• Tidak ada hasil yang ditemukan

133. PEMERINTAH ABDUL GANI ABDULLAH (DIRJEN PERATURAN PERUNDANGAN-UNDANGAN DEPARTEMEN HUKUM DAN HAM)

Dalam dokumen MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA (Halaman 29-44)

Jadi sekali lagi bukan proses pembahasan Rancangan Undang-Undang, itu yang dimaksud apakah benar? Bukan proses pembahasan Rancangan Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, tetapi hanya sekedar dengar pendapat dengan Komisi IX?

134. SAKSI PEMOHON HARRY PONTOH, S.H.

Jadi, kalau undangannya adalah rapat dengar pendapat umum untuk mendapatkan masukan dalam rangka persiapan pembahasan RUU Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

135. PEMERINTAH ABDUL GANI ABDULLAH (DIRJEN PERATURAN

PERUNDANGAN-UNDANGAN DEPARTEMEN HUKUM DAN HAM)

Itu, dengan demikian bukan merupakan kehadiran dalam pembahasan RUU, tolong dipencet supaya direkam.

136. SAKSI PEMOHON HARRY PONTOH, S.H.

Betul, betul.

137. PEMERINTAH ABDUL GANI ABDULLAH (DIRJEN PERATURAN

PERUNDANGAN-UNDANGAN DEPARTEMEN HUKUM DAN HAM)

Terima kasih,

Untuk yang pertama Bapak Hakim, sudah cukup.

138. KETUA Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H.

Barangkali ada juga pertanyaan dari Dirjen Keuangan? Kalau tidak ada pertanyaan, oh ada? Silakan.

139. PEMERINTAH DARWIN NASUTION (DIRJEN LEMBAGA

KEUANGAN)

Kepada yang kanan lagi, Bapak Majelis Hakim yang terhormat.

Tadi, Saudara Saksi menyebut mengusulkan di Dewan Perwakilan Rakyat, di Komisi IX agar dimasukan juga selain kreteria BUMN yang menyangkut kepentingan publik, dan menurut Saksi, itu tidak dimasukan. Sudah baca atau belum Pasal 2 ayat (5)? Mohon dibaca dulu oleh Saksi, Bapak Hakim.

140. KETUA Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H.

141. SAKSI PEMOHON HARRY PONTOH, S.H.

Jadi, yang saya sudah sampaikan tadi, bahwa ini tidak termasuk PT. Persero. Jadi, kalau dilihat dari keterangannya di situ, hanya BUMN. Jadi, penjelasan dari Pasal 2 ayat (5), “Hanyalah BUMN yang sepenuhnya milik pemerintah dan modalnya tidak terbagi dalam saham”, kalau saya tidak salah begitu bunyinya, Bapak.

Terima kasih.

142. KETUA Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H.

Baik.

Jadi, itulah bedanya Saksi dan Ahli, kadang-kadang suka tercampur-campur juga ini dan memang di dalam perkara pengujian undang-undang, itu penting sekali membedakan itu. Lagi pula, kebanyakan dalam proses pengujian undang-undang, memang yang lebih luas keterangan itu adalah Ahli bukan Saksi. Akan tetapi Saksi jugs diperlukan sebagai salah satu alat bukti di dalam ketentuan Undang-undang Mahkamah Konstitusi, juga ada itu. Hanya, kita kadang susah untuk membedakannya.

Nanti, sepanjang menyangkut keterangannya mengenai pengetahuannya, mengenai macam-macam soal yang berkaitan dengan perkara ini, kami tidak akan pertimbangkan karena statusnya sudah disumpah sebagai Saksi. Bahwa misalnya pengetahuannya kebanyakan atau kekurangan, itu bukan soal di sini karena memang keterangan yang diperlukan berdasarkan kesaksian, bukan keahlian. Begitu kira-kira.

Nanti, Saudara Pemerintah pun bertanya jangan ke soal pengetahuannya, tapi kepada fakta-fakta yang diajukan, sebab itu yang nanti kami perhitungkan.

Baik, barangkali dari Majelis. Silakan Hakim Roestandi dulu, silakan.

