• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMERIKSAAN LAINNYA

Foto X-ray polos dengan arah anteroposterior, lateral dan oblique berguna untuk menunjukkan lumbalisasi atau sakralisasi, menentukan bentuk foramina

PEMERIKSAAN LAINNYA

Elektromiografi (EMG) dan nerve conduction velocity (NCV) hanya digunakan pada keadaan dengan komplikasi). 3

PENGOBATAN

Pengobatan harus disesuaikan dengan pasien, usia dan tujuan. Pada kebanyakan pasien dapa dicapai perbaikan yang nyata atau berkurangnya gejala-gejala. Gejala-gejala radikuler dan claudicatio intermitten neurogenik lebih mudah berkurang dengan pengobatan daripada nyeri punggung, yang menetap sampai pada 1/3 pasien.2

Pengobatan konservatif

Pengobatan ini terdiri dari analgesik dan memakai korset lumbal yang mana dengan mengurangi lordosis lumbalis dapat memperbaiki gejala dan meningkatkan jarak saat berjalan. Pada beberapa kelompok pasien, perbaikan yang mereka rasakan cukup memuaskan dan jarak saat berjalan cukup untuk kegiatan sehari-hari. 4

Percobaan dalam 3 bulan direkomendasikan sebagai bentuk pengobatan awal kecuali terdapat defisit motorik atau defisit neurologis yang progresif. Terapi konservatif untuk stenosis spinalis lumbalis dengan gejala-gejala permanen jarang sekali berhasil untuk waktu yang lama, berbeda dengan terapi konservatif untuk herniasi diskus. 4

Terapi medis dipergunakan untuk mencari penyebab sebenarnya dari gejala nyeri punggung dan nyeri skiatika.3

- Jangan menyimpulkan bahwa gejala pada pasien berhubungan dengan osteofitosis. Carilah penyebab sebenarnya dari gejala pada pasien.

- Jika muncul gejala terkenanya akar saraf, maka diindikasikan untuk bed rest total selama dua hari. Jika hal tersebut tidak mengatasi keluhan, maka diindikasikan untuk bedah eksisi.

- Pengobatan tidak diindikasikan pada keadaan tanpa komplikasi. Terapi Pembedahan

Terapi pembedahan diindikasikan jika terapi konservatif gagal dan adanya gejala-gejala permanen khususnya defisit mototrik.4 Pembedahan tidak dianjurkan pada keadaan tanpa komplikasi.3

Bedah eksisi dilakukan pada skiatika dengan bukti adanya persinggungan dengan nervus skiatika yang tidak membaik dengan bed rest total selama 2 hari.1

- Penekanan saraf dari bagian posterior osteofit adalah penyulit yang mungkin terjadi hanya jika sebuah neuroforamen ukurannya berkurang 30% dari normal.

- Reduksi tinggi discus posterior samapi kurang dari 4 mm atau tinggi foramen sampai kurang dari 15 mm sesuai dengan diagnosis kompresi saraf yang diinduksi osteofit.

- Jika spondilosis lumbalis mucul di canalis spinalis, maka stenosis spinalis adalah komplikasi yang mungkin terjadi.

- Jika osteofit menghilang, carilah adanya aneurisma aorta. Aneurisma aorta dapat menyebabkan erosi tekanan dengan vertebra yang berdekatan. Jika osteofit muncul kembali, tanda yang pertama muncul seringkali adalah erosi dari osteofit-osteofit tersebut, sehingga tidak nampak lagi.

- Terdapat kasus adanya massa tulang setinggi L4 yang menekan duodenum. Terapi pembedahan tergantung pada tanda dan gejala klinis, dan sebagian karena pendekatan yang berbeda terhadap stenosis spinalis lumbalis, tiga kelompok prosedur operasi yang dapat dilakukan anatara lain:2

 Operasi dekompresi

 Operasi stabilisasi segmen gerak yang tidak stabil

Prosedur dekompresi adalah: dekompresi kanalis spinalis, dekompresi kanalis spinalis dengan dekompresi recessus lateralis dan foramen intervertebralis, dekompresi selektif dari akar saraf.

Dekompresi kanalis spinalis3

Laminektomi adalah metode standar untuk dekompresi kanalis spinalis bagian tengah. Keuntungannya adalah biasanya mudah dikerjakan dan mempunyai angka kesuksesan yang tinggi. Angka kegagalan dengan gejala yang rekuren adalah ¼ pasien setelah 5 tahun. Terdapat angka komplikasi post operatif non spesifik dan jaringan parut epidural yang relatif rendah.

Secara tradisional, laminektomi sendiri diduga tidak menganggu stabilitas spina lumbalis, selama struktur spina yang lain tetap intak khususnya pada pasien manula. Pada spina yang degeneratif, bagian penting yang lain seperti diskus intervertebaralis dan facet joint seringkali terganggu. Hal ini dapat menjelaskan adanya spodilolistesis post operatif setelah laminektomi yang akan memberikan hasil yang buruk.

