• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. ANALISIS DATA

D. Pemetaan Konsep

Berdasarkan unit-unit makna yang telah diungkap sebelumnya, dapat dibuat sebuah skema yang menjelaskan keterkaitan antar unit makna dalam penelitian mengenai konsep diri remaja yang pernah mengalami kekerasan dalam rumah tangga, sebagai berikut :

Faktor eksternal: a. Keluarga Afeksi Faktor internal Konasi Kognisi Dampak b. Sosial KONSEP DIRI: 1. Dasar 2. Sosial 3. Ideal Sikap terhadap hubungan interpersonal: 1. Kognisi 2. Konasi 3. Afeksi

Dalam pembentukan konsep diri remaja, ada dua faktor besar yang mempengaruhi. Faktor yang pertama adalah faktor eksternal yang meliputi keluarga dan sosial dan faktor yang kedua adalah faktor internal. Faktor keluarga meliputi sikap orangtua (Ayah, Ibu, Ayah dan Ibu), hubungan dengan keluarga (Ayah dan Ibu), pengalaman awal, dan yang dikatakan pada dan tentang anak. Faktor sosial mencakup teman sebaya, cara orang lain memperlakukan dirinya, dan norma sosial yang pada akhirnya menimbulkan konflik dalam diri subjek. Faktor internal mencakup religiusitas, kontrol emosi, dan katarsis emosi.

Interaksi antara berbagai faktor yang tercakup dalam faktor keluarga menimbulkan afeksi, konasi, kognisi, dan dampak tertentu bagi subjek. Afeksi yang dialami subjek berkaitan dengan Ayah (terhadap dan dari Ayah), Ibu (terhadap dan dari Ibu), terhadap tindakan orangtua, dan kebutuhan afeksi. Konasi yang ada pada diri subjek berkaitan dengan tindakan Ayah, Ibu, dan keadaan keluarga. Kognisi yang dimiliki subjek menyangkut figur Bapak, figur Ibu, keluarga, dan Bapak ideal. Dampak yang dialami subjek antara lain adalah frustrasi, suicide (intensi dan

tempting), trauma, konflik, self expectancy tertentu, dan keberhasilannya dalam

menjalankan tugas perkembangan yaitu kesiapan menghadapi pernikahan.

Interaksi antara faktor eksternal dan faktor internal menimbulkan konsep diri tertentu dalam diri subjek. Konsep diri subjek dibagi menjadi tiga bagian besar, yaitu konsep diri dasar, diri sosial, dan diri ideal. Dalam konsep diri dasar masing-masing subjek terdapat gambaran mengenai karakter dan kemampuan subjek. Subjek

memiliki konsep diri dasar positif dan konsep diri dasar negatif. Hanya saja, pada subjek 2 konsep diri dasar negatif lebih dominan daripada konsep diri dasar positif. Konsep diri dasar positif dan konsep diri dasar negatif pada subjek 1 ada dalam kadar yang cukup seimbang.

Konsep diri yang dimiliki subjek mempengaruhi sikap masing-masing subjek terhadap hubungan interpersonal. Sikap dalam hubungan interpersonal ini tercermin dalam kognisi, konasi, dan afeksi yang dimiliki masing-masing subjek. Konasi subjek dalam hubungan interpersonal mencakup comparation, yaitu saat subjek membandingkan keadaan dirinya dengan keadaan orang lain dan need yang dimiliki subjek dalam hubungan interpersonal, yaitu need of counteraction, succorance,

nurturance, affiliation, dan achievement.

Tindakan Ayah subjek yang sering melakukan kekerasan fisik maupun verbal terhadap subjek dan Ibunya, sangat bertentangan dengan Ibu subjek yang menyayangi kedua subjek dengan kasih sayang yang besar. Keadaan yang sering subjek dapatkan di rumah adalah orangtua yang sering bertengkar. Hubungan yang terjalin antara subjek dengan Ayahnya adalah hubungan yang jauh, sementara hubungan yang terjalin antara subjek dan Ibunya adalah hubungan yang dekat. Subjek memiliki pengalaman awal yang tidak mengenakkan, yaitu melihat dan mengalami kekerasan baik secara fisik maupun verbal. Ia sering mendapatkan kata-kata kasar dan penolakan dari Ayah kandungnya sendiri.

Melihat situasi keluarga subjek yang demikian, teman sebaya memberikan pengaruh yang cukup besar bagi subjek. Dukungan dan saran dari teman sebaya mempengaruhi tindakan subjek selanjutnya. Orang lain yang bersedia mendengarkan keluh kesah subjek dan memberikan dukungan sangat berpengaruh bagi subjek. Subjek merasa mendapatkan kekuatan karena ada orang-orang yang seperti itu di sekitarnya. Norma sosial yang mengajarkan bahwa anak harus menghormati orangtua menimbulkan konflik dalam diri subjek. Konflik yang timbul adalah keinginan untuk melawan dan membenci Ayahnya dengan norma yang menuntut anak untuk menghargai dan menghormati Ayah.

