• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemerintahan

Dalam dokumen ONDERAFDEELING PADANG EN BEDAGEI ( ) (Halaman 40-161)

BAB II PADANG DAN BEDAGEI SEBELUM TAHUN 1887

2.3 Pemerintahan

Padang dan Bedagei merupakan wilayah administrasi berbentuk kerajaan melayu yang berada di Pantai Timur Sumatera. Di mana kekuasaan tertinggi berada di tangan seorang raja sekaligus sebagai pemimpin kerajaan.37 Kedua kerajaan itu berdiri secara otonom tanpa adanya pengaruh dari bangsa asing.

35 Ibid., hal. 71.

36 Atika Putri Ananda, Op.cit., hal. 26. Lihat juga: Edi Sumarno, Op.cit., hal. 801.

37 Sistem pemerintahan swapraja yang dipimpin oleh seorang raja telah ada sebelum masuknya pengaruh dan kekuasaan Belanda. Permukiman kecil di sepanjang pantai yang hampir tidak berpenghuni yang memiliki kepala kampung, menganggapnya sebagai raja mereka. Kepala itu memerintah secara otokratis, mengambil gelar dengan atau tanpa persetujuan dari orang-orang yang dapat dilindunginya. Biasanya kepala kelompok ini yang akan mengajukan diri atau menjadi sasaran pertempuran yang menjadi alasan untuk diangkat sebagai raja. Lihat: J.J. Mendelaar, Memorie van Overgave van het Bestuur over de Onderafdeeling Padang en Bedagei, Afdeeling Deli en Serdang, Residentie Sumatra’s Oostkust, 1930, hal. 33.

Umumnya, pemerintahan swapraja di Sumatera Timur dikenal dengan sistem pemerintahan kesultanan sebuah Kerajaan Melayu yang dipimpin oleh pemimpin bergelar Sultan38 dan bersifat turun-temurun. Akan tetapi, penyebutan ini berbeda di Kerajaan Padang yang bergelar Maharaja Muda dan Kerajaan Bedagei bergelar Pangeran.39 Penyebutan gelar tentunya dipengaruhi sistem pemerintahan di masing-masing kerajaan tersebut. Di mana Kerajaan Padang didirikan oleh Saragih Dasalak atau Umar Baginda Saleh40 yang baru menginjak usia dewasa. Sedangkan di Kerajaan

38 Umumnya, pemerintahan di Sumatera Timur dipimpin oleh seorang Sultan yang berdaulat atas wilayah kekuasaan yang dimilikinya. Sultan memiliki wewenang yang menentukan keputusan di pemerintahannya dan atas mandat darinya seseorang harus tunduk dan mematuhi kehendak perintahnya. Penyebutan Sultan biasanya bagi penguasa di kerajaan Melayu atau kerajaan Islam.

Keberhasilan kesultanan cenderung dilihat dari keberhasilan dan kecakapan seorang Sultan dalam menjalankan roda pemerintahan di samping keberanian melawan musuh di medan perang serta dapat dilihat dari wilayah kekuasaannya. Selama menjalankan roda pemerintahannya sultan akan didampingi pejabat-pejabat kerajaan yang secara hirarki menduduki fungsi-fungsi tertentu pada birokrasi pemerintahan. Pejabat pemerintahannya cenderung diisi oleh orang-orang yang memiliki hubungan tali persaudaraan dengan sultan dan mereka dilantik serta diberikan gelar-gelar tertentu sesuai tingkatan dan rendahnya jabatan yang akan diduduki mereka dalam jabatannya. Dalam pemerintahannya, Sultan memegang kekuasaan tertinggi kemudian di bawahnya terdapat bendahara yang merupakan seorang menteri tunggal yang berkuasa secara penuh dan merangkap sebagai kepala harian dan orang-orang pembesar kesultanan. Di bawah bendahara terdapat temenggung yang bertugas untuk menjalankan eksekusi, menangkap penjahat, mendirikan penjara, seperti menjalankan tugas seorang jaksa dan kepala polisi. Selain itu, temenggung juga berfungsi menggantikan posisi kepala urung ketika sedang berhalangan atau sakit. Selanjutnya adalah panglima perang kerajaan yang bertugas sebagai panglima angkatan laut yang disebut laksamana dan panglima angkatan darat yang disebut hulubalang. Posisi jabatan selanjutnya adalah syahbandar yang bertugas mengurus sumber keuangan kesultanan, dari usaha-usaha memungut bea cukai barang-barang masuk dan keluar, termasuk bea cukai tongkang-tongkang atau kapal-kapal yang masuk ke wilayah kekuasaan kesultanannya.Jabatan lainnya adalah yang mengatur bidang keagamaan yang disebut imam paduka tuan atau mufti sebagai penasihat kesultanan dan dapat memberikan informasi fatwa-fatwa agama. Lihat: Henri Dalimunthe, op.cit., hal.