Laminektomi dikerjakan pada keadaan adanya spondilolistesis degeneratif atau jika terdapat kerusakan operatif dari diskus atau facet joint. Terdapat insiden yang tinggi dari instabilitas post operatif. Dengan menjaga diskus bahkan yang sudah mengalami degenerasi, nampaknya membantu stabilitas segmental (Goel, 1986). Untuk alasan inilah maka discectomy tidak dianjurkan untuk stenosis spinalis lumbalis dimana gejalanya ditimbulkan oleh protrusio atau herniasi, kecuali diskus yang terherniasi menekan akar saraf bahkan setelah dekompresi recessus lateralis.

Jaringan parut epidural muncul setelah laminektomi dan kadang-kadang berlokasi di segmen yang bersebelahan dengan segmen yang dioperasi. Jika jaringan parut sangat nyata, hal ini disebut dengan “membran post laminektomi”. Autotransplantasi lemak dilakukan pada epidural oleh beberapa ahli bedah untuk mengurangi fibrosis. Walaupun beberapa telah berhasil, pembengkakan lemak post

Dekompresi harus dilakukan pada pasien dengan osteoporosis. Sebaiknya dilakukan dengan hati-hati karena instabilitas post operatif sangat sulit diobati.

Laminektomi dengan facetectomy parsial adalah prosedur standar stenosis laminektomi tunggal cukup untuk stenosis kanalis spinalis, sehingga biasanya digabungkan dengan beberapa bentuk facetectomy parsial. ”Unroofing” foramen vertebralis dapat dikerjakan hanya dari arah lateral sebagaimana pada herniasi diskus foramina. Kemungkinan cara yang lain dikerjakan adalah prosedur laminoplasti dengan memindahkan dan memasukkan kembali lengkung laminar dan processus spinosus.

Dekompresi selektif akar saraf 2

Kecuali terdapat penyempitan diameter sagital kanalis spinalis, dekompresi selektif akar saraf sudah cukup, khususnya jika pasien mempunyai gejala unilateral. Facetectomy medial melalui laminotomi dapat dikerjakan. Biasanya bagian medial facet joint yang membungkus akar saraf diangkat.

Komplikasi spesifik prosedur ini antara lain insufisiensi dekompresi, instabilitas yang disebabkan oleh pengangkatan 30-40% dari facet joint, atau fraktur fatique dari pars artikularis yang menipis.

Dekompesi dan stabilisasi2

Laminektomi dapat digabungkan dengan berbagai metode stabilisasi. Sistem terbaru menggunakan skrup pedikuler, sebagaimana pada sistem yang lebih lama seperti knodt rods, harrington rods dan Luque frame dengan kawat sublaminer.

Laminektomi spondilolistesis degeneratif dan penyatuan prosesus intertranvesus dengan atau tanpa fiksasi internal adalah prosedur standar. Untuk alternatifnya dapat dilakukan penyatuan interkorpus lumbalis posterior atau penyatuan interkorpus anterior. Beberapa ahli mengatakan, laminektomi dengan penyatuan spinal lebih baik daripada laminektomi tunggal karena laminektomi tunggal berhubungan dengan insiden yang tinggi dari spondilolistesis progresif.

Komplikasi prosedur stabilisasi termasuk di dalamnya kerusakan materi osteosintetik, trauma neurovaskuler, fraktur prosesus spinosus, lamina atau pedikel, pseudoarthrosis, ileus paralitik, dan nyeri tempat donor graft iliakus. Degenerasi dan stenosis post fusi dapat muncul pada segmen yang bersebelahan dengan yang mengalami fusi yang disebabkan oleh hipermotilitas. Walaupun hasil percobaan mendukung teori ini, efek klinis dari komplikasi ini masih belum dapat diketahui.

Berbeda dari spondilolistesis degeneratif dimana dekompresi dan stablisasi adalah prosedur yang dianjurkan, tidak terdapat konsensus bahwa hal ini merupakan pengobatan yang paling efektif. Stenosis spinalis lumbalis diterapi dengan pembedahan dalam rangkaian operasi yang banyak dengan hasil jangka pendek yang baik. Namun demikian, setelah lebih dari 40 tahun, penelitian dna pengalaman dalam terapi, etiologinya masih belum dapat dimengerti secara jelas dan juga, definisi dan klasifikasi masih belum jelas karena derajat stenosis tdak selalu berhubungan dengan gejala-gejalanya.

Protokol pembedahan yang dianjurkan antara lain:

 Pada pasien dengan gejala-gejala permanen yang bertambah saat berdiri atau menyebabkan claudicatio intermitten neurogenik dekompresi dan stabilisasi  Pada pasien tanpa gejala-gejala yang permanen tapi dengan gejala intermitten

yang jelas berhubungan dengan postur dilakukan prosedur stabilisasi, terutama jika keluhan membaik dengan korset lumbal

Penurunan berat badan dan latihan untuk memperbaiki postur tubuh dan menguatkan otot-otot abdominal dan spinal harus dikerjakan bersama dengan pengobatan baik konservatif maupun pembedahan.

Dokumen terkait