Pada tanggal 1 Desember 1979, Pemerintah Pusat memberlakukan Undang-Undang No.5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, yang menggantikan undang-undang atau peraturan-peraturan yang ada sebelumnya.
Lahirnya Undang-Undang No.5 Tahun 1979 itu pada dasarnya dilatarbelakangi oleh tiga alasan utama. Pertama, Undang-Undang No.19 Tahun 1965 dinilai tidak sesuai dengan perkembangan keadaan ketika itu, kedua agar terdapat keseragaman dengan mengacu kepada bentuk Negara Kesatuan, ketiga untuk kemajuan masyarakat. Ketiga alasan ini dapat dilihat dari dasar pertimbangan yang terdapat pada butir a, b, dan c pada Undang-Undang No.5 Tahun 1979 tersebut, yang dinyatakan sebagai berikut:
a) bahwa Undang-Undang No.19 Tahun 1965 tentang Desapraja (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 84) tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan dan karenanya perlu diganti;
b) bahwa sesuai dengan sifat Negara Kesatuan Negara Republik Indonesia maka kedudukan pemerintahan Desa sejauh mungkin diseragamkan, dengan mengindahkan keragaman Desa dan ketentuan adat istiadat yang masih berlaku untuk memperkuat pemerintahan Desa agar mampu menggerakkan masyarakat dalam partisipasinya dalam pembangunan dan menyelenggarakan administrasi Desa yang makin meluas dan efektif;
c) bahwa berhubung dengan itu, dipandang perlu segera mengatur bentuk dan susunan pemerintahan Desa dalam suatu undang-undang yang dapat memberikan arah perkembangan dan kemajuan masyarakat yang berasaskan Demokrasi Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Dengan diundangkan dan diberlakukannya Undang-Undang No.5 Tahun 1979 itu, maka di Sumatera Barat terjadi perubahan kedudukan pemerintahan terendah, yaitu
dari nagari ke desa. Perubahan ini bukanlah sekedar penggantian nama dengan
wilayah yang sama pula, tetapi yang dijadikan desa adalah jorong atau kampung yang sebelumnya merupakan bagian dari wilayah nagari. Dengan demikian, nagari akhirnya menjadi terpecah-pecah dengan munculnya desa-desa, yang sebelumnya tidak dikenal dalam khasanah budaya masyarakat adat di Minangkabau.
Dengan terjadinya perubahan dari nagari ke desa, jumlah pemerintahan terendah di Sumatera Barat akhirnya membengkak. Dari sebanyak 543 buah nagari yang ada ketika itu, akhirnya berubah menjadi sebanyak 3.138 buah desa. Penetapan jorong atau kampung menjadi desa sebenarnya bukanlah merupakan suatu keharusan bila dilihat dari Undang-Undang No.5 Tahun 1979 maupun penjelasan pasal 18 UUD 1945 yang menghormati daerah-daerah istimewa seperti desa di Jawa, nagari di Minangkabau, dan dusun di Palembang. Akan tetapi karena pertimbangan yang dikedepankan atau yang dominan ketika itu adalah pertimbangan ekonomi ketimbang faktor budaya masyarakat lokal, terutama oleh pengambil kebijakan---makin banyak desa makin besar pula dana bantuan pembangunan desa (Bangdes) tiap tahunnya yang dikucurkan oleh pemerintah pusat, maka akhirnya jorong atau kampung ditetapkan menjadi desa (Manan, 1995; Zakaria, 2000; Sjahmunir, 2001; LKAAM, 2002; Pador, dkk, 2002).
Undang-Undang No.5 Tahun 1979 itu baru berlaku efektif pada tanggal 1 Agustus 1983 dengan keluarnya Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Barat No.162/GSB/1983. Selama masa transisi atau menjelang keluarnya SK No.162/GSB/1983 ini, pemerintah daerah telah melakukan berbagai upaya, yang antara lain adalah;
(1) memasyarakatkan Undang-Undang No.5 Tahun 1979 kepada pemuka-pemuka masyarakat tentang pelaksanaan pemerintahan desa, (2) mengadakan konsultasi/diskusi dengan para Bupati/Wali Kota Kepala Daerah Tingkat II akibat diberlakukannya Undang-Undang No.5 Tahun 1979 agar tidak menimbulkan keresahan dikalangan masyarakat dengan dihapuskannya pemerintahan nagari, (3) mengadakan konsultasi dan diskusi dengan berbagai instansi, lembaga serta cendekiawan, tokoh-tokoh adat dan agama, dan (4) mengadakan pilot proyek pelaksanaan pemerintahan desa pada 100 buah desa dalam Provinsi Sumatera Barat (Manan, 1995).
