• Tidak ada hasil yang ditemukan

Preskas Polineuropati DM + Spondilosis Lumbalis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Preskas Polineuropati DM + Spondilosis Lumbalis"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

Presentasi Kasus

REHABILITASI MEDIK

SEORANG PEREMPUAN 48 TAHUN DENGAN POLINEUROPATI ET CAUSA DIABETES MELLITUS TIPE II DAN SPONDILOSIS LUMBALIS

Oleh : Andrio Palayukan

G99142019

Pembimbing :

DR. dr. Noer Rachma, Sp.KFR

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN REHABILITASI MEDIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR.MOEWARDI

SURAKARTA 2015

(2)

I. ANAMNESIS

A. Identitas Pasien

1. Nama : Ny. W 2. Usia : 48 tahun 3. Jenis Kelamin : Perempuan 4. Agama : Islam

5. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

6. Alamat : Sarimulyo RT 20 / RW 03 Sambon, Banyudono, Boyolali, Jawa Tengah

7. Status : Kawin

8. Tanggal Masuk : 13 Agustus 2015 9. Tanggal Periksa : 22 Agustus 2015 10. No. RM : 01255083

B. Keluhan Utama

Lemas mulai kurang lebih 3 hari sebelum masuk Rumah Sakit.

C. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien merupakan konsulan dari bagian interna. Pasien datang ke RSUD Dr. Moewardi dengan keluhan lemas ± 3 hari sebelum masuk Rumah Sakit. Pasien mengaku lemas memberat dengan tambahan gejala mal dan muntah. Dalam 1 hari pasien muntah > 5 kali. Muntah dialami terus-menerus dan hanya berupa air. Pasien mengaku belum bisa menelan makanan sejak 3 hari sebelum masuk Rumah Sakit. Pasien merasa sakit di perut bagian bawah. Pasien juga mengeluh ada pusing nggliyer sejak 7 hari sebelum masuk Rumah Sakit dan memberat sejak 3 hari sebelum masuk Rumah Sakit. Pasien merupakan penderita Diabetes Mellitus tipe II sejak 8 tahun yang lalu dan terkontrol. Pasien juga mengaku bahwa sekarang pasien tidak dapat mengontrol keluarnya urin maupun tinja pasien.

(3)

Riwayat sakit serupa : (+) sampai mondok di RSDM selama 10 hari

Riwayat hipertensi : disangkal Riwayat penyakit jantung : disangkal

Riwayat sakit gula : diakui, sejak 8 tahun yang lalu

Riwayat asma : disangkal

Riwayat alergi : disangkal

Riwayat trauma : diakui, pernah jatuh ± 3 tahun yang lalu

E. Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat sakit serupa : disangkal Riwayat hipertensi : disangkal Riwayat sakit gula : disangkal Riwayat penyakit jantung : disangkal

Riwayat asma : disangkal

F. Riwayat Kebiasaan dan Gizi

Riwayat merokok : disangkal Riwayat minum alkohol : disangkal

Riwayat olahraga : tidak berolahraga

Pasien makan sehari tiga kali, porsi sedang dengan nasi lauk pauk tempe, sayur dan terkadang ikan dan telur. Sejak 3 hari SMRS pasien mengaku sulit menelan makanan.

G. Riwayat Sosial Ekonomi

Pasien adalah seorang wanita yang sudah menikah. Saat ini pasien mondok di RS Dr Moewardi dengan menggunakan fasilitas BPJS.

(4)

A. Status Generalis

Keadaan umum sakit sedang, compos mentis E4V5M6, gizi kesan cukup.

B. Tanda Vital (28 Juli 2015) Tekanan Darah : 110/70 mmHg

Nadi : 84 x / menit, isi cukup, irama teratur, simetris Respirasi : 18x / menit, teratur

Suhu : 36.6º C per aksiler

C. Kulit

Warna sawo matang, pucat (-); ikterik (-); petechie (-); venectasi (-); spider naevi (-); hiperpigmentasi (-); hipopigmentasi (-)

D. Kepala

Bentuk mesocephal, kedudukan kepala simetris, luka (-), rambut hitam, atrofi otot (-), moonface (-)

E. Mata

Strabismus (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya langsung (+/+), pupil isokor (3mm/3mm), oedem palpebra (-/-), sekret (-/-)

F. Hidung

Nafas cuping hidung (-), deformitas (-), darah (-/-), sekret (-/-)

G. Telinga

Deformitas (-/-), darah (-/-), sekret (-/-)

(5)

Bibir kering (-), sianosis (-), lidah simetris, lidah tremor (-), stomatitis (-), mukosa pucat (-), gusi berdarah (-)

I. Leher

Simetris, JVP tidak meningkat, kelenjar getah bening tidak membesar

J. Thorax

a. Retraksi (-), simetris

b. Jantung

Inspeksi : Ictus Cordis tidak tampak Palpasi : Ictus Cordis tidak kuat angkat

Perkusi : Konfigurasi Jantung kesan tidak melebar

Auskultasi : Bunyi Jantung I dan II intensitas normal, reguler, bising (-)

c. Paru

Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri Palpasi : Fremitus raba kanan = kiri Perkusi : Sonor/Sonor

Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+)

suara tambahan (-/-), wheezing (-/-)

K. Abdomen

Inspeksi : Dinding perut sejajar dinding dada

Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba Perkusi : Tympani

Auskultasi : Peristaltik (+) normal, bising (+)

(6)

Oedem Akral dingin

- - -

-- - -

-M. Status Psikiatri Deskripsi Umum

1. Penampilan : Wanita, tampak sesuai umur, perawatan diri cukup

2. Kesadaran : Compos mentis

3. Perilaku dan Aktivitas Motorik : Normoaktif 4. Pembicaraan : Normal

5. Sikap terhadap pemeriksa : Kooperatif, kontak mata cukup Afek dan Mood

Afek : Appropiate Mood : Eutimik Gangguan Persepsi Halusinasi : (-) Ilusi : (-) Proses Pikir Bentuk : realistik Isi : waham (-) Arus : koheren Sensorium dan Kognitif Daya konsentrasi : baik

Orientasi : Orang : baik Waktu : baik Tempat : baik

(7)

Jangka pendek : baik

Daya Nilai : Daya nilai realitas dan sosial baik

Insight : Baik

N. Status Neurologis

Kesadaran : GCS E4V5M6 Fungsi Luhur : dalam batas normal Fungsi Koordinasi : dalam batas normal

Fungsi Otonom : terpasang IV line dan DC; inkontinensia urin dan alvi Nervus Cranialis : N. III : reflek cahaya (+/+) ; pupil isokor

N III, IV, VI : dalam batas normal N V : reflek kornea (+/+) N. VII : dalam batas normal N XII : dalam batas normal Fungsi Sensorik

- Rasa Ekseteroseptik Lengan Tungkai

Suhu ( + / + ) ( + / + )

Nyeri ( + / + ) ( + / + ) Rabaan ( + / + ) ( + / + )

- Rasa Propioseptik Lengan Tungkai

Rasa Getar tidak dilakukan Rasa Posisi ( + / + ) ( + / + ) Rasa Nyeri Tekan ( + / + ) ( + / + ) Rasa Nyeri Tusukan ( + / + ) ( + / + ) Ditemukan stocking and gloving parestesia

Fungsi Motorik dan Reflek Kekuatan : 5 5

(8)

Tonus : N N N N Reflek fisiologis: +2 +2 +2 +2 Reflek patologis: - - - - O. Range of Motion NECK

