BAB III PEMERIKSAAN NOTARIS SELAKU PEJABAT UMUM YANG
B. Pemeriksaan Notaris selaku Pejabat Umum yang Terlibat
Kepolisian sebagaimana yang diamanatkan oleh KUHAP adalah selaku penyidik yang mempunyai kewajiban dan kewenangan untuk menerima laporan/pengaduan tentang ada tidaknya tindak pidana untuk selanjutnya dilakukan penyelidikan guna mencari dan mengumpulkan bukti-bukti, dan dengan alat bukti tersebut akan membuat terang tindak pidana yang terjadi dan menemukan tersangkanya. Setelah bukti-bukti dikumpulkan dan yang diduga tersangka telah diketemukan maka penyidik dengan cermat, apakah cukup bukti untuk dilimpahkan kepada penuntut umum atau tidak.
Untuk menilai apakah cukup bukti atau tidak suatu perkara pidana yang dilaporkan, maka dalam pembuktian suatu perkara pidana, penyidik tidak terlepas dari ketentuan KUHAP.
Dalam Hukum Acara Pidana dipakai yang dinamakan system negatip menurut undang-undang, system mana terkandung dalam RIB (Reglemen Indonesia yang diperbaharui).
Pasal 294 ayat 1 RIB
“Tiada seorangpun dapat dihukum, kecuali jika hakim berdasarkan alat-alat bukti yang sah, memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana telah terjadi dan bahwa terdakwa telah bersalah melakukannya.”
Sistem negatip menurut undang-undang tersebut di atas mempunyai maksud sebagai berikut :
1. Untuk mempersalahkan seorang terdakwa diperlukan suatu minimum pembuktian yang ditetapkan dalam undang-undang;
2. Jika hakim tidak memiliki keyakinan terhadap banyaknya alat bukti yang dimajukan tentang kesalahan terdakwa, ianya tidak boleh mempersalahkan dan menghukum terdakwa tersebut.88
Jadi dalam sistem negatip nasib terdakwa berada dalam keyakinan hakim itu sendiri, jika bukti banyak, hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa, maka ia harus dibebaskan. Karena itu dalam putusan hakim perkara pidana, yang menjatuhkan pidana, dapat kita baca pertimbangan “bahwa hakim, berdasarkan bukti-bukti yang sah, berkeyakinan akan kesalahan terdakwa”, seperti yang termaktub dalam Pasal 183 KUHPidana.
Pasal 183 KUHAP
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Pasal 184 ayat 1 KUHAP
“Alat bukti yang sah ialah : a. Keterangan saksi; b. Keterangan Ahli; c. Surat; d. Petunjuk, dan; e. Keterangan terdakwa”.
Dengan demikian dalam pembuktian, unsur-unsur suatu tindak pidana, maka yang harus dibuktikan oleh penyidik adalah tetap mengacu kepada Pasal 183 dan 184 KUHAP.
Undang-undang jabatan Notaris telah memberikan suatu prosedur khusus dalam penegakan hukum terhadap Notaris yang diatur dalam Pasal 66 UUJN : untuk kepentingan proses peradilan, Penyidik, Penuntut Umum atau Hakim harus dengan Persetujuan Majelis Pengawas Daerah (MPD). Kemudian MPD melaksanakan rapat pleno dan hasil rapat tersebut dapat dijadikan penyidik sebagai dasar melakukan pemanggilan.
Untuk menindak Notaris nakal seharusnya UU Jabatan Notaris memuat ketentuan pidana khusus bagi Notaris jika melanggar jabatan. Baik itu pidananya berupa denda, kurungan atau penjara sebab Notaris bertugas membuat akta. Dengan akta itu, Notaris bisa menyebabkan seseorang hilang hak. Kalau hak orang hilang, otomatis masyarakat akan dirugikan karena itu perilaku Notaris perlu diawasi. Sesuai dengan Pasal 70 ayat 1 UUJN majelis pengawas berwenang menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan
mengambil keputusan atas dugaan pelanggaran kode etik. Berdasarkan ketentuan tersebut harus diartikan bahwa sebagaimana Majelis Pengawas Notaris merupakan organ penegak hukum yang satu-satunya berwenang menentukan ada atau tidaknya kesalahan dalam pelanggaran profesi jabatan Notaris. Peranan Majelis Pengawas Notaris untuk memberikan jaminan kepastian hukum bagi Notaris sebagai suatu profesi dari campur tangan pihak manapun termasuk pengadilan dalam menentukan kesalahan Notaris dalam menjalankan jabatannya.
