Materi selanjutnya yang akan penulis sampaikan pada subbab ini ialah hubungan institusional antara Mahkamah Konstitusi dengan badan-badan pemerintahan utama lainnya terkait kewenangan Mahkamah Konstitusi menguji konstitusionalitas undang-undang. Persoalan atau isu yang timbul disini adalah posisi atau kedudukan MKRI terhadap badan-badan utama yang lain terkait dengan posisi sebagai interpreter konstitusi. Secara prinsip, semua badan pemerintahan adalah interpreter konstitusi dalam menjalankan kewenangan fungsional undang-undang. Oleh karena itu pertanyaan utamanya adalah bilamanakah interpretasi Mahkamah Konstitusi berlaku dan mengikat badan-badan pemerintahan utama tersebut, sementara secara struktural kedudukannya sejajar dan secara fungsional sama-sama dapat melakukan interpretasi konstitusi. Beberapa kajian menunjukan bahwa UUD 1945 secara tersirat memberikan kewenangan penafsiran konstitusi secara monopolistik kepada MK untuk menilai pertentangan norma hukum dalam pengujian konstitusionalitas undang-undang, artinya MK adalah “the guardian of
constitution and the sole interpreting of constitution” dan sebagai penafsir sah
terhadap undang-undang dasar atau konstitusi (the legitimate interpreter of the
constitution). Agar putusan MK yang telah berkekuatan hukum tetap dapat berlaku
dan mengikat semua badan pemerintahan utama lainnya, Mahkamah Konstitusi seharusnya memposisikan dirinya sebagai interpreter konstitusi yang menjalankan kepemimpinan atas badan-badan pemerintahan utama yang lain (menjalankan pendekatan judicial supremacy). Akan tetapi pada prakteknya terdapat beberapa putusan MK yang tidak dapat berlaku karena badan pemerintahan yang lain
43
mempunyai kewenangan yang sama untuk melaksanakan interpretasi konstitusi, dalam hal ini yang terjadi adalah posisi Mahkamah Konstitusi setara dengan badan-badan pemerintahan utama lainnya yang berakibat putusan MK tersebut tidak dapat mengikat ke semua badan pemerintahan yang lain (pendekatan konsep
Departmentalism).
Untuk menjamin kedudukan MK atas interpretasi yang dilakukannya sebagai tindakan yang legitimate, konsep Judicial Supremacy dapat menjadi salah satu cara agar hubungan antara badan pemerintahan utama lainnya tetap berjalan harmonis. Perlu kita ketahui Judicial supremacy adalah tentang presepsi badan yudisial dalam memposisikan diri terhadap badan-badan pemerintahan lain dalam melakukan interpretasi konstitusi.48 Whittington memaknai judicial Supremacy sebagai kepemimpinan dalam interpretasi konstitusi. (Constitutional leadership). Konsep ini menyatakan pengertian bahwa badan yudisial adalah interpreter konstitusi terdepan, menentukan makna konstitusi secara monopolistik sebagai dasar tindakan pemerintah di masa depan, dan badan-badan pemerintahan yang lainnya harus tunduk pada interpretasinya. Argumen untuk pernyataan tentang
judicial supremacy adalah the constitution cannot be maintained as a coherent law
unless the court serves as its ultimate interpreter, whose understanding of the constitutional text supersede any others and which other government officials are
required to adopt. (diterjemahkan ; konstitusi tidak dapat dipertahankan sebagai
hukum yang koheren kecuali pengadilan berfungsi sebagai juru utamanya, yang memahami teks konstitusi menggantikan orang lain dan para pejabat pemerintah
48 Titon Slamet Kurnia, Interpretasi Hak-Hak Asasi Manusia oleh MKRI, CV.Mandar Maju,Bandung, 2015, Hlm. 100.
44
lainnya yang diperlukan untuk mengadopsi.) 49 MK diberikan kebebasan oleh konstitusi melakukan interpretasi dan direalisasikan melalui putusan MK. Interpretasi konstitusi dalam ajudikasi pada hakikatnya bertujuan untuk mengakhiri kontroversi. Praktik ini sangat legitimate sebagai tujuan untuk menyelesaikan persoalan ketentuan-ketentuan konstitusi yang kabur atau sangat umum. Argumen ini menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga dan interpreter akhir UUD NRI 1945. Dengan digunakannya konsep Judicial supremacy pada hakikatnya putusan Mahkamah Konstitusi bersifat Supreme. Sangat percuma pembentukan badan ajudikasi konstitutional jika ketika putusannya yang telah berkekuatan hukum tetap dan Erga Omnes mendapat intervensi dari badan pemerintahan yang lain karena mempunyai hak yang sama untuk melaksanakan interpretasi konstitusi, sehingga yang seharusnya konsep kedudukan badan pemerintahan adalah Judicial Supremacy posisi sebaliknya adalah departmentalism.
