• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada bagian ini, penulis akan menjelaskan kualifikasi putusan Mahkamah Konstitusi sebagai “undang-undang”. Sesuai kewenangan atribusi yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar, mahkamah konstitusi dalam prakteknya melaksanakan salah satu kewenangannya yaitu menguji undang-undang dibawah undang-undang dasar. Secara formal, putusan MK tetap sebagai putusan dari kekuasaan yudisial. Lebih konkritnya adalah hukum dari sebuah putusan pengadilan (case law). Akan tetapi, dalam menguji konstitusionalitas

35 R.Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara edisi ke-2, Sinar Grafika, Jakarta, 2008,hal 201.

34

undang mahkamah konstitusi sebagai badan yudisial berpartisipasi dalam proses legislatif. Dalam pembentukan undang-undang, legislatif membuat peraturan melalui Proses pembentukan UU yang diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Selain itu, proses pembentukan UU juga diatur dalam UU No. 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Berdasarkan Pasal 10 ayat (1) UU 12/2011, materi muatan yang harus diatur melalui undang-undang adalah:

a. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang; c. pengesahan perjanjian internasional tertentu;

d. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau e. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.

Dalam UU Nomor 12 Tahun 2011, proses pembuatan undang-undang diatur dalam Pasal 16 s.d. Pasal 23, Pasal 43 s.d. Pasal 51, dan Pasal 65 s.d. Pasal 74. Secara garis besar isi daripada pasal-pasal tersebut adalah pembuatan RUU (rancangan undang-undang) oleh DPR, penyusunan prolegnas. Setelah melewati pembahasan dan penyampaian pendapat, sampailah kepada pengambilan keputusan dalam rapat paripurna dan berakhir pada tahap pengesahan RUU untuk menjadi undang-undang.

Pemberlakuan Undang-Undang tidak sedikit menimbulkan kerugian terhadap masyarakat. Warga negara yang merasa haknya dirampas atas permberlakuan aturan tersebut dapat mengajukan judicial review. Oleh karena itu,

35

Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan oleh UUD 1945 untuk menguji konstitusionalitas Undang-Undang terhadap UUD 1945. Menurut penulis pada perkembangannya putusan Mahkamah Konstitusi tidak hanya sebagai putusan badan yudisial akan tetapi masuk ke dalam proses legislasi. Produk hukum yang telah dikeluarkan oleh badan legislatif di uji kembali konstitusionalitasnya oleh Mahkamah Konstitusi yang putusannya bersifat final dan mengikat semua orang. Oleh karena itu penulis akan jelaskan secara signifikan dengan menggunakan teori dan pendapat dari beberapa para ahli hukum bahwa pengujian konstitusionalitas undang-undang yang dilaksanakan oleh mahkamah konstitusi termasuk dalam proses legislatif.

Secara umum model pengujian konstitusionalitas undang-undang ada dua yaitu oleh badan yudisial (judicial review) dan oleh badan non-yudisial (

non-judicial review).36 Pengujian oleh badan yudisial menjadi yang paling lazim dan

popular di negara-negara dunia saat ini untuk menguji undang-undang. Secara kelembagaan ada dua jenis pendekatan dalam pelaksanaan sistem pengujian oleh badan yudisial terhadap konstitusionalitas undang-undang, yaitu pengujian sentralistik dan pengujian yang desentralistik.37 Sistem pengujian sentralistik mengandung pengertian membentuk suatu badan yudisial tersendiri atau khusus dalam rangka pengujian kosntitusionalitas undang-undang (misalnya lembaga the

Federal Constitutional Court di Jerman serta MKRI di Indonesia). MKRI dan

negara-negara lain yang melaksanakan pengujian yudisial secara sentralitik menggunakan konsep American-style Judicial Review dan Kelsen’s Court.

36 Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara,Konstitusi Press, Jakarta,2006

36

Perbedaan antara pengujian yudisial desentralistik model Amerika Serikat dan pengujian yudisial yang sentralistik mengandung beberapa rasio. Pada negara yang tidak menganut asas stare decisis (preseden), model pengujian yang desentralistik kurang berdampak secara ketatanegaraan karena putusannya tidak dapat berlaku secara Erga Omnes, tetapi kebalikannya yaitu Inter partes. Untuk menjawab masalah ini, negara yang tidak menganut asas stare decisis lebih memilih model pengujian yudisial sentralistik. Tidak berlakunya asas Stare decisis akan menimbulkan masalah predictability dan uniformity.38

Seperti diakui oleh Kelsen sendiri, dalam porsi kewenangan yang demikian, hakim menjalankan fungsi politik melakukan Rule-making. Sehingga fungsi ini seyogyianya tidak dijanlankan oleh badan yudisial biasa, tetapi oleh hakim dan peradilan khusus. Hal ini kemudian melahirkan gagasan tentang pembentukan mahkamah kosntitusi yang berbeda dengan peradilan biasa. Karena pencetusnya Kelsen maka peradilan konstitusional tersebut lebih dikenal dengan istilah Kelsen