Selain itu, dengan dihapuskannya nagari akibat ditetapkannya jorong atau kampung menjadi desa dan atau kelurahan sebagai unit pemerintahan terendah, serta menimbang bahwa nagari secara historis telah memberikan sumbangan yang sangat besar dalam kelangsungan kehidupan masyarakat dan pembangunan di daerah
Sumatera Barat, maka pemerintah daerah mengeluarkan Perda No.13 Tahun 1983 tentang Nagari Sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dalam Provinsi Daerah Tingkat I Sumatera Barat. Pada pasal 1 dari Perda ini, antara lain dirumuskan bahwa nagari adalah kesatuan masyarakat hukum adat dalam Provinsi Daerah Tingkat I Sumatera Barat yang terdiri dari himpunan beberapa suku yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri. Wilayah nagari meliputi beberapa desa yang tidak dapat dipisah-pisahkan dan yang ada sebelum berlakunya Undang-Undang No.5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.
Dalam pasal 3 dari Perda No.13 Tahun 1983 tersebut, dirumuskan pula bahwa fungsi nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat adalah sebagai berikut:
a) membantu pemerintah dalam mengusahakan kelancaran pelaksanaan pembangunan disegala bidang, terutama di bidang kemasyarakatan dan budaya;
b) mengurus urusan hukum adat dan adat istiadat dalam nagari;
c) memberi kedudukan hukum menurut hukum adat terhadap hal-hal yang menyangkut harta kekayaan masyarakat nagari guna kepentingan hubungan keperdataan adat juga dalam hal adanya persengketaan atau perkara perdata adat;
d) menyelenggarakan pembinaan dan pengembangan nilai-nilai adat Minangkabau, dalam rangka memperkaya, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan Minangkabau pada khususnya;
e) menjaga, memelihara dan memanfaatkan kekayaan nagari untuk kesejahteraan masyarakat nagari.
Fungsi nagari tersebut dilakukan oleh Kerapatan Adat Nagari (KAN). KAN dalam pasal 1 butir j dari Perda No.13 Tahun 1983 tersebut dirumuskan sebagai lembaga perwakilan permusyawaratan dan permufakatan adat tertinggi yang telah ada dan diwarisi secara turun temurun sepanjang adat ditengah-tengah masyarakat Nagari di Sumatera Barat. Dengan demikian, hal-hal yang berhubungan dengan adat yang terdapat dalam beberapa desa dan atau kelurahan yang termasuk dalam suatu wilayah nagari diurus dan dikelola oleh KAN nagari yang bersangkutan. Ini merupakan bentuk lain dari kedinamisan nagari bahwa di tengah terjadinya perubahan paradigma
penyelenggaraan pemerintahan ternyata nagari tetap eksis dan diberi fungsi memayungi beberapa desa terutama yang berkaitan dengan persoalan adat yang dibutuhkan masyarakat.
Hubungan antara KAN sebagai lembaga permusyawaratan dan permufakatan sepanjang adat dengan desa masing-masingnya dirumuskan dalam pasal 7 ayat 2 dan pasal 11. Dalam pasal 7 dinyatakan bahwa keputusan-keputusan KAN menjadi pedoman bagi Kepala Desa dalam menjalankan roda pemerintahan desa dan wajib ditaati oleh seluruh masyarakat nagari dan aparat pemerintahan berkewajiban membantu menegakkan sepanjang tidak bertentang dengan peraturan dan perundangan yang berlaku. Sedangkan dalam pasal 11 dijelaskan bahwa hubungan kerja antara KAN dengan Kepala Desa/Kepala Kelurahan bersifat konsultatif. Kemudian, bila dianggap perlu Kepala Desa/Kelurahan dapat memberikan pendapat serta penjelasan yang diperlukan.
Dengan demikian, antara KAN dan pemerintahan desa terlihat adanya pemisahan kewenangan dan keduanya mempunyai hubungan kesetaraan. Selain itu, dilihat dari fungsi nagari, antara KAN dan desa terdapat pula hubungan kerjasama dimana dalam melaksanakan fungsi-fungsi nagari, KAN membantu pemerintah dalam memengusahakan kelancaran pelaksanaan pembangunan disegala bidang, terutama di bidang kemasyarakatan dan budaya.
