• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
140
0
0

Teks penuh

(1)

Sesuai dengan tujuan penelitian, pada bagian ini secara berturut-turut akan dikemukakan hasil penelitian dan pembahasan dengan 3 (tiga) pokok bahasan utama. Pertama adalah kronologis pemerintahan nagari sebelum diberlakukannya Perda No.9 Tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari, kedua pemerintahan nagari di era otonomi daerah, dan ketiga model serta strategi peningkatan mutu layanan pemerintahan nagari. Pokok bahasan pertama dihimpun dari sumber-sumber tertulis dalam bentuk data skunder serta dilengkapi dengan hasil wawancara khusus dengan sejumlah mantan wali nagari/kepala desa serta mantan perangkat nagari/perangkat desa, tokoh adat, pemuka masyarakat, dan pejabat terkait ditingkat kecamatan maupun kabupaten, pokok bahasan kedua dihimpun dari hasil pengumpulan data melalui kuesioner dan dilengkapi dengan hasil wawancara serta pengamatan, dan untuk pokok bahasan ketiga dihimpun dan didasarkan pada hasil temuan pokok bahasan sebelumnya.

1. Kronologis Pemerintahan Nagari sebe lum diberlakukannya Perda No.9 Tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari

Ada dua bentuk pemerintahan terendah di Sumatera Barat sebelum diberlakukannya Perda No.9 Tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari, yaitu; Pemerintahan Nagari dan Pemerintahan Desa. Deskripsi kedua bentuk pemerintahan ini adalah sebagai berikut:

1.1. Pemerintahan Nagari

Pemerintahan Nagari di Zaman Kolonial

Terbentuknya sebuah nagari bermula dari taratak, yaitu semacam sebuah pemukiman baru yang relatif kecil jumlah penduduknya. Dengan pertambahan penduduk, baik karena kelahiran maupun pendatang, beberapa taratak kemudian berkembang menjadi dusun. Dusun kemudian menjadi koto, beberapa koto menjadi

(2)

membentuk sebuah nagari (Anwar, 1967; Yakub, 1989; Sayuti, 1991; Manan, 1995). Dengan demikian, taratak, dusun, koto, dan kampung merupakan bagian dari teritorial sebuah nagari.

Menurut Anwar (1967), sebelum bentukan nagari dikenal, orang Minangkabau masih hidup dalam suasana suku. Setelah bentuk nagari dikenal, pengaruh suasana suku terus dilanjutkan, sehingga dikenal bahwa yang menjadi dasar dari nagari adalah faktor genealogi (suku) dan faktor daerah (teritorial). Tradisi ini hingga sekarang masih diteruskan. Di dalam penjelasan Perda No.9 Tahun 2000 misalnya, antara lain dirumuskan bahwa nagari adalah satu kesatuan genealogis dan teritorial yang menjadi dasar terbentuknya berbagai sistem dalam kehidupan bermasyarakat, yang meliputi; sistem pemerintahan, ekonomi, dan sosial budaya. Ini merupakan salah satu bukti bahwa pengaturan pemerintahan nagari di era otonomi daerah sekarang ini disesuaikan dan didasarkan pada budaya lokal atau indigenous knowledge.

Pemerintahan nagari pada mulanya merupakan pemerintahan adat (adat

bestuur). Pemerintahan ini sudah terdapat berabad-abad lamanya jauh sebelum bangsa

Belanda atau bangsa Eropa lainnya datang ke Indonesia. Tiap-tiap nagari memiliki pemerintahan sendiri yang dipimpin oleh penghulu-penghulu suku dan pemimpin-pemimpin kelompok matrilineal lainnya yang diatur menurut adat. Jumlah dan komposisi pemerintahannya desesuaikan dengan tradisi adat masing-masing nagari, karena adat hanya berlaku untuk selingkar nagari (adat salingka nagari).

Susunan pemerintahan menurut adat itu dibedakan atas dua bentuk, yaitu; susunan pemerintahan dalam lingkungan adat Bodi Caniago dan susunan pemerintahan dalam lingkungan adat Koto Piliang (Anwar, 1967). Dalam lingkungan adat Bodi Caniago, pemerintahan diselenggarakan bersama-sama oleh penghulu-penghulu

andiko atau kepala paruik (tuo kampung/ penghulu kampung) dalam suatu wadah yang

dinamakan Kerapatan Nagari. Di dalam kerapatan ini, penghulu-penghulu andiko memiliki derajat yang sama dan bersama-sama pula mereka memegang tampuk kekuasaan di nagari. Sementara, di lingkungan adat Koto Piliang, nagari diperintah oleh

(3)

penghulu-penghulu suku yang dikenal dengan datuak nan kaampek suku (empat orang penghulu suku). Dari keempat penghulu ini dipilih seorang sebagai penghulu pucuk sebagai pimpinan. Di dalam memerintah suku, penghulu-penghulu suku ini dibantu oleh tiga orang pembantu, yang masing-masingnya adalah; seorang manti untuk administrasi pemerintahan, dubalang sebagai polisi, dan seorang malim untuk keperluan urusan agama Islam. Keempat orang ini (penghulu, manti, dubalang, dan malim) disebut juga dengan istilah urang ampek djiniah.

Pada bagian lain, Anwar (1967) mengemukakan bahwa meskipun terdapat perbedaan susunan pemerintahan tersebut di atas, namun kedua sistem mempunyai dasar yang sama, yaitu musyawarah—suatu pemerintahan yang demokratis. Kemudian, kenyataannya sekarang menurut Anwar bahwa adat kelarasan Bodi Caniago dan kelarasan Koto Piliang itu sudah campur baur pemakaiannya dalam suatu nagari.

Nagari tradisional di Minangkabau sering pula disebut sebagai "republik mini" yang berdiri sendiri (otonom). Nagari yang satu tidak ada hubungannya dengan nagari yang lainnya, kecuali untuk menjaga keamanan bersama, dua atau beberapa nagari bisa membentuk federasi. Demikian pula halnya bahwa nagari tidak ada hubungannya dengan kekuasaan supra-nagari. Sebagaimana misalnya dikutip oleh Manan (1995), bahwa ketika kerajaan Minangkabau didirikan oleh Adityawarman pada pertengahan abad XIV, nagari-nagari di Minangkabau telah mengembangkan otonomi yang demikian tingginya dan pihak kerajaan tidak bisa lagi memaksakan bentuk sistem administrasi yang bisa mengurangi sifat otonomi yang telah dimiliki nagari-nagari tersebut. Kekuasaan raja ketika itu hanya dapat berfungsi sebagai mediator dalam menyelesaikan konflik antar nagari dan sebagai penyatu simbolik dalam alam Minangkabau. Demikian pula Amran (1985), dalam tulisannya disebutkan bahwa raja di Pagaruyung hanya simbolis belaka dan tidak mempunyai kekuasaan terhadap pemerintahan nagari.

Sebagai sebuah republik mini, Manan (1995) dalam tulisannya menggambarkan bahwa unit-unit sosial politik yang ada dalam masyarakat nagari seperti tungganai sebagai pemimpin rumah gadang, penghulu andiko, dan penghulu suku sebagai

(4)

pemimpin suku, kesemua ini dipilih oleh anggota unit sosial politiknya masing-masing dengan memperhatikan kebaikan dan kelemahan (dituahi dan dicilakoi) calon yang ada. Mereka yang terpilih merupakan wakil dalam sidang-sidang unit sosial, mulai dari sidang unit sosial terkecil hingga ke sidang dewan yang lebih besar atau sidang dewan nagari (Kerapatan Adat Nagari). Semua warga nagari yang termasuk dalam salah satu unit sosial politik (suku, kaum, maupun rumah gadang) mempunyai hak suara dalam memilih pemimpin-pemimpin dalam unit sosialnya masing-masing, sehingga kekuasaan tertinggi bersumber dari warga di unit sosial atau rakyat nagari. Seorang pemimpin yang telah terpilih oleh warga di unit sosial politiknya selalu harus berhati-hati, karena ia selalu berada dalam pengawasan konsituennya (kemenakan-kemenakannya). Dalam konsepsi orang Minangkabau, seorang pemimpin hanya seorang yang didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting. Ia, dalam bentuk yang paling ekstrim, sebagai seorang pemegang otoritas bisa saja dicabut kekuasaannya oleh kemenakan-kemenakannya bila dalam kepemimpinannya tidak memenuhi ketentuan adat. Seperti diungkapkan dalam kata-kata adat; raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah.

Namun, seiring dengan perjalanan waktu dan pergantian zaman, sistem pemerintahan nagari tradisional yang telah mapan berjalan berabad-abad lamanya itu akhirnya juga goyah, yang diawali dengan kedatangan bangsa Belanda serta intervensinya terhadap urusan dalam nagari. Lindayanti (1988), dalam laporan penelitiannya mengenai Birokrasi Dalam Sistem Laras di Minangkabau pada Tahun 1823-1914 mengemukakan bahwa campur tangan Belanda pada urusan dalam nagari Minangkabau menyebabkan terganggunya kebebasan berpolitik secara tradisional, dan ini merupakan pemicu terjadinya serangan serentak pada tahun 1833, yang kemudian diikuti dengan keluarnya perjanjian Plakat Panjang.

Plakat Panjang yang dibuat tanggal 11 Oktober 1883 adalah suatu perjanjian Belanda dengan orang Pesisir Barat Pulau Pertja (pulau Andalas) yang mengharuskan orang Minangkabau menanam kopi dan lada dan hasilnya dijual kepada pemerintah Belanda dengan harga yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, hasil tanaman kopi dan

(5)

lada tersebut tidak boleh dijual kepada orang lain selain kepada pemerintah Belanda. Dalam perjanjian ini disertai dengan kalimat yang terdapat pada Pasal 2, yang berbunyi bahwa Belanda tidak akan ikut campur dalam urusan pemerintahan dalam nagari (Dt.Batuah dan Dt.Madjoindo, 1956).

Namun, dalam perkembangan selanjutnya Belanda kemudian menciptakan suatu pemerintahan paralel dengan membentuk sistim administrasi lokal yang disebut dengan sistim Laras, yang di dalamnya diciptakan beberapa jabatan untuk orang pribumi yang disertai dengan pemberian imbalan atau gaji (Dt.Batuah dan Dt.Madjoindo, 1956; Amran, 1985; Lindayanti, 1988). Diciptakannya sistim Laras ini agar lebih memudahkan pemerintah Belanda berhubungan dengan nagari-nagari, karena dalam sistim pemerintahan di Minangkabau tidak terdapat bentuk sistim pemerintahan yang terpusat (sentralisasi)---tiap-tiap nagari berdiri sendiri yang dipimpin oleh penghulu-penghulu sukunya. Pembentukan sistim Laras ini menurut Manan (1995) merupakan priode pertama terjadinya interaksi birokrasi modern dengan otoritas tradisional.

