• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kolestasis .1 Definisi .1 Definisi

2.1.7.2 Pemeriksaan fisik

Ikterus merupakan tanda yang paling sering dijumpai pada pasien dengan kolestasis, dan merupakan pertanda awal untuk mendiagnosis kolestasis. Pada umumnya gejala ikterik akan muncul pada pasien apabila kadar bilirubin sekitar 7 mg/dl (Girard dan Lacaille, 2008; Benchimol dkk., 2009).

Pemeriksaan abdomen bisa ditemukan adanya hepatomegali, apabila didapatkan kosistensi hepar keras, tepi tajam, dan permukaan noduler, hal tersebut dapat diperkirakan hepar sudah mengalami fibrosis atau sirosis. Hepar yang teraba pada daerah epigastrium maka dapat dicerminkan sebagai sirosis. Rasa nyeri tekan

pada palpasi merupakan mekanisme peregangan dari kapsula Glissoni yang disebabkan karena edema. Pasien dengan kolestasis dapat dijumpai juga adanya splenomegali, perdarahan yang disebabkan oleh defisiensi vitamin K, urin berwarna gelap seperti teh, tinja warnanya pucat (akholik), sampai bisa didapatkan pasien dengan gagal tumbuh (Kader dan Balistreri, 2011; Arief, 2012). 2.1.7.3Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang sangat penting dilakukan untuk mengetahui tipe kolestasis. Pada pemeriksaan penunjang terdapat beberapa metode pemeriksaan yang mencakup: pemeriksaan laboratorium, ultrasonografi, biopsi hati dan kolangiografi intraoperatif (Benchimol dkk., 2009; Bisanto, 2011; Ermaya, 2014). A. Pemeriksaan laboratorium

a. Pemeriksaan kadar bilirubin merupakan pemeriksaan laboratorium rutin yang dilakukan untuk pasien dengan kolestasis, dengan mengetahui hasil dari komponen bilirubin kita dapat membedakan antara kolestasis dengan hiperbilirubinemia fisiologis. Dikatakan kolestasis apabila didapatkan kadar billirubin direk lebih dari 1 mg/dl bila billirubin total kurang dari 5 mg/dl atau kadar billirubun direk lebih dari 20% apabila kadar billirubin total lebih dari 5 mg/dl.

b. Peningkatan kadar SGOT/SGPT >10 kali dengan peningkatan gamma GT <5 kali, lebih mengarah ke suatu kelainan hepatoseluler, sedangkan apabila dari hasil laboratorium didapatkan peningkatan SGOT/SGPT <5 kali dengan peningkatan gamma GT >5 kali, hal ini lebih mengarah kepada kolestasis ekstrahepatik.

c. Aminotransferase serum meningkat lebih dari 2-4 kali nilai normal, maka hal ini menunjukkan adanya proses infeksi.

d. Pemeriksaan alkali phosphatase yang biasanya meningkat pada pasien yang mengalami kolestasis.

e. Serum lipoprotein-X meningkat pada kolestasis yang disebabkan oleh obstruksi.

f. Peningkatan kolesterol, penurunan kadar albumin, masa protrombin biasanya normal tetapi mungkin memanjang, yang dapat dikoreksi dengan vitamin K.

g. Kadar gula darah pasien bisa didapatkan hipoglikemia, untuk mendeteksi kelainan yang berhubungan dengan metabolik.

h. Pemeriksaan TORCH untuk menelusuri terhadap kemungkinan adanya infeksi Toksoplasma, Cytomegalo virus, Rubella, dan Herpes.

i. Pemeriksaan FT4 dan TSH.

j. Pemeriksaan biakan bakteri (biakan urin dan darah).

k. Pemeriksaan hepatitis B dan pemeriksaan kadar α-1 antitripsin.

Khusus untuk pemeriksaan tinja biasa disebut dengan pemeriksaan tinja 3 porsi (dilihat tinja akholik pada tiga periode dalam sehari). Kolestasis ekstrahepatik hampir selalu menyebabkan manifestasi berupa tinja akholik (Girard dan Lacaille, 2008; Tufano dkk., 2009; Oswari, 2014).

Cara pemeriksaan tinja tiga porsi ini adalah : a. Porsi I diambil pada pukul 06.00 – 14.00 b. Porsi II diambil pada pukul 14.00 – 22.00

c. Porsi III diambil pada pukul 22.00 – 06.00

Ketiga sampel tinja tersebut dimasukan ke dalam wadah yang berwarna gelap kemudian setiap harinya dievaluasi apabila sudah terkumpul tiga sampel. Apabila dalam beberapa hari pemeriksaan didapatkan hasil tinja yang berwarna dempul, maka kemungkinan besar pasien tersebut mengalami kolestasis ekstrahepatik. Pada pasien dengan kolestasis intrahepatik biasanya hasil pemeriksaan tinja yang diperiksa hasilnya normal.