143. HAKIM H. ACHMAD ROESTANDI, S.H.

Pertama, saya ingin bertanya kepada Saksi Bapak Zulfan. Apakah pada saat rancangan undang-undang itu disampaikan ke DPR, semua anggota DPR dapat rancangan undang-undang tersebut?

144. SAKSI PEMOHON HAMDAN ZOELVA, S.H.

Ya, setiap anggota DPR dikirimkan.

145. HAKIM H. ACHMAD ROESTANDI, S.H.

Dikirimkan rancangannya, apakah biasanya rancangan undang-undang ini tentu dibahas oleh fraksi. Kemudian fraksi membuat DIM, sehingga semua anggota itu, sebenarnya sudah paham tentang undang-undang itu, sehingga oleh siapapun nanti akan dibicarakan, apakah itu di Pansus, apakah itu Komisi, Sebenarnya semua anggota itu terutama yang bersangkutan untuk membahas itu telah mengetahui dan telah membicarakan di dalam fraksi, apakah demikian?

146. SAKSI PEMOHON HAMDAN ZOELVA, S.H.

Ya, undang-undang ini dibahasnya sangat cepa,t jadi termasuk sangat cepat, seingat saya, saya tidak sebagai anggota fraksi saya juga, saya di pimpinan fraksi, tidak dibicarakan secara khusus DIM mengenai undang-undang ini? Jadi walaupun dalam banyak RUU di fraksi saya, saya ikut membahas memberikan masukan-masukan. Apalagi yang terkait dengan masalah hukum.

147. HAKIM H. ACHMAD ROESTANDI, S.H.

Jadi, fraksi Saudara tidak membuat DIM untuk ini? Atau DIM tidak dibicarakan di antara fraksi? Padahal seharusnya, fraksi itu membahas mengenai masalah tersebut. Apa menyampaikan DIM untuk rancangan undang-undang ini?

148. SAKSI PEMOHON HAMDAN ZOELVA, S.H.

Ya, dalam praktek seperti yang terjadi di Komisi II, tidak selalu fraksi itu harus membuat DIM. DIM itu, dibuat oleh komisi yang bersangkutan untuk dibicarakan dengan Pemerintah. Itu kadang-kadang begitu, mungkin ini yang ditempuh, kadang-kadang begitu. Tapi tidak selalu.

149. HAKIM H. ACHMAD ROESTANDI, S.H.

Tapi biasanya, biasanya DIM itu tidak dibuat oleh komisi, justru dibuatnya adalah oleh fraksi, usul-usul fraksi pasal ini seharusnya begini, pasal ini seharusnya begini, dan itu biasanya, kalau fraksinya benar. Itu seharusnya dibahas di dalam fraksi, seharusnya.

150. SAKSI PEMOHON HAMDAN ZOELVA, S.H.

Ya, jadi.

151. HAKIM H. ACHMAD ROESTANDI, S.H.

Tapi ini fraksi Saudara setidak-tidaknya tidak membahas dan itu saya kira bukan kesalahan dari rancangan undang-undang itu lolos, tapi sebenarnya kesalahan, kekeliruan fraksi Saudara yang kurang, atau mungkin karena anggotanya terlalu sedikit barangkali?

152. SAKSI PEMOHON HAMDAN ZOELVA, S.H.

Ya, memang.

Jadi begini, jadi memang fraksi memberikan masukan-masukan, tapi dalam praktek juga, ini yang saya alami sendiri di Komisi II dalam beberapa undang-undang, itu secara resmi tidak mengajukan DIM, tapi komisi memutuskan bahwa DIM dibuat oleh beberapa perwakilan anggota fraksi yang ada di komisi yang bersangkutan, itulah DIM komisi yang menjadi topik

pembahasan dengan Pemerintah. Jadi, tidak selalu harus dari fraksi ini DIM-nya apa, tidak selalu begitu.

153. HAKIM H. ACHMAD ROESTANDI, S.H.

Barangkali inilah yang membedakan antara DPR Orde Baru dan DPR Reformasi, sekarang kepada Bapak yang sebelah kiri dari saya.

Saya tadi mengatakan, bahwa Bapak tidak diundang, tidak diminta pendapat, tidak diminta aspirasi oleh DPR, dan merasa ditinggalkan. Apakah tidak ada inisiatif dari Bapak, seperti jaman dahulu, kalau jaman dahulu itu, kadang-kadang ada inisiatif dari mereka yang berkepentingan mengajukan usul agar supaya saya diundang, apakah tidak ada?