Dalam sistim Laras tersebut, diciptakanlah beberapa jabatan baru untuk orang pribumi, seperti; Kepala Laras, Penghulu Kepala, Penghulu Suku, dan Penghulu Suku Rodi. Kepala Laras atau Tuanku Laras mengepalai daerah yang disebut Laras, yang merupakan federasi dari beberapa nagari. Penghulu Kepala mengepalai daerah yang disebut dengan nagari. Penghulu suku mengepalai dan mewakili suku-suku yang terdapat dalam nagari. Sedangkan Kepala Suku Rodi mengepalai atau mengawasi petani-petani kopi di sentra-sentra produksi kopi.

Pemerintahan ciptaan Belanda tersebut di atas jelas sama sekali di luar ketentuan adat, baik struktur maupun pengangkatan pejabat-pejabatnya. Pengangkatan penghulu misalnya tanpa memperhatikan faktor keturunan sebagaimana yang sudah diatur menurut adat. Mereka yang diangkat didasarkan atas kedekatan hubungan dan mampu bekerjasama dengan Belanda. Seseorang yang sudah terpilih untuk menduduki jabatan tertentu bisa saja dibatalkan bila tidak sesuai dengan keinginan Belanda, karena sitim Laras merupakan bentukan pemerintah Belanda dan berada di luar sistim adat.

(6)

Meskipun sistim pemerintahan Laras tersebut pada awalnya mendapat banyak tantangan dari rakyat nagari karena tidak sesuai dengan ketentuan adat, namun sistim Laras yang sarat dengan aroma aristokrasi itu akhirnya juga berhasil dilaksanakan sejalan dengan bertambah kuatnya pemerintahan Belanda dan disertai dengan terjadinya perubahan sikap serta orientasi pada sejumlah orang pribumi yang hanya untuk mengejar keuntungan pribadi. Amran (1985) misalnya, dalam tulisannya mengemukakan bahwa orang-orang yang pada awalnya menentang dan mengejek Belanda malah akhirnya berbalik dan berharap untuk bisa diangkat menduduki jabatan terhormat dengan mengharapkan gaji dan kekuasaan.

Setelah Tanam Paksa Kopi berakhir (1847-1908), pada tahun 1914 terjadi reorganisasi di Gubernemen Sumatera Barat dan Gubernemen kemudian kembali lagi menjadi Residensi. Sistim Laras kemudian dihapus dan territorial Laras diganti menjadi Distrik yang dikepalai atau dijabat oleh Demang. Kriteria pengangkatan Demang ini didasarkan kepada kualifikasi pendidikan, dan bukan berdasarkan pada asal usul keturunan seperti yang lazim terdapat dalam adat (Lindayanti, 1988). Dengan demikian, Belanda kembali menunjukkan arogansinya tanpa mengindahkan budaya lokal masyarakat (indigenous knowledge).

Setelah sistem laras dihapus dan digantikan dengan Distrik yang dikepalai oleh Demang, sistem pemerintahan nagari kemudian diatur dengan dikeluarkannya IGOB (Inlandsche Gemeente Ordonantie Buitengeswesten) pada tanggal 16 September Tahun 1938. IGOB ini merupakan ketentuan-ketentuan umum tentang cara mengatur dan menyelenggarakan urusan rumah tangga negeri-negeri di tanah seberang (di luar Jawa dan Madura), yang isinya tidak jauh berbeda dengan sistim Laras yang pernah diberlakukan di Minangkabau ketika dijalankannya Tanam Paksa Kopi.

Di dalam IGOB tersebut, antara lain dinyatakan bahwa Negeri adalah suatu Badan Hukum Bumi Putera (Rechtspersoon Bumi Putera) yang diwakili oleh Kepala Negerinya (pasal 1 ayat 1). Dengan berpedoman pada hukum adat, Residen dapat membuat peraturan-peraturan tentang pemilihan atau penunjukan dan pemberhentian

(7)

Kepala Negeri dan kepala-kepala rakyat bawahan lainnya. Pemilihan dan penunjukan Kepala Negeri harus diminta persetujuan Residen dan bila ada persetujuan kepada yang bersangkutan diberikan tanda pengakuan (pasal 2 ayat 1 dan 2). Keputusan-keputusan negeri yang berlawanan dengan peraturan-peraturan pemerintah atasan, dengan hukum adat atau dengan kepentingan umum, dapat dibatalkan oleh Residen dengan suatu ketetapan yang memuat keterangan tentang sebab-sebab pembatalan itu (pasal 6 ayat 1). Pemerintahan di negeri-negeri yang telah ditunjuk dijalankan oleh Kepala Negeri dan Dewan Perwakilan Negeri (DPN). Kepala Negeri adalah ketua serta anggota dari DPN, yang memegang pimpinan sehari-hari dan pelaksanaan keputusan-keputusan dewan yang ditugaskan kepadanya (pasal 8 ayat 1 dan 2). Susunan selanjutnya dari DPN diatur berdasarkan peraturan yang akan ditetapkan oleh dewan itu, peraturan mana terlebih dahulu harus disyahkan oleh Residen (ayat 3). Negeri berhak memungut pajak jika menurut pertimbangan Residen memang diperlukan untuk membiayai belanja pemerintahan negeri dan untuk sekolah-sekolah negeri (pasal 4 ayat 1). Segala uang milik negeri harus distor dalam suatu kas. Penyelenggaraan keuangan negeri ini dilakukan menurut petunjuk Residen (pasal 16 ayat 1 dan 2).

Di zaman pendudukan tentara Jepang (1942-1945), IGOB tidak diganggu gugat dan kedudukan nagari tetap diakui eksistensinya. Sebagaimana termuat dalam KANPO No.1 tahun 1942 bahwa Pemerintahan Nagari di Sumatera Barat tetap berjalan seperti biasa, asal saja tidak bertentangan dengan kepentingan Meliter Jepang (Bakar, 2002). Namun berbeda di zaman pendudukan Belanda, di zaman pendudukan Jepang lebih menonjolkan kedudukan dan peranan kaum ulama ketimbang penghulu, sehingga kaum ulama mendapat kesempatan untuk mengikuti pendidikan dan latihan meliter sebagai Gyu-gun (barisan sukarela) untuk memenangkan perang Asia Timur Raya (Mansoer dkk., 1970). Kemudian, ketika Revolusi Fisik (1945-1950) yang segera meletus setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, dengan sendirinya kaum ulama di Minangkabau memainkan peranan penting sebagai pimpinan militer, pimpinan pemerintahan dan di partai-partai politik.

(8)

Pengaturan Pemerintahan Nagari setelah Kemerdekaan

Setelah Indonesia merdeka, pemerintahan nagari sebagai unit pemerintahan terendah dan terdepan di Provinsi Sumatera Barat kembali mendapat perhatian oleh pemerintahan supra nagari, baik oleh pmerintah pusat maupun pemerintah daerah. Pengaturan pemerintahan nagari ini diawali dengan dikeluarkannya Maklumat Residen Sumatera Barat No.20 Tahun 1946 pada tanggal 21 Mei 1946.

Dalam pasal 1 ayat 1 dan 2 Maklumat Residen Sumatera Barat No. 20 Tahun 1946 itu, dirumuskan bahwa unsur pemerintahan nagari terdiri dari; Dewan Perwakilan Nagari (DPN), Dewan Harian Nagari (DHN), dan Wali Nagari. Wali Nagari dalam struktur pemerintahan ini langsung menjadi ketua DPN dan juga sekaligus menjadi ketua DHN. Dengan ketentuan ini, karena jabatannya sebagai ketua DPN dan DHN, Wali Nagari dengan sendirinya menjadi penguasa tunggal dalam nagari dan menjadi tokoh sentral dalam pemerintahan nagari.

Syarat untuk menjadi anggota DPN dijelaskan pada pasal 3, yaitu; semua warga negara RI yang berdiam di nagari dan telah berumur 25 tahun, tidak dipecat dari hak memilih dan hak menjadi anggota dewan perwakilan, pandai menulis dan membaca setidak-tidaknya dalam huruf Arab, dan mencukupi syarat-syarat kepatuhan umum untuk menjadi wakil rakyat. Dalam ketentuan ini tidak dicantumkan persyaratan pendidikan formal. Dalam pasal 6 ayat 1 dijelaskan bahwa DPN memilih seorang dari anggotanya untuk menjadi Wakil Ketua. Kemudian pada pasal 7 dirumuskan bahwa DPN memilih 3-5 orang di antara anggotanya untuk menjadi anggota DHN. Wakil ketua DPN langsung menjadi anggota dan wakil ketua DHN.

Ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan pemilihan Wali Nagari dirumuskan dalam bagian V pasal 8. Dalam pasal ini dijelaskan bahwa Wali Negeri dipilih langsung oleh semua warga negara yang memenuhi syarat untuk memilih anggota DPN. Yang boleh dipilih menjadi Wali Negeri ialah semua warga negara yang memenuhi syarat untuk menjadi anggota DPN dengan ketentuan bahwa pandai membaca dan menulis dalam huruf latin. Pemilihan Wali Negeri wajib disyahkan oleh

(9)

Wali Daerah (Residen) dan dengan pengesahan itu, Wali Negeri diakui oleh Wali Daerah. Pada pasal 9 ayat 2 dan 3 dijelaskan bahwa DPN boleh mengusulkan kepada Wali Daerah (Residen) untuk memberhentikan Wali Nagari yang disertai dengan berbagai alasan.

Rumah tangga Negeri diatur pada bagian VII pasal 12-13. Dalam pasal 12 ayat 1 disebutkan bahwa DPN bersama-sama dan dengan dipimpin oleh Wali Nagari menjalankan pekerjaan mengatur rumah tangga nagarinya, asal tidak bertentangan dengan peraturan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dalam ayat 3 dijelaskan bahwa DHN menjalankan putusan-putusan DPN dan menyelenggarakan pemerintahan sehari-hari. Dalam persidangan DPN lengkap, DHN memberi laporan tentang yang telah diselenggarakannya dalam masa yang lalu. Sedangkan dalam pasal 13 dirumuskan bahwa setiap tahun selambat-lambatnya dua bulan sebelum habis tahun, DPN menetapkan anggaran belanja dan penghasilan negeri untuk tahun dimukanya. Anggaran belanja dan penghasilan itu, demikian juga peraturan iyuran penduduk, baru boleh dijalankan sesudah mendapat persetujuan Wali Daerah (Residen). Perbedaan paham antara DPN dan Residen dalam soal-soal yang tersebut dalam pasal ini, diputuskan oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang putusannya tidak boleh dibanding lagi.