Dalam kaitan dengan Penetapan Notaris sebagai tersangka, berkaitan dengan pelaksanaan "Profesi", maka Majelis Pengawas Daerah wajib untuk menolak memberikan persetujuan, sampai dibuktikan lebih dahulu adanya kesalahan Notaris melalui putusan Majelis Pengawas Notaris yang bersifat final dan mengikat.
Notaris sebagai pengemban amanat dan kepercayaan masyarakat dan perannya yang penting dalam lalu lintas hukum, sudah selayaknya Notaris mendapatkan perlindungan hukum dalam menjalankan jabatannya termasuk pula dalam hal Notaris diduga melakukan pelanggaran kode etik dan dugaan unsur pidana harus dikedepankan asas praduga tak bersalah dan peranan yang serius dari perkumpulan untuk memberikan perlindungan hukum.89
Pada awal kelahiran jabatan Notaris telah terlihat jelas hakikatnya sebagai pejabat umum yang ditugaskan oleh kekuasaan umum untuk melayani kebutuhan masyarakat akan alat bukti otentik yang memberikan kepastian hubungan hukum keperdataan. Jadi sepanjang alat bukti otentik tetap diperlukan oleh sistem hukum Negara maka jabatan Notaris akan tetap diperlukan eksistensinya ditengah masyarakat.90
89 Abi Jumroh Harahap, Peran Notaris dalam Lalu Lintas Hukum ; Perspektif Mengenai
Perlindungan Hukum bagi Notaris, www.analisadaily.com/index.php
Apabila timbul kerugian yang harus dipikul salah satu atau kedua belah pihak karena akta yang dibuat Notaris maka pihak-pihak yang dirugikan tersebut dapat memberitahukan masalahnya kepada Majelis Pengawas Daerah (MPD) Notaris atau Ikatan Notaris Indonesia (INI) setempat. Mereka juga dapat memberitahukan langsung kepada Menteri melalui kantor Departemen Hukum, selaku pengawas Notaris.91 Namun dalam praktek sehari-hari, jika terjadi permasalahan diantara para
pihak yang pernah datang menghadap Notaris, maka para pihak langsung melapor kepada polisi dan mengikutkan pejabat umum tersebut.
Majelis pengawas bertindak berdasarkan perintah Undang-undang yang menentukan, karena Majelis pengawas dibentuk oleh Undang-undang. Selain UUJN Notaris juga harus mengikuti ketentuan apa yang telah disepakati perkumpulan atau lebih dikenal dengan Ikatan Notaris Indonesia, yakni Kode Etik Notaris yang dibuat dan disepakati bersama oleh perkumpulan.
Untuk pemanggilan Notaris yang diduga terlibat dalam perkara pidana. Dalam proses itu, prosedur yang harus dilakukan oleh aparat penegak hukum tunduk kepada ketentuan perundang-undangan tentang jabatan Notaris.
91 Ira Koesoemawati, dan Rijan, Yunirman, Ke Notaris, Raih Asa Sukses, Jakarta, 2009, Hal.
Pasal 66 ayat (1) Undang-undang No. 30 Tahun 2004
“Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang:
a. Mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; dan b. Memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan
dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.”
Penyidik sebelum mengambil atau menyita surat-surat atau fotokopi minuta akta yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris, atau memanggil Notaris berkaitan dengan akta yang dibuatnya, haruslah terlebih dahulu mendapat ijin dan persetujuan dari Majelis Pengawas Daerah.
Pasal 1 butir 6 UUJN
“Majelis Pengawas adalah suatu badan yang mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap Notaris.