154. SAKSI PEMOHON TAFRIZAL HASAN GEWANG, S.H.

Sebetulnya kami pada waktu itu membaca di koran, itu ada usulan tentang pembaharuan Undang-undang Kepailitan, hanya saja kita karena kurang cepat, pembahasan ini kadang dibahas, kadang hilang begitu saja. Jadi, kita pun juga kurang cepat menanggapinya. Agak telat menanggapinya, karena kita pikir hanya menyangkut 1-2 pasal, tapi ternyata ada beberapa pasal, banyak pasal yang diubah, banyak sekali ditambah, tambah sekali Bapak. Jadi, kami memang merasa ingin mengajukan pendapat tapi terlambat Bapak.

155. HAKIM H. ACHMAD ROESTANDI, S.H.

Terima kasih.

156. KETUA Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H.

Padahal, kesempatan demo pun ada sekarang, kalau tidak bisa dengan tertulis, bisa demo sebetulnya tapi tidak sempat ya, karena terlampau cepat rupanya undang-undang jadi diketoknya ini. Baik, ada lagi yang bertanya silakan.

157. HAKIM Prof. H. A. S. NATABAYA, S.H., LLM.

Bapak Hamdan Zulfah sebagai mantan Anggota DPR dan mantan Wakil Ketua Komisi II. Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 ini tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ini merupakan undang-undang mengenai perubahan dari undang-undang itu dulunya, betul?

158. SAKSI PEMOHON HAMDAN ZOELVA, S.H.

Betul, kalau saya melihat judulnya bukan perubahan tapi undang-undang baru.

159. HAKIM Prof. H. A. S. NATABAYA, S.H., LLM.

Sebab ini hanya beberapa pasal dengan ini, jadi kalau melihat daripada ini, bukan undang-undang ini ya, saya mau tanya ke Pemohon. Ini yang bukti

P-4 ini, yang diajukan, ini cuplikan hanya pasal tertentu apa memang merupakan dari Undang-undang Nomor 37.

160. KUASA PEMOHON LUCAS, S.H.

Semua lengkap dari Undang-undang Nomor 37 kami mencuplik pasal itu, tapi ditulis secara lengkap.

161. HAKIM Prof. H. A. S. NATABAYA, S.H., LLM.

Tapi mencuplik saja, jadi…

162. KUASA PEMOHON LUCAS, S.H.

Dari Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 kami cuplik tapi ditulis secara lengkap, kata demi kata menurut pasal…

163. HAKIM Prof. H. A. S. NATABAYA, S.H., LLM.

Maksud saya, fotokopi ini memang Undang-undang Nomor 37 ini begini bunyinya, atau pasalnya cuplik-cuplik saja.

164. KUASA PEMOHON LUCAS, S.H.

Bunyinya lengkap dari buku, lengkap.

165. HAKIM Prof. H. A. S. NATABAYA, S.H., LLM.

Maksudnya begini, ini undang-undang judulnya begini, tapi isinya ini Pasal 1, Pasal 2, Pasal 3, lantas loncat Pasal 11, Pasal 10, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 42, ini tentu sudah Pasal 223, Pasal 190. Ini merupakan, saya mau tanya dengan Pemerintah dulu ini, jadi begini, ini dari 187 sampai 200 sekian, lengkap.

166. KUASA PEMOHON LUCAS, S.H.

Setahu saya lengkap, pasal demi pasal berurut dan sinkron.

167. HAKIM Prof. H. A. S. NATABAYA, S.H., LLM.

Sekarang pada, kalau ini merupakan suatu undang-undang baru walaupun ini ada yang, nah di dalam undang-undang lama, apakah sama mengenai pada waktu pembahasan mengenai Bab 2 mengenai Kepailitan, bagian 1 syarat-syarat putusan pailit ini dulu, menurut yang Saudara alami waktu pembahasan itu.

168. KUASA PEMOHON LUCAS, S.H.

Maaf, subtansinya saya tidak tahu karena saya tidak ikut membahas. Terima kasih.