42-44.

39 A.A. Noost, Memorie van overgave van het bestuur der residentie Oostkust van Sumatra, Sumatra, 1896. hal 15.

40 Terdapat dua versi mengenai pendiri kerajaan Padang yang didirikan Saragih Dasalak atau Umar Baginda Saleh. Pertama, Saragih Dasalak adalah keturunan seorang keturunan Simalungun. Di mana Kampung yang pada awalnya dipimpin oleh Saragih Dasalak adalah Tongkah (Nagaraja) yang kemudian wilayah itu disebut dengan Padang.Di mana kerajaan ini merupakan pecahan dari kerajaan Nagur yang beragama Hindu. Ia pernah membantu kawannya Peresah untuk merebut takhta Nagur.

Jika dilihat dari letak geografisnya Kerajaan Padang dekat dengan Kerajaan Raya yang merupakan kerajaan Simalungun bermarga Saragih. Hal ini yang membuat kedua kerajaan ini memiliki hubungan

Bedagei, pengunaan gelar Pangeran baru digunakan sejak menjabatnya Tengku Pangeran Sulung Laut41 di tahun 1872 dengan gelar Pangeran Kelana.42

Kerajaan Padang dan Kerajaan Bedagei pernah menjadi satu wilayah pemerintahan ketika menjabatnya Lamkanudin. Ia berhasil mengusir saudaranya Syahdewa dari takhta Kerajaan Padang sehingga menjadikannya sebagai Raja Padang dan Bedagei.43 Namun setelah ia meninggal, kedua kerajaan tersebut terpisah kembali di mana Kerajaan Padang menjadi takhlukan Kerajaan Serdang sedangkan Kerajaan Bedagei menjadi takhlukan Kerajaan Deli. Sejak saat itu kedua kerajaan tersebut sering menjadi perebutan antara Kerajaan Deli dan Kerajaan Serdang. 44

sangat dekat. Kedua kerajaan ini memiliki komoditas ekspor sehingga memungkinkan keduanya melakukan perdagangan hingga ke daerah pesisir. Untuk menjalin kerja sama perdagangan antara wilayah pedalaman dengan daerah pesisir maka Raja Saragih Dasalak harus menyesuaikan dengan budaya pesisir. Maka sekitar tahun 1630 Saragih Dasalak menjadi melayu dan menggunakan nama Umar Baginda Saleh. Kedua, dijelaskan bahwa Saragih Dasalak adalah pelarian Aceh yang menetap di Bandar Kalipah. Sewaktu ia kecil Bandar Kalipah diserang Aceh yang menyebabkan kampung Bandar Kalipah menjadi hancur. Untuk menyelamatkan Umar Baginda Saleh, ia dititipkan kepada Raja Raya dan dibesarkan di sana. Setelah dewasa ia mohon diri kepada Raja Raya untuk mendirikan sebuah

42 Setidaknya di Kerajaan Padang telah dipimpin oleh 10 generasi hingga tahun 1887, yakni Umar Baginda Saleh (awal abad XVII-1656), Marah Sudin, Raja Saladin, Raja Adam, Raja Syahdewa, Raja Sidin, Raja Tebing Pangeran (1802-1823) dan Marah Hakum Raja Geraha Negeri Padang (1823-1870). Tengku Haji Muhammad Nurdin 1870-1885, dan Sultan Sulaiman (asal Deli). Sedangkan Kerajaan Bedagei telah dipimpin oleh 9 generasi, yakni Lamkanuddin dengan gelar Sutan Magedar Alam, Syahdewa (asal Kerajaan Padang), Nachoda Gundak (asal Deli), Nachoda Rahmat bergelar Syahbandar Putera Raja Negeri Deli, Muhammad Basir, Panglima Daud (asal Deli), Datuk Ahmat Yuda (wazir Negeri Serdang di Bedagei), Datuk Setia Maharaja Mohammad Akip (wazir Deli di Bedagei), dan Tengku Sulung Laut bergelar Pangeran Kelana. Lihat: Ibid., hal. 109. Lihat juga: Danil Ahmad, dkk, Op.cit., hal 21-23.

