disimpan di hati saja. Bukit dendam terus meninggi ketika rahasia keterlibatan Widodo dengan PKI terbongkar karena di mata Muryati, Widodo telah berkhianat terhadap keluarga karena telah mempunyai kegiatan yang disembunyikan, yang merampasnya dari istri dan anak-anakknya. Widodo telah mengorbankan keluarga demi kepentingan partainya. Widodo telah mengabaikan kesejahteraan dan keselamatan istri serta anak-anaknya demi kepentingan partainya. Muryati menganggap bahwa pengabdiannya selama ini ternyata sia-sia belaka. Karena kekecewaan yang begitu dalam dan dendam yang tidak dapat dihapuskan, Muryati akhirnya memutuskan untuk mengambil sikap menentang Widodo.

Sementara itu, penahanan dan pembuangan Widodo ke pulau Buru semakin melengkapi penderitaan Muryati dan anak-anaknya. Uang dari Widodo untuk keperluan sehari-hari, meskipun tidak mencukupi, berhenti datang. Sementara itu, cemooh dari berbagai pelosok datang bertubi-tubi. Meskipun dalam kondisi seperti itu, Muryati tidak berniat mengajukan perceraian, seperti yang dilakukan istri-istri tahanan yang lainnya karena dia yakin bahwa perceraian tidak akan membuat keadaan menjadi lebih baik. Perceraian dapat menggoncangkan jiwa anak-anaknya. Prinsipnya, cukup dia saja yang menderita.

Dalam novel ini digambarkan bahwa segala cobaan dan kesulitan hidup dapat Muryati lalui dengan baik karena kedekatannya dengan Tuhan, Dia percaya bahwa Tuhan menyuruh manusia memilih, kemudian mengolah nasibnya sendiri. Jika dia sekarang menderita itu disebabkan kesalahannya dalam menentukan pilihan, bukan kesalahan Tuhan. Dia yakin bahwa meskipun dia telah melakukan kesalahan dalam memilih, Tuhan tidak akan meninggalkannya sendirian menanggung penderitaan, Dia akan memberi penghiburan dalam kesusahan.

Sebagai buktinya, dalam kesendiriannya tanpa suami ternyata Muryati tidak kesepian. Orang tua, saudara dan sahabat-sahabatnya baik laki-laki maupun wanita tidak pernah meninggalkannya. Mereka bahu-membahu menolongnya setiap kali dia membutuhkan bantuan. Dukungan yang tanpa pamrih tersebut membuat kepercayaan diri Muryati tumbuh semakin kuat sehingga dia semakin cepat dapat bangkit dari keterpurukannya untuk memulai hidup yang baru. Hidup mandiri untuk menciptakan kebahagiaan buat anak-anak dan dirinya sendiri. Dia selalu berjuang untuk meningkatkan potensi dirinya. Salah satu bukti kerja kerasnya adalah diterimanya bea siswa untuk menempuh pendidikan di negara Belanda. Usaha Muryati untuk meningkatkan kemampuan dirinya tidak berhenti sampai di situ. Dia pun meneruskan pendidikannya di Perguruan Tinggi.

Akhirnya dengan berbagai pertimbangan, Muryati memutuskan untuk mengajukan perceraian. Dia sadar bahwa perceraian merupakan jalan terbaik untuk benar-benar lepas dari bayang-bayang Widodo. Tekadnya untuk menguasai dan mengatur sepenuhnya kehidupannya sendiri tak terbendungkan lagi. Pertimbangan lainnya adalah status sebagai istri tahanan pulau Buru menghalangi langkahnya untuk maju.

Seiring dengan berjalannya waktu, Muryati dapat membuka hatinya kembali untuk seorang pria, Handoko, yang tak lain dan tak bukan adalah adik kandung Widodo sendiri. Meskipun mereka bersaudara, kepribadian mereka sangat berbeda. Handoko

(16)

yang berusia jauh lebih muda, tahu betul bagaimana membuat Muryati bahagia. Komunikasi di antara mereka berdua terjalin dengan sangat baik. Apa yang tidak diperoleh Muryati dari Widodo, seperti kemesraan, perlindungan, pengertian, perhatian, dan kepuasan seks, dapat diperolehnya dari Handoko. Mereka hidup berbahagia sebagai suami istri selama lebih kurang lima tahun.