169. HAKIM Prof. H. A. S. NATABAYA, S.H., LLM.

Sebab 1, 2, 3, 4, 5 ini saya rasa tidak sama dengan sebelumnya dengan undang-undang yang, umpamanya asuransi, ini pasal yang baru ini, ayat yang baru, kalau begitu tidak ikut membahas?

170. KETUA Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H.

Baik, terakhir Bapak Hakim Harjono, silakan.

171. HAKIM Dr. HARJONO, S.H., M.CL.

Terima kasih Bapak Ketua,

Saudara Saksi Harry Pontoh, tadi Saudara dimintai pertimbangan atau masukan oleh DPR dan AAI mengajukan pendapatnya kalau tidak salah ada 37 item yang diajukan, apakah hal-hal yang diajukan ada dokumen tertulisnya barangkali, yang pernah diajukan itu?

172. SAKSI PEMOHON HARRY PONTOH, S.H.

Ada, jadi kami ada melampirkan bersama surat kami.

173. HAKIM Dr. HARJONO, S.H., M.CL.

Ya, itu nanti kalau bisa kita bisa dapatkan apa yang Anda sampaikan pada persidangan itu. Satu hal lagi, tadi Anda mengatakan bahwa ada hal-hal yang menjadi concern dari AAI, secara lisan Anda sampaikan satu persoalan, yaitu dalam hal apa Menteri Keuangan itu, bisa memohonkan kepailitan? Di dalam pengertian dalam hal apa itu, menurut saya ada 2 hal apakah 2 hal ini juga Saudara sarankan? Kapan Menteri itu mengajukan dan kapan seharusnya tidak mengajukan? Adakah pikiran itu juga termasuk hal-hal yang Anda sumbangkan dalam hearing itu?

Jadi, karena Anda mengatakan bahwa seharusnya menteri juga ada rambu-rambunya kapan mengajukan kepailitan, kapan mengajukan kepailitan mungkin istilahnya ada 2 hal, kapan itu, bisa seharusnya menteri mengajukan, bisa seperti itu juga syaratnya apa dan seharusnya menteri tidak mengajukan itu syaratnya apa. Apakah itu termasuk hal-hal concern dari AAI itu, yang terakhir ini mohon disampaikan saja, artinya disampaikan secara lisan tidak usah saya menunggu harus menunggu pada yang Saudara sampaikan.

Terima kasih.

174. SAKSI PEMOHON HARRY PONTOH, S.H.

Baik, jadi dalam pertemuan tersebut memang kami menyampaikan bahwa jangan sampai ketentuan baru ini hanya semata-mata mengambil pola dari ketentuan yang ada sehubungan dengan bank maupun perusahaan efek. Jadi harus disebutkan di situ bahwa kalau misalnya pada waktu itu ketentuan Pasal 1 ayat (1), yang sekarang menjadi ketentuan Pasal 2 ayat (1) itu terpenuhi, jadi Menteri Keuangan harus mengajukan permohonan pailit. Jadi seharusnya itu yang juga menjadi ukuran. Jangan hanya yang berhak

mengajukan adalah Menteri Keuangan, jadi kalau Menteri Keuangannya, pokoknya saya tidak mau, ya sudah, tidak akan ada permohonan kepailitan terhadap perusahaan asuransi. Karena dalam kepailitan yang ini kan syaratnya adalah bahwa kalau debitur memiliki utang dua atau lebih dan setidaknya satu sudah jatuh tempo dan dapat ditagih.

Jadi ini yang menjadi syarat kepailitan, yang menurut kami harusnya berlaku pada semua bidang, tidak ada diskriminasi. Kalaupun ada demi kepentingan publik, ada satu step, tapi tidak ada tambahan ketentuan lagi yang dibuat oleh Menteri Keuangan. Jadi kami waktu memang tidak memberikan yang tegasnya harusnya begini, tidak kami menyampaikan harusnya diatur, jangan sampai seperti yang kemarin saja, bahwa kalau perusahaan efek hanya BAPEPAM yang boleh mengajukan, kalau bank hanya BI yang boleh mengajukan, tapi tidak diatur dalam hal-hal bagaimana atau yang seperti yang Mulia sampaikan, kapan seharusnya dia harus mengajukan atau tidak mengajukan?