Hubungan antara KAN sebagai lembaga yang menangani masalah adat di nagari dengan lembaga supra nagari atau dengan birokrasi yang lebih tinggi antara lain dijelaskan dalam pasal 10, 14, dan pasal 16. Dalam pasal 10 Perda No.13 Tahun 1983 itu, dirumuskan bahwa pembinaan KAN dilakukan oleh Gubernur Kepala Daerah beserta aparatnya sampai ketingkat kecamatan. Dalam pasal 14 ayat 2 dinyatakan bahwa jenis dan jumlah kekayaan nagari serta pemanfaatannya diatur oleh Gubernur Kepala Daerah berdasarkan inventarisasi KAN. Dalam ayat 3 disebutkan bahwa pengawasan terhadap kekayaan nagari dilakukan oleh Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah atau pejabat lain yang ditunjuk. Sedangkan dalam pasal 16 dirumuskan bahwa
tata cara pengelolaan dan penggunaan pendapatan nagari diatur oleh Gubernur Kepala Daerah.
Dengan demikian, dari pasal-pasal yang dituangkan dalam Perda No.13 Tahun 1983 tersebut di atas, dapat dilihat bahwa dalam suatu nagari ada 2 (dua) pranata politik, yaitu Pemerintahan Desa di satu pihak dan pranata otoritas tradisional (KAN) di pihak lain, yang masing-masingnya diwakili oleh Kepala Desa beserta aparatnya dan KAN dengan pimpinan/fungsional adatnya. Pranata pertama mewakili birokrasi modern dan pranata kedua mewakili otoritas tradisional. Pemerintahan desa khusus mengatur aspek pemerintahan, sedangkan KAN mengatur hal-hal yang berhubungan dengan adat. Namun demikian, karena kedua pranata politik ini termasuk di bawah binaan kekuasaan supra nagari, baik oleh Pemerintah Kecamatan, Kabupaten, Provinsi, maupun Pemerintah Pusat, maka dengan sendirinya kehidupan dan kinerja kedua pranata tersebut tentu akan sangat dipengaruhi dan ditentukan pula oleh kekuasaan supra nagari (Manan, 1995).
Sistem Pemerintahan Desa
Di dalam pasal 1 butir a dan c Undang-Undang No.5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa disebutkan bahwa desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan bagian dari wilayah desa yang merupakan lingkungan kerja pelaksanaan pemerintahan desa disebut dusun.
Selanjutnya dalam pasal 3 disebutkan bahwa sistem pemerintahan desa terdiri dari; kepala desa dan lembaga musyawarah desa (LMD). Dalam pelaksanaan tugasnya, pemerintah desa dibantu oleh perangkat desa. Perangkat desa terdiri dari; sekretariat desa dan kepala-kepala dusun. Dalam pasal 15 disebutkan bahwa sekretariat desa terdiri dari sekretaris desa dan kepala-kepala urusan.
Mengenai pemilihan dan pengangkatan kepala desa dijelaskan pada bagian ketiga dari Undang-Undang No.5 Tahun 1979. Dalam bagian ini antara lain dijelaskan bahwa Kepala Desa dipilih secara langsung oleh penduduk desa yang telah berumur sekurang-kurangnya 17 tahun atau telah pernah menikah dan sekurang-kurangnya berijazah Sekolah Lanjutan Pertama. Kepala Desa yang terpilih kemudian diangkat oleh bupati/walikotamadya atas nama gubernur dengan masa jabatan 8 (delapan) tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya.
Berbeda dengan Kepala Desa, sekretaris desa diangkat dan diberhentikan oleh bupati/walikotamadya setelah mendengar pertimbangan camat atas usul Kepala Desa setelah mendengar pertimbangan LMD (pasal 15 ayat 2). Kepala-kepala urusan diangkat dan diberhentikan oleh camat atas nama bupati/walikotamadya atas usul Kepala Desa (pasal 15 ayat 4). Sedangkan kepala dusun diangkat dan diberhentikan oleh camat atas nama bupati/walikotamadya atas usul kepala desa (pasal 16 ayat 3). Selanjutnya, susunan organisasi dan tata kerja pemerintahan desa dan perangkat desa diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No.1 Tahun 1981.