ROM Pasif ROM Aktif

Fleksi 0 - 70º 0 - 70º

Ekstensi 0 - 40º 0 - 40º

Lateral bending kanan 0 - 60º 0 - 60º

Lateral bending kiri 0 - 60º 0 - 60º

Rotasi kanan 0 - 90º 0 - 90º

Rotasi kiri 0 - 90º 0 - 90º

Ektremitas Superior DekstraROM PasifSinistra DekstraROM AktifSinistra

Shoulder Fleksi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90º Ektensi 0-50º 0-50º 0-50º 0-50º Abduksi 0-180º 0-180º 0-180º 0-180º Adduksi 0-75º 0-75º 0-75º 0-75º Eksternal Rotasi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90º Internal Rotasi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90º Elbow Fleksi 0-150º 0-150º 0-150º 0-150º Ekstensi 0-150 º 0-150 º 0-150 º 0-150 º Pronasi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90º Supinasi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90º Wrist Fleksi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90º Ekstensi 0-70º 0-70º 0-70º 0-70º Ulnar Deviasi 0-30º 0-30º 0-30º 0-30º

(9)

MCP II-IV fleksi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90º DIP II-V fleksi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90º PIP II-V fleksi 0-100º 0-100º 0-100º 0-100º MCP I Ekstensi 0-30º 0-30º 0-30º 0-30º Trunk Fleksi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90º Ekstensi 0-30º 0-30º 0-30º 0-30º Right Lateral Bending 0-35º 0-35º 0-35º 0-35º Left Lateral Bending 0-35º 0-35º 0-35º 0-35º

Ektremitas Inferior DekstraROM PasifSinistra DekstraROM AktifSinistra

Hip Fleksi 0-120º 0-120º 0-120º 0-120º Ektensi 0-30º 0-30º 0-30º 0-30º Abduksi 0-45º 0-45º 0-45º 0-45º Adduksi 0-30º 0-30º 0-30º 0-30º Eksorotasi 0-30º 0-30º 0-30º 0-30º Endorotasi 0-30º 0-30º 0-30º 0-30º Knee Fleksi 0-120º 0-120º 0-120º 0-120º Ekstensi 0 º 0 º 0 º 0 º Ankle Dorsofleksi 0-30º 0-30º 0-30º 0-30º Plantarfleksi 0-30º 0-30º 0-30º 0-30º Eversi 0-50º 0-50º 0-50º 0-50º Inversi 0-40º 0-40º 0-40º 0-40º

P. Manual Muscle Testing (MMT)

NECK

Fleksor M. Sternocleidomastoideum 5 Ekstensor M. Sternocleidomastoideum 5

TRUNK

Fleksor M. Rectus Abdominis 5

Ektensor Thoracic group 5

Lumbal group 5

(10)

Pelvic Elevation M. Quadratus Lumbaris 5

Ektremitas Superior Dekstra Sinistra

Shoulder

Fleksor M. Deltoideus anterior 5 5

M. Bisepss anterior 5 5

Ekstensor M. Deltoideu 5 5

M. Teres Mayor 5 5

Abduktor M. Deltoideus 5 5

M. Biseps 5 5

Adduktor M. Latissimus dorsiM. Pectoralis mayor 55 55 Internal Rotasi M. Latissimus dorsiM. Pectoralis mayor 55 55 Eksternal Rotasi M. Teres mayor 5 5 M. Infra supinatus 5 5 Elbow Fleksor M. Biseps 5 5 M. Brachilais 5 5 Eksternsor M. Triseps 5 5 Supinator M. Supinatus 5 5

Pronator M. Pronator teres 5 5

Wrist

Fleksor M. Fleksor carpi radialis 5 5 Ekstensor M. Ekstensor digitorum 5 5 Abduktor M. Ekstensor carpi radialis 5 5 Adduktor M. Ekstensor carpi ulnaris 5 5

Finger Fleksor M. Fleksor digitorum 5 5

Ekstensor M. Ekstensor digitorum 5 5

Ektremitas Inferior Dekstra Sinistra

Hip Fleksor M. Psoas mayor 5 5

Ekstensor M. Gluteus maksimus 5 5

Abduktor M. Gluteus medius 5 5

Adduktor M. Adduktor longus 5 5

Knee Fleksor Hamstring muscle 5 5

Ekstensor Quadriceps femoris 5 5

Ankle Fleksor M. Tibialis 5 5

Ekstensor M. Soleus 5 5

(11)

NO FUNGSI SKOR KETERANGAN 1 Mengendalikan rangsang pembuangan tinja 0 Inkontinensia 2 Mengendalikan rangsang berkemih 0 Inkontinensia

3 Membersihkan diri (seka muka, sisir rambut, sikat gigi)

1 mandiri

4 Penggunaan jamban, masuk dan keluar (melepaskan, memakai celana, membersihkan, menyiram)

0 Dependent (bergantung)

5 Makan 2 Mandiri

6 Berubah sikap dari berbaring ke duduk

1 Bantuan dari 1-2 orang untuk bisa duduk

7 Berpindah/ berjalan 1 Bantuan dari 1-2 orang untuk bisa berjalan

8 Memakai baju 2 Mandiri

9 Naik turun tangga 0 Tidak dapat

10 Mandi 0 Dependent

(12)

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG A. Laboratorium Darah

Tanggal: 21 Agustus 2015

Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan

Hb Hct AL AT AE 7.1 24 16.0 258 2.86 g/dL % ribu/uL ribu/uL juta/uL 12.0 – 15.6 33 – 45 4.5 – 11.0 150-450 4.10-5.10 Natrium Kalium Kalsium 129 2.6 0.98 mmol/L mmol/L mmol/L 136 – 145 3.3 – 5.1 1.17 – 1.29 Ureum Kreatinin 99 1.3 mg/dl mg/dl < 50 0.6 – 1.1 B. EKG

Dari hasil EKG, tidak didapatkan adanya kelainan jantung.

(13)

1. Alignment baik, curve normal 2. Trabekulasi tulang normal

3. Superior dan inferior endplate tak tampak kelainan

4. Lipping VL 3, 4, 5, pedicle dan spatium intervertebralis tampak baik 5. Tak tampak erosi/destruksi tulang

6. Tak tampak paravertebral soft tissue mass / swelling 7. Line of weight bearing jatuh pada bidang promontorium

Kesimpulan: Spondilosis lumbalis IV. ASSESSMENT

1. Polineuropati et causa Diabetes Mellitus tipe II 2. Spondilosis lumbalis

3. Deconditioning syndrome 4. Neurogenic bladder and bowel 5. Infeksi Saluran Kemih

V. DAFTAR MASALAH

Masalah Medis : Polineuropati ec. DM tipe II, spondilosis lumbalis, infeksi saluran kemih, neurogenic bladder and bowel

Problem Rehabilitasi Medik

A. Fisioterapi : adanya deconditioning syndrome akibat tirah baring lama

B. Speech Terapi :

-C. Ocupasi Terapi : keterbatasan melakukan kegiatan sehari-hari

D. Sosiomedik : terkadang membutuhkan bantuan untuk melakukan kegiatan sehari-hari

(14)

E. Ortesa-protesa :

-F.Psikologi : kecemasan pasien dan keluarga dalam menghadapi penyakit pasien

VI. TATA LAKSANAMedikamentosa 1. Bed rest total

2. IVFD NaCl 0,9% 20 tpm 3. Inf. Levofloxacin

4. Diet DM

5. Injeksi novorapid 14-14-12 6. Injeksi lantus 0-0-0-14 7. Injeksi ranitidin / 12 jam 8. Injeksi vit B12 / 24 jam 9. Asam folat tab 3x1 o Rehabilitasi Medik:

1. Fisioterapi : a.Alih baring tiap 2 jam

b. General ROM exercise active assistive c.Strengthening

d. Mobilisasi bertahap (latihan duduk) e.Breathing training

f. Bladder training

2. Terapi wicara :

-3. Okupasi terapi : latihan dalam melakukan aktivitas sehari-hari

4. Sosiomedik : - Menilai situasi kehidupan pasien

(15)

- Motivasi dan edukasi keluarga untuk membantu dan merawat penderita dengan selalu berusaha menjalankan program di RS dan Home program

5. OrtesaProtesa :

-6. Psikologi : Psikoterapi suportif

Planning :

Planning terapi : perbaikan keadaan umum, pasien mondok untuk penatalaksanaan bagian penyakit dalam dan rehabilitasi medik

Planning monitoring : evaluasi hasil medikamentosa dan rehabilitasi medik

1. TUJUAN

Jangka Pendek

1. Perbaikan keadaan umum

2. Mencegah terjadinya komplikasi akibat tirah baring lama, pneumonia, atrofi otot, hipotensi ortostatik dan lain sebagainya.

