• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemeriksaan penunjang a.Pemeriksaan laboratorium a.Pemeriksaan laboratorium

KAJIAN PUSTAKA

2.2 Infeksi Saluran Kemih .1 Definisi dan klasifikasi .1 Definisi dan klasifikasi

2.2.3 Etiologi dan Patogenesis

2.2.4.2 Pemeriksaan penunjang a.Pemeriksaan laboratorium a.Pemeriksaan laboratorium

Diagnosis ISK ditegakkan berdasarkan adanya piuria dan minimal 50.000 koloni/ml uropatogen tunggal dalam sampel urin (AAP, 2011). Pada bakteriuria asimtomatis akan didapatkan pertumbuhan organisme tunggal, biasanya >100.000 koloni/ml dari sampel urin anak yang tidak memiliki gejala piuria (Saadeh dan Matoo, 2011).

Anak dengan bakteriuria asimtomatis tidak perlu diberikan antibiotika. Pada bayi dan anak dengan gejala khas ISK dilakukan pemeriksaan urin mikroskopis dan biakan, kemudian diberikan antibiotika. Bila gejalanya tidak khas ISK, namun anak menunjukkan gejala penyakit berat, urin mikroskopis dan biakan diambil, dan keadaan penyakitnya segera diatasi. Bila gejalanya tidak khas ISK, namun menunjukkan gejala penyakit sedang maupun ringan, pemeriksaan urin mikroskopis dan biakan urin tetap dilakukan, sedangkan pemberian antibiotika hanya dilakukan bila pemeriksaan mikroskopis positif (Chang dan Shortliffe, 2006; NICE, 2007).

Pemeriksaan urin menggunakan sampel urin yang tidak terkontaminasi. Pada anak yang lebih besar diambil urin porsi tengah setelah meatus uretra dibersihkan. Apaila tidak memungkinkan untuk pengambilan urin dengan cara non-invasif, pemasangan kateter atau dilakukan aspirasi suprapubik dapat dikerjakan. Aspirasi suprapubik merupakan metode paling baik, yang dapat dilakukan dengan panduan USG agar diketahui adanya urin di kandung kemih (Epp dkk., 2010). Diagnosis ISK berdasarkan cara pengumpulan sampel urin, dapat dilihat pada Tabel 2.5

Tabel 2.5 Diagnosis ISK dengan biakan urin

Metode Jumlah koloni (CFU/ml) Kemungkinan infeksi (%) Aspirasi suprapubik Ada pertumbuhan >99%

Kateterisasi >105 95%

104 - 105 Mungkin infeksi Urin porsi tengah > 104 anak laki-laki Mungkin infeksi

≥ 105

anak perempuan (3 spesimen) 95%

≥ 105

anak perempuan (2 spesimen) 90%

≥ 105

anak perempuan (1 spesimen) 80% Sumber: Hellerstein, 1982

Pemeriksaan baku emas untuk diagnosis ISK adalah ditemukannya uropatogen pada biakan urin. Pada biakan urin yang digunakan adalah urin sebelum diberikan antimikroba. Pemeriksaan biakan urin dilakukan pada bayi dan anak dengan diagnosis pielonefritis akut/ ISK atas, memiliki gejala penyakit sedang hingga berat, berusia kurang dari tiga tahun, pada pemeriksaan mikroskopis urinnya didapatkan nitrit dan leukosit esterase positif, memiliki riwayat ISK sebelumnya, memiliki infeksi yang tidak membaik setelah diobati, atau bila gejala klinis dan tes dipstik tidak sesuai. Apabila urin harus dibiakan, tetapi belum dapat dibiakan dalam 4 jam dari waktu pengumpulan, urin harus diawetkan dengan asam boraks segera (NICE, 2007).

Biakan urin membutuhkan minimal 24 jam untuk inkubasi, sehingga untuk memulai terapi empiris lebih sering digunakan pemeriksaan mikroskopis urin.

Pada pemeriksaan mikroskopis akan tampak bakteri hingga 3 x 104, namun tidak

dapat dibedakan antara uropatogen dan bakteri kontaminan (Chang dan Shortliffe, 2006). Spesimen urin harus baru maksimal satu jam setelah BAK, atau disimpan di lemari pendingin selama 4 jam. Pemeriksaan analisis biokimia yang digunakan adalah leukosit esterase dan nitrit dengan menggunakan dipstik, dan pada urin mikroskop diperiksa bakteri dan sel leukosit pada urin. Beberapa bakteri gram negatif mereduksi nitrat menjadi nitrit, dan leukosit esterase diproduksi oleh leukosit yang teraktivasi (Epp dkk., 2010). Pengecatan Gram pada sampel urin untuk melihat adanya bakteri memiliki sensitivitas 91% dan spesifisitas 96%, namun tetap tidak dapat menggantikan biakan urin. (Saadeh dan Matoo, 2011). Sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan urinalisis tunggal atau kombinasi dapat dilihat pada Tabel 2.6

Tabel 2.6 Sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan urinalisis tunggal atau kombinasi

Pemeriksaan Sensitivitas (rentang)% Spesifisitas (rentang),% Tes leukosit esterase 83 ( 67 – 94 ) 78 (64 – 92)