43 Tengku Lukman Sinar, Op.cit., hal. 111.

44 Danil Ahmad, dkk, Op.cit., hal. 23.

Perpecahan kedua kerajaan tersebut terjadi ketika penyerangan terhadap Kerajaan Padang yang dilakukan oleh Raja Muda Mustafa dan Nahkoda Gundak.

Namun, penyerangan itu berhasil dihentikan Kerajaan Serdang dan memenjarakan mereka berdua di Serdang. Kemudian, Panglima Hitam Lakim anak dari Nahkoda Gundak berhasil melarikan diri dan meminta bantuan ke Deli. Deli lalu mengirim pasukan di bawah pimpinan Nahkoda Rahmat dan Nahkoda Jafar. Dari penyerangan itu Deli dapat merebut Tanjung Beringin (Bedagei) dan mengangkat Nahkoda Rahmat menjadi Raja Bedagei. Setelah Nahkoda Rahmat meninggal, ia digantikan anaknya Muhammad Basir sebagai Raja Bedagei, sementara di Kerajaan Padang dipimpin oleh Marah Titim. Kekalahan yang dialami Kerajaan Serdang tersebut sehingga secara definitif membuat Kerajaan Padang dan Kerajaan Bedagei menjadi taklukan Kerajaan Deli. 45

Pada tahun 1854 Kerajaan Aceh melakukan penyerangan terhadap Kerajaan Deli. Dari penyerangan itu Aceh berhasil menaklukkan Deli dengan bantuan dari Kerajaan Serdang. Atas jasanya tersebut Sultan Aceh memberikan gelar wazir Sultan Aceh kepada Sultan Serdang. Selain itu, Kerajaan Serdang diberikan wilayah jajahan Kerajaan Deli yakni Percut, Bedagei dan Padang. Maka sejak saat itu secara definitif Kerajaan Padang dan Kerajaan Bedagei menjadi taklukan Kerajaan Serdang. 46

45 Danil Ahmad dkk, Op.cit., hal. 23.

46 Pada tahun 1854, Sultan Aceh mengirimkan lebih dari 200 armada ke Deli dan berhasil menaklukkannya. Kerajaan Deli yang pada saat itu dipimpin oleh Sultan Usman harus tunduk kepada Aceh dan mengubah gelarnya menjadi wakil Sultan Aceh. Lihat: W.H.M. Schadee, Geschiedenis van Sumatra’s Oostkust Deel I, Amsterdam: Oostkust van Sumatra-Instituut, 1918, hal. 106. Lihat juga: E.

Netscher, Togjes in het gebied van Riouw en Onderhoorigheden dalam TBG, Batavia: Lange & Co, 1864, hal. 350.

Berakhirnya kekuasaan Deli di Padang dan Bedagei ternyata memberikan dampak positif bagi kedua kerajaan tersebut. Kedua kerajaan tersebut mulai membangun wilayahnya dengan melakukan monopoli perdagangan lada yang sebelumnya dikendalikan oleh Kerajaan Deli. Namun, hal ini membuat pelabuhan pagurawan mengalami kemunduran karena perdagangan lada yang banyak dihasilkan dari wilayah pedalaman Simalungun langsung dikirim melalui Pelabuhan Bandar Kalipah dan Tanjung Beringin. Oleh karena itu, Pagurawan yang dibantu oleh Tanjung dan Asahan melakukan penyerangan ke Padang dan Bedagei.