Jangka Panjang

1. Mengurangi impairment, disabilitas, dan handicap yang dialami pasien 2. Meningkatkan dan memelihara kekuatan otot

3. Meningkatkan dan memelihara ROM 4. Meningkatkan ADL

5. Mengatasi masalah psikososial yang timbul akibat penyakit yang diderita pasien

VIII. IMPAIRMENT, DISABILITY, DAN HANDICAP

Impairment : Polineuropati ec DM tipe II, neurogenic bladder and bowel, spondylosis lumbalis

(16)

Disability : Mobilisasi terganggu, kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-hari (membersihkan diri, mandi, penggunaan jamban)

Handicap : Kesulitan dalam melakukan pekerjaan rumah tangga, bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungan

IX. PROGNOSIS Ad vitam : dubia Ad sanam : dubia Ad fungsionam : dubia TINJAUAN PUSTAKA 1. POLINEUROPATI DIABETIKA DEFINISI

(17)

melitus setelah dilakukan eksklusi penyebab lainnya.1,7,8 Polineuropati diabetika menggambarkan keterlibatan banyak saraf tepi dan distribusinya umumnya bilateral simetris meliputi gangguan sensorik, motorik maupun otonom.

TANDA DAN GEJALA

Polineuropati diabetika memiliki tanda dan gejala yang mudah dikenal yaitu kelainan yang sifatnya simetris. Gangguan sensorik selalu lebih nyata dibanding kelainan motorik dan sudah terlihat pada awal penyakit. Umumnya gejala nyeri, parastesi dan hilang rasa timbul ketika malam hari. Khas diawali dari jari kaki berjalan ke proksimal tungkai. Seiring memberatnya penyakit jari tangan dan lengan dapat mengenai saraf sensoris, motor dan fungsi otonomik dengan bermacam-macam derajat tingkat, dengan predominan terutama disfungsi sensoris.2 Nyeri mungkin bisa tiba-tiba saja timbul atau mungkin dicetus oleh stimulasi pada daerah kulit dan nyerinya tajam atau terbakar. Parastesi biasanya digambarkan dengan rasa tebal, gringgingen, terbakar, atau kesemutan.

Kelemahan otot-otot tungkai dan penurunan reflek lutut dan tumit terjadi lebih lambat. Adanya nyeri dan menurunnya rasa terhadap temperatur melibatkan serabut sarabut saraf kecil (small fiber neuropathy) dan merupakan predisposisi terjadinya ulkus kaki. Gangguan propioseptif, rasa getar dan gaya berjalan (sensory ataxia gait) menunjukkan keterlibatan serabut saraf ukuran besar (large fiber neuropathy).

Kerusakan pada sistem saraf-saraf autonom dapat menyebabkan miosis (mengecilnya pupil), anhidrosis (tidak bisa berkeringat), hipotensi ortostatik, impotensi, dan keabnormalan vasomotor. Gejala-gejala tersebut dapat muncul tanpa gejala lain yang sering menyertai polineuropati, tapi gangguan pada sistem autonom tersebut sering menyertai polineuropati distal yang simetris.

Saraf-saraf kutan superfisial bisa menjadi tebal dan terlihat karena kolagen berproliferasi dan dideposisi pada sel Schwann karena pengulangan episode demielinisasi dan remyelinisasi atau deposisi dari amyloid atau polisakarida pada saraf-saraf tersebut. Fasikulasi atau kontraksi spontan dari unit motor dapat terlihat

(18)

berkejut-kejut dibawah kulit dan bisa juga terlihat di lidah pasien. Gejala tersebut merupakan karakteristik dari penyakit yang menyerang cornu anterior tapi juga bisa terlihat pada neuropati motorik dengan multifokal blok pada konduksi motoriknya dan juga pada neuropati kronis yang menyertai kerusakan dari axon.

Tanda dan gejala klinis dari polineuropati merupakan refleksi dari saraf apa yang terkena. Gangguan dari tiap tipe saraf menghasilkan tanda dan gejala yang “positif” atau “negatif” seperti yang terlihat pada tabel berikut.

KLASIFKASI

Klasifikasi polineuropati diabetika didasarkan pada : 1. Berdasarkan onset : Aku, sub akut dan kronik 2. Menurut Goto (1986) :

a. Somatik

- Motorik : keluhan paling menonjol adalah berkurangnya tenaga dan cepat lelah. Pada pemerikasan kekuatan otot terjadi penurunan dan kelemahan oleh karena terputusnya akson dan demielinisasi sehingga terjadi hambatan pada konduksi hantaran syaraf. Tanda objektif yang timbul adalah hilangnya refleks tendon Achilles dan patela

(19)

b. Autonom : Hipotensi postural, impotensi, anhidrosi, gagguan pada bowel dan bladder.

PATOFISIOLOGI

Banyak teori yang dikemukan oleh para ahli tentang patofisiologi terjadinya neuropati diabetika, namun semuanya sampai sekarang belum diketahui sepenuhnya. Faktor-faktor etiologi neuropati diabetika diduga adalah vaskular, berkenaan dengan metabolisme, neurotropik dan imunologik. Studi terbaru menunjukkan adanya kecenderungan suatu multifaktorial patogenesis yang terjadi pada neuropati diabetika. Beberapa teori yang diterima adalah :

a. Teori vaskular (iskemia-hipoksia)

Pada pasien neuropati diabetika dapat terjadi penurunan aliran darah ke endoneurium yang disebabkan oleh adanya resistensi pembuluh darah akibat hiperglikemia. Biopsi nervus suralis pada pasien neuropati diabetika ditemukan adanya penebalan pembuluh darah, agregasi platelet, hiperplasi sel endotelial dan pembuluh darah, yang kesemuanya dapat menyebabkan iskemia. Iskemia juga dapat menyebabkan terganggunya transport aksonal, aktifitas NA+/K+ ATPase yang akhirnya menimbulkan degenerasi akson.

b. Teori Metabolik

Teori Advanced Glycation End Product (AGEs)

Peningkatan glukosa intraseluler menyebabkan pembentukan advanced glycosilation products (AGEs) melalui glikosilasi nonenzymatik pada protein seluler. Glikosilasi dan protein jaringan menyebabkan pembentukan AGEs. Glikosilasi non enzimatik ini merupakan hasil interaksi glukosa dengan kelompok amino pada protein. Pada hiperglikemia kronis beberapa kelebihan glukosa berkombinasi dengan asam amino pada sirkulasi atau protein jaringan. Proses ini pada awalnya membentuk produk glikosilasi awal yang reversibel dan selanjutnya membentuk AGEs yang ireversibel. Konsentrasi AGEs meningkat pada penderita DM. Pada endotel mikrovaskular manusia , AGEs