Perkawinan tersebut akhirnya mendapat ujian. Widodo yang kembali ingin memanfaatkan Muryati berusaha mengintimidasi Handoko dan, seperti masa muda dahulu, dia berhasil. Handoko meragukan kesetiaan Muryati. Perkawinan mereka pun berada di ujung tanduk. Mereka sepakat berpisah namun tidak bercerai. Kembali Muryati harus menyiapkan mentalnya untuk menghadapi tantangan dalam hidupnya sendiri dan sendiri lagi. Tantangan hidup Muryati memang semakin bertambah tetapi, tidak diragukan lagi, kekuatan pun semakin meningkat. Selain kedekatannya dengan Tuhan, kekuatannya pun meningkat akibat pemahamannya yang semakin dalam akan Toto Urip, Toto Kromo and Toto Laku, nilai-nilai hidup yang selalu menjiwai tindakannya.

Daftar Pustaka

Bhasin, Kamla dan Nighat Said Khan. 1995. Feminisme dan Relevansinya (diterjemah- kan oleh S. Herlinah). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Darma, Budi. 2000. ”Sastra Mutakhir Kita”. Horison. Tahun XXXIV, No. 2, h.6-18. Dini, Nh. 1989. Jalan Bandungan. Jakarta: Djambatan.

Dini, Nh. 1995. Pada Sebuah Kapal.Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Djajanegara, Soenarjati. 2000. Kritik Sastra Feminis. Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Hellwig, Tineke. 1997. In the Shadow of Change: Women in Indonesian Literature. Berkeley: Centers for South and Southeast Asia Studies University of California. Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.

Kramarae, Cheris. 1993. ”The Condition of Patriarchy”. Dalam Cheris Kramarae dan Dale Spender (Ed). The Knowledge Explosion. London: Harvester Wheatsheaf, h. 397-405.

Leclerc, Annie. 2000. Kalau Perempuan Angkat Bicara (diterjemahkan oleh Rahayu S. Hidayat). Yogyakarta: Kanisius.

Lugones, Maria C. dan Pat Alake Rosezelle. 1993. “Sisterhood and Friendship as Feminist Models”. Dalam Cheris Kramarae dan Dale Spender (Ed). The Knowledge Explosion. London: Harvester Wheatsheaf, h. 406-12. Lugton, Robert C. 1986. American Topics. New Jersey: Prentice Hall.

(17)

Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Soesilo. 2000. Sekilas Ttentang Ajaran Kejawen Sebagai Pedoman Hidup. Surabaya: CV. Medayu Agung.

Sudjono, Haridadi. 2008. Globalisasi: Perkembangan Serta Kemungkinan Bencananya Bagi Indonesia. Jakarta: Lembaga Humaniora.

Williams, Walter L. 1995. Mozaik Kehidupan Orang Jawa: Wanita dan Pria dalam Masyarakat Indonesia Modern (diterjemahkan oleh Ramelan). Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo.

Referensi

Dokumen terkait

Lembar penilaian buku yang dilakukan oleh peserta didik SMP Negeri 5 Yogyakarta yang menggunakan buku teks pelajaran matematika SMP kelas VII semester II

Didalam bangunan Istana Maimun terdapat Ornamen Melayu dengan berbagai motif seperti motif Bunga Cengkih dan Bunga Manggis dengan makna kemegahan yang dapat

public class tampilmateri3 extends AppCompatActivity { String mtrJson = "";.

[r]

Perubahan kecerahaan tersebut kemungkinan disebabkan oleh adanya hidrolisis protein dan diduga karena film yang terkontaminasi dengan adanya bahan nugget itu sendiri

Pemerintah Daerah Tahun 2014 yang menjadi sasaran pembangunan dalam RPJMD. Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan

Karena Ilmu Shorof bagian dari Ilmu Nahwu, yang ditekankan kepada pembahasan bentuk kata dan keadaannya ketika mufrodnya Jadi secara garis besar, pembahasan Nahwu mencakup

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh penggunan metode (NHT) disertai dengan Peta Konsep dan LKS, motivasi belajar, dan kreativitas siswa terhadap