• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada sub bab ini dipaparkan perspektif teoritik yang digunakan dalam rangka mengkaji masalah yang dikemukakan dalam studi perdamaian ini. Perdamaian menurut orientasi konflik; diartikan sebagai konteks bagi konflik-konflik untuk disingkap secara kreatif dan tanpa kekerasan. Untuk mengetahui mengenai perdamaian, dapat terlebiih dahulu dimengerti mengenai konflik dan bagaimana konflik mengalami transformasi, biasanya dilakukan tanpa kekerasan serta secara kreatif. Perdamaian adalah transformasi konflik kreatif non kekerasan (Galtung, 2003:21-22) Studi ini dapat dengan mudah dipahami bagaimana dimensi perdamaiannya jika terlebih dahulu dipahami pula bagaimana peta konflik perebutan sumber daya yang pernah berlangsung. Untuk itu pada sub bab ini dijelaskan teori pemetaan konflik yang digunakan sebagai tinjauan pustaka dalam menganalisis konflik pada studi yang dikaji ini.

Pemetaan konflik adalah langkah dalam melihat peta konflik dengan cara memahami sikap, perilaku, dan situasi yang terjadi dalam perkembangan konflik. Menurut Fisher pemetaan konflik adalah serangkaian pemetaan pihak berkonflik dan berbagai pendapat dari pihak-pihak yang terkait dengan konflik yang sedang terjadi.

Ketika masyarakat yang memiliki sudut pandang yang berbeda memetakan situasi mereka secara bersama, mereka saling mempelajari pengalaman dan pandangan masing-masing. (Fisher dalam Novri, 2009:88)

Pemetaan adalah suatu cara yang dipakai mendeskripsikan konflik dengan menghubungkan pihak satu dengan pihak yang lainya pada pada persoalan yang telah terjadi. Pemetaan konflik berusaha menghadirkan analisis secara terstruktur terhadap konflik yang terjadi pada saat tertentu.

Setiap peta konflik tertentu harus dipahami mewakili pandangan para pengarang, dan sebagai sebuah skema, lebih bersifat indikatif ketimbang bersifat menyeluruh. (Miall dalam Novri, 2009:88)

Wehr dan Bartos juga menawarkan teknik-teknik yang dapat digunakan dalam memetakan konflik. Pertama kali yang dilakukan adalah menulusuri informasi mengenai sejarah konflik, bentuk fisik, dan tata organisasi dari pihak yang berkonflik. Menurut Wehr dan Bartos, konflik ini tidak muncul diruang hampa. Artinya pasti ada aktor yang aktif menggerakan situasi hingga terbentuklah relasi konflik. Pemetaan konflik bisa dilanjutkan dengan mencari pihak-pihak yang terlibat dalam situasi konflik. Pihak yang utama adalah mereka yang berperilaku dengan tindakan-tindakan koersif dan memiliki kepentingan dari terjadinya konflik tersebut. selanjutnya adalah pihak konflik sekunder, yakni pihak yang memiliki kepentingan tidak langsung dari terjadinya konflik, sedangkan pihak konflik yang ketiga adalah aktor yang netral dan berposisi sebagai pengupaya proses resolusi konflik.(Novri, 2009:89)

Pemetaan adalah langkah pertama in conflict management. Dalam buku-buku teks konflik resolusi disebutkan bahwa pemetaan konflik membuat para pihak yang bertikai maupun intervenor (yang melakukan intervensi–dalam arti positif mediator, dalam arti negatif provokator) mendapatkan pemahaman yang lebih jelas mengenai akar konflik, nature dan dinamika konflik serta berbagai kemungkinan untuk mengakhiri atau memperpanjang konflik.

Perlu disadari bahwa bagaimanapun juga konflik adalah sebuah proses sosial yang berubah terus menerus. Karenanya, pemetaan konflik juga harus dilakukan berulang-ulang. Dalam beberapa tulisan mengenai resolusi konflik, seperti Kenneth E. Boulding (pengantar untuk Conflict Regulation karya Paul Wehr), disebutkan bahwa peta konflik yang baik hendaklah meliputi conflict history, conflict context, conflict parties, issues, dynamics, dan alternative routes to solution. Hal lain yang menurut Boulding penting untuk disertakan pada peta itu adalah kemungkinan berbagai conflict regulation dan the using of the map.

Conflict history memuat berbagai akar konflik dan peristiwa-peristiwa besar yang menandai perjalanan konflik dari waktu ke waktu. Hal ini penting untuk mengetahui mana yang merupakan hasil relasi interaktif antar-pihak yang terlibat dalam konflik (termasuk pihak ketiga), dan mana yang merupakan the origin conflict. Sementara bagian conflict context idealnya menjelaskan lingkup dan karakter konteks maupun setting yang melahirkan dan melatari konflik. Mulai dari wilayah geografi, struktur politik, berbagai bentuk relasi (sosial, politik dan ekonomi), juga badan-badan otoritas, pola komunikasi dan jaringan, proses pengambilan keputusan di tingkat lokal, nasional, dan internasional. (Teguh, 2008:24)

