• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejalan dengan penemuan klinis, metode tambahan yang dapat dilakukan adalah : foto polos abdomen pada posisi berdiri, ultrasonografi dengan vesika urinaria penuh, CT-scan murni dan CT-scan dengan kontras. Jika temuan foto Rontgen dan ultrasonografi tidak jelas, sebaiknya jangan ragu untuk menggunakan CT-scan, dengan pertimbangan metode ini dapat mendeteksi cairan dan jumlah udara yang sangat sedikit sekali pun yang tidak terdeteksi oleh metode yang disebutkan sebelumnya.

1. Radiologi

Perforasi gastrointestinal adalah penyebab umum dari akut abdomen. Isi yang keluar dari perforasi dapat mengandung udara, cairan lambung dan duodenum, empedu, makanan, dan bakteri. Udara bebas atau pneumoperitoneum terbentuk jika udara keluar dari sistem gastrointestinal. Hal ini terjadi setelah perforasi lambung, bagian oral duodenum, dan usus besar. Pada kasus perforasi usus kecil, yang dalam keadaan normal tidak mengandung udara, jumlah udara yang sangat kecil dilepaskan.Udara bebas terjadi di rongga peritoneum 20 menit setelah perforasi.

Manfaat penemuan dini dan pasti dari perforasi gaster sangat penting, karena keadaan ini biasanya memerlukan intervensi bedah. Radiologis memiliki peran nyata dalam menolong ahli bedah dalam memilih prosedur diagnostik dan untuk memutuskan apakah pasien perlu dioperasi. Deteksi pneumoperitoneum minimal pada pasien dengan nyeri akut abdomen karena perforasi gaster adalah tugas diagnostik yang paling penting dalam status kegawatdaruratan abdomen. Seorang dokter yang berpengalaman, dengan menggunakan teknik radiologi, dapat mendeteksi jumlah udara sebanyak 1 ml. dalam melakukannya, ia menggunakan teknik foto abdomen klasik dalam posisi berdiri dan posisi lateral dekubitus kiri.

Untuk melihat udara bebas dan membuat interpretasi radiologi dapat dipercaya, kualitas film pajanan dan posisi yang benar sangat penting. Setiap pasien harus mengambil posisi adekuat 10 menit sebelum pengambilan foto, maka, pada saat pengambilan udara bebas dapat mencapai titik tertinggi di abdomen. Banyak peneliti menunjukkan kehadiran udara bebas dapat terlihat pada 75-80% kasus. Udara bebas tampak pada posisi berdiri atau posisi decubitus lateral kiri.

Pada kasus perforasi karena trauma, perforasi dapat tersembunyi dan tertutup oleh kondisi bedah patologis lain. Posisi supine menunjukkan pneumoperitoneum pada hanya 56% kasus.

Sekitar 50% pasien menunjukkan kumpulan udara di abdomen atas kanan, lainnya adalah subhepatika atau di ruang hepatorenal. Di sini dapat terlihat gambaran oval kecil atau linear.

Gambaran udara bentuk segitiga kecil juga dapat tampak di antara lekukan usus. Meskipun, paling sering terlihat dalam bentuk seperti kubah atau bentuk bulan setengah di bawah diafragma pada posisi berdiri.

2. Ultrasonografi

Ultrasonografi adalah metode awal untuk kebanyakan kondisi akut abdomen.

Pemeriksaan ini berguna untuk mendeteksi cairan bebas dengan berbagai densitas, yang pada

khususnya berharga untuk mendeteksi cairan bebas di pelvik kecil menggunakan teknik kandung

kemih penuh. Kebanyakan, ultrasonografi tidak dapat mendeteksi udara bebas.

3. CTscan

CT scan abdomen adalah metode yang jauh lebih sensitif untuk mendeteksi udara setelah perforasi, bahkan jika udara tampak seperti gelembung dan saat pada foto rontgen murni dinyatakan negatif.Oleh karena itu, CT scan sangat efisien untuk deteksi dini perforasi gaster. Ketika melakukan pemeriksaan, kita perlu menyetel jendelanya agar dapat membedakan antara lemak dengan udara, karena keduanya tampak sebagai area hipodens dengan densitas negatif. Jendela untuk parenkim paru adalah yang terbaik untuk mengatasi masalah ini. Saat CT scan dilakukan dalam posisi supine, gelembung udara pada CT scan terutama berlokasi di depan bagian abdomen. Kita dapat melihat gelembung udara bergerak jika pasien setelah itu mengambil posisi decubitus kiri. CT scan juga jauh lebih baik dalam mendeteksi kumpulan cairan di bursa omentalis dan retroperitoneal. Walaupun sensitivitasnya tinggi, CT scan tidak selalu diperlukan berkaitan dengan biaya yang tinggi dan efek radiasinya. Jika kita menduga seseorang mengalami perforasi, dan udara bebas tidak terlihat pada scan murni klasik, kita dapat menggunakan substansi kontras nonionik untuk membuktikan keraguan kita. Salah satu caranya adalah dengan menggunakan udara melalui pipa nasogastrik 10 menit sebelum scanning. Cara kedua adalah dengan memberikan kontras yang dapat larut secara oral minimal 250 ml 5 menit sebelum scanning, yang membantu untuk menunjukkan kontras tapi bukan udara. Komponen barium tidak dapat diberikan pada keadaan ini karena mereka dapat menyebabkan pembentukkan granuloma dan adesi peritoneum. Beberapa penulis menyatakan bahwa CT scan dapat memberi ketepatan sampai 95%.