Menurut teori, departmentalism memposisikan badan-badan pemerintahan, termasuk badan yudisial berlaku setara antara fungsi dan kewenangannya dalam rangka interpretasi konstitusi. Implikasinya, produk interpretasi konstitusi oleh badan yudisial hanya berlaku persuasif terhadap terhadap badan pemerintahan yang lain. Mereka menganggap bahwa semua badan ajudikasi mempunyai kewenangan yang sama dalam melaksanakan interpretasi konstitusi. Dampaknya, lembaga MK yang lebih dikenal sebagai Supreme Court, putusannya tidak dapat mengikat secara umum. Kondisi ini menimbulkan sikap bahwa putusan MK dapat berlaku jika
49 Achibald Cox, The role of The supremacy Court: Judicial activism or self-Restraint?. Maryland Law Review,Vol.47, 1987,hal.4, Ibid. hlm. 101
45
badan pemerintahan yang lain defference terhadap badan ajudikasi konstitusional. Konsep departmentalism paling feasible adalah fixed departmentalism, yaitu, :
Accepts that there is such a thing as authotitative interpretation in a given matter, but rejects the notion of a single interpreter regarding all matters. Instead, allocation of interpretive authority varies by topic or constitutional provision.
Pernyataan ini mengandung pengertian bahwa keberlakuan
departmentalism seyogianya kontekstual, tidak dapat digeneralisasi, yaitu
bergantung kepada pokok permasalahan (subject matter) yang masing-masing memiliki karakter sendiri.
Sehubungan dengan kondisi yang terjadi saat ini antara MK dengan badan pemerintahan lainnya atas produk hukum yang telah dikeluarkan. Mahkamah Konstitusi mempunyai 4 kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945 yaitu menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Perlu kita cermati bahwa Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat final…” Artinya, tidak ada upaya hukum
lain yang dapat ditempuh atas putusan MK tersebut (dapat dikatakan putusan MK bersifat final and Binding).50 Oleh karena itu semua pihak termasuk badan-badan pemerintahan lainnya harus patuh dan tunduk terhadap putusan MK tersebut.
50 Bagian Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU No 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi ( Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung
46
Meskipun begitu, pada prakteknya keberlakuan putusan Mahkamah Konstitusi belum dijalankan sepenuhnya oleh badan-badan pemerintahan yang lain. menurut penulis bahwa Badan-badan pemerintahan lainnya merasa norma yang disampaikan konstitusi pada pasal 24C ayat (1) belum jelas tujuannya mengikat untuk siapa. Oleh karena itu sebagai contoh konkrit saat ini, MA melalui kewenangannya yang diberikan UU dapat mengeluarkan SEMA No 7 Tahun 2014 yang sejauh ini dianggap oleh penulis mengabaikan putusan MK No 34/PUU-XI/2013. Putusan MK yang sudah berkekuatan hukum tetap tersebut tidak dapat direalisasikan karena substansi dari isi SEMA bertentangan dengan Putusan MK. Sikap ini dirasa benar oleh MA karena yang diterbitkan oleh MA tersebut ialah salah satu wujud dari interpretasi konstitusi melalui konsep hubungan badan-badan pemerintahan yaitu Departmentalism.