Kerajaan Asahan mengirim pasukan beserta amunisinya ke Padang dan Bedagei. Sementara Kerajaan Serdang tidak dapat membantu mereka karena Belanda telah masuk ke Sumatera Timur dan melakukan penyerangan terhadap Kerajaan Serdang. Hal ini yang menyebabkan Kerajaan Padang dan Kerajaan Bedagei meminta bantuan kepada Deli. Namun, peperangan yang terjadi antara Deli dan Asahan menimbulkan banyak korban sehingga Deli meminta bantuan kepada Belanda untuk mengatasi permasalahan tersebut. Tidak lama kemudian Asahan dapat ditundukkan oleh Belanda. Kemudian, penaklukan itu disusul dengan Kerajaan Serdang yang berhasil ditundukan di tahun 1871. Dengan penaklukan Serdang oleh Belanda, maka secara definitif Padang dan Bedagei juga berhasil menjadi taklukan Belanda dan atas saran dari Residen Schiff kedua kerajaan itu dimasukkan ke dalam wilayah Deli. 47

47 Besluit van den Gouverneur-Generaal van Nederlandsh-Indië van den 25 Agustus 1865 No.

1, ANRI. Lihat juga: “Een Terugblik op Sumatra‟s Oostkust”, dalam Sumatra Courant No. 76, Rabu, 22 September 1875, hal. 2.

Setelah menjadi bagian dari wilayah Kerajaan Deli, hubungan di antara Kerajaan Padang dan Kerajaan Bedagei dengan Kerajaan Deli semakin membaik.

Namun, membaiknya hubungan tersebut menimbulkan sikap ketidaksenangan dari Kerajaan Raya yang merupakan kerabat dari Kerajaan Padang. Ketidaksenangaan itu didasari karena Kerajaan Deli menjalin hubungan dengan Pemerintah Belanda, di mana sejak awal Kerajaan Raya tidak menyukai pemerintahan Belanda di Sumatera Timur khususnya di Padang. Ditambah lagi hasutan yang dilakukan oleh Syahbokar putra Marah Titim sehingga Raja Raya melakukan penyerangan terhadap Kerajaan Padang. Namun, penyerangan itu dapat dihentikan oleh Tengku Muhammad Nurdin secara kekeluargaan.

Penyerangan Kerajaan Raya kembali terjadi ketika Sultan Deli mencopot kedudukan Tengku Muhammad Nurdin dari takhta Kerajaan Padang. Ia juga memenjarakan Raja Padang dan mengantikan posisi di Kerajaan Padang dengan seorang kerabatnya.48 Pencopotan ini didasari karena sikap menentangnya Raja Padang terhadap Sultan Deli49. Melihat kesempatan itu maka Belanda menghasut Sultan Deli agar mengganti kedudukan Kerajaan Padang karena sulitnya

48 Umumnya pemerintahan di Sumatera Timur, raja akan menempatkan anggota keluarga atau orang kepercayaannya pada posisi tertentu seperti Panglima Perang, Laksamana, Syahbandar, Temenggung, Bendahara dan lain-lain yang bertujuan untuk memperkuat pengaruh atau memperluas kekuasaan dengan area yang lebih luas di wilayah takhlukannya. Lihat: J.J. Mendelaar, Op.cit., hal. 33.

49 Sikap menetang Raja Padang terhadap Sultan Deli adalah karena disebabkan Raja Padang ingin menikahkan putranya Tengku Barahman dengan putri dari Syahbokar. Hal ini dilakukan agar tidak ada dukungan terhadap kerabat Syahbokar atas klaim takhta Kerajaan Padang. Namun, karena gadis itu masih terlalu muda, ia dibawa ke Kerajaan Padang dan menetap di sana. Setelah dua tahun menetap di Kerajaan Padang, datanglah utusan Kerajaan Deli ke Kerajaan Padang bernama Tengku Ahmad. Kedatangannya ke Kerajaan Padang bertujuan agar Raja Padang menyerahkan gadis itu kepada Sultan Deli yang ingin menikahkannya dengan seorang putranya untuk memperkuat klaimnya terhadap Kerajaan Padang. Namun, hal itu ditolak Raja Padang sehingga mengakibatkan Sultan Deli marah dan memanggilnya ke Medan. Lihat: Ibid., hal. 18.

mendapatkan konsesi lahan perkebunan di wilayah itu. Mendengar berita pencopotan itu membuat Raja Raya menjadi semakin marah dan segera mengirim pasukan ke kerajaan Padang.50

Kerajaan Raya melakukan penyerangan terhadap pemerintah Belanda dan Melayu dengan membakar gudang-gudang tembakau dan menguasai kampung-kampung yang dilaluinya. Bahkan mereka melakukan pembunuhan terhadap penduduk Eropa dan Melayu di sepanjang perjalanan yang mereka lalui. Tentunya aksi ini membuat kerugian bagi pengusaha dan mengancam keselamatan penduduk di wilayah itu. Maka untuk mengawasi pergerakan yang dilakukan oleh Raya tersebut, ditempatkanlah seorang kontrolir di Tebing Tinggi. 51