Kurang lebih empat tahun setelah diberlakukannya Maklumat No.20 Tahun 1946 itu, kemudian digantikan dengan dikeluarkannya Perda Provinsi Sumatera Tengah No.50/GP/1950 tentang Pembentukan Wilayah Otonomi. Peraturan ini dinamakan "Peraturan Sementara Tentang Pokok-Pokok Pembentukan Wilayah Berotonomi." Isi dari Perda ini adalah menghapus Pemerintahan Nagari dengan menggantikannya dengan Pemerintahan Wilayah. Wilayah menurut pasal 1 butir a adalah daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Sedangkan pada butir b disebutkan bahwa Wali Wilayah adalah Kepala Daerah Wilayah.

Pembentukan dan batas-batas wilayah dirumuskan dalam pasal 2 ayat 1 dan 2. Pada ayat 1 disebutkan bahwa daerah yang meliputi gabungan nagari-nagari, marga, mendapo, menurut yang ditentukan oleh Panitia Desentralisasi Sumatera Tengah

(10)

sebelum tanggal 19 Desember 1948 dijadikan wilayah-wilayah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Sedangkan dalam ayat 2 dirumuskan bahwa dalam hal batas-batas tersebut yang tidak bersesuaian lagi dengan keadaan, maka Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Kabupaten dengan pengesahan Dewan Propinsi Sumatera Tengah boleh mengubah batas-batas tersebut.

Keluarnya Perda Provinsi Sumatera Tengah No.50/GP/1950 itu diawali dengan diadakannya Konferensi Wali Nagari se Sumatera Barat pada tanggal 29-30 Maret 1947 di Bukit Tinggi (Manan, 1985; Pador dkk, 2002). Dalam konferensi ini, Residen Sumatera Barat menyampaikan gagasan untuk melakukan penggabungan beberapa nagari agar dapat dibentuk wilayah yang lebih besar sebagai sebuah wilayah otonom. Dari sebanyak 542 buah nagari yang ada di Sumatera Barat ketika itu diharapkan dapat dibentuk sebanyak 100 buah wilayah yang berotonomi.

Pembentukan wilayah yang lebih bernuasa pertimbangan ekonomi (supaya keuangannya kuat) tersebut di atas ternyata kurang mendapat sambutan dari banyak masyarakat nagari, sehingga pada tanggal 16-19 Desember 1953 diadakanlah Konferensi Ninik Mamak Pemangku Adat se Sumatera Tengah. Konferensi ini menuntut dibubarkannya sistem otonomi wilayah hasil bentukan Perda Provinsi Sumatera Tengah No.50/GP/1950 dan kembali ke sistem otonomi nagari yang telah berjalan berabad-abat lamanya sebagai unit sosial politik tradisional (Manan, 1985).

Sebagai respon dari hasil Konferensi Ninik Mamak Pemangku Adat se Sumatera Tengah tersebut kemudian keluar Ketetapan Gubernur Kepala Daerah Provinsi Sumatera Tengah No.2/G-55/1955 yang memuat dihentikannya sistem pemerintahan wilayah dan kembali kepada bentuk semula berupa nagari berotonomi. Dalam ketetapan ini, pemerintahan nagari terdiri dari Wali Nagari dan Dewan Perwakilan Rakyat Nagari (DPRN) sebagai pengganti Kerapatan Nagari di zaman penjajahan Belanda.

Pembentukan dan pemilihan anggota DPRN dan Wali Nagari di tahun 1955 itu bersamaan pula dengan masa persiapan pemilihan umum pertama di Republik

(11)

Indonesia. Situasi ini membuat banyak dari pemuka adat, alim ulama, dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya berafiliasi dengan partai-partai politik dengan harapan agar dapat menjembatani mereka untuk terpilih menjadi anggota DPRN dan Wali Nagari. Sementara itu, institusi pemerintahan nagari juga mejadi ajang perebutan dan alat politik bagi banyak partai politik ketika itu untuk dapat memenangkan partai politiknya.

Setelah nagari kembali berotonomi dengan keluarnya Ketetapan Gubernur Kepala Daerah Provinsi Sumatera Tengah No.2/G-55/1955 itu, keadaan nagari tampaknya belum aman. Antara tahun 1959-1961 ketika terjadinya peristiwa PRRI, banyak nagari-nagari berada di bawah kekuasaan PRRI. Akibat dari ini, maka keluarlah SK Gubernur Kepala Daerah Sumatera Barat tanggal 31 Agustus 1958 No. GSB/1/KN/58 tentang pemilihan, penunjukan, pemberhentian dan perwakilan Kepala Nagari di daerah Sumatera Barat. SK ini dikeluarkan untuk mengatasi kekosongan pemerintahan nagari dikarenakan banyaknya wali nagari yang terlibat dengan peristiwa PRRI. Kemudian SK ini disusul dengan Peraturan No.32/Desa/GSB/1959 tentang susunan Kerapatan Nagari dan cara pembentukannya. Pemerintahan nagari menurut SK ini terdiri dari Kepala Nagari dan Kerapatan Nagari. Kerapatan Nagari terdiri dari penghulu-penghulu, alim ulama, dan cerdik pandai, yang disebut juga dengan tungku

tigo sajarangan.

Setelah berakhirnya peristiwa PRRI, dikeluarkanlah Keputusan Peperda No.Prt-Peperda-/01/4/62 pada tanggal 7 April 1962 tentang Penertiban Pemerintahan Nagari. Kemudian keputusan ini disusul dengan keluarnya Keputusan Gubernur Kepala Daerah Sumatera Barat No. 2/Desa/Gsb/Prt-1963 tentang Peraturan Nagari-Nagari dalam Daerah Sumatera Barat, sambil menunggu Undang-Undang Nasional kedesaan yang akan ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. SK Gubernur No.2/Desa/Gsb/Prt-1963 ini mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 1963.

Dalam pasal 3 pada SK Gubernur No.2/Desa/Gsb/Prt-1963 tersebut dijelaskan bahwa pemerintahan nagari terdiri dari; Kepala Nagari (KN), Badan Musyawarah Nagari (BMN), dan Musyawarah Gabungan (MG). Selanjutnya dalam

(12)

pasal 9 dirumuskan bahwa alat-alat perlengkapan nagari terdiri dari; KN, BMN, MG, Pamong nagari (Kepala Kampung), Panitera nagari (Kepala Tata Usaha), dan Pegawai nagari (semua pegawai di bawah Panitera, termasuk pesuruh kantor, pembantu-pembantu Kepala Kampung, semua petugas dari pasar A atau pasar kepunyaan nagari).

Hal-hal yang berhubungan dengan KN dijelaskan pada Bab II tentang KN. Dalam pasal 10 disebutkan bahwa KN diangkat oleh Kepala Daerah Tingkat I di antara calon-calon yang diajukan BMN. Bila dari calon-calon tersebut tidak ada calon yang dipandang cakap, maka BMN mengajukan pencalonan kedua. Kemudian bila pada pencalonan kedua tidak ada juga calon yang dipandang cakap, maka Kepala Daerah Tingkat I mengangkat seseorang menjadi Kepala Nagari di luar pencalonan. Dalam pasal 12 antara lain dijelaskan bahwa syarat untuk dapat diangkat menjadi KN adalah; Warga Negara Republik Indonesia yang menurut adat kebiasaan setempat telah menjadi warga nagari dan yang berpengaruh, disegani dan dihormati oleh masyarakat, sekurang-kurangnya berumur 25 tahun, dan berpendidikan sekurang-sekurang-kurangnya tamatan Sekolah Rakyat (SR) atau berpengetahuan yang sederajat dengan itu serta mempunyai pengalaman dan kecakapan pekerjaan yang diperlukan. Selanjutnya dalam pasal 18 dinyatakan bahwa Kepala Nagari tidak dapat diberhentikan karena sesuatu keputusan dari BMN dan atau MG.

Dalam pasal 22 dijelaskan bahwa BMN adalah perwakilan dari masyarakat nagari, yang berasal dari golongan adat, agama, Front Nasional, lembaga sosial desa (LSD), koperasi desa, wanita, tani atau nelayan, buruh, pemuda, dan golongan veteran. Jumlah anggota BMN ini pada pasal 23 disebutkan sebanyak-banyaknya 10 orang atau 1 (satu) orang untuk setiap masing-masing golongan. Pada pasal 24 dijelaskan bahwa syarat-syarat untuk menjadi anggota BMN sama dengan syarat yang berlaku kepada KN, dengan ketentuan bahwa mengenai umur sekurang-kurangnya 21 tahun--lebih rendah 4 tahun dari syarat umur Kepala Nagari. Pada pasal 28 dijelaskan bahwa BMN diangkat oleh Kepala Daerah Tingkat II di antara calon-calon yang jumlahnya tidak boleh lebih dari 3 (tiga) orang untuk tidap golongan. Selanjutnya pada pasal 30

(13)

ayat 1 dan 2 dijelaskan bahwa pimpinan BMN terdiri dari Ketua dan Wakil Ketua. Kepala Nagari karena jabatannya menjadi ketua BMN.

Mengenai MG dijelaskan dalam pasal 37. Dalam pasal ini dirumuskan bahwa peserta MG terdiri dari; KN, semua anggota BMN, semua Pamong Nagari, dan seorang utusan dari tiap-tiap kampung. Dalam pasal 39 dijelaskan bahwa KN karena jabatannya menjadi ketua MG. Wakil Ketua MG dipilih oleh dan dari anggota MG dan disahkan oleh Kepala Daerah Tingkat II. Dengan demikian, SK No.2/Desa/Gsb/Prt-1963 menempatkan KN kebali sebagai penguasa tunggal dan memiliki otoritas yang lebih besar di nagari.

Selain dari jabatan KN, BMN, dan MG, jabatan-jabatan penting lainnya di nagari sangat ditentukan oleh pemerintah supra nagari. Dalam pasal 44 misalnya, dirumuskan bahwa Pamong Nagari diangkat oleh Kepala Daerah Tingkat II atas usul BMN. Demikian pula dalam pasal 47 ayat 2, dijelaskan bahwa Panitera Nagari diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Daerah Tingkat II atas usul dari KN. Dengan demikian, jabatan-jabatan penting di nagari tidak luput dari campur tangan pemerintah supra nagari, terutama Pemerintah Kabupaten.

Sumber keuangan dan pertanggung jawaban keuangan nagari dalam SK Gubernur No.2/Desa/Gsb/Prt-1963 itu dijelaskan dalam bab IV dan bab V. Dalam kedua bab ini, antara lain dirumuskan bahwa keuangan nagari diperdapat dari penghasilan nagari sendiri, bantuan pemerintah, dan bea-bea pasar. Dari penghasilan nagari sendiri adalah berupa; iyuran nagari, uang pas ternak, uang surat keterangan, uang bunga kayu, uang bunga pasir/batu/karang, uang tambahan (tuslah) penomoran rumah, uang biaya kartu penduduk, uang iyuran pengairan, keuntungan pasar, dan uang pembangunan. Uang ini digunakan antara lain untuk gaji atau tunjangan aparat pemerintahan atau alat-alat kelengkapan nagari, uang sidang, uang dinas, biaya kantor, pemeliharaan sarana dan prasarana umum, biaya pendidikan rakyat, biaya urusan agama, kesenian, dan dan kebudayaan. Setiap tahun dibuat pertanggung jawaban anggaran menurut petunjuk dari Kepala Daerah Tingkat II.