Majelis Pengawas Daerah (MPD) mempunyai kewenangan khusus yang tidak dimiliki Majelis Pengawas Wilayah (MPW) dan Majelis Pengawas Pusat (MPP). MPD berwenang untuk memeriksa Notaris sehubungan dengan permintaan penyidik,
penuntut umum, atau hakim untuk mengambil fotokopi minuta akta atau surat-surat lainnya yang dilekatkan pada minuta akta atau dalam protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris, juga pemanggilan Notaris yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau dalam protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris. Hasil akhir pemeriksaan MPD yang dituangkan dalam bentuk surat keputusan yang berisi, memberikan persetujuan atau menolak permintaan penyidik, penuntut umum atau hakim.
Notaris berharap mendapatkan perlindungan dan pemeriksaan yang adil, transparan, beretika, dan ilmiah ketika MPD atau penyidik Kepolisian memeriksa Notaris, atau Notaris di periksa oleh MPD atas permohonan dari Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan. Para anggota MPD yang memeriksa Notaris terdiri dari 3 (tiga) orang Notaris, 3 (tiga) orang Akademis, dan 3 (tiga) orang birokrat (Pasal 67 ayat 3 Undang-undang No. 30 Tahun 2004).
MPD menempatkan akta Notaris sebagai objek pemeriksaan, apakah akta yang dibuatnya berada dalam lingkup hukum perdata, sehingga akta ditempatkan sebagai objek yang harus dinilai berdasarkan aturan hukum yang berkaitan dengan pembuatan akta, dan jika terbukti ada pelanggaran, maka akan dikenai sanksi administratif dan perdata.
Jika MPD memutuskan (berdasarkan Surat Keputusan yang dibuat oleh MPD) untuk mendukung Notaris untuk diperiksa oleh penyidik, kejaksaan, atau di pengadilan sebagai tindak lanjut dari Pasal 66 UUJN tersebut di atas, tidak ada kemungkinan untuk mengajukan keberatan untuk dilakukan pemeriksaan ke instansi majelis yang lebih tinggi, seperti ke Majelis Pemeriksa Wilayah, atau Majelis Pemeriksa Pusat.92 Namun atas surat keputusan MPD yang mengijinkan Notaris
untuk diperiksa oleh penyidik, Notaris berhak melayangkan gugataan atas Surat Keputusan yang dikeluarkan MPD ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Karena keputusan MPD tersebut bersifat konkret, individual, final, dan menimbulkan akibat hukum.
Dalam UU No 5 tahun 1986 juncto UU No 9 tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Didalam Pasal 1 UU No 5 tahun 1986 diuraikan definisi/pengertian dari :
1. Tata Usaha Negara adalah Administrasi Negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah;
2. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
92 Surya Dharma, bekas Sekretaris Team Anggota MPD Medan, wawancara, tanggal 09 April
3. Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Maka nampaklah dengan jelas Majelis Pengawas Notaris, sebagaimana dalam ketentuan Pasal 67 ayat 1 dan ayat 2 UUJN termasuk didalam pengertian pasal 1 UU PTUN, bahwa Menteri selaku Badan atau Jabatan TUN yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan telah mendelegasikan kewenangannya kepada Majelis Pengawas yang oleh karena itu secara fungsional dan keberadaannya sebagai Badan Tata Usaha Negara.
MPD menempatkan akta Notaris sebagai objek pemeriksaan, maka penyidik Kepolisian dengan persetujuan MPD menempatkan Notaris selaku pejabat umum sebagai objek pemeriksaan karena merupakan subjek hukum. Yang dapat menggiring Notaris dalam tugasnya telah turut serta atau membantu melakukan suatu tindak pidana.
Untuk tindak pidana yang dilakukan oleh Notaris-PPAT diluar tindakan sebagaimana dalam ketentuan Pasal 66 UU No. 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris seperti tindak pidana penganiayaan, pembunuhan, perjudian, pencurian, dan lain-lain maka penyidik, dalam hal ini POLRI dapat langsung melakukan pemeriksaan dan pemanggilan terhadap Notaris selaku individu masyarakat dan bukan sebagai Pejabat Umum sebagaimana yang telah disebutkan dalam UU Jabatan Notaris tersebut.93
Lebih lanjut, Pasal 14 ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M.03.HT.03.10 Tahun 2007 tentang Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris menyatakan bahwa ”Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim untuk kepentingan proses peradilan dapat memanggil Notaris sebagai saksi, tersangka, atau terdakwa dengan mengajukan permohonan tertulis kepada Majelis Pengawas Daerah.”