(20)

menghambat produksi prostasiklin dan menginduksi PAI-1(Plasminogen Activator Inhibitor-1) dan akibatnya terjadi agregasi trombosit dan stabilisasi fibrin, memudahkan trombosis. Mikrotrombus yang dirangsang oleh AGEs berakibat hipoksia lokal dan meningkatkan angiogenesis dan akhirnya mikroangiopati.

c. Teori Nerve Growth Factor (NGF)

Faktor neurotrophic penting untuk pemeliharaan, pengembangan, dan regenerasi unsur-unsur yang responsif dari saraf. Neurotrophic factor (NF) sangat penting untuk saraf dalam mempertahankan perkembangan dan respon regenerasi. Nerve Growth Factor (NGF) berupa protein yang memberi dukungan besar terhadap kehidupan serabut saraf dan neuron simpatis. Telah banyak dilakukan penelitian mengenai adanya faktor pertumbuhan saraf, yaitu suatu protein yang berperan pada ketahanan hidup neuron sensorik serabut kecil dan neuron simpatik sistem saraf perifer. Beberapa penelitian pada binatang menunjukkan adanya defisiensi neurotropik sehingga menurunkan proses regenerasi saraf dan mengganggu pemeliharaan saraf. Pada banyak kasus, defisit yang paling awal, melibatkan serabut saraf yang kecil. Pada pasien dengan DM terjadi penurunan NGF sehingga transport aksonal yang retrograde ( dari organ target menuju badan sel) terganggu. Penurunan kadar NGF pada kulit pasien DM berkorelasi positif dengan adanya gejala awal small fibers sensory neuropathy.

d. Stres Oksidatif pada Patogenesis Neuropati Diabetika

Stres oksidatif terjadi dalam sebuah sistem seluler saat produksi dari radikal bebas melampaui kapasitas antioksidan dari sistem tersebut. Jika antioksidan seluler tidak memindahkan radikal bebas, radikal bebas tersebut menyerang dan merusak protein, lipid dan asam nukleat. Oksidasi produk radikal bebas menurunkan aktifitas biologi, membuat hilangnya energi metabolisme, sinyal sel, transport, dan fungsi fungsi utama lainnya. Hasil produknya juga membuat

(21)

dari beberapa kerusakan membuat sel mati melalui nekrotisasi atau mekanisme apoptosis. Hiperglikemik kronis menyebabkan stres oksidatif pada jaringan cenderung pada komplikasi pasien dengan diabetes. Metabolisme glukosa yang berlebihan menghasilkan radikal bebas. Beberapa jenis radikal bebas di produksi secara normal di dalam tubuh untuk menjalankan beberapa fungsi spesifik. Superoxide (O2), hydrogen peroxide (H2O2), dan nitric oxide (NO) adalah tiga diantara radikal bebas ROS yang penting untuk fisiologi normal, tetapi juga dipercaya mempercepat proses penuaan dan memediasi degenerasi selular pada keadaan sakit.

Glukosa dapat bereaksi dengan Reactive Oxygen Species (ROS) dan akan membentuk karbonil. Karbonil bereaksi dengan protein atau lemak akan menyebabkan pembentukan glikosidasi atau liposidasi. Selain itu glukosa dapat juga membentuk karbonil secara langsung dengan protein dan membentuk Advanced glycation end products(AGEs) yang berperan dalam stress oksidatif dan dapat menyebabkan kerusakan sel.

(22)

DIAGNOSIS

1. Diagnosis Diabetes Melitus

Kadar gula darah untuk menentukan diagnosis DM menurut Konsesus Pengelolaan DM tahun 2006.

(23)

2. Diagnosis Neuropati Diabetika

Penegakan diagnose dan menentukan derajat keparahan dari neuropati diabetika menggunakan TCSS (Tronto Clinical Scoring System) yang meliputi Gejala, pemeriksaan reflek dan pemeriksaan sensorik.

a. Gejala : pada kaki yaitu nyeri, rasa tebal, kesemutan, lemah, gejala adanya ataksia dan gejala pada lengan. System scoringnya adalah bila terdapat gejala skor 1 bila tidak ada gejala skor 0

b. Reflek : pemeriksaan pada kaki kiri dan kanan, dilakukan pemeriksaan reflek patella dan achiles, skor 2 bila tidak ada reflek, 1 bila reflek menurun dan 0 bila normal

c. Sensorik : pemeriksaan sensorik meliputi nyeri tusuk, suhu, raba, getaran dan posisi. Skor 1 bila abnormal, 0 bila normal

(24)

Pemeriksaan Eletrodiagnostik

Elektromiografi (EMG) adalah pemeriksaan elektrodiagnosis untuk memeriksa saraf perifer dan otot. Pemeriksaan EMG adalah obyektif, tak tergantung input penderita dan tak ada bias. EMG dapat member informasi yang dapat dipercaya ,kuantitatif dari fungsi saraf. EMG dapat mengetahui denervasi parsial pada otot kaki sebagai tanda dini ND. EMG ini dapat menunjukkan kelaianan dini pada ND yang asimptomatik.

Kecepatan hantar saraf (KHS) mengukur serat saraf sensorik bermyelin besar dan serat saraf motorik, jadi tidak dapat mengetahui kelainan pada neuropati

(25)

sel-sel ganglion radiks dorsalis dan akson perifernya. KHS sensorik berkurang pada demielinisasi serabut saraf sensorik. KHS motorik biasanya lambat dibagian distal lambat, terutama bagian distal. Respon motorik mungkin amplitudonya normal atau berkurang bila penyakitnya bertambah parah. Penyelidikan kecepatan hantar saraf sensorik biasanya lebih jelas daripada perubahan KHS motorik. EMG jarang menimbulkan aktivitas spontan abnormal dan amplitude motor unit bertambah, keduanya ini menunjukkan hilangnya akson dengan dengan reinervasi kompensatoris. Bila kerusakan saraf kecil memberi keluhan nyeri neuropatik , kecepatan hantar sarafnya normal,dan diagnosis memerlukan biopsi saraf. Hasil-hasil EMG saja tidak pernah patognomonik untuk suatu penyakit, walau ia dapat membantu atau menyangkal suatu diagnosis klinis. Oleh karena itu pemeriksaan klinis dan neurologik serta amamnesis penting sekali untuk membantu diagnosis pasti suatu penyakit. PENATALAKSANAAN

Terapi pasien dengan polineuropati dapat dibagi menjadi tiga cara: terapi spesifik dilakukan bergantung kepada etiologi penyebab dari pasien tersebut, terapi simptomatis, dan meningkatkan kemampuan pasien self-care. Terapi simptomatis dari polineuropati terdiri dari mengurangi atau menghilangkan dari nyeri yang diderita dan fisioterapi. Fisioterapi termasuk pijat untuk otot yang lemah dan melakukan pergerakan pasif terhadap semua sendi. Ketika pasien sudah bisa untuk bergerak lagi, latihan otot dapat dilakukan setiap hari. Pasien mungkin tidak diperbolehkan untuk jalan terlebih dahulu sebelum tes otot mengindikasikan bahwa otot-otot tersebut sudah siap untuk digunakan. Pada kasus polineuropati dengan footdrop, sebuah orthosis untuk kaki dapat digunakan untuk membantu pasien berjalan. Pasien-pasien dengan hipotensi postural, disuruh untuk bangun secara bertahap.

(26)

Prognosis dari penyakit polineuropati bergantung kepada jenis dan penyebabnya, tingkat keparahan dari saraf yang terkena, dan komplikasi-komplikasi yang ditimbulkan. Bagaimanapun, dengan terapi yang segera, kebanyakan orang membaik dengan sangat cepat, dalam hitungan hari atau beberapa minggu saja. Hanya kurang dari 2% dapat mengakibatkan kematian. Setelah membaik secara bertahap, 3 – 10% orang menjadi kelainan yang mengarah ke CIDP (Chronic Inflammatory Demyelinisation Polineuropathy). Pada CIDP yang tertangani dengan baik 30% Niab sembuh dan tidak terdapat gangguan, 45% dengan tetap ada gangguan yang ringan, dan 25% tetap mengalami gangguan saraf yang buruk Pada diabetic polineuropati, komplikasi biasanya baik apabila diabetesnya baik, tetapi akan memburuk apabila terjadi komplikasi neuropati autonom.