(14)

Selanjutnya dalam pasal 68 dijelaskan bahwa gaji untuk alat-alat kelengkapan nagari dan pasar disesuaikan dengan gaji pegawai negeri sipil menurut peraturan pemerintah (PP No.200/1961). Misalnya, nagari yang berpenduduk 4000 jiwa, gaji Kepala Nagari-nya setara dengan gaji pegawai negeri golongan D/I, Pamong nagari/Staf Kepala Nagari setara dengan golongan C/I, dan gaji Panitera Nagari setara dengan golongan C/I. Gaji petugas-petugas yang lain yang tidak disebutkan dalam peraturan pemerintah diatur oleh BMN atau Badan Komisi Pasar yang bersangkutan. Sedangkan uang sidang untuk BMN, MG dan Badan Komisi Pasar ditetapkan oleh masing-masing badan tersebut sesuai dengan kondisi keuangan nagari.

Selain dari badan-badan yang telah disebutkan di atas, di tiap nagari terdapat pula Badan Pelaksana Pembangunan Masyarakat Desa (BPMD). Dalam pasal 78 disebutkan bahwa BPMD diketuai oleh Kepala Nagari, Wakil ketua Pamong Nagari/Kepala Bagian Perekonomian, Setia Usaha Panitera Nagari, dan Anggota BPMD adalah semua anggota BMN dan semua Pamong Nagari. Tiap-tiap kegiatan yang akan dilakukan oleh BPMD harus dengan persetujuan Pimpinan Badan Koordinasi Pembangunan Masyarakat Desa (BKPMD) Kecamatan dan Daerah Tingkat II.

Setelah kurang lebih empat tahun diberlakukannya SK No.2/Desa/Gsb/Prt-1963 dan dengan memperhatikan perkembangan nagari serta UU No. 19 Tahun 1965 (UU Desapraja) yang belum bisa dijalankan karena perlu ditinjau kembali, maka SK No.2/Desa/Gsb/Prt-1963 tersebut kemudian diganti dengan keluarnya SK Gubernur Kepala Daerah Provinsi Sumatera Barat No.015/GSB/1968 tentang Peraturan Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari, yang ditetapkan pada tanggal 18 Maret 1968.

Berbeda dengan SK sebelumnya, dalam pasal 2 SK Gubernur No.015/GSB/1968 disebutkan bahwa alat perlengkapan nagari (aparatur) adalah lembaga-lembaga nagari yang terdiri dari; Wali Nagari, Dewan Perwakilan Rakyat Nagari (DPRN), dan Kerapatan Nagari (KN). Pemerintahan nagari adalah Wali Nagari dan DPRN, yang masing-masingnya sebagai lembaga eksekutif dan legislatif.

(15)

Sedangkan KN adalah badan peradilan agama dan adat serta penasehat pemerintah nagari. KN ini bukanlah termasuk unsur pemerintahan melainkan semacam badan permusyawaratan dari pemuka-pemuka masyarakat.

Selain dari ketiga lembaga tersebut, diintrodusir pula sebuah lembaga baru yang dinamakan Rapat Nagari (RN). Dalam pasal 34 disebutkan bahwa RN adalah pertemuan antara Pemerintah Nagari dengan penduduk nagari secara langsung. Dalam pertemuan ini, Pemerintah Nagari memberi laporan tentang pelaksanaan Pemerintahan Nagari pada tahun yang lalu dan memberikan penjelasan untuk rencana kerja tahun berikutnya yang disertai dengan menampung aspirasi masyarakat. Pertemuan ini diadakan sekali dalam setahun dalam rangka hari ulang tahun proklamasi Republik Indonesia. Dibentuknya lembaga Rapat Nagari ini sebagai upaya untuk menumbuhkan demokrasi dalam kehidupan masyarakat dan dengan kegiatan ini dimungkinkan pula terjadinya social control langsung dari masyarakat.

Dalam pasal 7 disebutkan bahwa Wali Nagari ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah Provinsi Sumatera Barat dari hasil pemilihan umum yang diadakan untuk itu. Wali Nagari dipilih sekurang-kurangnya 2 (dua) orang dan sebanyak-banyaknya 3 (tiga) orang calon yang diajukan oleh DPRN yang sudah mendapatkan penelitian dari Bupati Kepala Daerah Kabupaten. Persyaratan untuk dapat menjadi Wali Nagari seperti dijelaskan dalam pasal 8 antara lain adalah; mempunyai pengalaman dalam memimpin masyarakat, mempunyai program/rencana tentang pembangunan nagari, minimal berpendidikan Sekolah Dasar, dan telah berumur 25 tahun.

Wali Nagari memegang pimpinan Pemerintahan Nagari, baik urusan rumah tangga nagari maupun dalam bidang pembantuan urusan pemerintah yang lebih atas. Dalam penyelenggaraan administrasi nagari, seperti disebutkan pada pasal 13, dilakukan oleh sekretariat nagari yang dipimpin oleh Sekretaris Nagari. Sekretaris Nagari ini, yang karena jabatannya, ia menjadi Sekretaris Wali Nagari, Sekretaris DPRN, dan Sekretaris Kerapatan Nagari. Pada pasal 14 disebutkan bahwa dalam menjalankan tugas pemerintahan, Wali Nagari dibantu oleh Kepala-Kepala Jorong. Kepala Jorong

(16)

diangkat dan diberhentikan oleh Wali Nagari dengan mengindahkan adat kebiasaan setempat. Pelaksanaan pemerintahan oleh Kepala Jorong dilakukan dengan mengindahkan kedudukan Penghulu/Kepala Kaum menurut adat kebiasaan yang berlaku.

DPRN sebagai alat perlengkapan nagari dijelaskan pada bagian II. Dalam pasal 15 pada bagian II ini disebutkan bahwa DPRN menetapkan anggaran keuangan nagari dan peraturan-peraturan nagari untuk mengurus rumah tangga nagari atau untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan lebih atas yang pelaksanaannya diberikan kepada nagari. Pada pasal 18 dijelaskan bahwa anggota DPRN didasarkan kepada jumlah penduduk dengan pertimbangan setiap 1000 penduduk satu orang anggota DPRN. Ketua dan wakil ketua DPRN dipilih dari dan oleh anggota DPRN. Pada pasal 19 disebutkan bahwa anggota DPRN ditetapkan oleh Bupati Kepala Daerah Kabupaten berdasarkan hasil pemilihan umum. Tata cara dan hal-hal yang berhubungan dengan pemilihan anggota DPRN diatur oleh Gubernur Kepala Daerah Provinsi Sumatera Barat. Sedangkan pasal 21 disebutkan bahwa anggota DPRN tidak boleh merangkap menjadi Wali Nagari, Sekretaris Nagari, Pimpinan Harian Kerapatan Nagari, dan pejabat-pejabat lain yang bertanggung jawab mengenai keuangan nagari.

Kerapatan Nagari (KN) merupakan badan permusyawaratan dari pemuka-pemuka masyarakat nagari yang meliputi seluruh Ninik Mamak, Alim Ulama, dan Cerdik Pandai dalam nagari. Kerapatan Nagari ini tidak sama dengan Kerapatan Adat Nagari. Pembentukan Kerapatan Nagari ini dimaksudkan untuk menghimpun sebanyak mungkin potensi yang ada di masyarakat sehingga tercipta suatu pemerintahan yang berwibawa dan kuat. Wali Nagari karena jabatannya menjadi Ketua Kerapatan Nagari. Pimpinan hariannya adalah Wali Nagari dan ditambah dengan 3 (tiga) orang wakil ketua, yang masing-masingnya seorang Ninik Mamak, Alim Ulama, dan seorang Cerdik Pandai dalam nagari. Tugas dan wewenang Kerapatan Nagari adalah memberi nasehat dan pertimbangan kepada Wali Nagari dan DPRN baik diminta maupun tidak dan

(17)

mengadili perkara di bidang perdata, adat, agama, dan umum terutama mencari perdamaian dalam nagari dengan semufakat pihak-pihak yang berkepentingan.

Mengenai keuangan nagari yang terdapat pada SK Gubernur Kepala Daerah Provinsi Sumatera Barat No.015/GSB/1968 tidak jauh berbeda dengan yang terdapat pada SK sebelumnya. Sumber keuangan ini pada prinsipnya diperoleh dari sumber sendiri (yang sudah ada di nagari) dan bantuan dari pemerintah atasan yang berupa subsidi dan penerimaan nagari atas dasar prosentase dari pungutan yang dilakukan nagari. Hanya saja dalam SK No.015/GSB/1968 ini perhatian lebih difokuskan pada pemeliharaan terhadap sumber-sumber keuangan yang sudah ada dan tertib administrasi serta penggunaannya.

Di dalam SK No.015/GSB/1968 itu juga dicantumkan bahwa beberapa nagari dapat bersama-sama mengatur dan mengurus kepentingan bersama setelah memperoleh persetujuan dari Bupati Kepala Daerah Kabupaten. Penggabungan nagari-nagari menjadi satu nagari yang lebih besar dianjurkan. Ini didasarkan atas pertimbangan bahwa terdapat sejumlah nagari yang penduduknya sangat kecil yang dengan sendirinya sumber daya manusia dan sumber daya alam yang dimiliki juga "kecil."

Setelah pemerintahan nagari berjalan kurang lebih 5 (lima) tahun dan dengan mempertimbangkan berbagai hasil evaluasi dan penelitian, serta sambil menunggu ketentuan lebih lanjut dari pemerintah pusat, SK No.015/GSB/1968 kemudian disempurnakan dengan keluarnya SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I No.155/GSB-1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari di Wilayah Daerah Tingkat I Sumatera Barat. SK Gubernur No.155/GSB-1974 ini ditetapkan pada tanggal 24 Desember 1974.

Dibanding dengan SK sebelumnya (SK No.015/GSB/1968), perubahan yang mendasar yang dibawa oleh SK Gubernur No.155/GSB-1974 adalah mengenai alat perlengkapan nagari. Disebutkan dalam pasal 2 bahwa alat perlengkapan nagari terdiri dari Wali Nagari dan Kerapatan Nagari. Kedua lembaga ini secara bersama-sama merupakan pemerintah nagari. Pemerintah nagari ini dibantu oleh Sekretariat Nagari,

(18)

Pembantu Wali Nagari, dan Kepala-Kepala Jorong. Sekretariat nagari dalam pasal 23 disebutkan sebagai penyelenggara administrasi yang berhubungan dengan tugas kewajiban Pemerintah Nagari. Pembantu Wali Nagari dalam pasal 25 dijelaskan sebagai pejabat yang diserahi oleh Wali Nagari memimpin pelaksanaan urusan-urusan tertentu dalam bidang Pemerintahan Nagari. Para pembantu ini diangkat dan diberhentikan oleh Bupati Kepala Daerah Tingkat II atas usul Wali Nagari setelah mendengar Kerapatan Nagari. Dengan demikan, DPRN seperti yang diatur di dalam SK No.015/GSB/1968 dengan sendirinya ditiadakan.

