• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium dilakukan terutama untuk mendeteksi perubahan hematologis.

Parameter laboratorium yang dapat diperiksa antara lain: a. Leukosit

Dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui limfositosis relatif (>45% dari total leukosit) disertai adanya limfosit plasma biru (>15% dari jumlah total leukosit) yang pada fase syok meningkat.

Tabel 2.2. Hitung leukosit normal.

Tipe sel Persentase Hitung Absolut Normal

Leukosit 5.000-11.000/µl Neutrofil 45-75 4000-6000/µl Monosit 5-10 500-1000/µl Eosinofil 0-5 <450/µ l Basofil 0-1 <50/µ l Limfosit 10-45 2000-5000/µl (Hillman, 2005). b. Trombosit

Umumnya terdapat trombositopenia (jumlah trombosit < 100.000/µ l) pada hari ke 3-8.

c. Hematokrit

Kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya peningkatan hematokrit ≥20% dari hematokrit awal, umumnya dimulai pada hari ke-3 demam.

Tabel 2.3. Nilai normal hemoglobin/ hematokrit.

Usia/Jenis Kelamin Hemoglobin (g/dl) Hematokrit (%)

Saat lahir 17 52

Anak-anak 12 36

Remaja 13 40

Pria Dewasa 16 (±2) 47 (±6)

Wanita dewasa (menstruasi) 13 (±2) 40 (±6)

Wanita dewasa (postmenopause) 14 (±2) 42 (±6)

Selama Kehamilan 12 (±2) 37 (±6)

(Hillman, 2005)

d. Hemostasis

Dilakukan pemeriksaan prothrombin time (PT), partial thromboplastin time (aPTT), thrombin time (TT) atau fibrinogen pada keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan darah.

Tabel 2.4. Tes koagulasi rutin.

Tes Nilai Normal

Hitung trombosit 150.000-350.000/µl

Bleeding time (BT) 3-7 menit

Prothrombin time (PT) 10-14 detik

Partial thromboplastin time (aPTT) 25-38 detik Fibrinogen Orang sehat Orang sakit 200-400 mg/dl 400-800 mg/dl (Hillman, 2005). e. Protein/albumin

Dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma. Nilai normal albumin adalah 3-5,5 g/dl, nilai normal protein total adalah 5-8 g/dl (Price, 2003). f. SGOT/SGPT (serum alanin aminotransferase)

Dapat meningkat. Nilai normal alanin aminotransferase adalah 0-40 IU/l. Menurut Kalayanarooj (1997) anak dengan level enzim hati yang meningkat sepertinya lebih rentan mengalami dengue yang parah dibandingkan dengan yang memiliki level enzim hati yang normal saat didiagnosis.

g. Elektrolit

Sebagai parameter pemantauan pemberian cairan. Jumlah kalium normal serum adalah 3,5-5,2 mEq/l, sedangkan natrium 135-145 mEq/l.

h. Golongan darah dan cross match

Bila akan diberikan transfusi darah dan komponen darah. i. Imunoserologi

Dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap dengue. IgM terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3, menghilang setelah 60-90 hari. IgG pada infeksi primer mulai terdeteksi pada hari ke-14, pada infeksi sekunder IgG mulai terdeteksi pada hari ke-2.

2. Radiologis

kedua hemitoraks. Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan USG.

2.1.7. Diagnosis

Belum ada panduan yang dapat diterima untuk mengenal awal infeksi virus dengue (WHO Scientific Working Group, 2006). Perbedaan utama antara demam dengue dan DBD adalah pada DBD ditemukan adanya kebocoran plasma (Suhendro, 2006).

1. Demam Dengue

Ditegakkan bila terdapat dua atau lebih manifestasi klinis (nyeri kepala, nyeri retro-orbital, mialgia/artralgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan, leukopenia) ditambah pemeriksaan serologis dengue positif; atau ditemukan pasien demam dengue/ demam berdarah dengue yang sudah dikonfirmasi pada lokasi dan waktu yang sama.

2. Demam Berdarah Dengue

Berdasarkan kriteria WHO 1999 diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal di bawah ini terpenuhi.

a. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik. b. Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut:

- Uji bendung positif.

- Petekie, ekimosis, atau purpura.

- Perdarahan mukosa (tersering epitaksis atau perdarahan gusi), atau perdarahan di tempat lain.