SPONDILOSIS LUMBALIS PENDAHULUAN

Spondilo berasal dari bahasa Yunani yang berarti tulang belakang. Spondilosis lumbalis dapat diartikan perubahan pada sendi tulang belakang dengan ciri khas bertambahnya degenerasi discus intervertebralis yang diikuti perubahan pada tulang dan jaringan lunak, atau dapat berarti pertumbuhan berlebihan dari tulang (osteofit), yang terutama terletak di aspek anterior, lateral, dan kadang-kadang posterior dari tepi superior dan inferior vertebra centralis (corpus). 3

Spondilosis lumbalis muncul pada 27-37% dari populasi yang asimtomatis.Di Amerika Serikat, lebih dari 80% individu yang berusia lebih dari 40 tahun mengalami spondilosis lumbalis, meningkat dari 3% pada individu berusia 20-29 tahun. Di dunia, spondilosis lumbal dapat mulai berkembang pada usia 20 tahun. Hal ini meningkat, dan mungkin tidak dapat dihindari, bersamaan dengan usia. Kira-kira 84% pria dan 74% wanita mempunyai osteofit vertebralis, yang sering terjadi setinggi T9-10. Kira-kira 30% pria dan 28% wanita berusia 55-64 tahun mempunyai osteofit lumbalis. Kira-kira 20% pria dan 22% wanita berusia 45-64 tahun mengalami osteofit lumbalis.4

(27)

Rasio jenis kelamin pada keadaan ini bervariasi, namun hampir sama secara bermakna. Spondilosis lumbalis ini sendiri muncul sebagai fenomena penuaan yang tidak spesifik. Kebanyakan penelitian menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara spondilosis dengan gaya hidup, berat badan, tinggi badan, massa tubuh, aktivitas fisik, merokok dan konsumsi alkohol, atau riwayat reproduksi.4

Spondilosis lumbalis sering bersifat asimtomatis, sehingga kita sebagai dokter sangat perlu untuk mengetahui patogenesis, gejala klinis yang sering tampak serta pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan penunjang untuk dapat menegakkan diagnosa dan memberikan penanganan yang tepat.

ANATOMI

Columna vertebralis merupakan poros tulang rangka tubuh yang memungkinkan untuk bergerak. Terdapat 33 columna vertebralis, meliputi 7 columna vertebra cervical, 12 columna vertebra thoracal, 5 columna vertebra lumbal, 5 columna vertebra sacral dan 4 columna vertebra coccygeal. Vertebra sacral dan cocygeal menyatu menjadi sacrum-coccyx pada umur 20 sampai 25 tahun. Columna vertebrales juga membentuk saluran untuk spinal cord. Spinal cord merupakan struktur yang Sangat sensitif dan penting karena menghubungkan otak dan sistem saraf perifer.5

Canalis spinalis dibentuk di bagian anterior oleh discus intervertebralis atau corpus vertebra, di lateral oleh pediculus, di posterolateral oleh facet joint dan di posterior oleh lamina atau ligament kuning. Canalis spinalis mempunyai dua bagian yang terbuka di lateral di tiap segmen, yaitu foramina intervertebralis.4

Recessus lateralis adalah bagian lateral dari canalis spinalis. Dimulai di pinggir processus articularis superior dari vertebra inferior, yang merupakan bagian dari facet joint. Di bagian recessus inilah yang merupakan bagian tersempit. Setelah melengkung secara lateral mengelilingi pediculus, lalu berakhir di caudal di bagian terbuka yang lebih lebar dari canalis spinalis di lateral, yaitu foramen intervertebralis.

(28)

Dinding anterior dari recessus lateralis dibatasi oleh discus intervertebralis di bagian superior, dan corpus verterbralis di bagian inferior. 4

Dinding lateral dibentuk oleh pediculus vertebralis. Dinding dorsal dibatasi oleh processus articularis superior dari vertebra bagian bawah, sampai ke bagian kecil dari lamina dan juga oleh ligamen kuning (lamina). Di bagian sempit recessus lateralis, dinding dorsalnya hanya dibentuk oleh hanya processus lateralis, dan perubahan degeneratif di daerah inilah mengakibatkan kebanyakan penekanan akar saraf pada stenosis spinalis lumbalis. 4

Akar saraf yang berhubungan dengan tiap segmen dipisahkan dari kantong dura setinggi ruang intervertebra lalu melintasi recessus lateralis dan keluar dari canalis spinalis satu tingkat dibawahnya melalui foramina intervertebralis. Di tiap-tiap titik ini dapat terjadi penekanan. 4

(29)

Gambar 2. Struktur Columna Vertebralis Lumbal 5

PENGERTIAN

Spondylosis adalah sejenis penyakit rematik yang menyerang tulang belakang (spine osteoarthritis) yang disebabkan oleh proses degenerasi sehingga mengganggu fungsi dan struktur tulang belakang. Spondylosis dapat terjadi pada level leher (cervical), punggung tengah (thoracal), maupun punggung bawah (lumbal). Proses degenerasi dapat menyerang sendi antar ruas tulang belakang, tulang dan juga penyokongnya (ligamen).

Spondylosis lumbal adalah kelainan degeneratif yang menyebabkan hilangnya struktur dan fungsi normal spinal. Proses penuaan adalah penyebab utama tapi lokasi dan percepatan degenerasi bersifat individual. Proses degeneratif pada region cervical, thoracal atau lumbal dapat mempengaruhi discus intervertebral dan sendi faset (Kalim, 1996).

Spondylosis ini termasuk penyakit degeneratif yang proses terjadinya secara umum disebabkan oleh berkurangnya kekenyalan discus yang kemudian

(30)

menipis dan diikuti dengan lipatan ligamen disekeliling corpus vertebra, seperti ligamentum longitudinal. Selanjutnya pada lipatan ini terjadi pengapuran dan terbentuk osteofit. Spondylosis kebanyakkan menyerang pada usia diatas 40 tahun (Appley, 1995).

ETIOLOGI

Tidak ada yang tahu persis apa yang menyebabkan pada seseorang terjadi proses degenerasi pada sendi tersebut sedangkan orang lain tidak. Tapi ada beberapa faktor resiko yang dapat memperberat atau mencetuskan penyakit ini. Faktor usia dan jenis kelamin salah satunya, semakin tua semakin banyak penderita spondylosis. Dari temuan radiografik (Holt, 1966) kejadiannya 13% pada pria usia 30-an, dan 100% pada pria usia 70-an. Sedangkan pada wanita umur 40-an 5% d40-an umur 70-40-an 96%. Faktor lain y40-ang turut meningkatk40-an kejadi40-an spondylosis adalah faktor trauma, ’wear and tear’ alias pengausan, dan genetik. Perlu diingat bahwa tulang punggung adalah penahan berat, jadi tentunya berhubungan dengan pekerjaan dan obesitas. Misalnya orang yang mempunyai pekerjaan sering mengangkat beban berat maka kecenderungan terkena spondylosis lebih tinggi, dan orang yang gemuk dengan sendirinya juga memberi beban lebih pada sendi di ruas tulang punggung sehingga meningkatkan kemungkinan terkena spondylosis. Merokok juga dilaporkan merupakan faktor resiko penyakit ini.