Dalam pasal 8 disebutkan bahwa Wali Nagari diangkat oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dengan pemilihan yang diadakan untuk itu. Wali Nagari dipilih dari sekurang-kurangnya 2 (dua) orang dan sebanyak-banyaknya 4 (empat) orang calon yang diajukan oleh Kerapatan Nagari yang sudah mendapatkan penelitian dan penetapan dari Bupati Kepala Daerah Tingkat II. Persyaratan untuk diangkat menjadi Wali Nagari seperti dijelaskan pada pasal 9 relatif sama dengan SK sebelumnya. Misalnya mempunyai pengalaman dalam memimpin masyarakat dan mempunyai rencana dan program tentang pembangunan nagari. Perbedaannya terdapat pada kualifikasi orang yang dapat diangkat menjadi wali nagari. Bila dalam SK No.015/GSB/1968 misalnya berpendidikan SD dan telah berumur 25 tahun, maka dalam SK Gubernur No.155/GSB-1974 minimal berpendidikan SLP dan telah berumur 30 tahun. Dengan demikian, kualifikasi pendidikan dan umur untuk orang yang dapat diangkat menjadi Wali Nagari makin meningkat.

Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya di bidang urusan rumah tangga dan urusan perbantuan dalam pemerintahan, Wali Nagari bertanggung jawab kepada Kerapatan Nagari, sedangkan dalam pelaksanaan tugas pemerintahan atasan ia bertanggung jawab kepada Bupati Kepala Daerah Tingkat II. Dengan demikian, tugas dan fungsi DPRN pada SK No.015/GSB/1968, yang dalam SK Gubernur No.155/GSB-1974 menjadi tugas Kerapatan Nagari.

(19)

Dalam pasal 14 SK Gubernur No.155/GSB-1974 dijelaskan bahwa Kerapatan Nagari adalah lembaga musyawarah untuk mufakat dari pemuka-pemuka masyarakat, yang terdiri dari; Ninik Mamak, Alim Ulama, dan Cerdik Pandai yang mewakili kepemimpinan Suku dan Kepala-Kepala Jorong, yang jumlahnya disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan masing-masing nagari. Dalam pasal 15 disebutkan bahwa Pimpinan Kerapatan Nagari terdiri dari Ketua dan Wakil Ketua. Wali Nagari karena jabatannya menjadi Ketua Kerapatan Nagari dan bukan sebagai anggota. Dalam menjalankan tugas sehari-hari, Wali Nagari dibantu oleh Wakil-Wakil Ketua, yang terdiri dari; Wakil Ketua bidang Adat, bidang Agama, dan Wakil Ketua bidang Umum. Anggota dari Kerapatan Nagari tidak boleh merangkap menjadi Wali Nagari, Sekretaris Nagari, dan pejabat-pejabat lain yang bertanggung jawab mengenai pengurusan keuangan dan kekayaan nagari.

Selain menerima pertanggung jawaban dari Wali Nagari dalam bidang urusan rumah tangga dan urusan perbantuan dalam pemerintahan, Kerapatan Nagari menetapkan pula anggaran pendapatan dan belanja nagari dan peraturan-peraturan nagari dalam pengurusan rumah tangga nagari. Selain itu, sebagai lembaga musyawarah, Kerapatan Nagari melaksanakan pula peradilan adat, agama, dan memberikan pertimbangan kepada Wali Nagari, baik diminta maupun tidak.

Dalam menjalankan administrasi pemerintahan nagari, Wali Nagari dibantu oleh Sekretaris Nagari. Sekretaris ini adalah sekretaris dari Wali Nagari dan sekretaris dari Kerapatan Nagari. Ia diangkat oleh pemerintah nagari. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dapat pula mempekerjakan pegawai negeri/pegawai daerah untuk menjadi sekretaris bila diminta oleh nagari yang bersangkutan. Dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan, Wali Nagari dibantu pula oleh pembantu-pembantu Wali Nagari dan Kepala Jorong. Pembantu Wali Nagari adalah pejabat yang diserahi tugas untuk memimpin urusan-urusan tertentu dalam bidang pemerintahan nagari. Para pembantu itu diangkat dan diberhentikan oleh Bupati Kepala Daerah Tingkat II atas usul Wali Nagari dengan pertimbangan Kerapatan Nagari.

(20)

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja Pemerintahan Nagari Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian terdahulu bahwa pemerintahan nagari pada awalnya, ketika ia masih berstatus sebagai pemerintahan adat, dinilai sangat baik dan kegiatan pemerintahannya berjalan sangat demokratis. Para pemimpin yang duduk di pemerintahan ketika itu tidak dapat menyalahgunakan kekuasaannya atau yang dalam bahasa populernya disebut KKN. Sementara itu, Mansoer dkk. (1970) dalam bukunya menyebutkan bahwa pemerintahan nagari sangat berwibawa dan ditaati oleh seluruh penduduk nagari.

Gambaran tentang kinerja pemerintahan nagari yang demikian, secara langsung maupun tidak langsung diduga akibat dari sistem pemerintahan yang dianut. Dalam pemerintahan adat, sistem pemerintahan didasarkan dan berakar pada tradisi adat dan hukum adat. Pemerintahan dan masyarakat menyatu dalam satu kesatuan sistem sosial yang diatur berdasarkan kaidah-kaidah adat dan hukum adat. Para pemimpin yang duduk dalam pemerintahan merupakan wakil-wakil dari setiap kelompok atau unit-unit sosial menurut adat yang ada dalam nagari dan kepemimpinan pemerintahan dijalankan secara kolektif. Rekrutmen dari pemimpin dilakukan menurut tradisi adat melalui suatu seleksi oleh anggota atau warga unit sosial di masing-masing unit sosialnya secara demokratis melalui musyawarah dan mufakat, dengan memperhatikan kekuatan dan kelemahan masing-masing calon. Dengan demikian, di samping unsur keterwakilan kelompok (suku misalnya), indivdu-individu yang duduk di dalam pemerintahan tentunya mereka-mereka yang memiliki kelebihan di dalam unit sosialnya masing-masing, baik dari segi pengalaman, kemampuan, maupun pengetahuannya di bidang adat dan hukum adat yang memang diperlukan dalam menjalankan pemerintahan. Dengan alasan ini, adalah sangat masuk akal bila para pemimpin di nagari ketika itu terdiri dari orang-orang yang disegani, dihormati, disenangi dan menjadi panutan bagi masyarakatnya, karena mereka merupakan orang-orang pilihan dan telah teruji di unit sosialnya masing-masing.

Struktur organisasi atau lembaga pemerintahan nagari, baik menurut adat Bodi Caniago maupun Koto Piliang tampak lebih sederhana, tanpa disertai misalnya dengan

(21)

susunan yang bersifat hirarkis dan komplek. Unsur-unsur atau jabatan-jabatan yang terdapat di pemerintahan disesuaikan dengan ketentuan adat di masing-masing nagari. Pimpinan di tingkat unit sosial maupun di tingkat nagari dipilih dan ditentukan oleh warga unit sosial masing-masing, sehingga otoritas tertinggi tetap bersumber dan berada di warga unit sosial. Oleh karena itu, hubungan antara pemimpin dengan warga atau anggota unit sosialnya (jarak psikologis) dengan sendirinya akan terjalin dengan baik dan seorang pemimpin senantiasa harus memperhatikan aspirasi warga yang berkembang di unit sosialnya.

Selain dari faktor individu anggota dan struktur lembaga di atas, faktor lain yang berkaitan dengan kinerja organisasi dapat dilihat dari proses organisasi, yaitu proses-proses yang berfungsi dalam organisasi itu. Dalam hal hubungan antar peranan, tingkat pemahaman anggota terhadap peranannya sendiri maupun pemahaman terhadap peranan anggota lain dalam lembaga pemerintahan tentu akan lebih baik, karena rekrutmen mereka didasarkan pada kriteria tertentu sesuai dengan ketentuan adat. Seseorang yang menempati posisi sebagai penghulu misalnya, pengalaman dan pengetahuannya di bidang adat tentu lebih baik di antara warga unit sosialnya. Demikian pula halnya dengan komunikasi sesama anggota dalam lembaga pemerintahan, karena mereka tergabung dalam sebuah lembaga kerapatan nagari, maka komunikasi sesama anggota tidak akan menjadi penghambat dalam penyelenggaraan pemerintahan di saat itu.

Bila dianalisis lebih jauh, fungsi pengawasan sebagai bagian dari proses organisasi dapat dikatakan tidak terdapat dalam lembaga pemerintahan adat, karena kelembagaannya tanpa disertai dengan struktur yang bersifat hirarkis dan individu-individu yang ada di dalamnya adalah setara (egaliter). Kalaupun ada pemimpin misalnya, mereka ini hanyalah orang yang didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting yang pemilihannya dilakukan melalui musyawarah dan mufakat di antara penghulu-penghulu. Pengawasan terhadap para pemimpin langsung dilakukan oleh warga di unit sosial masing-masing yang sudah diatur menurut tradisi adat. Sementara

(22)

itu, persoalan-persoalan yang muncul dalam sistem pemerintahan adat diselesaikan secara bertingkat, mulai dari unit sosial yang terkecil, yaitu; mulai dari paruik, suku hingga ketingkat nagari. Dalam petuah adat disebutkan: Kusuik bulu, paruah

manyalasaikan; Kusuik paruah, bulu manyalasaikan, yang artinya bahwa

masing-masing unit sosial bertanggung jawab terhadap unit sosialnya.

Setelah sistem pemerintahan adat diganti dengan sistem pemerintahan nagari, dengan menggunakan format atau sistem pemerintahan yang lebih modern yang dipelopori awalnya oleh sistem Laras, kinerja atau jalannya pemerintahan nagari kemudian mengalami banyak perubahan. Bachtiar (1964) misalnya, dalam field work-nya di Negeri Taram pada tahun 1962, mengungkapkan bahwa wali nagari tidak mempunyai kekuasaan nyata yang dapat memaksa keputusan-keputusannya kepada warga nagarinya bila ia bukan sebagai seorang pejabat nagari berdasarkan norma-norma adat yang mempunyai beberapa alat pemaksa yang disediakan oleh adat dan diakui oleh masyarakat nagari. Demikian pula Thalib (1974), dalam penelitiannya terhadap penerapan SK 015/GSB/1968 tentang Peraturan Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari, menyebutkan bahwa jalannya pemerintahan nagari tidaklah begitu lancar. Kegiatan pemerintahan tidak lebih dari sekedar memenuhi tugas-tugas rutin yang diperintahkan dari atas (pemerintahan atasan), tetapi tidak mampu berinsiatif untuk memenuhi aspirasi rakyat nagari.