G. Penatalaksanaan

Penderita yang lambungnya mengalami perforasi harus diperbaiki keadaan umumnya sebelum operasi. Pemberian cairan dan koreksi elektrolit, pemasangan pipa nasogastrik, dan pemberian antibiotik mutlak diberikan. Jika gejala dan tanda-tanda peritonitis umum tidak ada, kebijakan non-operatif mungkin digunakan dengan terapi antibiotik langsung terhadap bakteri gram-negatif dan anaerob.

Tujuan dari terapi bedah adalah : 1). Koreksi masalah anatomi yang mendasari 2) . Koreksi penyebab peritonitis

3). Membuang setiap material asing di rongga peritoneum yang dapat menghambat fungsi leukosit dan mendorong pertumbuhan bakteri (seperti darah, makanan, sekresi lambung).

Laparotomi dilakukan segera setelah upaya suportif dikerjakan. Jahitan saja setelah eksisi tukak yang perforasi belum mengatasi penyakit primernya, tetapi tindakan ini dianjurkan bila keadaan umum kurang baik, penderita usia lanjut dan terdapat peritonitis purulenta. Bila keadaan memungkinkan, tambahan tindakan vagotomi dan antrectomy dianjurkan untuk mencegah kekambuhan.

H. Komplikasi

Komplikasi pada perforasi gaster, sebagai berikut:

1. Infeksi Luka, angka kejadian infeksi berkaitan dengan muatan bakteri pada Gaster 2. Kegagalan luka operasi

Kegagalan luka operasi (kerusakan parsial atau total pada setiap lapisan luka operasi) dapat terjadi segera atau lambat.

Faktor-faktor berikut ini dihubungkan dengan kegagalan luka operasi antara lain malnutrisi, sepsis, uremia, diabetes mellitus, terapi kortikosteroid, obesitas, batuk yang berat, hematoma (dengan atau tanpa infeksi)

3. Abses abdominal terlokalisasi

4. Kegagalan multiorgan dan syok septic :

a) Septikemia adalah proliferasi bakteri dalam darah yang menimbulkan manifestasi sistemik, seperti kekakuan, demam, hipotermi (pada septicemia gram negatif dengan endotoksemia), leukositosis atau leukopenia (pada septikemia berat), takikardi, dan kolaps sirkuler.

b) Syok septik dihubungkan dengan kombinasi hal-hal berikut, sepert hilangnya tonus vasomotor, peningkatan permeabilitas kapiler, depresi myocardial, pemakaian leukosit dan trombosit, penyebaran substansi vasoaktif kuat, seperti histamin, serotonin dan prostaglandin, menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler, aktivasi komplemen dan kerusakan endotel kapiler.

c) Infeksi gram-negatif dihubungkan dengan prognosis yang lebih buruk dari gram-positif, mungkin karena hubungan dengan endotoksemia.

5. Gagal ginjal dan ketidakseimbangan cairan, elektrolit, dan pH

6. Perdarahan mukosa gaster. Komplikasi ini biasanya dihubungkan dengan kegagalan sistem multipel organ dan mungkin berhubungan dengan defek proteksi oleh mukosa gaster

7. Obstruksi mekanik, sering disebabkan karena adesi postoperatif

Faktor berikut dapat menyebabkan predisposisi delirium pasca-operatif : a) Usia lanjut

b) Ketergantungan obat c) Demensia

d) Abnormalitan metabolik e) Infeksi

f) Riwayat delirium sebelumnya g) Hipoksia

h) Hipotensi Intraoperatif/postoperative

I. Prognosis

Apabila tindakan operasi dan pemberian antibiotik berspektrum luas cepat dilakukan maka prognosisnya dubia ad bonam. Sedangkan bila diagnosis, tindakan, dan pemberian antibiotik terlambat dilakukan maka prognosisnya menjadi dubia ad malam.

Hasil terapi meningkat dengan diagnosis dan penatalaksanaan dini. Faktor-faktor berikut akan meningkatkan resiko kematian :

1. Usia lanjut

2. Adanya penyakit yang mendasari sebelumnya 3. Malnutrisi

4. Timbulnya komplikasi

Dokumen terkait