- Hematemesis atau melena.

c. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/µl).

d. Terdapat minimal satu dari tanda-tanda kebocoran plasma sebagai berikut: - Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan

umur dan jenis kelamin.

- Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.

Namun, pada laporan WHO Scientific Working Group: Report on Dengue (2006) diperoleh beberapa laporan perdarahan parah pada pasien yang tidak memiliki atau memilki bukti minimum kebocoran plasma. Fenomena ini memiliki morbiditas dan mortalitas yang tinggi, dan patofisiologinya belum dipahami dengan baik.

3. Sindrom Syok Dengue

Seluruh kriteria DBD disertai kegagalan sirkulasi dengan manifestasi nadi yang cepat dan lemah, tekanan darah turun (<20 mmHg), hipotensi dibandingkan standard sesuai umur, kulit dingin dan lembab serta gelisah.

Tabel 2.5. Klasifikasi derajat penyakit infeksi virus dengue.

DD/DBD Derajat Gejala Laboratorium

DD Demam disertai 2 atau

lebih tanda: sakit kepala, nyeri retro-orbital, mialgia, artralgia

leukopenia, trombositopenia, tidak ada bukti kebocoran plasma

Serologi dengue positif

DBD I gejala di atas ditambah

uji bendung positif

trombositopenia <100.000,Ht meningkat ≥20%

DBD II gejala di atas ditambah

perdarahan spontan

trombositopenia <100.000,Ht meningkat ≥20%

DBD III Gejala di atas ditambah

kegagalan sirkulasi (kulit dingin dan lembab serta gelisah)

trombositopenia <100.000,Ht meningkat ≥20%

DBD IV Syok berat disertai

dengan tekanan darah dan nadi tidak terukur.

trombositopenia <100.000,Ht meningkat ≥20% (Suhendro, 2006).

2.1.8. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pasien DBD umumnya berorientasi kepada pemberian cairan. Harris et al. (2003) mendemonstrasikan bahwa meminum cairan seperti air atau jus buah dalam 24 jam sebelum pergi ke dokter merupakan faktor protektif melawan kemungkinan dirawat inap di rumah sakit.

Setiap pasien tersangka demam dengue atau DBD sebaiknya dirawat di tempat terpisah dengan pasien penyakit lain, sebaiknya pada kamar yang bebas nyamuk (berkelambu). Penatalaksanaan pada demam dengue atau DBD tanpa penyulit adalah:

1. Tirah baring. 2. Pemberian cairan.

Bila belum ada nafsu makan dianjurkan untuk minum banyak 1,5-2 liter dalam 24 jam (susu, air dengan gula/sirup, atau air tawar ditambah dengan garam saja).

3. Medikamentosa yang bersifat simtomatis.

Untuk hiperpireksia dapat diberikan kompres kepala, ketiak atau inguinal. Antipiretik sebaiknya dari golongan asetaminofen, eukinin atau dipiron. Hindari pemakaian asetosal karena bahaya perdarahan.

4. Antibiotik diberikan bila terdapat kekuatiran infeksi sekunder.

Pasien DHF perlu diobservasi teliti terhadap penemuan dini tanda syok, yaitu: 1. Keadaan umum memburuk.

2. Terjadi pembesaran hati.

3. Masa perdarahan memanjang karena trombositopenia. 4. Hematokrit meninggi pada pemeriksaan berkala.

Jika ditemukan tanda-tanda dini tersebut, infus harus segera dipersiapkan dan terpasang pada pasien. Observasi meliput pemeriksaan tiap jam terhadap keadaan umum, nadi, tekanan darah, suhu dan pernafasan; serta Hb dan Ht setiap 4-6 jam pada hari-hari pertama pengamatan, selanjutnya setiap 24 jam.

Terapi untuk sindrom syok dengue bertujuan utama untuk mengembalikan volume cairan intravaskular ke tingkat yang normal, dan hal ini dapat tercapai dengan pemberian segera cairan intravena. Jenis cairan dapat berupa NaCl 0,9%, Ringer’s

lactate (RL) atau bila terdapat syok berat dapat dipakai plasma atau ekspander plasma.

Jumlah cairan disesuaikan dengan perkembangan klinis.

Kecepatan permulaan infus ialah 20 ml/kg berat badan/ jam, dan bila syok telah diatasi, kecepatan infus dikurangi menjadi 10 ml/kg berat badan/ jam.