175. HAKIM Dr. HARJONO, S.H., M.CL.

Tidak termasuk yang Anda sarankan kapannya itu, hanya Anda mengatakan seperti BI atau seperti perusahaan, jangan.

176. SAKSI PEMOHON HARRY PONTOH, S.H.

Tidak, tidak, ya betul, jadi tidak sekedar memindahkan apa yang diatur sebelumnya dan menjadi ketentuan baru untuk perusahaan asuransi.

177. HAKIM Dr. HARJONO, S.H., M.CL.

Jadi mengenai juga persoalan, apakah saya tidak tahu 37 item itu juga, tapi membuat 37 item itu, apakah juga terpikirkan oleh Saudara Ponto dari AAI ini. Bahwa dengan diaturnya ketentuan-ketentuan tentang kepailitan ini, jadi seolah-olah ada satu upaya hukum yang tadi juga sudah disampaikan oleh Pemohon sebetulnya, itu untuk menerobos proses yang sekarang terlalu berlarut-larut dengan gugatan perdata biasa, apakah itu juga menjadi pertimbangan pada saat AAI memberikan masukan itu.

Jadi mekanisme pailit ini jangan kemudian menjadi satu upaya terobos kalau itu digunakan dengan upaya perdata biasa yang kemudian masih harus menunggu lama prosesnya dan dimanfaatkan untuk itu, terbayang tidak oleh AAI bahwa ada kemungkinan seperti itu?

178. SAKSI PEMOHON HARRY PONTOH, S.H.

Jadi memang ketika Perpu Nomor 1 Tahun 1998 itu diajukan oleh pemerintah, itu memang kalau dilihat dalam pendahuluan. Jadi dalam penjelasannya itu memang semangatnya adalah itu, jadi mengatasi krisis bahwa penyelesaian utang piutang harus diselenggarakan dengan cepat. Jadi semangatnya memang itu, jadi supaya bisa lebih cepat penyelesaiannya.

Saya juga mohon bahwa undangan yang disampaikan kepada kami itu tertanggal 26 Mei untuk Rapat Dengar Pendapat Umum tanggal 31 Mei. Jadi kami betul-betul mencoba semaksimal kami, mengambil draf Rancangan

Undang-Undang yang ada pada waktu itu dan me-review-nya dan kemudian memberikan tabel masukan. Tapi memang semangat dari kepailitan adalah menyelesaikan dengan cepat, itu juga bisa dilihat di penjelasan umum.

Terima kasih.

179. KETUA Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H.

Silakan.

180. HAKIM MARUARAR SIAHAAN, S.H.

Ada dua pertanyaan saya kepada dua orang Saksi, yang pertama kepada kurator dulu Pak ya.

Di dalam pengalaman Saudara selama menjadi kurator melakukan pemberesan, kira-kira yang Saudara bereskan sejak dinyatakan oleh pengadilan debitur itu pailit, kira-kira berapa lama Saudara melakukan pemberesan yang diterima oleh semua kreditur apa yang menjadi haknya?

181. SAKSI PEMOHON TAFRIZAL HASAN GEWANG, S.H.

Kalau kita bicara pemberesan Pak ya, kalau pemberesan tanpa ada masalah, tanpa ada kasus, tanpa ada embel-embel lain, itu paling 3-6 bulan selesai semua sudah, karena apa? Dalam masalah pemberesan kita banyak

handicap-nya Pak. Pertama itu menyangkut masalah ada atau tidak pembeli

daripada aset yang akan dijual tersebut, karena tidak mudah mencari pembeli jaman sekarang, itu yang pertama. Yang kedua, dalam rangka pemberesan tersebut, kadang-kadang ada claim, gugatan pihak ketiga yang masuk.

Ini contoh soal yang barusan hangat sekarang ini. Saya ada satu kasus PT. Asah Abadi, pailit tahun 1999, dibereskan rapat hampir selesai tinggal pemberesan. Menjelang pemberesan, ada gugatan masuk pihak ketiga tahun 2000, masuk, langsung disita jamin oleh Jakarta Barat. Sementara proses berlangsung di Mahkamah Agung sekarang ini, disita lagi oleh PN Padang, Lubuk Sikaping, Jakarta Timur, Jakarta Barat. Inilah Pak, jadi kalau kita bicara masalah pemberesan, itu tergantung kasusnya Pak. Kalau kasusnya mudah, mudah.