Dalam peraturan menteri itu, pasal 2 ayat (2), dinyatakan bahwa susunan organisasi pemerintahan desa terdiri dari; Kepala Desa, LMD, dan perangkat desa. Kemudian dalam pasal 4 ayat (1) dan (2) dinyatkan bahwa LMD adalah sebagai wadah permusyawaratan/permufakatan pemuka-pemuka masyarakat yang ada di desa. LMD ini bertugas untuk menyalurkan pendapat masyarakat di desa dengan memusyawarahkan setiap rencana yang diajukan oleh Kepala Desa sebelum ditetapkan menjadi keputusan desa. Sementara dalam pasal 5 ayat (1) dinyatakan bahwa ketua LMD dijabat oleh Kepala Desa karena jabatannya dan berkedudukan sebagai pimpinan LMD dengan tugas memimpin musyawarah/mufakat dan mempunyai fungsi membina kelancaran dan memperhatikan sungguh-sungguh kenyataan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat desa yang bersangkutan.
Tugas Kepala Desa dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No.1 Tahun 1981 dirumuskan dalam pasal 3 ayat (3) sebagai berikut; (a) melaksanakan kegiatan dalam
rangka penyelenggaraan urusan rumah tangga desanya sendiri, (b) menggerakkan partisipasi masyarakat dalam wilayah desanya, (c) melaksanakan tugas dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah, (d) melaksanakan tugas dalam rangka pembinaan ketentraman dan ketertiban masyarakat desa, (e) melaksanakan koordinasi jalannya pemerintahan, pembangunan dan pembinaan kehidupan masyarakat di desa, dan (f) melaksanakan urusan pemerintahan lainnya yang tidak termasuk dalam tugas sesuatu instansi dan tidak termasuk urusan rumah tangga desanya sendiri. Kemudian dalam pasal 10 ayat (1) dijelaskan bahwa dalam menyelenggarakan tugas dan fungsinya, Kepala Desa bertanggung jawab kepada bupati/walikotamadya melalui camat, dan memberikan keterangan pertanggung-jawaban kepada LMD sekurang-kurangnya satu kali dalam setahun.
Selain dari Kepala Desa, LMD, dan perangkat desa yang termasuk dalam susunan organisasi pemerintah desa, terdapat lembaga lain yang sifatnya non struktural tetapi fungsional dalam penyelenggarakan pemerintahan. Lembaga dimaksud adalah Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) yang dibentuk berdasarkan Kepres No.28 Tahun 1980 tentang Penyempurnaan dan Peningkatan Fungsi Lembaga Sosial Desa (LSD) menjadi LKMD. Dalam Kepres ini, pasal 5, dinyatakan bahwa tugas pokok LKMD adalah membantu pemerintah desa/kelurahan dalam; (a) merencanakan dan melaksanakan program pembangunan, (b) menggerakkan dan meningkatkan prakarsa masyarakat untuk melaksanakan pembangunan secara terpadu, baik yang berasal dari berbagai kegiatan pemerintah maupun swadaya gotong royong masyarakat, dan (c) menumbuhkan kondisi dinamis masyarakat untuk mengembangkan ketahanan di desa.
Adapun susunan organisasi LKMD tersebut adalah: Ketua umum dijabat oleh Kepala Desa/Lurah; Ketua I dijabat oleh tokoh masyarakat; Ketua II dijabat oleh ketua tim penggerak Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) (umumnya adalah sistri Kepala Desa/Lurah); Sekretaris (umumnya dijabat oleh sekretaris desa); Bendahara, dan Anggota pengurus lainnya yang terbagi dalam seksi-seksi (Seksi agama;
Pembudayaan; Penghayatan dan pengamalan Pancasila; Keamanan, ketentraman, dan ketertiban; Pendidikan dan penerangan; Lingkungan hidup; Pembangunan, perekonomian, dan koperasi; Kesehatan, kependudukan, dan KB; Pemuda, olah raga, dan kesenian; Kesejahteraan sosial, dan Seksi PKK).