PATOGENESIS DAN KLASIFIKASI

Spondylosis muncul sebagai akibat pembentukan tulang baru di tempat dimana ligament anular mengalami ketegangan.3

Verbiest pada 1954, menganggap sebagai penyakit yang asalnya tidak diketahui, dengan kelainan genetik, dimana efek patologis secara keseluruhan hanya

(31)

muncul saat pertumbuhan sudah lengkap dan vertebra sudah mencapai ukuran maksimal. 4

Kebanyakan ahli menerima teori yang menjelaskan stenosis spinalis lumbalis terjadi melalui perubahan degeneratif yang menjadi instabilitas dan penekanan akar saraf yang menimbulkan masalah jika anatomi canalis spinalis seseorang tidak baik. 4

Faktor perkembangan dan kongenital termasuk beberapa variasi anatomis yang memberikan ruang lebih sempit untuk jalannya saraf, sehingga bahkan hanya dengan perubahan osseus minor dapat berkembang menjadi penekanan akar saraf: canalis spinalis yang dangkal, canalis dengan bentuk trefoil, atau anomali dari akar saraf. 4

Variasi anatomis facet joint dalam hal orientasi, bentuk, atau asimetrisitas membuat degenerasi lebih mudah terjadi yang berkembang menjadi penekanan akar saraf. Degenerasi lebih sering menyebabkan gejala penekanan akar saraf pada canalis spinalis yang sempit, dibandingkan dengan yang lebar bahkan spondilosis atau spondiloartrosis yang berat tidak memberikan tanda-tanda klinis. 4

Bentuk trefoil dari canalis spinalis adalah variasi anatomis dari canalis spinalis, yang disebabkan oleh orientasi dari lamina dan facet joint. Paling sering ditemukan setinggi L3 sampai L5. Kondisi ini dianggap sebagai faktor predisposisi berkembangnya stenosis recessus lateralis melalui perubahan degeneratif dari facet joint. 4

Kelainan-kelainan akar saraf (akar yang berhimpit, akar yang ukurannya melebihi normal, akar yang melintang) juga dapat berperan dalam berkembangnya gejala. Disproporsi antara ukuran recessus lateralis dan diameter akar yang di luar normal dapat menimbulkan gejala yang sesuai.3

Facet joint yang asimetris dapat mempercepat degenerasi diskus, facet joint dengan orientasi ke frontal memungkinkan ruang yang lebih lebar untuk membengkok ke lateral dan oleh karena itu juga mempunyai akibat negatif terhadap integritas discus. Pada saat yang sama, juga terdapat ruang yang lebih sempit di recessus lateralis. Orientasi sendi ke sagital memungkinkan mudahnya pergeseran ke sagital dari vertebra-yaitu berkembangnya spondilolistesis degeneratif. Faktor yang

(32)

didapat yaitu termasuk semua perubahan degeneratif yang berkembang menjadi penekanan akar saraf baik osseus maupun non-osseus. 4

Secara morfologis, bentuk-bentuk perlekatan struktur saraf berikut ini dapat muncul secara tunggal atau kombinasi dapat digolongkan sebagai stenosis spinalis lumbalis : 4

- stenosis spinalis centralis - stenosis recessus lateralis

- penyempitan foramen intervertebralis - penekanan akar saraf osseus

GAMBARAN KLINIS

Spondilosis lumbalis biasanya tidak menimbulkan gejala. Ketika terdapat keluhan nyeri punggung atau nyeri skiatika, spondilosis lumbalis biasanya merupakan temuan yang tidak ada hubungannya. Biasanya tidak terdapat temuan apa-apa kecuali munculnya suatu penyulit.3

Pasien dengan stenosis spinalis lumbalis sebagian besar mengalami keluhan saat berdiri atau berjalan. Gejala atau tanda yang mncul saat berjalan berkembang menjadi claudicatio neurogenik. Dalam beberapa waktu, jarak saat berjalan akan bertambah pendek, kadang-kadang secara mendadak pasien mengurangi langkahnya. Gejala yang muncul biasanya akan sedikit sekali bahkan pada pasien yang dengan kasus lanjut.4

Gejala dan tanda yang menetap yang tidak berhubungan dengan postur tubuh disebabkan oleh penekanan permanen pada akar saraf. Nyeri tungkai bawah, defisit sensorik motorik, disfungsi sistem kemih atau impotensi seringkali dapat ditemukan. 4 Gejala dan tanda yang intermiten muncul ketika pasien berdiri, termasuk nyeri pinggang bawah, nyeri alih, atau kelemahan pada punggung. Gejala-gejala ini berhubungan dengan penyempitan recessus lateralis saat punggung meregang. Oleh karena itu, gejala-gejala akan dipicu atau diperburuk oleh postur tubuh yang

(33)

diperburuk oleh lordosis lumbal, termasuk berdiri, berjalan terutama menuruni tangga atau jalan menurun, dan termasuk juga memakai sepatu hak tinggi. 4

Nyeri pinggang bawah adalah keluhan yang paling umum muncul dalam waktu yang lama sebelum munculnya penekanan radikuler. Kelemahan punggung merupakan keluhan spesifik dari pasien dimana seolah-olah punggung akan copot, kemungkinan akibat sensasi proprioseptif dari otot dan sendi tulang belakang. Kedua keluhan, termasuk juga nyeri alih (nyeri pseudoradikuler) disebabkan oleh instabilitas segmental tulang belakang dan akan berkurang dengan perubahan postur yang mengurangi posisi lordosis lumbalis : condong ke depan saat berjalan, berdiri, duduk atau dengan berbaring. Saat berjalan, gejala permanen dapat meluas ke daerah dermatom yang sebelumnya tidak terkena atau ke tungkai yang lain, menandakan terlibatnya akar saraf yang lain. Nyeri tungkai bawah dapat berkurang, yang merupakan fenomena yang tidak dapat dibedakan. Karena pelebaran foramina secara postural, beberapa pasien dapat mengendarai sepeda tanpa keluhan, pada saat yang sama mengalami gejala intermiten hanya setelah berjalan dengan jarak pendek. 4

Claudicatio intermiten neurogenik dialami oleh 80% pasien, tergantung kepada beratnya penyempitan canalis spinalis. Tanda dan gejala yang mengarahkan kepada hal tersebut adalah defisit motorik, defisit sensorik, nyeri tungkai bawah, dan kadang-kadang terdapat inkontinensia urin. Beristirahat dengan posisi vertebra lumbalis yang terfleksikan dapat mengurangi gejala, tapi tidak dalam posisi berdiri, berlawanan dengan claudicatio intermiten vaskuler. Claudicatio intermiten neurogenik disebabkan oleh insufisiensi suplai vaskuler pada satu atau lebih akar saraf dari cauda equina yang terjadi selama aktivitas motorik dan peningkatan kebutuhan oksigen yang berhubungan dengan hal tersebut. Daerah fokal yang mengalami gangguan sirkulasi tersebt muncul pada titik tempat terjadinya penekanan mekanik, dengan hipereksitabilitas neuronal yang berkembang menjadi nyeri atau paresthesia Demielinasi atau hilangnya serat saraf dalam jumlah besar akan berkembang menjadi kelemahan atau rasa kebal. Efek lain dari penekanan mekanik adalah perlekatan

(34)

arachnoid yang akan memfiksasi akar saraf dan menganggu sirkulasi CSF di sekitarnya dengan akibat negatif pada metabolismenya. 4

PEMERIKSAAN RADIOLOGIS

- X-ray, CT scan, dan MRI digunakan hanya pada keadaan dengan komplikasi.3

- Pemeriksaan densitas tulang (misalnya dual-energy absorptiometry scan [DEXA]) memastikan tidak ada osteofit yang terdapat di daerah yang digunakan untuk pengukuran densitas untuk pemeriksaan tulang belakang. Osteofit menghasilkan gambaran massa tulang yang bertambah, sehingga membuat hasil uji densitas tulang tidak valid dan menutupi adanya osteoporosis.3