Ikatan Notaris Indonesia (INI) juga menindaklanjuti ketentuan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris dengan menandatangani nota kesepahaman dengan Kepolisian Republik Indonesia No.Pol:B/1056/V/2006 dan Nomor : 01/MoU/PP-INI/V/2006 tentang pembinaan dan peningkatan profesionalisme di
93 Artsianto Daramawan, Reserse Kriminal Polda SUMUT., Wawancara, tanggal 27 Oktober
bidang penegakan hukum.94 Nota kesepahaman tersebut memuat ketentuan bahwa
tindakan pemanggilan terhadap notaris harus dilakukan secara tertulis dan ditandatangani oleh penyidik. Namun, pemanggilan itu dilakukan setelah penyidik memperoleh persetujuan dari Majelis Pengawas yang merupakan suatu badan yang mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan. Lebih lanjut isi kesepahaman itu mengatur Notaris yang akan diperiksa atau dimintai keterangan harus jelas kedudukan dan perannya, apakah sebagai saksi atau tersangka terhadap akta-akta yang dibuatnya dan/atau selaku pemegang protokol.95
Pasal 1 ayat 1 MoU No.01/Mou/PP-INI/2006
“Penyidik Polri sebagai alat Negara penegak hukum mempunyai tugas dan wewenang melakukan tindakan-tindakan hukum terhadap seseorang yang diduga terlibat oleh suatu peristiwa pidana sebagaimana diatur dalam KUHAP dan Undang-undang tentang Polri serta Perundang-undangan lainnya.”
94 Artsianto Daramawan, Reserse Kriminal Polda SUMUT., Wawancara, Ibid. 95 Artsianto Daramawan, Reserse Kriminal Polda SUMUT., Wawancara, Ibid
Pasal 1 ayat 2 MoU No.01/Mou/PP-INI/2006
“Tindakan-tindakan hukum yang dilakukan penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berupa pemanggilan, pemeriksaan, penyitaan dan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab sesuai Pasal 7 ayat 1 huruf j KUHAP, dapat juga dilakukan kepada Notaris-PPAT baik sebagai saksi maupun tersangka, terutama dalam kaitan suatu tindakan pidana dalam pembuatan akta Notaris-PPAT, sesuai dengan ketentuan Pasal 66 UUJN.”
Notaris yang dipanggil penyidik harus jelas kedudukan dan perannya, apakah sebagai saksi atau tersangka terutama akta-akta yang dibuatnya sebagai alat bukti pemeriksaan. Seseorang yang dipanggil penyidik menyangkut perkara pidana yang akan atau telah terjadi berdasarkan “surat panggilan” yang dikeluarkannya dengan mencantumkan alasan pemanggilan secara jelas dan statusnya sebagai apa dalam menghadap penyidik, apakah sebagai saksi atau sebagai tersangka.96
Notaris yang dipanggil sebagai saksi wajib hadir dan memberi keterangan yang diperlukan tentang apa yang dilihat, diketahui, didengar dan dialami dalam suatu perkara yang menjadi objek pemeriksaan secara benar, meskipun di dalam kaitannya dengan sumpah jabatan Notaris dan adanya hak ingkar yang diberikan
96 Chairil Chan, Reserse Kepolisian Sektor Medan Timur, Wawancara, tanggal 22 Maret
kepada Notaris, namun hak ingkar itu dapat dilepaskan oleh Hakim demi kepentingan hukum.
Pasal 16 huruf e UUJN
“merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain.”
Pasal 54 UUJN
“Notaris hanya dapat memberikan, memperlihatkan, atau memberitahukan isi akta, Grosse Akta, Salinan Akta atau Kutipan Akta, kepada orang yang berkepentingan langsung pada akta, ahli waris atau orang yang memperoleh hak, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.”