182. HAKIM MARUARAR SIAHAAN, S.H.

Saya bertanya tadi, berapa kasus yang, tentu rata-rata tidak ada yang beres kan? Tapi yang menurut Saudara sesudah selesai, berapa tahun kira-kira sejak dinyatakan pailit?

183. SAKSI PEMOHON TAFRIZAL HASAN GEWANG, S.H.

Kalau saya alami, untuk kasus saya, itu kurang lebih antara satu tahun, dua tahun selesai Pak yang tidak ada kasus, artinya mulus, penjualan selesai, ada pembeli.

184. HAKIM MARUARAR SIAHAAN, S.H.

Tidak ada yang 6 bulan kan?

185. SAKSI PEMOHON TAFRIZAL HASAN GEWANG, S.H.

Tidak ada 6 bulan Pak, satu tahun lah Pak.

186. HAKIM MARUARAR SIAHAAN, S.H.

Ini kita bicara mengenai hak konstitusional dulu, yang tentunya akan bisa kita ukur nanti. Kemudian apakah pada suatu proses pemberesan, ada kasus dimana sebenarnya asetnya sebenarnya lebih kecil daripada claim, budel itu, budel pailitnya lebih kecil lahirnya daripada claim debitur, sehingga akhirnya kebanyakan tidak ada diterima oleh kreditur, ada kasus seperti itu tidak?

187. SAKSI PEMOHON TAFRIZAL HASAN GEWANG, S.H.

Itu banyak Pak, karena rata-rata kalau sudah masuk ke pailit itu, sudah tinggal ampasnya saja Pak. Kalau ada aset tidak mungkin dia lahir kepailitan, itu rata-rata yang saya alami, kasus saya, itu rata-rata kalau dapat 10%, kredit itu sudah bagus.

188. HAKIM MARUARAR SIAHAAN, S.H.

Jadi kalau ada aset, mereka tidak lari kepada proses kepailitan, begitu?

189. SAKSI PEMOHON TAFRIZAL HASAN GEWANG, S.H.

Kalau ada aset, aset cukup, mungkin semuanya sesemut, tapi rata-rata yang masuk ke kasus saya, yang saya pegang selaku kurator, itu jarang yang mencapai 1% dari pada jumlah piutang mereka yang masih dibayar.

190. HAKIM MARUARAR SIAHAAN, S.H.

Boleh jadi fee-nya kurator lebih besar dari pada claim itu sendiri, bisa terjadi tidak?

191. SAKSI PEMOHON TAFRIZAL HASAN GEWANG, S.H.

Itu bisa terjadi Pak.

192. HAKIM MARUARAR SIAHAAN, S.H.

193. SAKSI PEMOHON TAFRIZAL HASAN GEWANG, S.H.

Kita akui secara gentle, kita bisa terjadi, karena jangan lupa Pak, tugas Bapak juga cukup berat. Karena apa? Karena kalau seandainya gagal dalam rangka pemberesan, tanggung jawab pribadi Pak, tanggung rantang, Pasal 69 ayat, tentang pailit.

194. HAKIM MARUARAR SIAHAAN, S.H.

Ya, saya bekas Hakim Perdata Pak, barangkali Pak Lucas tahu, saya juga bekas Hakim Pailit, jadi saya mengerti betul, tapi bukan hakim yang pailit. Saya kira untuk Pak Kurator cukup, kemudian Pak Pontoh ini, apakah Bapak pernah mewakili perusahaan asuransi yang menjadi termohon atau menjadi dinyatakan, dimohonkan untuk pailit? Jadi bukan dari Pemohon yang memohon claim.

195. SAKSI PEMOHON HARRY PONTOH, S.H.

Saya pernah mewakili Pemohon dari nasabah asuransi.

196. HAKIM MARUARAR SIAHAAN, S.H.

Bukan perusahaan asuransinya?

197. SAKSI PEMOHON HARRY PONTOH, S.H.

Bukan.

