• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

4. Pemerasan/Ekstraks

Pemerasan dilakukan dengan 2 cara yaitu:

• Pemerasan bubur ubi kayu yang dilakukan dengan cara manual menggunakan kain saring, kemudian diremas dengan menambahkan air di mana cairan yang diperoleh adalah pati yang ditampung di dalam ember.

• Pemerasan bubur ubi kayu dengan saringan goyang (sintrik). Bubur ubi kayu diletakkan di atas saringan yang digerakkan dengan mesin. Saat saringan tersebut bergoyang, kemudian ditambahkan air melalui pipa berlubang. Pati yang dihasilkan ditampung dalam bak pengendapan.

5. Pengendapan

Pati hasil ekstraksi diendapkan dalam bak pengendapan selama 4 jam. Air di bagian atas endapan dialirkan dan dibuang, sedangkan endapan diambil dan dikeringkan.

6. Pengeringan

Sistem pengeringan menggunakan sinar matahari dilakukan dengan cara menjemur tapioka dalam nampan atau tambir yang diletakkan di atas rak- rak bambu selama 1-2 hari (tergantung dari cuaca). Tepung tapioka yang dihasilkan sebaiknya mengandung kadar air 15-19 persen.

Produk sampingan yang dihasilkan dari proses ini adalah onggok, ampas dari hasil parutan ubi kayu yang selanjutnya dibentuk bulatan-bulatan dan dijemur.

12

Ubi kayu Pengupasan

Pemarutan Ekstraksi Pengendapan Penjemuran Tapioka kasar Pencucian Air Onggok Kulit dan Kotoran

Limbah cair

Gambar 2. Proses Produksi Tapioka

2.3. Penelitian Terdahulu

Penelitian terhadap pengusahaan tapioka di Kabupaten Bogor sebelumnya sudah banyak dilakukan. Penelitian terdahulu yang berkaitan dengan kajian sosial ekonomi produksi tapioka ini, diantaranya adalah:

Rachmina (1992) meneliti tentang “ Pengaruh Industri Tapioka terhadap Kesempatan Kerja dan Pendapatan” yang bertujuan untuk mengetahui organisasi dan hubungan produksi dan melihat pengaruh industri tersebut terhadap kesempatan kerja dan pendapatan. Penelitian dilakukan di Kecamatan Kedunghalang, Kabupaten Bogor. Industri tapioka di kecamatan ini dibedakan antara tapioka kasar (disebut aci) dan tapioka halus. Produksi tapioka kasar diproduksi di pedesaan (sekitas produsen ubi kayu). Produk tapioka kasar kemudian digiling kembali menjadi tapioka halus yang dilakukan umumnya di pusat kecamatan.

Berbeda dengan penelitian Rachmina (1992), penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Babakan Madang. Analisis yang dilakukan hanya sebatas industri tapioka kasar. Penelitian ini tidak hanya untuk melihat pengaruh industri tapioka terhadap kesempatan kerja dan pendapatan, tapi juga untuk menganalisis pengusahaan tapioka dilihat dari berbagai aspek kelayakan usaha. Penelitian

13

Rachmina tidak menganalisis sensitivitas dan switching value usaha tapioka terhadap perubahan pada harga output dan biaya operasional.

Purba (2002) dengan judul Analisis Pendapatan dan Nilai Tambah pada Industri Kecil Tapioka. Tujuan penelitian yaitu (1) Menganalisis besarnya pendapatan industri kecil tapioka bagi peningkatan kesejahteraan pengusahanya, (2) Menganalisis kelayakan industri tapioka dilihat dari R/C dan kapan titik impas usaha akan tercapai, (3) Menganalisis nilai tambah yang diperoleh dalam usaha ini serta cara pendistribusiannya. Penelitian hanya dilakukan pada industri kecil tapioka yang berskala rendah yaitu 100-500 kg per hari. Dengan responden berjumlah 10 orang.