Berbeda dengan itu, hasil wawancara dengan sejumlah tokoh masyarakat di lapangan, diperoleh kesan bahwa kinerja dan atau jalannya pemerintahan nagari tidaklah semuanya mengecewakan. Beberapa di antara tokoh masyarakat di lapangan menuturkan sebagai berikut:

Ibu Lina (75 th), mantan kepala kampung dan juga mantan wali nagari (periode 1981-1983), menuturkan bahwa ketika ia mejabat sebagai wali nagari banyak kegiatan yang telah dilakukan atas inisiatif pemerintahan nagari sendiri, misalnya; gotong royong memperbaiki jalan dan irigasi, membuat bak sampah, pembuatan kebun rumah (berupa tanaman sayur-sayuran), rumah-rumah penduduk diusahakan dicat putih, membasmi tikus bersama-sama dengan masyarakat, dan gotong royong mengeluarkan batu kali untuk perbaikan sarana umum. Semua kegiatan ini disosialisasikan terlebih dahulu dengan memberitahukannya kepada

(23)

masyarakat sebelum dilaksanakan. Selama mejabat, tidak jarang pula Ibu Lina berurusan dengan bupati, camat, dansek, dan kodim untuk menyelesaikan kasus-kasus masyarakat nagari. Selain itu, pernah pula pemerintah nagari mengambil borongan proyek bangunan dan pekerjanya diambil dari warga masyarakat sekitar sehingga terbuka lapangan kerja baru bagi masyarakat. Sumber keuangan nagari ketika itu menurut Ibu Lina lebih banyak didapat dari komisi jual beli tanah dan ternak, bungo pasia (komisi penjualan pasir) dan

bungo karang (komisi dari penjualan hasil laut) ketimbang minta iyuran dari

masyarakat.

Gambaran tentang kegiatan dan kepemimpinan Ibu Lina di atas memang dibenarkan dan diakui oleh banyak anggota masyarakat. Sejumlah responden dan tokoh masyarakat yang berhasil diwawancarai mengatakan bahwa jarang yang tidak kenal dengan Ibu Lina karena terkesan dengan ketegasan dan prestasi yang telah dicapainya ketika “menahkodai” Nagari Salido. Dengan keberhasilannya ini, sosok kepemimpinan Ibu Lina malah sering dijadikan sebagai referensi bagi sejumlah kepala kampung dan mantan kepala kampung hingga sekarang. Bila disebut kepada mereka tentang kepemimpinan Ibu Lina misalnya, mereka sering terkagum-kagum.

Berbeda dengan sosok kepemimpinan Ibu Lina di atas, informan lain menilai kinerja pemerintahan nagari dengan membandingkannya dengan pemerintahan desa dan atau dengan kondisi sekarang. Beberapa di antaranya mengemukakan sebagai berikut:

Alam (64 th), seorang tokoh masyarakat di Nagari Lansek Kadok, mengemukakan bahwa ketika bernagari dulu sangatlah mudah mengajak masyarakat untuk bergotong royong dan menyumbang (iyuran) untuk keperluan nagari dibandingkan ketika berdesa. Sementara itu, Syamsu (64 tahun), seorang mantan anggota Badan Musyawarah Nagari di tahun 60-an, mengemukakan bahwa ketika bernagari dulu, hubungan wali nagari dengan masyarakat sangat dekat. Soal keamanan ketika itu sangat baik dan tidak pernah misalnya ada judi seperti halnya sekarang ini. Para pemimpin yang ada di nagari ketika itu sangat berwibawa, disegani dan masyarakatpun patuh kepadanya.

Dari kasus-kasus di atas, tampak bahwa kinerja atau jalannya pemerintahan nagari yang satu berbeda dengan nagari yang lainnya. Hal ini dapat merupakan akibat langsung maupun tidak langsung dari sejumlah faktor, baik faktor kebijakan pemerintahan supra nagari, adat, maupun faktor yang terdapat di lembaga pemerintahan

(24)

nagari yang bersangkutan. Bachtiar (1964) misalnya, dengan menggangkat kasus Negeri Taram, mengatakan bahwa karena Wali Negeri Taram bukan berasal dari pejabat adat berdasarkan norma adat sehingga ia terpaksa mencari persetujuan terlebih dahulu dari pejabat-pejabat adat untuk melaksanakan perintah atau proyek dari pemerintah. Dalam kasus ini, kelihatan bahwa faktor adat berpengaruh terhadap jalannya pemerintahan nagari. Seorang wali nagari yang bukan berasal dari pejabat adat wibawanya berkurang dimata masyarakatnya. Sementara faktor adat ini memang tidak dirumuskan di dalam sistem dan pengaturan pemerintahan nagari, baik di dalam IGOB maupun di dalam SK-SK Gubernur berikutnya, dalam arti bahwa tidak ada ketentuan bahwa seorang wali nagari harus berasal dari pejabat adat. Dengan demikian, faktor kebijakan pemerintahan supra nagari yang tidak sesuai dengan indigenous knowledge secara tidak langsung berpengaruh terhadap jalannya pemerintahan nagari pada waktu itu.

Thalib (1974), dalam penelitiannya melihat pengaruh dari kebijakan pemerintahan supra nagari melalui SK Gubernur No.015/GSB/1968 terhadap kinerja pemerintahan nagari. Dikatakan dalam penelitiannya bahwa kurang lancarnya jalan pemerintahan nagari ketika itu berkaitan dengan rendahnya tingkat pendidikan, umur, insentif (honorarium), dan motivasi aparat. Dari struktur, dikemukakan bahwa struktur organisasi pemerintahan nagari terlalu ideal---laju perubahan politik dan pemerintahan tidak sejalan dengan lajunya perubahan sosial, sehingga sering terjadi benturan-benturan antar alat perlengkapan pemerintahan nagari (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Sedangkan dalam proses, dikatakan bahwa kinerja pemerintahan nagari berkaitan dengan pembinaan yang dilakukan oleh pemerintahan supra nagari. Dengan demikian, faktor kebijakan pemerintahan supra nagari, yang dalam hal ini adalah SK Gubernur No.015/GSB/1968 secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap kinerja dan atau jalannya pemerintahan nagari pada waktu itu.

Selain itu, bila SK-SK yang mengatur pemerintahan nagari seperti yang telah diuraikan di atas dipahami satu-persatu, mulai dari IGOB hingga SK Gubernur No.155/GSB-1974, isi yang terkandung dalam SK Gubernur No.015/GSB/1968 pada

(25)

dasarnya tidak jauh berbeda dengan SK-SK sebelum maupun sesudahnya, baik yang menyangkut bentuk dan susunan alat perlengkapan nagari, tata kerja pemerintahan, rekrutmen dan pengangkatan aparat pemerintahan, kewajiban pemerintahan nagari, maupun pengaturan tentang keuangan nagari. Dalam susunan alat perlengkapan nagari misalnya selalu ada badan eksekutif dan badan legislatif nagari, meskipun tidak dinyatakan secara tegas. Dalam IGOB misalnya, pemerintahan nagari dijalankan oleh Kepala Nagari dan Dewan Perwakilan Nagari (DPN). Dalam Maklumat No.20 Tahun 1946 disebutkan bahwa pimpinan pemerintahan nagari terdiri dari; DPN, Dewan Harian Nagari, dan Wali Nagari. Pada SK Gubernur No.015/GSB/1968 dinyatakan bahwa pemerintahan nagari terdiri dari Wali Nagari dan Dewan Perwakilan Rakyat Nagari (DPRN). Sedangkan dalam SK Gubernur No.155/GSB-1974 disebutkan bahwa organisasi atau alat perlengkapan nagari terdiri dari Wali Nagari dan Kerapatan Nagari. Tugas dan fungsi DPRN pada SK Gubernur No.015/GSB/1968, yang dalam SK Gubernur No.155/GSB-1974 menjadi tugas Kerapatan Nagari. Kemudian, pengangkatan Wali Nagari harus mendapat “restu” dari pimpinan pemerintahan supra nagari. Wali Nagari diposisikan sebagai penguasa tunggal dan menjadi tokoh sentral dalam nagari, karena sebagai pimpinan lembaga eksekutif, ia juga sekaligus menjadi pimpinan lembaga legislatif nagari. Demikian pula dalam hal kriteria calon, bila dalam SK Gubernur No.015/GSB/1968 misalnya syarat untuk menjadi Wali Nagari minimal berpendidikan SD dan telah berumur 25 tahun, maka dalam SK No.2/Desa/GSB/Prt-1963 minimal tamatan Sekolah Rakyat (SR) dan sekurang-kurangnya berumur 25 tahun. Dengan demikian, tidak hanya SK No.015/GSB/1968, tetapi SK-SK Gubernur yang lainnya itu yang mengatur pemerintahan nagari, secara langsung maupun tidak langsung diduga berpengaruh terhadap kinerja atau jalannya pemerintahan nagari pada waktu itu.

1.2. Pemerintahan Desa Dari Nagari ke Desa

(26)

Pada tanggal 1 Desember 1979, Pemerintah Pusat memberlakukan Undang-Undang No.5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, yang menggantikan undang-undang atau peraturan-peraturan yang ada sebelumnya.

Lahirnya Undang-Undang No.5 Tahun 1979 itu pada dasarnya dilatarbelakangi oleh tiga alasan utama. Pertama, Undang-Undang No.19 Tahun 1965 dinilai tidak sesuai dengan perkembangan keadaan ketika itu, kedua agar terdapat keseragaman dengan mengacu kepada bentuk Negara Kesatuan, ketiga untuk kemajuan masyarakat. Ketiga alasan ini dapat dilihat dari dasar pertimbangan yang terdapat pada butir a, b, dan c pada Undang-Undang No.5 Tahun 1979 tersebut, yang dinyatakan sebagai berikut:

a) bahwa Undang-Undang No.19 Tahun 1965 tentang Desapraja (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 84) tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan dan karenanya perlu diganti;

b) bahwa sesuai dengan sifat Negara Kesatuan Negara Republik Indonesia maka kedudukan pemerintahan Desa sejauh mungkin diseragamkan, dengan mengindahkan keragaman Desa dan ketentuan adat istiadat yang masih berlaku untuk memperkuat pemerintahan Desa agar mampu menggerakkan masyarakat dalam partisipasinya dalam pembangunan dan menyelenggarakan administrasi Desa yang makin meluas dan efektif;

c) bahwa berhubung dengan itu, dipandang perlu segera mengatur bentuk dan susunan pemerintahan Desa dalam suatu undang-undang yang dapat memberikan arah perkembangan dan kemajuan masyarakat yang berasaskan Demokrasi Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Dengan diundangkan dan diberlakukannya Undang-Undang No.5 Tahun 1979 itu, maka di Sumatera Barat terjadi perubahan kedudukan pemerintahan terendah, yaitu

dari nagari ke desa. Perubahan ini bukanlah sekedar penggantian nama dengan

wilayah yang sama pula, tetapi yang dijadikan desa adalah jorong atau kampung yang sebelumnya merupakan bagian dari wilayah nagari. Dengan demikian, nagari akhirnya menjadi terpecah-pecah dengan munculnya desa-desa, yang sebelumnya tidak dikenal dalam khasanah budaya masyarakat adat di Minangkabau.