Pada kasus syok berat, cairan diberikan dengan diguyur, dan bila tak tampak perbaikan, diusahakan pemberian plasma atau ekspander plasma atau dekstran atau preparat hemasel dengan jumlah 15-29 ml/kg berat badan. Dalam hal ini perlu diperhatikan keadaan asidosis yang harus dikoreksi dengan Na-bikarbonat. Pada umumnya untuk menjaga keseimbangan volume intravaskular, pemberian cairan intravena baik dalam bentuk elektrolit maupun plasma dipertahankan 12-48 jam setelah syok selesai.

Pada tahun 1997, WHO merekomendasikan jenis larutan infus yang dapat diberikan pada pasien demam dengue/DBD:

1. Kristaloid.

a. Larutan ringer laktat (RL) atau dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat (D5/RL).

b. Larutan ringer asetat (RA) atau dekstrosa 5% dalam larutan ringer asetat (D5/RA).

c. Larutan NaCl 0,9% (garam faali/GF) atau dekstrosa 5% dalam larutan faali (D5/GF).

2. Koloid (plasma).

Transfusi darah dilakukan pada:

1. Pasien dengan perdarahan yang membahayakan (hematemesis dan melena). 2. Pasien sindrom syok dengue yang pada pemeriksaan berkala, menunjukkan

penurunan kadar Hb dan Ht.

Pemberian transfusi profilaksis trombosit atau produk darah masih banyak dipraktikkan. Padahal, penelitian Lum et al. (2003) menemukan bukti bahwa praktik ini tidak berguna dalam pencegahan perdarahan yang signifikan.

intravascular coagulophaty, DIC) diperkirakan merupakan penyebab utama

perdarahan. Bila dengan pemeriksaan hemostasis terbukti adanya DIC, heparin perlu diberikan. (Hendarwanto, 1996).

Gambar 2.3. Penatalaksanaan tersangka DBD (Mansjoer, 2001).

2.1.9. Komplikasi

Infeksi primer pada demam dengue dan penyakit mirip dengue biasanya ringan dan dapat sembuh sendirinya. Kehilangan cairan dan elektrolit, hiperpireksia, dan kejang demam adalah komplikasi paling sering pada bayi dan anak-anak. Epistaksis, petekie, dan lesi purpura tidak umum tetapi dapat terjadi pada derajat manapun. Keluarnya darah dari epistaksis, muntah atau keluar dari rektum, dapat memberi kesan keliru perdarahan gastrointestinal. Pada dewasa dan mungkin pada anak-anak, keadaan yang mendasari dapat berakibat pada perdarahan signifikan. Kejang dapat terjadi saat temperatur tinggi, khususnya pada demam chikungunya. Lebih jarang lagi, setelah

Tersangka DBD

Tidak ada kedaruratan Kedaruratan

Rawat inap

Nilai tanda klinis, periksa trombosit dan Ht bila demam menetap setelah hari sakit ke-3

1. Rawat jalan 2. Antipiretik

3. Kontrol setiap hari sampai demam hilang Jumlah trombosit >100.000/µl Jumlah trombosit <100.000/µl

Uji torniket negatif Uji torniket positif

Rawat jalan

fase febril, astenia berkepanjangan, depresi mental, bradikardia, dan ekstrasistol ventrikular dapat terjadi.

Komplikasi akibat pelayanan yang tidak baik selama rawatan inap juga dapat terjadi berupa kelebihan cairan (fluid overload), hiperglikemia dan hipoglikemia, ketidak seimbangan elektrolit dan asam-basa, infeksi nosokomial, serta praktik klinis yang buruk (Dengue: Guidelines for diagnosis, treatment, prevention and control, WHO, 2009).

Di daerah endemis, demam berdarah dengue harus dicurigai terjadi pada orang yang mengalami demam, atau memiliki tampilan klinis hemokonsentrasi dan trombositopenia (Halstead, 2007).

2.1.10. Prognosis

Prognosis demam dengue dapat beragam, dipengaruhi oleh adanya antibodi yang didapat secara pasif atau infeksi sebelumnya. Pada DBD, kematian telah terjadi pada 40-50% pasien dengan syok, tetapi dengan penanganan intensif yang adekuat kematian dapat ditekan <1% kasus. Keselamatan secara langsung berhubungan dengan penatalaksanaan awal dan intensif. Pada kasus yang jarang, terdapat kerusakan otak yang disebabkan syok berkepanjangan atau perdarahan intrakranial (Halstead, 2007).

Dokumen terkait