Court. Mahkamah konstitusi berbeda dengan peradilan biasa karena mahkamah

konstitusi adalah negative legislator. Fungsi negatif legislator hanya sebatas membatalkan legislasi yang bertentangan dengan undang-undang dasar.39

Lebih lanjut Hans Kelsen menegaskan, lembaga peradilan berwenang membatalkan suatu undang-undang atau menyatakan suatu undang-undang tidak mengikat secara hukum.40 Ditambahkan Hans Kelsen sebagai berikut:

38Ibid., hlm. 58

39Ibid, Hlm. 60

40 Hans Kelsen,1973, General Theory of Law and State, Russel & Russel, New York, hal. 268. Dikutip oleh Saldi isra,Pergeseran Fungsi Legislasi, PT Raja Grasindo Persada, Jakarta, 2010 , hlm.295

37

The power to examine the laws as to their constitutionality and to invalidate unconstitutional laws may be conferred, as a more or less exclusive function, on a special constitutional court... The possibility of a law issued by legislative organ being annulled by another organ constitutes a remarkable restriction of the

former’s power. Such a possibility means that there is, besides the positive, a

negative legislator. An organ which may be composed according to a totally

different principle from that of the parliament elected by the people.41

Gagasan itulah yang kemudian meletakkan keniscayaan akan adanya kekuasaan khusus untuk mengontrol hasil legislasi yang dikeluarkan lembaga legislatif. Kemudian, gagasan ini dibaca oleh Bojan Bugaric sebagai upaya Hans Kelsen untuk memunculkan legislatif positif (positive legislature) yang diperankan oleh parlemen, sedangkan model legislatif negatif (negative legislature) diperankan oleh Mahkamah Konstitusi.42 Dengan model ini berarti Mahkamah Konstitusi menjadi bagian yang dapat mempengaruhi proses legislasi di lembaga legislatif. Terkait dengan hal itu, Anna Rotman meneguhkan pandangan Hans Kelsen karena its decisions had the power “to make a statute disappear from the legal

order”.43

Masih tetap merujuk pendapat Hans Kelsen, H.M. Laica Marzuki menegaskan, tatkala constitutional court adalah negative legislator, maka parlemen yang memproduk undang-undang dinamakan positive legislator. Dalam pengertian

41Ibid., Hlm.268-269

42 Bojan Bugaric, 2001, Courts as Policy-Makers: Lessons from Transition, dalam 42nd Harvard International Law Journals, 256., Ibid., Hlm.295

43 Anna Rot a , 2004, Be i ’s Co stitutio al Court : A I stitutio al Model for Guara teei g

Human Rights, dalam Harvard Human Rights Journals, Volume 17, Spring 2004, halaman 286. Lihat juga: Gustavo Fernandes de Andrade, 2001, Comparative Constitutional Law: Judicial Review, dalam 3 U. Pa. Journal Constitutional Law. 977, hal. 983. Ibid.,Hlm.295

38

itu, tambah Laica Marzuki, tidak hanya parlemen yang memiliki legislative

function tetapi juga constitutional court.44

Menjelaskan signifikasi judicial review dalam proses legislasi, Vicky C.jackson dan Mark Tushnet dalam comparative Constitutional Law mengatakan, ketika hakim konstitusi (constitutional judges) melakukan review terhadap hasil proses legislasi, proses pengambilan keputusuannya lebih dekat ke proses pengambilan keputusan legislatif. Bahkan begitu pentingnya peran judicial review dalam proses legislasi Vicky C.jackson dan Mark Tushnet menyebut judicial

review sebagai kamar ketiga dalam proses legislasi. Hal tersebut ditegaskan sebagai

berikut:

As a description of function, constitutional courts exercising politically initiated abstract review can beb conceptualized profitably as a third legislative chambers whose behavior is nothing more or less than the impac t- direct and

indirect- of constitutional review on legislative outcomes.45

Dengan demikian, secara keseluruhan konsep judicial review memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan mekanisme legislasi. Secara teoritik, konsep itu dapat dianggap sebagai pengganti kebutuhan kamar lain di lembaga legislatif. Keberadaannya amat jelas, sebagai pengimbang produk legislasi baik setelah disetujui lembaga legislatif maupun setelah disahkan menjadi undang-undang. Di samping judicial review merupakan jaminan bagi rakyat atas hasil legislasi yang

44 H.M. Laica Marzuki, 2007, Membangun Undang-Undang Yang Ideal, dalam Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 4, No. 2, Juni, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta, hal. 6. Ibid., Hlm.295.

45 Vicki C.Jackson, & Mark Tushnet , 1999 , Comparative Constitutional Law, Foundation Press, New York, hlm.706., ibid. Hlm.295

39

menyimpang dari aspirasi fundamental rakyat.46 Karena itu, judicial review merupakan alat kontrol eksternal dalam proses legislasi.