(27)

Dengan terjadinya perubahan dari nagari ke desa, jumlah pemerintahan terendah di Sumatera Barat akhirnya membengkak. Dari sebanyak 543 buah nagari yang ada ketika itu, akhirnya berubah menjadi sebanyak 3.138 buah desa. Penetapan jorong atau kampung menjadi desa sebenarnya bukanlah merupakan suatu keharusan bila dilihat dari Undang-Undang No.5 Tahun 1979 maupun penjelasan pasal 18 UUD 1945 yang menghormati daerah-daerah istimewa seperti desa di Jawa, nagari di Minangkabau, dan dusun di Palembang. Akan tetapi karena pertimbangan yang dikedepankan atau yang dominan ketika itu adalah pertimbangan ekonomi ketimbang faktor budaya masyarakat lokal, terutama oleh pengambil kebijakan---makin banyak desa makin besar pula dana bantuan pembangunan desa (Bangdes) tiap tahunnya yang dikucurkan oleh pemerintah pusat, maka akhirnya jorong atau kampung ditetapkan menjadi desa (Manan, 1995; Zakaria, 2000; Sjahmunir, 2001; LKAAM, 2002; Pador, dkk, 2002).

Undang-Undang No.5 Tahun 1979 itu baru berlaku efektif pada tanggal 1 Agustus 1983 dengan keluarnya Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Barat No.162/GSB/1983. Selama masa transisi atau menjelang keluarnya SK No.162/GSB/1983 ini, pemerintah daerah telah melakukan berbagai upaya, yang antara lain adalah;

(1) memasyarakatkan Undang-Undang No.5 Tahun 1979 kepada pemuka-pemuka masyarakat tentang pelaksanaan pemerintahan desa, (2) mengadakan konsultasi/diskusi dengan para Bupati/Wali Kota Kepala Daerah Tingkat II akibat diberlakukannya Undang-Undang No.5 Tahun 1979 agar tidak menimbulkan keresahan dikalangan masyarakat dengan dihapuskannya pemerintahan nagari, (3) mengadakan konsultasi dan diskusi dengan berbagai instansi, lembaga serta cendekiawan, tokoh-tokoh adat dan agama, dan (4) mengadakan pilot proyek pelaksanaan pemerintahan desa pada 100 buah desa dalam Provinsi Sumatera Barat (Manan, 1995).

Selain itu, dengan dihapuskannya nagari akibat ditetapkannya jorong atau kampung menjadi desa dan atau kelurahan sebagai unit pemerintahan terendah, serta menimbang bahwa nagari secara historis telah memberikan sumbangan yang sangat besar dalam kelangsungan kehidupan masyarakat dan pembangunan di daerah

(28)

Sumatera Barat, maka pemerintah daerah mengeluarkan Perda No.13 Tahun 1983 tentang Nagari Sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dalam Provinsi Daerah Tingkat I Sumatera Barat. Pada pasal 1 dari Perda ini, antara lain dirumuskan bahwa nagari adalah kesatuan masyarakat hukum adat dalam Provinsi Daerah Tingkat I Sumatera Barat yang terdiri dari himpunan beberapa suku yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri. Wilayah nagari meliputi beberapa desa yang tidak dapat dipisah-pisahkan dan yang ada sebelum berlakunya Undang-Undang No.5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.

Dalam pasal 3 dari Perda No.13 Tahun 1983 tersebut, dirumuskan pula bahwa fungsi nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat adalah sebagai berikut:

a) membantu pemerintah dalam mengusahakan kelancaran pelaksanaan pembangunan disegala bidang, terutama di bidang kemasyarakatan dan budaya;

b) mengurus urusan hukum adat dan adat istiadat dalam nagari;

c) memberi kedudukan hukum menurut hukum adat terhadap hal-hal yang menyangkut harta kekayaan masyarakat nagari guna kepentingan hubungan keperdataan adat juga dalam hal adanya persengketaan atau perkara perdata adat;

d) menyelenggarakan pembinaan dan pengembangan nilai-nilai adat Minangkabau, dalam rangka memperkaya, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan Minangkabau pada khususnya;

e) menjaga, memelihara dan memanfaatkan kekayaan nagari untuk kesejahteraan masyarakat nagari.

Fungsi nagari tersebut dilakukan oleh Kerapatan Adat Nagari (KAN). KAN dalam pasal 1 butir j dari Perda No.13 Tahun 1983 tersebut dirumuskan sebagai lembaga perwakilan permusyawaratan dan permufakatan adat tertinggi yang telah ada dan diwarisi secara turun temurun sepanjang adat ditengah-tengah masyarakat Nagari di Sumatera Barat. Dengan demikian, hal-hal yang berhubungan dengan adat yang terdapat dalam beberapa desa dan atau kelurahan yang termasuk dalam suatu wilayah nagari diurus dan dikelola oleh KAN nagari yang bersangkutan. Ini merupakan bentuk lain dari kedinamisan nagari bahwa di tengah terjadinya perubahan paradigma

(29)

penyelenggaraan pemerintahan ternyata nagari tetap eksis dan diberi fungsi memayungi beberapa desa terutama yang berkaitan dengan persoalan adat yang dibutuhkan masyarakat.

Hubungan antara KAN sebagai lembaga permusyawaratan dan permufakatan sepanjang adat dengan desa masing-masingnya dirumuskan dalam pasal 7 ayat 2 dan pasal 11. Dalam pasal 7 dinyatakan bahwa keputusan-keputusan KAN menjadi pedoman bagi Kepala Desa dalam menjalankan roda pemerintahan desa dan wajib ditaati oleh seluruh masyarakat nagari dan aparat pemerintahan berkewajiban membantu menegakkan sepanjang tidak bertentang dengan peraturan dan perundangan yang berlaku. Sedangkan dalam pasal 11 dijelaskan bahwa hubungan kerja antara KAN dengan Kepala Desa/Kepala Kelurahan bersifat konsultatif. Kemudian, bila dianggap perlu Kepala Desa/Kelurahan dapat memberikan pendapat serta penjelasan yang diperlukan.

Dengan demikian, antara KAN dan pemerintahan desa terlihat adanya pemisahan kewenangan dan keduanya mempunyai hubungan kesetaraan. Selain itu, dilihat dari fungsi nagari, antara KAN dan desa terdapat pula hubungan kerjasama dimana dalam melaksanakan fungsi-fungsi nagari, KAN membantu pemerintah dalam memengusahakan kelancaran pelaksanaan pembangunan disegala bidang, terutama di bidang kemasyarakatan dan budaya.

Hubungan antara KAN sebagai lembaga yang menangani masalah adat di nagari dengan lembaga supra nagari atau dengan birokrasi yang lebih tinggi antara lain dijelaskan dalam pasal 10, 14, dan pasal 16. Dalam pasal 10 Perda No.13 Tahun 1983 itu, dirumuskan bahwa pembinaan KAN dilakukan oleh Gubernur Kepala Daerah beserta aparatnya sampai ketingkat kecamatan. Dalam pasal 14 ayat 2 dinyatakan bahwa jenis dan jumlah kekayaan nagari serta pemanfaatannya diatur oleh Gubernur Kepala Daerah berdasarkan inventarisasi KAN. Dalam ayat 3 disebutkan bahwa pengawasan terhadap kekayaan nagari dilakukan oleh Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah atau pejabat lain yang ditunjuk. Sedangkan dalam pasal 16 dirumuskan bahwa

(30)

tata cara pengelolaan dan penggunaan pendapatan nagari diatur oleh Gubernur Kepala Daerah.

Dengan demikian, dari pasal-pasal yang dituangkan dalam Perda No.13 Tahun 1983 tersebut di atas, dapat dilihat bahwa dalam suatu nagari ada 2 (dua) pranata politik, yaitu Pemerintahan Desa di satu pihak dan pranata otoritas tradisional (KAN) di pihak lain, yang masing-masingnya diwakili oleh Kepala Desa beserta aparatnya dan KAN dengan pimpinan/fungsional adatnya. Pranata pertama mewakili birokrasi modern dan pranata kedua mewakili otoritas tradisional. Pemerintahan desa khusus mengatur aspek pemerintahan, sedangkan KAN mengatur hal-hal yang berhubungan dengan adat. Namun demikian, karena kedua pranata politik ini termasuk di bawah binaan kekuasaan supra nagari, baik oleh Pemerintah Kecamatan, Kabupaten, Provinsi, maupun Pemerintah Pusat, maka dengan sendirinya kehidupan dan kinerja kedua pranata tersebut tentu akan sangat dipengaruhi dan ditentukan pula oleh kekuasaan supra nagari (Manan, 1995).

Sistem Pemerintahan Desa

Di dalam pasal 1 butir a dan c Undang-Undang No.5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa disebutkan bahwa desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan bagian dari wilayah desa yang merupakan lingkungan kerja pelaksanaan pemerintahan desa disebut dusun.

Selanjutnya dalam pasal 3 disebutkan bahwa sistem pemerintahan desa terdiri dari; kepala desa dan lembaga musyawarah desa (LMD). Dalam pelaksanaan tugasnya, pemerintah desa dibantu oleh perangkat desa. Perangkat desa terdiri dari; sekretariat desa dan kepala-kepala dusun. Dalam pasal 15 disebutkan bahwa sekretariat desa terdiri dari sekretaris desa dan kepala-kepala urusan.

(31)

Mengenai pemilihan dan pengangkatan kepala desa dijelaskan pada bagian ketiga dari Undang-Undang No.5 Tahun 1979. Dalam bagian ini antara lain dijelaskan bahwa Kepala Desa dipilih secara langsung oleh penduduk desa yang telah berumur sekurang-kurangnya 17 tahun atau telah pernah menikah dan sekurang-kurangnya berijazah Sekolah Lanjutan Pertama. Kepala Desa yang terpilih kemudian diangkat oleh bupati/walikotamadya atas nama gubernur dengan masa jabatan 8 (delapan) tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya.