Foto X-ray polos dengan arah anteroposterior, lateral dan oblique berguna untuk menunjukkan lumbalisasi atau sakralisasi, menentukan bentuk foramina intervertebralis dan facet joint, menunjukkan spondilosis, spondiloarthrosis, retrolistesis, spondilolisis, dan spondilolistesis. Stenosis spinalis centralis atau stenosis recessus lateralis tidak dapat ditentukan dengan metode ini.4

Mielografi (tidak dilakukan lagi) bermanfaat dalam menentukan derajat dan kemiringan besarnya stenosis karena lebih dari sati titik penekanan tidak cukup. 4

CT adalah metode terbaik untuk mengevaluasi penekanan osseus dan pada saat

yang sama juga nampak struktur yang lainnya. Dengan potongan setebal 3 mm, ukuran dan bentuk canalis spinalis, recessus lateralis, facet joint, lamina, dan juga morfologi discuss intervertebralis, lemak epidural dan ligamentum clavum juga terlihat. 4

MRI dengan jelas lebih canggih daripada CT dalam visualisasi struktur non

osseus dan saat ini merupakan metode terbaik untuk mengevaluasi isi canalis spinalis. Disamping itu, di luar dari penampakan degradasi diskus pada T2 weighted image, biasanya tidak dilengkapi informasi penting untuk diagnosis stenosis spinalis

(35)

cepat yang merupakan metode non invasif, peranan MRI dalam diagnosis penyakit ini akan bertambah. Khususnya kemungkinan untuk melakukan rangkaian fungsional spinal lumbalis akan sangat bermanfaat. 4

Sangat penting bahwa semua gambaran radiologis berhubungan dengan gejala-gejala, karena penyempitan asimptomatik yang terlihat pada MRI atau CT sering ditemukan baik stenosis dari segmen yang asimptomatik atau pasien yang sama sekali asimptomatik dan seharusnya tidak diperhitungkan.

Gambar 3. Spinal canal stenosis-Sagittal MRI

(36)

PEMERIKSAAN LABORATORIUM Tidak ada indikasi pemeriksaan laboratorium.3

PEMERIKSAAN LAINNYA

Elektromiografi (EMG) dan nerve conduction velocity (NCV) hanya digunakan pada keadaan dengan komplikasi). 3

PENGOBATAN

Pengobatan harus disesuaikan dengan pasien, usia dan tujuan. Pada kebanyakan pasien dapa dicapai perbaikan yang nyata atau berkurangnya gejala-gejala. Gejala-gejala radikuler dan claudicatio intermitten neurogenik lebih mudah berkurang dengan pengobatan daripada nyeri punggung, yang menetap sampai pada 1/3 pasien.2

Pengobatan konservatif

Pengobatan ini terdiri dari analgesik dan memakai korset lumbal yang mana dengan mengurangi lordosis lumbalis dapat memperbaiki gejala dan meningkatkan jarak saat berjalan. Pada beberapa kelompok pasien, perbaikan yang mereka rasakan cukup memuaskan dan jarak saat berjalan cukup untuk kegiatan sehari-hari. 4

Percobaan dalam 3 bulan direkomendasikan sebagai bentuk pengobatan awal kecuali terdapat defisit motorik atau defisit neurologis yang progresif. Terapi konservatif untuk stenosis spinalis lumbalis dengan gejala-gejala permanen jarang sekali berhasil untuk waktu yang lama, berbeda dengan terapi konservatif untuk herniasi diskus. 4

Terapi medis dipergunakan untuk mencari penyebab sebenarnya dari gejala nyeri punggung dan nyeri skiatika.3

- Jangan menyimpulkan bahwa gejala pada pasien berhubungan dengan osteofitosis. Carilah penyebab sebenarnya dari gejala pada pasien.

(37)

- Jika muncul gejala terkenanya akar saraf, maka diindikasikan untuk bed rest total selama dua hari. Jika hal tersebut tidak mengatasi keluhan, maka diindikasikan untuk bedah eksisi.

- Pengobatan tidak diindikasikan pada keadaan tanpa komplikasi. Terapi Pembedahan

Terapi pembedahan diindikasikan jika terapi konservatif gagal dan adanya gejala-gejala permanen khususnya defisit mototrik.4 Pembedahan tidak dianjurkan pada keadaan tanpa komplikasi.3

Bedah eksisi dilakukan pada skiatika dengan bukti adanya persinggungan dengan nervus skiatika yang tidak membaik dengan bed rest total selama 2 hari.1

- Penekanan saraf dari bagian posterior osteofit adalah penyulit yang mungkin terjadi hanya jika sebuah neuroforamen ukurannya berkurang 30% dari normal.

- Reduksi tinggi discus posterior samapi kurang dari 4 mm atau tinggi foramen sampai kurang dari 15 mm sesuai dengan diagnosis kompresi saraf yang diinduksi osteofit.

- Jika spondilosis lumbalis mucul di canalis spinalis, maka stenosis spinalis adalah komplikasi yang mungkin terjadi.

- Jika osteofit menghilang, carilah adanya aneurisma aorta. Aneurisma aorta dapat menyebabkan erosi tekanan dengan vertebra yang berdekatan. Jika osteofit muncul kembali, tanda yang pertama muncul seringkali adalah erosi dari osteofit-osteofit tersebut, sehingga tidak nampak lagi.

- Terdapat kasus adanya massa tulang setinggi L4 yang menekan duodenum. Terapi pembedahan tergantung pada tanda dan gejala klinis, dan sebagian karena pendekatan yang berbeda terhadap stenosis spinalis lumbalis, tiga kelompok prosedur operasi yang dapat dilakukan anatara lain:2

 Operasi dekompresi

(38)

 Operasi stabilisasi segmen gerak yang tidak stabil

Prosedur dekompresi adalah: dekompresi kanalis spinalis, dekompresi kanalis spinalis dengan dekompresi recessus lateralis dan foramen intervertebralis, dekompresi selektif dari akar saraf.

Dekompresi kanalis spinalis3

Laminektomi adalah metode standar untuk dekompresi kanalis spinalis bagian tengah. Keuntungannya adalah biasanya mudah dikerjakan dan mempunyai angka kesuksesan yang tinggi. Angka kegagalan dengan gejala yang rekuren adalah ¼ pasien setelah 5 tahun. Terdapat angka komplikasi post operatif non spesifik dan jaringan parut epidural yang relatif rendah.

Secara tradisional, laminektomi sendiri diduga tidak menganggu stabilitas spina lumbalis, selama struktur spina yang lain tetap intak khususnya pada pasien manula. Pada spina yang degeneratif, bagian penting yang lain seperti diskus intervertebaralis dan facet joint seringkali terganggu. Hal ini dapat menjelaskan adanya spodilolistesis post operatif setelah laminektomi yang akan memberikan hasil yang buruk.

Laminektomi dikerjakan pada keadaan adanya spondilolistesis degeneratif atau jika terdapat kerusakan operatif dari diskus atau facet joint. Terdapat insiden yang tinggi dari instabilitas post operatif. Dengan menjaga diskus bahkan yang sudah mengalami degenerasi, nampaknya membantu stabilitas segmental (Goel, 1986). Untuk alasan inilah maka discectomy tidak dianjurkan untuk stenosis spinalis lumbalis dimana gejalanya ditimbulkan oleh protrusio atau herniasi, kecuali diskus yang terherniasi menekan akar saraf bahkan setelah dekompresi recessus lateralis.