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja Pemerintahan Desa Sebagaimana telah diuraikan pada bagian terdahulu bahwa pemerintahan desa sebagai pengganti pemerintahan nagari tidak dapat berfungsi secara efektif. Zakaria (2000), dalam bukunya yang berupa hasil studi mengenai desa di beberapa provinsi (termasuk di Provinsi Sumatera Barat) menyebutkan bahwa banyak kendala yang ditemukan dalam pemberlakuan Undang-Undang No.5 Tahun 1979 terutama pada komuniti-komuniti adat, sehingga kinerja dan atau jalannya pemerintahan desa masih jauh dari yang diharapkan. Manan (1995), dalam kajiannya tentang “Birokrasi Modern dan Otoritas Tradisional di Minangkabau” yang dilakukan pada tahun 1987, antara lain disebutkan bahwa administrasi pemerintahan desa sering terbengkalai, tidak teraturnya kehadiran aparat desa di kantor menjadi kendala untuk berurusan, kepala desa kurang berwibawa dan sukar baginya untuk menggerakkan gotong royong dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan berbagai sarana dan prasarana desa. Sedangkan Biro Pemerintahan Desa dan Sekretaris Daerah Propinsi Sumatera Barat (2000) dalam bukunya yang berjudul: “Menuju Pengembalian Bentuk dan Susunan Pemerintahan Desa ke Nagari” mensinyalir bahwa desa kurang mampu berbuat banyak dalam pembangunan, kurang dukungan dari warga, dan juga kurang mampu mengangkat dan menggerakkan potensi ekonomi sosial masyarakat karena memiliki kewenangan terbatas.
Hal senada dengan itu juga terungkap dari wawancara di lapangan dengan sejumlah responden dan tokoh masyarakat serta pejabat di tingkat kecamatan maupun di tingkat kabupaten. Berdasarkan hasil wawancara, diperoleh keterangan bahwa pemerintahan desa sulit untuk menggerakkan masyarakat untuk bergotong royong. Penggunaan dana bandes dan uang yang didapat dari sumber lainnya kurang transparan.
Pengurusan surat-surat sering ke rumah Kepala Desa karena kantor desa jarang dibuka. Lembaga KAN yang di dalamnya terdiri dari pemuka-pemuka adat kurang berfungsi dan lembagai ini hanya sebagai asesoris. Pemilihan kades sering diwarnai dengan sukuisme dan keluargaisme. Persoalan laporan pertanggung-jawaban keuangan pemerintahan desa bisa "main mata" dengan camat. Pemerintahan desa kurang mendapat dukungan atau legitimasi dari masyarakat. Pemerintahan supra desa kurang perhatian terhadap pemerintahan desa. Tidak banyak orang yang terdidik berminat di pemerintahan desa. Di masa pemerintahan desa, rasa bernagari menjadi berkurang karena masyarakat lebih berkonsentrasi memikirkan desanya masing-masing. Kemudian, diperoleh juga keterangan bahwa honor atau insentif aparat pemerintahan desa relatif kecil, yang bahasa setempat disebut kering. Angku (63 tahun) misalnya, seorang mantan Kades periode 1983-1990, mengemukakan bahwa honor yang diterimanya ketika itu adalah sebesar Rp.20.000/bulan, untuk sekretaris Rp.15.000/bulan, sedangkan untuk kepala urusan sebesar Rp.5.000/bulan. Honorarium ini dibayarkan tiga bulan sekali.
Diakui memang, bahwa tidak setiap desa mempunyai kondisi kinerja seperti disebutkan di atas. Manan (1995) misalnya, dalam penelitiannya pada tahun 1987 menemukan bahwa di desa-desa yang dulunya merupakan pusat-pusat nagari di mana penduduknya relatif maju dan lebih terdidik, pembagian kerja antara berbagai lembaga pemerintahan desa yang bersifat struktural dan non struktural dapat berjalan dengan baik. Desa-desa ini juga mendapat bantuan dana dari perantau-perantau dalam jumlah yang relatif besar, sehingga sumber pembiayaan pembangunan desa dan penyempurnaan pemerintahan desa dapat berjalan lebih baik.