B. Ultrasonografi

Pemeriksaan ultrasonografi (USG) merupakan salah satu teknik pemeriksaan untuk mendeteksi kolestasis pada pasien. Dengan pemeriksaan USG dapat diketahui ukuran, keadaan hati, dan kandung empedu. Pemeriksaan ini relatif murah harganya dengan teknik yang sangat sederhana, serta efektifitasnya mencapai 80%. Ultrasonografi dapat mendeteksi adanya tanda triangular cord

dibagian atas percabangan vena porta. Ultrasonografi memiliki sensitivitas 85%, spesifisitas 100%, dan akurasi 95% untuk mendiagnosis atresia bilier ekstrahepatik (Oswari, 2007; Bisanto, 2011).

Sebelum dilakukan pemeriksaan USG pasien harus dipuasakan minimal selama 4 jam. Kemudian, setelah pemeriksaan USG yang pertama pasien diberikan minum dan diperiksa USG kembali. Panjang kandung empedu yang normal akan tampak ≥1,5 cm, sedangkan pada 60% pasien atresia bilier ektrahepatik tidak akan tampak (Bisanto, 2011).

Pada pasien dengan kolestasis intrahepatik, pada saat pasien dipuasakan akan terlihat kandung empedu yang normal dan pada umumnya akan terisi cairan

empedu sehingga mudah terlihat dengan pemeriksaan USG. Setelah pasien diberikan minum, kandung empedu akan mengalami kontraksi sehingga ukurannya akan lebih kecil dan tidak terlihat dengan pemeriksaan USG. Kolestasis ekstrahepatik yang disebabkan oleh atresia bilier terjadi karena adanya proses obstruksi di hati, sehingga pada saat pasien dipuasakan kandung empedu tidak dapat dilihat dengan pemeriksaan USG. Keadaan lain yang mengarah kemungkinan atresia bilier, apabila saat puasa kandung empedu terlihat ukurannya kecil dan setelah diberikan minum ukurannya tidak terjadi perubahan (Benchimol, 2009; Oswari, 2014).

C. Biopsi hati

Biopsi hati merupakan cara yang paling akurat untuk mendiagnosis bayi dengan kolestasis. Berdasarkan data-data yang didapatkan dari penelitian sebelumnya, pasien kolestasis yang disebabkan oleh atresia bilier dapat dideteksi sekitar 90%-95% dengan biopsi hati. Pada atresia bilier dapat ditemukan gambaran proliferasi duktus biliaris, bile plug, portal track edema, dan fibrosis. Sedangkan pada pasien dengan hepatitis neonatal idiopatik dengan metode ini akan didapatkan gambaran pembengkakan sel difus, transformasi giant cell, dan nekrosis hepatoseluler fokal (Oswari, 2007).

D. Kolangiografi intraoperatif

Kolangiografi merupakan prosedur yang tidak selalu dikerjakan pada kolestasis, karena merupakan prosedur yang sulit dan berbahaya, tetapi tingkat akurasinya sangat tinggi sekitar 98% untuk mendiagnosis atresia bilier. Pemeriksaan dengan metode kolangiografi intraoperatif sangat tergantung

terhadap hasil histopatologi hati. Apabila dari hasil histopatologi hati mengarah pada atresia bilier atau hasil yang diperoleh masih belum bisa untuk menyingkirkan atresia bilier, maka diperlukan tindakan laparatomi eksplorasi. Pada saat dilakukan laparatomi, pemeriksaan langsung terhadap keadaan kandung empedu dan sistem bilier sangat diperlukan untuk melihat adanya obstruksi pada sistem bilier (Oswari, 2007; Bisanto, 2011).

Kolestasis yang disebabkan oleh atresis bilier, kandung empedunya terlihat kecil dan fibrotik diikuti fibrosis difus sistem bilier ekstrahepatik. Kolangiografi dilakukan untuk menentukan patensi sistem bilier, sebuah jarum atau kateter diinsersikan ke kandung empedu, kemudian disuntikan zat kontras sambil diamati dengan fluoroskopi untuk menentukan luasnya obstruksi dan variasi anatominya. Variasi anatomi yang umum dipakai adalah menurut Japanese Society Of Pediatric Surgeon, yang membagi keadaan ini menjadi 3 tipe. Tipe 1 atresia meliputi terutama duktus biliaris komunis, tipe 2 atresia bilier naik sampai keduktus hepatikus komunis dan tipe 3 atresia bilier mengenai seluruh sistem bilier ekstrahepatik (Oswari, 2007).

2.1.8 Penatalaksanaan

Secara garis besar tata laksana pasien dengan kolestasis terbagi menjadi dua bagian, yaitu:

Dokumen terkait