Notaris sebagai jabatan kepercayaan wajib menyimpan rahasia mengenai akta yang dibuatnya dan keterangan/pernyataan para pihak yang diperoleh dalam pembuatan akta, kecuali undang-undang memerintahkannya untuk membuka rahasia dan memberikan keterangan/pernyataan tersebut kepada pihak yang memintanya.
Pasal 4 ayat 2 UUJN
“… Bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan saya…”
Pasal 16 ayat 1 huruf e UUJN
“Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain.”
Jika materi berita acara pemeriksaan Notaris yang terperiksa, berada diluar atau tidak menyangkut dalam materi akta yang dibuatnya, maka Notaris berhak menolak.
Jika ternyata Notaris sebagai saksi atau tersangka atau tergugat ataupun dalam pemeriksaan oleh Mejelis Pengawas Notaris membuka rahasia dan memberikan keterangan/pernyataan yang seharusnya wajib dirahasiakan, sedangkan undang-undang tidak memerintahkannya, maka atas pengaduan pihak yang merasa dirugikan kepada pihak yang berwajib, terhadap Notaris tersebut dapat diambil suatu tindakan. Notaris yang membuka rahasia tersebut dapat dikenakan Pasal 322 ayat 1 dan 2 KUHPidana, yaitu membongkar rahasia, padahal Notaris berkewajiban untuk menyimpannya.
Pemeriksaan atas pelanggaran yang dilakukan Notaris harus dilakukan pemeriksaan yang holistic-integral97, dengan melihat batasan-batasan kewenangan
dan kewajiban Notaris dalam membuat akta otentik, disamping berpijak pada aturan hukum yang mengatur tindakan pelanggaran yang dilakukan Notaris, juga perlu dipadukan dengan realitas praktik Notaris. Pemeriksaan terhadap Notaris akan kurang memadai jika dilakukan oleh mereka yang belum mendalami dunia Notaris, artinya mereka yang akan memeriksa Notaris harus dapat membuktikan kesalahan besar yang dilakukan Notaris secara intelektual, dalam hal ini kekuatan logika hukum yang diperlukan dalam memeriksa Notaris, bukan logika kekuasaan yang diperlukan.
Pasal 52 KUHAP
“Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim”.
Dalam Pasal ini yang dimaksudkan yaitu tersangka atau terdakwa tidak boleh dipaksa atau ditekan ataupun diintimidasi, agar pemeriksaan dapat mencapai hasil
97 Pendekatan yang Holistik Integral sebagaimana telah kita lihat yang biasa digunakan
menekankan keseluruhan - baik secara teoritis dan praktis - sebagai sebuah organisme atau berinteraksi totalitas, baik emphasies integralisme teoretis menyatukan unsur-unsur yang berbeda dalam satu perspektif yang lebih besar atau komunitas dari berbagai sudut pandang atau transformasi dari seluruh sudut pandang. (www.integralworld.net), tanggal 13 Januari 2010
yang tidak menyimpang daripada yang sebenarnya, maka tersangka atau terdakwa harus dijauhkan dari rasa takut. Dan pemeriksaan dengan paksaan dapat dipidana.
Pasal 422 KUHPidana
“Pegawai negeri yang dalam perkara pidana mempergunakan paksaan, baik untuk memaksa orang supaya mengaku, maupun untuk memancing orang supaya memberi keterangan, dihukum penjara … “.98
Untuk menetapkan Notaris sebagai saksi sampai tersangka tidaklah gampang, karena para penyidik harus mendapat pesetujuan dari Majelis Pengawas daerah, agar Notaris yang berkaitan mau datang menerima undangan penyidik, apalagi setelah Notaris ditetapkan sebagai tersangka yang awal mulanya sebagai saksi, hal itu semua berdasarkan pertimbangan tim penyidik dan bukti-bukti awal yang ditemukan, terutama keterangan saksi ahli yang dipanggil. Dan selama pemeriksaan tetap didampingi dari Majelis Pengawas Daerah 99
Pengakuan seorang terpidana SS, selama proses pemeriksaan perkara yang dialami tidak ada yang mencerminkan apa yang pernah ia peroleh selama mengikuti pendidikan Sarjana strata 1 sampai strata 2, semuanya berbeda. SS ditangkap pukul