Penjelasan mengenai pihak-pihak yang terlibat dalam sebuah konflik juga memegang peranan penting. Peneliti konflik yang baik mestilah mampu membedakan para pihak dan peranan mereka dalam medan konflik. Kesalahan membaca siapa melakukan apa dan memperoleh apa dari sebuah medan konflik yang penuh intrik dan tarik menarik akan membuat peta konflik tak berguna sama

sekali. Setidaknya ada tiga jenis pihak dalam sebuah medan konflik. Primary party adalah pihak yang memiliki tujuan jelas dari konflik tersebut. Kelompok ini tampak secara terang-terangan melakukan aksi untuk menarik kepentingan dari pihak lawan. Secondary party adalah pihak yang tidak terlibat langsung, namun jelas memiliki kepentingan yang juga tidak sedikit dalam sebuah konflik. Dalam kenyataan, primary dan secondary party ini dapat berubah posisi satu sama lain, tergantung pada perkembangan konflik. (Santosa,2008:10)

Pihak ketiga atau interested third party adalah pihak yang memiliki kepentingan terhadap hasil akhir dari konflik: apakah perdamaian atau perluasan konflik. Sekarang mengenai issues dalam konflik. Umumnya konflik muncul menyusul satu atau lebih keputusan politis yang tak memuasakan, disusul oleh keputusan politis yang juga tak memuaskan sebagai perlawanan. Issues atau inti persoalan dapat diidentifikasi berdasar pada, setidaknya tiga penyebab utama: ketidaksepakatan mengenai what is, ketidaksepakatan mengenai what is should be, dan ketidaksepakatan mengenai who will get what. (Jamil,2007:33)

Hampir semua konflik sosial memiliki pola dinamika yang sama. Mulai dari dinamika yang tampak dipermukaan, dinamika yang muncul, berubah dan dikembangkan, dinamika polarisasi, dinamika yang berputar seolah meninggalkan medan konflik namun sebenarnya kembali masuk menusuk, dan dinamika yang dihasilkan oleh praduga-praduga atau stereotyping and mirror-imaging.

2.3.1 Jenis dan Tipe Konflik

Jenis konflik yang terjadi pada kasus yang dikaji pada studi ini adalah jenis konflik horizontal, yakni konflik yang terjadi dikalangan masyarakat sendiri. Pada studi ini nantinya juga diidentifikasi tipe konflik yang sedang terjadi. Tipe konflik diantaranya adalah, kondisi tanpa konflik, konflik laten, konflik terbuka, dan konflik dipermukaan.

Kondisi tanpa konflik adalah situasi dimana telah menunjukkan situasi yang relatif stabil, hubungan antar kelompok berkonflik yang saling memenuhi dan damai. Namun dalam kondisi ini bukan berarti konflik sudah tidak ada lagi, melainkan struktur masyarakat yang mampu mencegah situasi kearah kekerasan, atau faktor budaya yang mempengaruhi masyarakat untuk menjauhi untuk melakukan konflik secara terbuka.

Konflik laten adalah kondisi yang didalamnya banyak sekali persoalan, pada tahapan ini konflik hanya berupa adanya rasa benci akan tetapi tidak diutarakan dan hanya dipendam dalam hati. Namun banyak yeng berpendapat bahwa konflik laten ini dianggap lebih berbahaya dan sukar untuk ditemukan solusinya.

Dalam kurun waktu sepuluh tahun terahir ini banyak sekali konflik nelayan yang terjadi di jawa timur. Konflik nelayan memperlihatkan konflik yang sarat akan kepentingan-kepentingan ekonomi. Perebutan sumber daya bernilai ekonomis masih menjadi isu yang hangat pada beberapa konflik yang terjadi di kalangan nelayan. Kegiatan perikanan, khususnya penangkapan ikan, konflik merupakan gejala sosial yang paling sering ditemukan diberbagai wilayah perairan. Gejala konflik sosial tersebut dapat dilihat dari perspektif sumber daya

bahwa konflik yang terjadi karena perebutan sumber daya ekonomis yang berkaitan dengan kegiatan para nelayan dalam memenuhi kebutuhannya.

Perebutan ini karena sumber daya perikanan terutama para nelayan ini bersifat open acces. Kondisi ini seolah-olah bahwa sumber daya dapat dikuasai oleh sembarang orang, dan disembarang waktu, serta sembarang alat yang digunakan dalam menguasainya. Namun jika ditelusuri lebih lanjut, sebenarnya kondisi sumber daya yang benar-benar terbuka ini hampir sulit ditemukan (Arif Satria, 2000:23). Hal ini disebabkan karena pemerintah pada umumnya telah memiliki regulasi pengelolaan sumber daya.

2.3.2 Dinamika dan Intervensi Konflik

Kunci memahami dinamika konflik adalah dengan melihat pada sumber konflik, segala sesuatu yang menjadi pemicu atau menjadi sumber terjadinya permasalahan. Dinamika konflik meliputi pra konflik, yaitu kondisi terjadinya ketidak sesuaian sesuatu yang menjadi permasalahan hingga timbullah konflik. Selanjutnya adalah konfrontasi, dimana situasi terjadinya konflik mulai terbuka, kemudian krisis atau situasi puncak dari pada konflik itu sendiri. Dan yang terakhir adalah kondisi pasca konflik, yaitu situasi diselesaikan dengan cara-cara non kekerasan. Pada situasi ini tidak lagi hadir konflik dengan kekerasan. Konflik ditransformasikan dengan cara damai. Disinilah dinamika konflik masuk pada ranah perdamaian. Namun perdamaian sendiri memiliki dua dimensi, yakni perdamaian dengan dimensi negatif, kemudian diteruskan dengan perdamaian berdimensi positif, dan disempurnakan pada dimensi perdamaian menyeluruh.

Dokumen terkait