Kontrol dalam bentuk judicial review menjadi sebuah keniscayaan terutama jika kekuatan mayoritas di lembaga legislatif merupakan pendukung presiden. artinya, Judicial review dapat dikatakan sebagai sarana untuk melakukan purifikasi undang-undang yang dihasilkan lembaga legislatif. Inilah yang menurut Hans Kelsen, "recognized the need for an institution with power to control or regulate

legislation.” Ide dasarnya adalah memurnikan hasil legislasi yang dikeluarkan oleh

lembaga legislatif yang bertentangan dengan konstitusi. Tanpa kontrol dari lembaga yudisial, dengan kuatnya kepentingan politik di lembaga legislatif, sangat terbuka kemungkinan undang-undang merugikan masyarakat. Oleh karena itu, kehadiran MK yang diberikan wewenang untuk melakukan judicial review secara langsung telah ikut mempengaruhi proses legislasi di Indonesia.

Bentuk pengaruh kehadiran kewenangan judicial review dalam fungsi legislasi dapat dikemukakan sebagai berikut :

Pertama, secara langsung mengaplikasikan model purifikasi dan kontrol

second chamber judicial review terhadap model legislasi speerti yang dinyatakan

di atas. MK melalui kewenangan judicial review telah melakukan purifikasi UU yang bertentangan dengan norma dasar (konstitusi). Pada saat yang sama, MK telah menjadi pengontrol bagi kekuasaan legislatif dalam hal kemungkinan adanya kekeliruan baik formal maupun substansial dalam proses legislasi. Artinya, telah terjadi perubahan mendasar atau perubahan kecil pada beberapa undang-undang

46 Tom Ginsburg,2003, Judicial review in New Democracies: Constitutional Courts in Asian cases, Cambridge Univercity Press, hlm.2.,ibid.Hlm.296

40

yang dihasilkan oleh pembentuk undang-undang. hal itu membuktikan, MK telah menunjukkan sebagai negative-legislator.

Kedua, putusan MK mendorong pembentukan peraturan perundang-undangan yang menempatkan MK sebagai salah satu faktor penting dalam program legislasi nasional. Dalam Perpres Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan UU, Rancangan PERPPU, Rancangan PP dan Rancangan Peraturan Presiden dinyatakan:

1. “Dalam keadaan tertentu, pemrakarsa dapat menyusun rancangan Undang-Undang diluar prolegnas setelah terlebih mengajukan permohonan izin prakarsa kepada presiden…”

2. Keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah untuk menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi undang-undang; untuk meratifikasi konvensi atau perjanjian internasional; untuk melaksanakan putusan MK.

Dengan adanya klausul “keadaan tertentu” untuk melaksanakan putusan MK, hasil pengujian akan memberikan dampak langsung terhadap beban kerja legislasi.

Ketiga, telah menimbulkan prinsip prudential (kehati-hatian) pihak membentuk undang-undang ketika membahas rancangan undang-undang. Dalam banyak kesempatan, khususnya dalam pembahasan rancangan undang-undang,

judicial review telah menjadi faktor yang sangat berpengaruh. Pembentukan

undang menjadi lebih berhati-hati dalam merumuskan substansi undang-undang. Sejak kehadiran MK, pembentuk undang-undang selalu menghitung

41

kemungkinan adanya permohonan judicial review.47 Hal itu berarti, kehadiran mahkamah konstitusi membuat pembentuk undang-undang menjadi lebih berhati-hati atas kemungkinan adanya invalidasi undang-undang oleh MK.

Dari pemaparan teori dan berbagai pendapat para ahli yang telah disampaikan diatas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa tidak terlampau keliru jika putusan MK dikualifikasikan sebagai “undang-undang”. Mahkamah Konstitusi sebagai badan yudisial ternyata dapat melakukan tindakan legislatif melalui kewenangannya yang diberikan oleh UUD. Bukan dengan membentuk dan merancang undang-undang melalui lembaran baru, akan tetapi menguji apakah proses legislasi yang dilaksanakan oleh pembentuk undang-undang tersebut sudah tepat dan tidak merugikan masyarakat. MK dapat mengklaim bahwa pengujian konstitusionalitas undang-undang termasuk dalam proses legislasi. Oleh karena itu, produknya, putusan MK, berlaku dan mengikat secara umum kepada semua orang serta badan-badan pemerintahan lainnya. Dan menurut hemat penulis, kekuatan mengikat putusan MK berlaku ‘sama’ dengan kekuatan mengikat suatu undang -undang. Oleh karena itu MK sebagai interpreter konstitusi dari putusan yang dihasilkan dapat disebut sebagai “undang-undang”, yaitu putusan yang mengikat secara umum atas proses legislasi. Untuk mengulas lebih dalam bagaimana hubungan Mahkamah Konstitusi dengan badan-badan pemerintahan utama lainnya, penulis akan menjabarkan lebih rinci pada sub-bab berikutnya pada penulisan ini

(Infra Sub-Judul C).

42

C. Hubungan Mahkamah Konstitusi dengan Badan

Dokumen terkait