98 R. Susilo,. Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Op. Cit.
99 Surya Dharma, bekas Sekretaris Team Anggota MPD Medan, wawancara, tanggal 09 April
19.00 WIB di kediamannya di Jl. Asia, seketika itu juga ia memberitahukan kepada ketua Majelis Pengawas Daerah yaitu Bapak Amri, dan bapak Amri hanya menyarankan untuk mempertahankan akta yang telah dikeluarkannya, lalu SS diletakkan diruang penyidikan, lanjutnya diperiksa tanpa didampingi Majelis Pengawas Daerah pada pukul 21.00 WIB sampai dengan pukul 06.00 WIB, setelah dua hari penahanannya SS menanyakan persangkaan yang dihadapinya, namun pihak penyidik belum dapat memberitahukan, “menunggu atasan” katanya.100
Selama pemeriksaan di kepolisian sampai dengan pemeriksaan di persidangan pengadilan, akta yang dikeluarkan SS yang dijadikan objek pemeriksaan dimana yang menjadi objek MPD dan bukannya SS sebagai tersangka. Namun apa yang terjadi selama pemeriksan SS tidak mendapat dukungan dari MPD, melainkan SS meminta bantuan hukum sendiri untuk mendampingi hak-haknya.101
100 San Smith, Notaris/PPAT, wawancara, tanggal 10 April 2010 101San Smith, Notaris/PPAT, wawancara, tanggal 10 April 2010
BAB IV
PERTANGGUNGJAWABAN NOTARIS SELAKU PEJABAT UMUM YANG TERLIBAT DALAM PERKARA PIDANA
Sebagaimana tercantum dalam Pasal 28D ayat 1 Amandemen Undang- Undang Dasar 1945 yaitu :
“setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
Ini artinya bahwa hukum diberlakukan dengan tidak memandang orangnya. Selanjutnya dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, dipertimbangan pada huruf a menerangkan :
“Bahwa Negara Republik Indonesia ialah Negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warga Negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahannya denga tiada kecualinya”.
Dengan perkataan lain bahwa semua warga Negara tanpa kecuali wajib menjunjung hukum dan menjunjung pemerintahan. Tidak terkecuali aparat
pemerintah, Polisi, Jaksa, Hakim, maupun Notaris-PPAT. Pasal 3 ayat 2 Undang- Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan :
“Setiap warga berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum”.
Menjunjung hukum dapat diartikan dengan mematuhi hukum. Terhadap warga Negara yang tidak mematuhi hukum tersebut “melakukan pelanggaran hukum”. Dalam realita sehari-hari, adanya warga Negara yang tidak menjunjung hukum maka terhadap warga Negara tersebut dianggap telah melakukan pelanggaran hukum.102 Namun demikian adanya anggapan bahwa seseorang itu telah melakukan
perbuatan melanggar hukum, tidak tepat jika orang tersebut secara cermat dan teliti belum diketahui tentang kebenaran anggapan tersebut karena adanya asas praduga tidak besalah “presumption of innosence103”. Bahwa seseorang dianggap tidak
bersalah sebelum dinyatakan bersalah dalam putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum yang tetap, dan berlaku bagi setiap orang tanpa ada pengecualian. Termasuk aparat penegak hukum yang melakukan penyidikan, haruslah
102 Artsianto Daramawan, Reserse Kriminal Polda SUMUT., Wawancara, Op.Cit
103 Praduga Tak Bersalah atau "Presumption of Innocence" adalah asas di mana seseorang
dinyatakan tidak bersalah hingga pengadilan menyatakan bersalah. Asas ini sangat penting pada demokrasi modern dengan banyak negara memasukannya kedalam konstitusinya. (id.wikipedia.org), tanggal 13 Januari 2010
menghormati asas tersebut, sehingga dalam pembuktian yang dilakukan seseorang harus berdasarkan kepada ketentuan hukum yang berlaku.
Asas legalitas yang dirumuskan dalam bahasa latin Nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali104, seperti yang terdapat dalam Pasal 1 ayat 1 Kitab