50 Ibid.

51 Danil Ahmad, dkk, Op.cit., hal. 28.

BAB III

LATAR BELAKANG BERDIRINYA ONDERAFDEELING PADANG EN BEDAGEI

Pembentukan suatu wilayah administasi tentu memiliki penyebab atau alasan yang melatarbelakanginya. Pada bab ini akan dijelaskan latar belakang terbentuknya Onderafdeeling Padang en Bedagei. Di mana terdapat beberapa hal yang menjadi faktor pendorong dalam pembentukan wilayah administrasi tersebut.

Pada bab ini dijelaskan mengenai latar belakang berdirinya Onderafdeeling Padang en Bedagei yang berawal dari ekspansi perkebunan di wilayah Sumatera Timur. Ekspansi ini meluas hingga ke berbagai wilayah termasuk Padang dan Bedagei. Kemudian di dalam bab ini juga menjelaskan mengenai upaya Belanda untuk mengekang perlawanan dari Simalungun khususnya Kerajaan Raya yang dianggap telah merugikan dan mengancam keselamatan onderneming serta penduduk Eropa dan Melayu di wilayah itu. Selain itu, sebagai landasan hukum berdirinya Onderafdeeling Padang en Bedagei, dalam bab ini akan menjelaskan mengenai reorganisasi pemerintahan di Keresidenan Sumatera Timur. Rorganisasi ini yang berpengaruh terhadap penerbitan Lembaran Negara resmi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda setiap tahunnya. Lembaran Negara tersebut berisikan tentang pengaturan baru mengenai pembentukan wilayah-wilayah di Keresidenan Sumatera Timur.

3.1 Ekspansi Perkebunan di Wilayah Padang dan Bedagei

Pada tahun 1863, di Sumatera Timur telah mulai berkembang ekonomi perkebunan yang dipelopori oleh seorang pengusaha berkebangsaan Belanda bernama Jacobus Nienhuys.52 Untuk membuka lahan perkebunan tersebut, Nienhuys berhasil mendapatkan lahan seluas 4000 bau53 dari Sultan Deli yang terletak sedikit ke hulu Labuhan di tepi Sungai Deli.54 Di wilayah itulah Nienhuys mulai mengembangkan perkebunan tembakaunya. Untuk pertama kalinya di tahun 1864, Nienhuys berhasil mengirim tembakau sebanyak 50 bal55 ke Rotterdam dan menerima pendapatan sebesar f 4000.56 Pengiriman itu mendapatkan hasil yang memuaskan sehingga permintaan akan daun tembakau menjadi semakin meningkat. Oleh karena itu, Nienhuys diminta untuk terus mengembangkan perkebunan tembakaunya di Sumatera Timur. 57

Untuk mengembangkan usaha perkebunan tembakaunya di Sumatera Timur, Nienhuys membutuhkan modal yang sangat besar. Hal ini yang mendorongnya untuk mencari dana dengan meyakinkan bank Nederlandshe Handel-Maatschappij untuk menanamkan modalnya pada perkebunan tembakau miliknya. Usaha yang dilakukan

52 Kedatangan Nienhuys ke Sumatera Timur karena dibawa oleh Pangeran Said Abdullah Ibn Umar Bilsagih. Said mengatakan bahwa terdapat tembakau dengan kualitas terbaik yang berada di tanah Deli sehingga mendorong Nienhuys datang ke wilayah ini. Selain itu, ia juga membantu Nienhuys untuk mendapatkan kontrak tanah pada Sultan Deli. Lihat: Karl J. Pelzer, Toean Keboen dan Petani, Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria di Sumatera Timur 1863-1947, Jakarta: Sinar Harapan, 1985, hal. 51.

53Bau adalah ukuran luas tanah, 1 bau sama dengan 7, 0965 meter persegi atau 0, 79 hektar.

54 Ibid., hal. 53. Lihat juga: W.H.M. Schadee, Geschiedenis van Sumatra’s Oostkust Deel I,

oleh Nienhuys tersebut dibantu oleh rekannya yaitu P.W. Janssen, Clemen serta J.T.