198. HAKIM MARUARAR SIAHAAN, S.H.

Kalau Saudara sebagai Pengacara, apakah pembatasan perkara yang dilakukan oleh Mahkamah Agung, yang kira-kira juga bunyinya juga terjadi dengan Pasal 6 ayat (3) itu, Saudara melihat juga ada relevansinya dalam praktek Saudara untuk kepentingan klien Saudara, dimana demikian banyak upaya hukum disalahgunakan, sehingga perlu pengaturan semacam itu, apakah pernah Saudara mengalami itu, untuk kepentingan klien Saudara yang diuntungkan dengan aturan itu, pembatasan upaya hukum?

199. SAKSI PEMOHON HARRY PONTOH, S.H.

Yang Pasal 6 ayat (3), yang mana Pak?

200. HAKIM MARUARAR SIAHAAN, S.H.

Yang kira-kira mirip begitu, diberikan wewenang kepada Panitera, kalau ini tidak memenuhi syarat formil, jangan kirim ke Mahkamah Agung.

201. SAKSI PEMOHON HARRY PONTOH, S.H.

202. HAKIM MARUARAR SIAHAAN, S.H.

Tidak mengalami?

203. SAKSI PEMOHON HARRY PONTOH, S.H.

Ya.

204. HAKIM MARUARAR SIAHAAN, S.H.

Jadi Saudara setuju saja misalnya bahwa proses peradilan itu bisa tercapai sampai empat tingkatan, begitu atau perlu ada pembatasan?

205. SAKSI PEMOHON HARRY PONTOH, S.H.

Jadi yang Mulia menanyakan pendapat saya mengenai hal ini.

206. HAKIM MARUARAR SIAHAAN, S.H.

Bukan, pengalaman Saudara, karena Saudara lawyer.

207. SAKSI PEMOHON HARRY PONTOH, S.H.

Ya, ya.

208. HAKIM MARUARAR SIAHAAN, S.H.

Saudara mewakili yang menang, mewakili juga yang kalah?

209. SAKSI PEMOHON HARRY PONTOH, S.H.

Betul.

210. HAKIM MARUARAR SIAHAAN, S.H.

Bisa-bisa berbeda pendapatnya pada waktu mewakili yang kalah, berbeda pada waktu yang menang.

211. SAKSI PEMOHON HARRY PONTOH, S.H.

Jadi saya bisa, bisa dipertegas sedikit pertanyaan dari yang Mulia.

212. HAKIM MARUARAR SIAHAAN, S.H.

Apakah pembatasan upaya hukum yang analog dengan Pasal 6 ayat (3), yang di dalam proses perkara perdata telah dilakukan oleh Mahkamah Agung itu, menurut pengalaman Saudara cukup penting untuk memperoleh hak-hak yang pasti daripada klien Saudara?

213. SAKSI PEMOHON HARRY PONTOH, S.H.

Kalau Pasal 6 ayat (3) kan mengenai kewenangan dari Panitera untuk..

214. HAKIM MARUARAR SIAHAAN, S.H.

Analoginya saja, analoginya

215. SAKSI PEMOHON HARRY PONTOH, S.H.

Analoginya, misalnya harusnya ada proses dismissal, misalnya saya sangat setuju dengan itu, bahwa karena dalam pengalaman juga kadang-kadang memang kalau sulit kalau menghadapi gugatan yang hanya asal masuk tanpa disertai dengan bukti-bukti yang cukup misalnya. Jadi kalau misalnya proses itu ada, kami tentunya sangat senang bahwa itu dari awal kita sudah tahu you ada bukti atau tidak.

216. HAKIM MARUARAR SIAHAAN, S.H.

Yang terakhir pertanyaan saya Pak Pontoh, tadi Saudara mengatakan sebenarnya dalam hal kepentingan publik itu Saudara sebenarnya bisa setuju bahwa yang meminta kepailitan itu Menteri Keuangan, BI, BAPEPAM ya, tetapi Saudara mengatakan seharusnya ada satu tolok ukur bagi mereka yang diberikan kewenangan memohon itu untuk bertindak. Dalam rapat AAI, apakah pernah ada semacam pembicaraan mengenai tolok ukur yang Saudara

Dalam dokumen MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA (Halaman 29-44)

Dokumen terkait