Tes Nitrit 53 (15 – 82) 98 (90 – 100) Leukosit esterase dan nitrit + 93 (90 – 100) 72 (58 – 91) Mikroskopis WBC + 73 (32 – 100) 81 (45 – 98) Mikroskopis bakteri + 81 (16 – 99 ) 83 (11 – 100) Leukosit esterase, nitrit,

mikroskopis + 99,8 (99 – 100) 70 (60 – 92) Sumber: AAP, 2011.

b. Pemeriksaan radiologi

Pemeriksaan ultrasonografi untuk mengidentifikasi kelainan struktur saluran kemih seperti adanya obstruksi, sebaiknya dikerjakan bila bayi atau anak terkena ISK akut. Pada bayi <6 bulan untuk mengetahui hasil pengobatan, ultrasonografi dilakukan dalam enam minggu setelah pengobatan dimulai. Sedangkan untuk bayi dan anak >6 bulan dengan ISK pertama kali, tidak perlu dilakukan USG rutin.

Infeksi saluran kemih bawah pada anak <6 bulan atau anak yang memiliki riwayat ISK berulang, disarankan untuk dilakukan USG. Ultrasonografi ginjal dapat digunakan untuk mendeteksi adanya abses ginjal, hidronefrosis, keainan kongenital, dan terdeteksi adanya batu (NICE, 2007).

Modalitas utama yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi refluks vesikoureter adalah voiding cystourethrogram (VCUG), dapat dikerjakan segera setelah selesai pengobatan selesai ataupun pada pasien asimtomatis.

Dimercaptosuccinic acid (DMSA) sebaiknya dilakukan 4-6 bulan setelah terjadinya ISK untuk mendeteksi adanya kerusakan parenkim ginjal. Saat ini sudah ada pemeriksaan Radionuclear cystograph (RNC) untuk mengurangi paparan radiasi selama anak diikuti keadaan refluks vesikoureternya, atau setelah keadaan tersebut. Untuk mendiagnosis adanya pielonefritis akut, pemeriksaan baku emas yang dapat dikerjakan adalah scan ginjal dengan Dimercaptosuccinic Acid (DMSA) (Saadeh dan Matoo, 2011).

2.2.5 Penatalaksanaan

Bayi berusia <3 bulan dengan kemungkinan ISK diberikan terapi antibiotika parenteral. Untuk bayi dan anak usia >3 bulan dengan ISK atas, diberikan antibiotika dengan pola resistensi rendah oral selama 7–10 hari, seperti sefalosporin atau ko-amoksiklav. Bila tidak dapat menggunakan antibiotika oral, diberikan antibiotika intravena seperti sefotaksim atau seftriakson selama 2–4 hari diikuti antibiotika oral hingga total 10 hari. Untuk keadaan ISK asimtomatik pada bayi dan anak tidak perlu diberikan antibiotika. Pemberian aminoglikosida pada bayi dan anak disarankan dengan dosis satu kali sehari (NICE, 2006; Saadeh dan

Matoo, 2011). Obat-obat antibiotika parenteral dan oral pada pasien ISK dapat dilihat pada Tabel 2.7 dan 2.8.

Tabel 2.7 Obat antimikroba parenteral dalam pengobatan ISK

Obat Dosis

Ceftriaxone 75 mg/kg/24 jam

Cefotaxime 150 mg/kg/hari, diberikan tiap 6–8 jam Ceftazidime 100–150 mg/kg, diberikan tiap 8 jam Gentamicin 7.5 mg/kg /hari, diberikan tiap 8 jam Tobramycin 5 mg/kg /hari, diberikan tiap 8 jam Piperacillin 300 mg/kg /hari, diberikan tiap 8 jam Sumber: AAP, 2011.

Tabel 2.8 Obat antimikroba oral dalam pengobatan ISK

Obat Dosis

Amoxicillin-clavulanate 20–40 mg/kg/hari dalam 3 dosis

Trimethoprim-sulfamethoxazole 6–12 mg/kg trimethoprim and 30-60 mg/kg sulfamethoxazole /hari dalam 2 dosis Sulfisoxazole 120–150 mg/kg /hari dalam 4 dosis Cefixime 8 mg/kg dosis tunggal

Cefpodoxime 10 mg/kg /hari dalam 2 dosis Cefprozil 30 mg/kg /hari dalam 2 dosis Cefuroxime axetil 20–30 mg/kg/hari dalam 2 dosis Cephalexin 50–100 mg/kg /hari dalam 4dosis Sumber: AAP, 2011

Anak dengan ISK disarankan rawat inap bila didapat gejala klinis seperti: urosepsis, bakteremia pada hasil laboratorium, pasien dengan imunokompromais, sulit makan, kurang pengawasan bila rawat jalan atau pasien rawat jalan yang gagal terapi. Pada anak >1 tahun dengan refluks vesikoureter yang disertai ISK rekuren, kelainan korteks ginjal disarankan untuk diberikan antibiotika profilaksis jangka panjang. Untuk anak <1 tahun dengan keadaan refluks vesikoureter setelah ISK atau sedang dalam pemeriksaan refluks vesikoureter kelas III-IV disarankan untuk diberikan antibiotika profilaksis. Antibiotika profilaksis yang dapat diberikan adalah trimetoprim-sulfametoxazol, nitrofurantoin, dan sefalosporin generasi pertama. Amoksisilin dapat diberikan sebagai profilaksis pada bayi <2 bulan (Saadeh dan Matoo, 2011).

Dokumen terkait