Cremer.58 Ternyata usaha yang dilakukan Nienhuys dan rekan-rekannya tidak sia-sia.

Mereka berhasil mendapatkan modal sehingga dapat mendirikan sebuah perusahaan tembakau bernama Deli-Maatschappij. 59

Deli-Maatschappij merupakan sebuah perusahaan perseroan terbatas pertama yang beroperasi di Hindia Belanda. Berdirinya perusahaan tersebut memberikan perkembangan yang sangat pesat bagi perkebunan di Sumatera Timur. Setidaknya pada tahun 1872, terdapat lima belas perkebunan tembakau yang telah berdiri di sana, antara lain 13 di Deli, 1 di Langkat dan 1 di Serdang. Selain itu, perkembangan perkebunan tersebut juga didukung oleh investasi modal Eropa yang semakin meningkat. Hal ini dapat dibuktikan dari peningkatan produksi tembakau yang terjadi pada tahun 1860-1870 sebanyak dua kali lipat dari 1381 sampai 2868 bal. Kemudian pada tahun 1873-1883, produksi tembakau terus mengalami peningkatan secara signifikan hingga 10 kali lipat dari 9238 menjadi 93.532 bal. Jumlah produksi tembakau ini tentunya mempengaruhi pendapatan perkebunan yang meningkat dari f 2.500.000 menjadi f 19.150.000.

Keberhasilan Nienhuys tersebut mendorong para pengusaha lainnya untuk melakukan budidaya tembakau di wilayah Sumatera Timur. Dengan semakin banyaknya pengusaha yang melakukan budidaya tembakau di wilayah itu sehingga mengakibatkan kontrak-kontrak di berbagai wilayah seperti Langkat, Deli dan

58Jan Breman, Menjinakkan Sang Kuli Politik Kolonal Pada Awal Abad Ke-20, Jakarta: PT Pustama Utama Grafiti, 1997, hal. 26.

59Karl J. Pelzer, Op.cit., hal. 58.

Serdang mengalami peningkatan. Namun, banyaknya kontrak yang dibuat tidak sebanding dengan ketersediaan lahan di wilayah-wilayah itu. Hal ini yang mendorong para pengusaha untuk mencari wilayah lainnya seperti Padang, Bedagei, Batu Bara, Labuhan Batu, Asahan, bahkan Siak untuk ditanami tembakau.60 Hingga di tahun 1884, di Sumatera Timur telah berdiri 76 perkebunan, yakni 44 di Deli, 20 di Langkat, 9 di Serdang, 2 di Bedagei dan 1 di Padang.61

Tabel 1. Perkebunan di Padang dan Bedagei Hingga Tahun 1886

No. Lanskap Perkebunan Pengusaha atau

A.G.J. Cristiansen 1000 16-11-1960 Tembakau H.C.R. Robert o.en

a.

500 16-11-1960 Tembakau

J.W. Cramerus 1000 16-11-1960 Tembakau

3. Padang Tebing

Sumber: Regeerings Almanak voor Nederlandsch-Indie over het Jaar 1886, hal. 246.

60W.H.M. Schadee, Geschiedenis van Sumatra’s Oostkust Deel II, Amsterdam: Oostkust van Sumatra-Instituut, 1919, hal. 181-182.

61Suprayitno. “ Medan Sebagai Kota Pembauran Sosio Kultur di Sumatera Utara Pada Masa Kolonial Belanda”. Dalam Historisme No. 21. Agustus 2005, hal. 3.

Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa terdapat 3 buah perkebunan di Padang dan Bedagei yang masing-masing 1 di Padang dan 2 di Bedagei. Di Padang telah berdiri perkebunan Tebing Tinggi Estate yang terdiri dari 3 administrator dengan lahan seluas 3800 bau, sedangkan di Bedagei telah berdiri 2 perkebunan yaitu Perkebunan Blidaan dengan 1 administrator dan Perkebunan Rambung dengan 7 administrator dengan luas 15.000 bau. Dengan demikian, jumlah dan luas perkebunan di Bedagei lebih banyak daripada di Padang. 62

Gambar 3. Foto Tuan Robert ketika pembukaan perusahaan onderneming Arendsburg di Lanskap Bedagei.