Berbeda dengan Kepala Desa, sekretaris desa diangkat dan diberhentikan oleh bupati/walikotamadya setelah mendengar pertimbangan camat atas usul Kepala Desa setelah mendengar pertimbangan LMD (pasal 15 ayat 2). Kepala-kepala urusan diangkat dan diberhentikan oleh camat atas nama bupati/walikotamadya atas usul Kepala Desa (pasal 15 ayat 4). Sedangkan kepala dusun diangkat dan diberhentikan oleh camat atas nama bupati/walikotamadya atas usul kepala desa (pasal 16 ayat 3). Selanjutnya, susunan organisasi dan tata kerja pemerintahan desa dan perangkat desa diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No.1 Tahun 1981.

Dalam peraturan menteri itu, pasal 2 ayat (2), dinyatakan bahwa susunan organisasi pemerintahan desa terdiri dari; Kepala Desa, LMD, dan perangkat desa. Kemudian dalam pasal 4 ayat (1) dan (2) dinyatkan bahwa LMD adalah sebagai wadah permusyawaratan/permufakatan pemuka-pemuka masyarakat yang ada di desa. LMD ini bertugas untuk menyalurkan pendapat masyarakat di desa dengan memusyawarahkan setiap rencana yang diajukan oleh Kepala Desa sebelum ditetapkan menjadi keputusan desa. Sementara dalam pasal 5 ayat (1) dinyatakan bahwa ketua LMD dijabat oleh Kepala Desa karena jabatannya dan berkedudukan sebagai pimpinan LMD dengan tugas memimpin musyawarah/mufakat dan mempunyai fungsi membina kelancaran dan memperhatikan sungguh-sungguh kenyataan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat desa yang bersangkutan.

Tugas Kepala Desa dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No.1 Tahun 1981 dirumuskan dalam pasal 3 ayat (3) sebagai berikut; (a) melaksanakan kegiatan dalam

(32)

rangka penyelenggaraan urusan rumah tangga desanya sendiri, (b) menggerakkan partisipasi masyarakat dalam wilayah desanya, (c) melaksanakan tugas dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah, (d) melaksanakan tugas dalam rangka pembinaan ketentraman dan ketertiban masyarakat desa, (e) melaksanakan koordinasi jalannya pemerintahan, pembangunan dan pembinaan kehidupan masyarakat di desa, dan (f) melaksanakan urusan pemerintahan lainnya yang tidak termasuk dalam tugas sesuatu instansi dan tidak termasuk urusan rumah tangga desanya sendiri. Kemudian dalam pasal 10 ayat (1) dijelaskan bahwa dalam menyelenggarakan tugas dan fungsinya, Kepala Desa bertanggung jawab kepada bupati/walikotamadya melalui camat, dan memberikan keterangan pertanggung-jawaban kepada LMD sekurang-kurangnya satu kali dalam setahun.

Selain dari Kepala Desa, LMD, dan perangkat desa yang termasuk dalam susunan organisasi pemerintah desa, terdapat lembaga lain yang sifatnya non struktural tetapi fungsional dalam penyelenggarakan pemerintahan. Lembaga dimaksud adalah Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) yang dibentuk berdasarkan Kepres No.28 Tahun 1980 tentang Penyempurnaan dan Peningkatan Fungsi Lembaga Sosial Desa (LSD) menjadi LKMD. Dalam Kepres ini, pasal 5, dinyatakan bahwa tugas pokok LKMD adalah membantu pemerintah desa/kelurahan dalam; (a) merencanakan dan melaksanakan program pembangunan, (b) menggerakkan dan meningkatkan prakarsa masyarakat untuk melaksanakan pembangunan secara terpadu, baik yang berasal dari berbagai kegiatan pemerintah maupun swadaya gotong royong masyarakat, dan (c) menumbuhkan kondisi dinamis masyarakat untuk mengembangkan ketahanan di desa.

Adapun susunan organisasi LKMD tersebut adalah: Ketua umum dijabat oleh Kepala Desa/Lurah; Ketua I dijabat oleh tokoh masyarakat; Ketua II dijabat oleh ketua tim penggerak Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) (umumnya adalah sistri Kepala Desa/Lurah); Sekretaris (umumnya dijabat oleh sekretaris desa); Bendahara, dan Anggota pengurus lainnya yang terbagi dalam seksi-seksi (Seksi agama;

(33)

Pembudayaan; Penghayatan dan pengamalan Pancasila; Keamanan, ketentraman, dan ketertiban; Pendidikan dan penerangan; Lingkungan hidup; Pembangunan, perekonomian, dan koperasi; Kesehatan, kependudukan, dan KB; Pemuda, olah raga, dan kesenian; Kesejahteraan sosial, dan Seksi PKK).

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja Pemerintahan Desa Sebagaimana telah diuraikan pada bagian terdahulu bahwa pemerintahan desa sebagai pengganti pemerintahan nagari tidak dapat berfungsi secara efektif. Zakaria (2000), dalam bukunya yang berupa hasil studi mengenai desa di beberapa provinsi (termasuk di Provinsi Sumatera Barat) menyebutkan bahwa banyak kendala yang ditemukan dalam pemberlakuan Undang-Undang No.5 Tahun 1979 terutama pada komuniti-komuniti adat, sehingga kinerja dan atau jalannya pemerintahan desa masih jauh dari yang diharapkan. Manan (1995), dalam kajiannya tentang “Birokrasi Modern dan Otoritas Tradisional di Minangkabau” yang dilakukan pada tahun 1987, antara lain disebutkan bahwa administrasi pemerintahan desa sering terbengkalai, tidak teraturnya kehadiran aparat desa di kantor menjadi kendala untuk berurusan, kepala desa kurang berwibawa dan sukar baginya untuk menggerakkan gotong royong dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan berbagai sarana dan prasarana desa. Sedangkan Biro Pemerintahan Desa dan Sekretaris Daerah Propinsi Sumatera Barat (2000) dalam bukunya yang berjudul: “Menuju Pengembalian Bentuk dan Susunan Pemerintahan Desa ke Nagari” mensinyalir bahwa desa kurang mampu berbuat banyak dalam pembangunan, kurang dukungan dari warga, dan juga kurang mampu mengangkat dan menggerakkan potensi ekonomi sosial masyarakat karena memiliki kewenangan terbatas.

Hal senada dengan itu juga terungkap dari wawancara di lapangan dengan sejumlah responden dan tokoh masyarakat serta pejabat di tingkat kecamatan maupun di tingkat kabupaten. Berdasarkan hasil wawancara, diperoleh keterangan bahwa pemerintahan desa sulit untuk menggerakkan masyarakat untuk bergotong royong. Penggunaan dana bandes dan uang yang didapat dari sumber lainnya kurang transparan.

(34)

Pengurusan surat-surat sering ke rumah Kepala Desa karena kantor desa jarang dibuka. Lembaga KAN yang di dalamnya terdiri dari pemuka-pemuka adat kurang berfungsi dan lembagai ini hanya sebagai asesoris. Pemilihan kades sering diwarnai dengan sukuisme dan keluargaisme. Persoalan laporan pertanggung-jawaban keuangan pemerintahan desa bisa "main mata" dengan camat. Pemerintahan desa kurang mendapat dukungan atau legitimasi dari masyarakat. Pemerintahan supra desa kurang perhatian terhadap pemerintahan desa. Tidak banyak orang yang terdidik berminat di pemerintahan desa. Di masa pemerintahan desa, rasa bernagari menjadi berkurang karena masyarakat lebih berkonsentrasi memikirkan desanya masing-masing. Kemudian, diperoleh juga keterangan bahwa honor atau insentif aparat pemerintahan desa relatif kecil, yang bahasa setempat disebut kering. Angku (63 tahun) misalnya, seorang mantan Kades periode 1983-1990, mengemukakan bahwa honor yang diterimanya ketika itu adalah sebesar Rp.20.000/bulan, untuk sekretaris Rp.15.000/bulan, sedangkan untuk kepala urusan sebesar Rp.5.000/bulan. Honorarium ini dibayarkan tiga bulan sekali.

Diakui memang, bahwa tidak setiap desa mempunyai kondisi kinerja seperti disebutkan di atas. Manan (1995) misalnya, dalam penelitiannya pada tahun 1987 menemukan bahwa di desa-desa yang dulunya merupakan pusat-pusat nagari di mana penduduknya relatif maju dan lebih terdidik, pembagian kerja antara berbagai lembaga pemerintahan desa yang bersifat struktural dan non struktural dapat berjalan dengan baik. Desa-desa ini juga mendapat bantuan dana dari perantau-perantau dalam jumlah yang relatif besar, sehingga sumber pembiayaan pembangunan desa dan penyempurnaan pemerintahan desa dapat berjalan lebih baik.

Gambaran tentang lemahnya kinerja pemerintahan desa seperti diuraikan di atas merupakan akibat langsung maupun tidak langsung dari penerapan kebijakan pemerintahan supra desa yang kurang dan atau tidak sesuai dengan budaya lokal (adat). Dijadikannya jorong atau kampung menjadi desa misalnya, yang sebelumnya merupakan bagian dari wilayah nagari, merupakan faktor yang berpengaruh terhadap

Gambar

Tabel 7   Tingkat kepuasan responden terhadap                  pelayanan umum   Nagari  Kabupaten  NLK  NGH  NSB  NKT  NSL  NPG  KP  KA  KPS Kategori tingkat kepuasan  (Skala 0 – 3)  F  %  F  %  F  %  F  %  F  %  F  %  F  %  F  %  F  %  Total F %  > 2,3
Tabel 9  Tingkat kepuasan responden terhadap                pelayanan pembinaan ekonomi
Tabel 10   Tingkat kepuasan responden terhadap pelayanan                   pemeliharaan ketentraman dan ketertiban
Tabel 13  Tingkat kepuasan responden terhadap layanan                    dan sub-layanan pemerintahan nagari
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pasal 71 ayat (1) Undang- undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ditegaskan: “Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya

Pada tahap ini peneliti mengadakan pengamatan terhadap aktivitas pembelajaran siswa. Peneliti bekerjasama dengan wali kelas dalammelaksanakan pengamatan terhadap pelaksanaan

Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa mempunyai tugas: Membantu Bupati dalam melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan

Pada saat pelaksanaan pembelajaran PKn dengan model diskusi pada siswa kelas IV SD Negeri Amertasari dalam materi sistem pemerintahan desa dan kecamatan

(2) Sebelum pelaksanaan musyawarah, Kepala Desa mengadakan rapat konsultasi dengan Pimpinan BPD untuk membahas jadwal waktu pelaksanaan musyawarah dan susunan daftar

Berkaitan dengan kesiapan pemerintahan desa dalam melaksanakan Undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang dana desa, maka sebelumnya telah mengadakan berbagai pembenahan baik

Berdasarkan undang-undang Nomor 6 tahun 2014 tentang desa, pasal 18 kewenangan desa meliputi kewenangan dibidang penyelenggaran pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa,

Kepala Desa menyampaikan laporan pertanggungjawaban realisasi pelaksanaan APB Desa kepada Bupati/Wali Kota setiap akhir tahun anggaran. Laporan pertanggungjawaban