Gambaran tentang lemahnya kinerja pemerintahan desa seperti diuraikan di atas merupakan akibat langsung maupun tidak langsung dari penerapan kebijakan pemerintahan supra desa yang kurang dan atau tidak sesuai dengan budaya lokal (adat). Dijadikannya jorong atau kampung menjadi desa misalnya, yang sebelumnya merupakan bagian dari wilayah nagari, merupakan faktor yang berpengaruh terhadap
kinerja atau jalannya pemerintahan desa ketika itu. Jorong, sebagaimana ditulis Zakaria (2000), hanyalah semata merupakan perangkat dari wilayah nagari, yang tidak memiliki persyaratan menjadi unit pemerintahan yang utuh, karena tidak mempunyai basis ekonomi, budaya dan politik, sebagaimana yang dimiliki oleh sebuah nagari. Kemudian, dengan mengutip Mochtar Naim, Zakaria (2000) menyebutkan pula bahwa
jorong tidak pernah berfungsi sebagai sub-unit yang berdiri sendiri, sementara nagari
mempunyai perangkat-perangkat kelembagaan adat dan agama di samping juga memiliki hak milik berupa tanah ulayat dan hak-hak adat lainnya, seperti hak bunga kayu, bunga tanah, dan lain sebagainya. Sedangkan Manan (1995) dalam tulisannya mengemukakan; karena dasar sosiologisnya tidak kuat maka otoritas pemerintahan desa tidak sekuat pemerintahan nagari yang lama, karena dasar ekonomisnya tidak kuat maka kehidupan dan efektivitas pemerintahan desa sangat tergantung pada bantuan dari otoritas supra-desa, dan karena dasar politisnya tidak berakar ke bawah sehingga kemampuan pemerintah desa untuk menggerakkan masyarakat berpartisipasi dalam pembangunan menjadi terbatas.
Sementara itu, Baharin (Kompas, 15 Februari 2001) mengatakan bahwa setelah berjalan selama 16 tahun penetapan jorong menjadi desa, telah menimbulkan berbagai permasalahan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Karena terbatasnya sumber pendapatan asli desa, masyarakat hanya mengharapkan bantuan dan subsidi pemerintah, sehingga tingkat ketergantungan kepada pemerintah sangat tinggi. Terbatasnya sumber daya manusia dalam satu desa yang rata-rata penduduk setiap desa di bawah 1.000 jiwa sehingga sulit untuk menggerakkan potensi desa dan masyarakat secara maksimal. Kualitas sumber daya aparatur pemerintahan desa rendah karena secara psikososiologis masyarakat yang terdidik kurang berminat untuk mengabdi sebagai aparat desa. Rendahnya dukungan dari perantau karena secara sosial budaya mereka cenderung berorientasi kepada nagari ketimbang kepada pemerintahan desa. Rengganggnya ikatan sosial masyarakat sehingga sering terjadi sengketa mengenai harta pusaka (harta bersama), baik harta pusaka kaum, suku, maupun antar desa yang
sulit didamaikan secara adat. Kemudian, terlalu banyaknya jumlah desa dalam suatu kecamatan menyebabkan camat tidak mampu melakukan pembinaan dan pengawasan secara efektif.
Dari urian di atas, dapat dikatakan bahwa faktor yang dapat menyebabkan rendahnya kinerja pemerintahan desa adalah akibat dari ketidak-cocokan antara kebijakan pemerintahan supra desa dengan kebijakan masyarakat lokal (indigenous
knowledge) tentang sistem pemerintahan itu sendiri. Ditetapkannya jorong atau
kampung menjadi desa, yang sebelumnya merupakan bagian dari wilayah nagari, merupakan faktor utama (primus interpares) yang berpengaruh terhadap kinerja pemerintahan desa. Dengan ditetapkannya jorong menjadi desa berarti menempatkan pemerintahan desa berada di luar sistem sosial-budaya masyarakat pendukungnya (masyarakat nagari). Dengan demikian, pemerintahan desa kemudian kurang mendapat legitimasi dari masyarakat dan rasa memiliki (sense of belonging) masyarakat terhadap pemerintahan desa menjadi rendah, karena pemerintahan desa dianggap kepunyaan pemerintahan supra desa. Akibat dari ini, dan tentunya di samping rendahnya insentif, orang-orang yang terdidik akan kurang tertarik untuk mengabdi di pemerintahan desa. Rendahnya tingkat pendidikan dan insentif yang diterima oleh aparat pemerintahan desa menyebabkan pula rendahnya motivasi, rendah tingkat keinovatifan, kurangnya pemahaman terhadap tugas, dedikasi rendah, dan pelayanan terhadap masyarakat menjadi tidak maksimal, yang pada akhirnya mengganggu kinerja atau jalannya pemerintahan desa. Rendahnya kinerja pemerintahan desa tentunya akan lebih diperburuk dengan kurangnya pengawasan, baik dari dalam maupun dari pemerintahan supra desa.
2. Pemerintahan Nagari di Era Otonomi Daerah