Sumber: Koleksi Digital Universitas Leiden (Diakses pada:

http://hdl.handle.net/1887.1/item:927724)

62 Regeerings Almanak voor Nederlandsch-Indie over het Jaar 1886, hal. 246.

Dari gambar di atas, dapat dilihat bahwa telah dilakukan kunjungan oleh Tuan Robert sebagai salah seorang administrator di perkebunan Rambung di lanskap Bedagei yang ingin membuka perkebunan tembakau di wilayah itu.

Sementara di wilayah Padang dan Bedagei, awal pembukaan perkebunan diprakarsai oleh Naeher dan Grob. Mereka merupakan pengusaha perkebunan yang sebelumnya telah membuka beberapa perkebunan di Serdang seperti Patumbak, Tanjung Morawa, Tanjung Morawa Kiri, Dolok Raga dan Sungai Behasa.

Pada tanggal 18 Maret 1881, Naeher dan Grob telah memperoleh kontrak tanah dari Sultan Deli untuk wilayah Padang dan Bedagei, tetapi persetujuan penguasa lokal belum diberikan.63 Persetujuan dari pemerintah lokal yang pertama diberikan oleh Kerajaan Bedagei, sedangkan persetujuan untuk kontrak tanah di Tebing Tinggi dari lanskap Padang masih belum diberikan. Namun, dengan kekuasaan penuh yang dipegang oleh Belanda di Sumatera Timur terutama dalam urusan di Kerajaan Deli beserta wilayah taklukannya, sehingga kontrak tanah di Tebing Tinggi dengan mudah didapatkan oleh pihak Belanda. Meskipun demikian, mereka tidak mengetahui apakah dengan membuka lahan perkebunan tersebut dapat menjamin keamanan di wilayah itu.

63Setiap pengusaha harus meminta persetujuan penduduk atau pemerintah lokal yang memiliki lahan yang akan digunakan untuk perkebunan. Persetujuan itu bertujuan agar lara pengusaha dapat memperoleh konsesi lahan dan jaminan keamanan bagi berlangsungnya pembukaan perkebunan.

Sultan Deli memberikan kontrak tanah kepada pengusaha karena menganggap tahan daerah jajahannya adalah milikinya. Lihat: W.H.M. Schadee, Op.cit., hal. 30.

Gambar 4. Pembukaan Lahan Perkebunan Baru di Lanskap Bedagei

Sumber: Koleksi Digital Universitas Leiden (diakses dari:

http://hdl.handle.net/1887.1/item:923447)

Dari gambar di atas, dapat dilihat bahwa untuk melakukan budidaya tembakau di Padang dan Bedagei, para pengusaha harus membuka lahan baru dengan menebang hutan. Pada tahun 1882, mulai dilakukan pembukaan perkebunan di Padang dan Bedagei, tepat setelah mendapatkan konsesi atas tanah di kedua wilayah tersebut.

Untuk memberikan keamanan kepada pihak perkebunan di wilayah Padang dan Bedagei, maka pada bulan Mei 1882 pemerintah Belanda melakukan pengawasan dengan mengirimkan Kontrolir Labuhan dan Serdang ke wilayah itu.64 Namun, kedua

64Ibid., hal. 104.

kontrolir itu tidak dapat melakukan pengawasan terhadap kedua wilayah itu secara langsung. Oleh karena itu, mereka membentuk sebuah komite yang bertujuan untuk mengamati dan mengawasi segala yang terjadi di wilayah itu. Adapun tugas dari komite tersebut adalah sebagai berikut:

1. Untuk memeriksa apakah dan sejauh mana kondisi sudah matang untuk masuknya pengusaha swasta;

2. Untuk menyelidiki apakah para penguasa setempat ingin menerima pemberian pajak dari pihak Belanda, dan

3. Untuk merancang pengaturan batas yang lebih baik antara kedua lanskap.

Berkenaan dengan poin pertama, komite tidak terlalu mengkhawatirkan reaksi penduduk sekitar terutama orang-orang Simalungun karena lahan yang diberikan

Berkenaan dengan poin pertama, komite tidak terlalu mengkhawatirkan reaksi penduduk sekitar terutama orang-orang Simalungun karena lahan yang diberikan

Dalam dokumen ONDERAFDEELING PADANG EN BEDAGEI ( ) (Halaman 40-161)

Dokumen terkait