Hasil penelitian Purba menyimpulkan bahwa industri kecil tapioka menghasilkan tapioka kasar (aci) sebagai produk utama dan ampas sebagai produk sampingan. Satu kuintal ubi kayu mampu menghasilkan rata-rata 22 kilo gram tapioka kasar dan 5 kilo gram ampas. Penerimaan dari aci rata-rata Rp. 57,948,000,- per tahun dan Rp 3,733,200,- per tahun dari ampas. Semakin besar skala usaha semakin besar pendapatan atas pengeluaran total maupun pengeluaran tunai. R/C pengeluaran tunai sebesar 1,26 artinya setiap satu rupiah pengeluaran tunai mampu memberikan Rp. 1,26 penerimaan. Industri kecil tapioka mencapai impas setelah memproduksi 9164,42 kilo gram produk. Industri pengolahan ini mampu memberikan nilai tambah sebesar Rp 98,753,- per kilo gram ubi kayu. Rasio nilai tambah sebesar 24,115 persen dari total nilai output. Proporsi terbesar dari nilai tambah adalah untuk pendapatan kerja. Semakin tinggi harga jual tapioka atau semakin rendah harga ubi kayu maka nilai tambah akan semakin besar.

Rochaeni (2004) dengan judul Kajian Prospek Pengembangan Industri Kecil Tapioka di Sukaraja Kabupaten Bogor. Tujuan kajian adalah: (1) Mengkaji gambaran umum industri pengolahan ubi kayu di Sukaraja kabupaten Bogor dan besarnya tingkat keuntungan IK tapioka bagi peningkatan kesejahteraan pengusahanya; (2) Mengkaji besarnya nilai tambah yang diperoleh dari IK tapioka dan besarnya kontribusi nilai tambah terhadap peningkatan pendapatan pengusaha, serta pengalokasiannya; (3) Mengkaji prospek pengembangan IK tapioka dilihat dari sisi input dan peluang pasar.

14

Dari kajian Rochaeni, didapatkan bahwa rataan pengusaha IK memproduksi dari satu kuintal bahan baku tapioka kasar atau aci menjadi rataan 20 kilo gram tapioka kasar dan 6 kilo gram ampas. Penerimaan konsekuensi produk utama untuk skala tinggi (5,000 kg/hari), menengah (2,500 kg/hr) dan rendah (300 kg/hari) adalah berturut-turut untuk produk utama Rp. 456,000,000,-, Rp. 239,400,000,-, Rp. 30,096,000,- per tahun; dan produk sampingan Rp. 40,000,000,- , Rp. 20,000,000,- , Rp. 2,400,000,- per tahun. Total pengeluaran dan total pendapatan untuk skala tinggi, menengah, dan rendah berturut-turut Rp. 400,234,103,90 dan Rp. 95,765,896,10 per tahun; Rp. 203,347,920,52 dan Rp. 56,052,079,48 per tahun; Rp. 30,504,629,87 dan Rp. 1,991,370,13 per tahun.

Nilai R/C ratio atas biaya total untuk skala tinggi, menengah dan rendah adalah berturut-turut 1.24, 1.28, dan 1.07. Nilai tambah untuk skala tinggi, menengah dan rendah berturut-turut Rp. 124,39, Rp. 131,04, dan Rp. 106,15 per kilo gram.Nilai impas dalam rupiah penjualan pada kegiatan industri kecil tapioka Rp. 140,804,547,97 untuk skala tinggi, Rp. 53,371,589,59 untuk skala menengah dan Rp. 32,476,984,40 untuk skala rendah. Titik impas akan dicapai pada volume penjualan sebesar 74,107.66 kilo gram per tahun untuk skala tinggi, 28,090.31 kilo gram per tahun untuk skala menengah dan 17,093.15 kilo gram untuk skala rendah.

Berbeda dengan penelitian Rochaeni, penelitian ini hanya menganalisis industri kecil tapioka bersakala 5,000 kg per hari. Metode kajian yang digunakan adalah studi kasus dengan analisis deskriptif (baik kualitatif maupun kuantitatif). Pengolahan dan analisis data hanya dilakukan dengan aplikasi Microsoft Excel, yang disajukan dalam bentuk tabulasi.

Dokumen terkait