Jaringan parut epidural muncul setelah laminektomi dan kadang-kadang berlokasi di segmen yang bersebelahan dengan segmen yang dioperasi. Jika jaringan parut sangat nyata, hal ini disebut dengan “membran post laminektomi”. Autotransplantasi lemak dilakukan pada epidural oleh beberapa ahli bedah untuk mengurangi fibrosis. Walaupun beberapa telah berhasil, pembengkakan lemak post

(39)

Dekompresi harus dilakukan pada pasien dengan osteoporosis. Sebaiknya dilakukan dengan hati-hati karena instabilitas post operatif sangat sulit diobati.

Laminektomi dengan facetectomy parsial adalah prosedur standar stenosis laminektomi tunggal cukup untuk stenosis kanalis spinalis, sehingga biasanya digabungkan dengan beberapa bentuk facetectomy parsial. ”Unroofing” foramen vertebralis dapat dikerjakan hanya dari arah lateral sebagaimana pada herniasi diskus foramina. Kemungkinan cara yang lain dikerjakan adalah prosedur laminoplasti dengan memindahkan dan memasukkan kembali lengkung laminar dan processus spinosus.

Dekompresi selektif akar saraf 2

Kecuali terdapat penyempitan diameter sagital kanalis spinalis, dekompresi selektif akar saraf sudah cukup, khususnya jika pasien mempunyai gejala unilateral. Facetectomy medial melalui laminotomi dapat dikerjakan. Biasanya bagian medial facet joint yang membungkus akar saraf diangkat.

Komplikasi spesifik prosedur ini antara lain insufisiensi dekompresi, instabilitas yang disebabkan oleh pengangkatan 30-40% dari facet joint, atau fraktur fatique dari pars artikularis yang menipis.

Dekompesi dan stabilisasi2

Laminektomi dapat digabungkan dengan berbagai metode stabilisasi. Sistem terbaru menggunakan skrup pedikuler, sebagaimana pada sistem yang lebih lama seperti knodt rods, harrington rods dan Luque frame dengan kawat sublaminer.

Laminektomi spondilolistesis degeneratif dan penyatuan prosesus intertranvesus dengan atau tanpa fiksasi internal adalah prosedur standar. Untuk alternatifnya dapat dilakukan penyatuan interkorpus lumbalis posterior atau penyatuan interkorpus anterior. Beberapa ahli mengatakan, laminektomi dengan penyatuan spinal lebih baik daripada laminektomi tunggal karena laminektomi tunggal berhubungan dengan insiden yang tinggi dari spondilolistesis progresif.

(40)

Komplikasi prosedur stabilisasi termasuk di dalamnya kerusakan materi osteosintetik, trauma neurovaskuler, fraktur prosesus spinosus, lamina atau pedikel, pseudoarthrosis, ileus paralitik, dan nyeri tempat donor graft iliakus. Degenerasi dan stenosis post fusi dapat muncul pada segmen yang bersebelahan dengan yang mengalami fusi yang disebabkan oleh hipermotilitas. Walaupun hasil percobaan mendukung teori ini, efek klinis dari komplikasi ini masih belum dapat diketahui.

Berbeda dari spondilolistesis degeneratif dimana dekompresi dan stablisasi adalah prosedur yang dianjurkan, tidak terdapat konsensus bahwa hal ini merupakan pengobatan yang paling efektif. Stenosis spinalis lumbalis diterapi dengan pembedahan dalam rangkaian operasi yang banyak dengan hasil jangka pendek yang baik. Namun demikian, setelah lebih dari 40 tahun, penelitian dna pengalaman dalam terapi, etiologinya masih belum dapat dimengerti secara jelas dan juga, definisi dan klasifikasi masih belum jelas karena derajat stenosis tdak selalu berhubungan dengan gejala-gejalanya.

Protokol pembedahan yang dianjurkan antara lain:

 Pada pasien dengan gejala-gejala permanen yang bertambah saat berdiri atau menyebabkan claudicatio intermitten neurogenik dekompresi dan stabilisasi  Pada pasien tanpa gejala-gejala yang permanen tapi dengan gejala intermitten

yang jelas berhubungan dengan postur dilakukan prosedur stabilisasi, terutama jika keluhan membaik dengan korset lumbal

Penurunan berat badan dan latihan untuk memperbaiki postur tubuh dan menguatkan otot-otot abdominal dan spinal harus dikerjakan bersama dengan pengobatan baik konservatif maupun pembedahan.

(41)

DAFTAR PUSTAKA

1. Widjaja D. Diagnosis of Diabetic Neuropathy in Course and Workshop on Neurophysiology in Clinical Practice. Kongres nasional PERDOSSI ke 6. Yogyakarta: 2007; 20-39

2. Sadeli HA. Nyeri Neuropati Diabetika. Dalam: Meliala L, Suryamiharja, Wirawan, Sadeli HA, Amir D, editor. Nyeri Neuropatik. Yogyakarta: Medigama Press 2008; 77-90

3. Bruce M. Lumbar spondylosis. 2007 In: http://www.emedicine.com/neuro/jnl/index.htm. Accses : 10 October 2007.

4. Thamburaj V. Lumbar spondylosis. 2007. In: http://www.pubmedcentral.nih.gov. Accses : 10 October 2007.

5. Anonim. Lumbar Spine Stenosis A Common -Medical Illustration_files. 1998. In : http://www.w3.org/TR/html4/loose.dtd. Accses: 10 October 2007.

6. Anonim. Anatomy of the Vertebral Column with Typical Cervical and Lumbar Vertebrae - Medical Illustration_files. 2004. In: http://www.w3.org/TR/html4/loose.dtd. Access:10 October 2007.

7. Sjahrir H. Diabetic Neuropathy: The Pathoneubiology & Treatment Update. Medan: USU Press; 2006.

8. Boulton AJ, Vinik AI, Arezo JC, Brill V, Fielman LL, Freeman R et al. Diabetic Neuropathies, A Statement by American Diabetes Association. Diabetes Care 2005;28(4):956-62

Gambar

Gambar 1. Columna Vertebralis  6
Gambar 2. Struktur Columna Vertebralis Lumbal  5

Referensi

Dokumen terkait

Tingginya risiko VAP pada pasien yang terpasang ventilasi mekanik berdampak pada lama perawatan, biaya yang harus ditanggung dan angka mortalitas pasien maka

Berdasarkan permasalahan di atas maka telah dilakukan penelitian tentang Komposisi Ikan Yang Tertangkap di Batang Liki Kecamatan Sangir Kabupaten Solok Selatan..

Secara umum dalam memadamkan kebakaran TPA terdapat tiga faktor yang harus dikendalikan yaitu bahan bakar (sampah yang mudah terbakar), panas (api yang menyebabkan kebakaran)

Berdasarkan dari hasil penelitian yang tercantum dalam tabel 4 diatas, sebanyak 76 responden menunjukan bahwa ada hubungan tingkat kecemasan dengan kejadian

Kemitraan LPTK Unsyiah dan UIN Ar Raniry dengan USAID PRIORITAS telah mengembangkan berbagai bentuk kerja sama, di antaranya (1) Menguatkan program praktik mengajar untuk

Penanggung akan membayar ganti rugi kepada Tertanggung sampai dengan jumlah manfaat maksimal sebesar Rp 6.500.000 (enam juta lima ratus ribu Rupiah) untuk

perbaikan. Selanjutnya tahap revisi dilakukan dengan melihat saran dari ahli media dan ahli materi. Sesuai dengan saran dari para ahli peneliti memperbaiki

Untuk memastikan bahwa tubuh menerima nutrisi yang cukup dari makanan, usus kecil mencampur chyme menggunakan kontraksi otot polos yang disebut segmentasi?. Segmentasi