Praktek Departmentalism pada prinsipnya melindungi konsekuensi negatif yang sering terjadi pada saat ini yaitu tirani minoritas. Batasan dari keberlakuan
Judicial supremacy terdapat pada hasil interpretasinya. Jika praktik tersebut
memberikan hasil buruk kepada warga negara berkenaan dengan jaminan terhadap HAM dan badan pemerintahan yang lain tidak setuju dengan hasil itu, badan yudisial tidak dapat berlindung secara sah dibalik konsep judicial supremacy supaya hasil interpretasi konstitusinya legitimate dan berlaku mengikat kepada badan-badan pemerintahan yang lain. akan tetapi sebaliknya, jika interpretasi badan yudisial dalam implementasinya tidak merugikan masyarakat, MA harus dapat dengan bijak menerima dan mendukung atas apa yang telah dilakukan oleh badan
memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh )
47
yudisial. Bukan dengan mengeluarkan kebijakan baru seperti menerbitkan SEMA yang dirasa oleh penulis adalah sebagai sikap penolakan atas putusan MK. Perlu diketahui bahwa Departmentalism hanya mungkin diberlakukan dalam situasi politik hubungan antar badan-badan pemerintahan yang berlangsung normal, yaitu ketika proses politik tidak menghadapi kontroversi konstitusional serius. Artinya, interpretasi konstitusi yang dilakukan bersama-sama oleh badan-badan pemerintahan yaitu legislatif, eksekutif, dan yudisial telah koheren dengan asumsi :
1. Badan-badan pemerintahan tersebut sama-sama terikat oleh konstitusi 2. Badan-badan pemerintahan tersebut menjalankan kewenangannya sesuai
konstitusi
3. Badan-badan pemerintahan tersebut menghasilkan interpretasi konstitusi yang juga compatible dengan dikte konstitusi.51
Atas dasar penjelasan diatas, putusan MK yang sejatinya bersifat final dan mengikat terbukti tidak dapat berlaku bagi MK ketika MA menerbitkan SEMA yang materi muatannya bertentangan dengan putusan MK.Artinya, bahwa putusan MK adakalanya dapat mengikat secara universal yaitu, ketika MA menghormati putusan MK dan tidak menimbulkan pertentangan terhadap putusan MK. Sama halnya dengan badan legislatif, badan legislatif mempunyai fungsi yaitu membentuk undang-undang yang tidak bertentangan dengan HAM. Sedangkan fungsi MK adalah korektif, yaitu menilai kesesuaian undang-undang produk badan legislatif dengan batasan HAM yang telah diberlakukan, jika terjadi pertentangan antara Undang-Undang dengan HAM, Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan
48
undang-undang tersebut. Inilah yang menjadi pertanyaan penulis ketika putusan MK yang telah berkekuatan hukum tetap dan memiliki efek keberlakuan Erga
Omnes dapat diabaikan dengan mudah oleh badan pemerintahan utama lainnya
ketika pandangan dan interpretasinya tidak dapat diterima. Konsep Judicial
Supremacy yang sejatinya sudah terlahir sejak MK terbentuk tidak dapat
direalisasikan.
Setelah penulis sampaikan beberapa sifat dari konsep departmentalism dan
judicial supremacy, dapat ditarik kesimpulan bahwa pada permasalahan hubungan
MK dengan MA terkait kewenangan yang mereka laksanakan, MA menggunakan konsep departmentalism untuk memposisikan dirinya menerbitkan SEMA. Hal tersebut dapat dikatakan legitimate jika memang dirasa produk badan yudisial merugikan masyarakat, akan tetapi jika kontra, tindakan yang dilakukan oleh MA di rasa penulis Inkonstitusional. Mengapa demikian? karena penyelenggaran pemisahan kekuasaan kehakiman dalam rangka menjaga konstitusi (supreme law
of the land) dilaksanakan melalui Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah
Konstitusi yang telah berkekuatan hukum tetap sejatinya memiliki efek keberlakuan yang disebut Erga Omnes. Erga Omnes sendiri bertujuan agar putusan MK dapat berlaku dengan semestinya/seharusnya (mengikat semua orang). Disamping itu, erga omnes menjadi tolak ukur konsep Judicial Supremacy agar badan pemerintahan yang lain dapat menerima produk hukum badan ajudikasi konstitusional. Oleh karena itu, sewajibnya hasil dari pada putusan Mahkamah Konstitusi dapat diterima oleh badan pemerintahan lain sebagai wujud menghormati Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir konstitusi untuk menguji konstitusionalitas undang-undang. Hal-hal terkait pengabaian MA dalam
49
menerbitkan SEMA akan penulis jabarkan lebih seksama pada bab selanjutnya. (Bab-Judul 3).