Religiusitas yang mereka miliki membuat mereka percaya bahwa situasi keluarga yang seperti ini adalah dari Tuhan dan hanya kekuatan Tuhan yang dapat membuat keadaan mereka menjadi pulih kembali. Ajaran agama yang mereka dapatkan, mereka terapkan. Mereka tidak ingin berbuat dosa dengan mengucapkan kata-kata yang tidak sepantasnya diucapkan oleh seorang anak kepada Ayahnya. Mereka ingin berusaha mengampuni dan melupakan kelakuan buruk Ayah kepada diri mereka sesuai dengan ajaran Kristus. Melihat Ayah yang seolah tanpa belas kasihan menyiksa Ibu dan diri mereka, subjek tidak dapat mengontrol emosinya. Kata-kata makian dan ungkapan kemarahanpun akhirnya terlontar dari mulut mereka kepada Ayah masing-masing. Situasi yang mereka alami membuat mereka melakukan katarsis emosi dengan cara diam atau mengomel bila sedang marah.

Kedua subjek tidak mendapatkan kasih sayang yang cukup dari Ayah mereka. Ini membuat mereka kecewa. Ditambah lagi Ayah yang sering melakukan tindak kekerasan membuat mereka menjadi marah terhadap Ayah kandung mereka sendiri. Sangat berbeda dengan Ibu yang menyayangi mereka dengan sepenuh hati. Ibu yang demikian membuat mereka dapat memberikan kasih sayang kepada Ibu yang tidak dapat mereka berikan kepada Ayah. Mereka sangat membutuhkan dan menginginkan keluarga yang nyaman, harmonis, hangat, serta orangtua yang penuh kemesraan dan selalu rukun.

Melihat karakter Ayah yang sangat tidak baik dan membuat anggota keluarganya menjadi sengsara, mereka memiliki keinginan dan tekad tidak ingin menjadi seperti Ayah. Mereka memberi dukungan dan menghibur Ibu setelah Ibu disiksa oleh Ayahnya. Memang tidak banyak yang dapat mereka lakukan selain itu. Mereka memiliki keinginan untuk memberontak dan tidak dapat menerima lahir di keluarga yang demikian parahnya.

Di mata mereka, Ayah mereka adalah kepala keluarga yang tidak bertanggungjawab dan tidak dapat mengayomi keluarga. Sementara itu, mereka mengerti bahwa sebagai istri yang baik, Ibu mereka memilih diam dan tetap mengajarkan kepada mereka tidak boleh membenci Ayah mereka sendiri. Kedua subjek memiliki pandangan yang berbeda tentang keluarga. Subjek 1 menganggap keluarga adalah tempat berkumpul dan penuh kasih sayang, sementara subjek 2 menganggap keluarga adalah tempat penyiksaan. Subjek 1 dapat memiliki pandangan

yang demikian karena pernah telah berpisah dari Bapak sehingga dapat mengalami pemulihan. Subjek 2 menganggap keluarga sebagai tempat penyiksaan karena sampai saat ini ia masih mengalami dan menyaksikan tindak kekerasan yang dilakukan Ayah terhadap Ibu dan diri mereka. Mereka sangat mengharapkan figur seorang Ayah yang ideal, yaitu Ayah yang dapat mengayomi keluarga.

Dampak yang mereka rasakan di antaranya mereka memiliki harapan supaya Ayah dapat menyayangi mereka dengan cara yang lebih baik. Khusus subjek 2, ia berharap mendapatkan suami yang tidak seperti Ayahnya. Subjek 1 mengalami frustrasi karena ia tidak mendapatkan kasih sayang malah mendapatkan pemukulan dari Ayahnya. Subjek 2 frustrasi karena ia memiliki orangtua yang masih lengkap dan tinggal serumah, tapi tidak dapat merasakan memiliki orangtua yang harmonis dan rukun. Kemarahan yang mereka rasakan membuat mereka miliki keinginan untuk membunuh diri mereka sendiri. Keinginan ini bahkan terwujud dalam tindakan nyata saat mereka melakukan usaha suicide. Mereka ingin bunuh diri karena tidak tahan melihat pertengkaran orangtua yang tidak pernah berhenti. Subjek 1 mengalami trauma takut saat melihat ada pertengkaran, sedangkan subjek 2 trauma karena mengingat ia lahir ke dunia ini hanya untuk disiksa. Akibat lainnya adalah mereka belum siap untuk menikah dan tidak memiliki penilaian yang positif tentang pernikahan. Padahal tugas perkembangan yang seharusnya dilalui oleh remaja seusia mereka adalah memiliki kesiapan untuk menikah dan pandangan yang positif tentang pernikahan.

Subjek 1 menyalahkan dirinya sendiri karena tidak dapat mengerti cara Ayah yang menyayangi lewat memukul. Ia menganggap dirinya adalah anak durhaka karena pernah melawan Bapak. Ia merasa rendah diri saat bersama dengan temannya yang memiliki keluarga yang harmonis. Subjek 2 menganggap dirinya adalah anak terbuang dan menyesali kelahirannya di dunia ini. Kalau dapat memilih, dulu ia memilih untuk digugurkan.

Ada perubahan mengenai pendapat subjek 1 tentang penerimaan Ayah terhadap dirinya. Dulu ia merasa Ayah tidak dapat menerima dirinya sebagai anak. Namun, perpisahan dengan Ayahnya dan kematangan mengubah pola pikirnya. Sekarang ia merasa bahwa Ayah menerima dirinya sebagai anak. Ia dapat menerima bahwa Ayahnya hanya dapat menyayangi dengan cara memukul. Ia pun merasa diterima oleh Ibunya. Subjek 1 juga yakin bahwa orang lain menganggap dirinya berharga. Subjek 2 yakin bahwa Ayah tidak menganggap dirinya berharga. Sangat berbeda dengan Ibu yang sangat menyayangi dan menghargai dirinya. Dia juga menganggap bahwa orang lain menilai dirinya hanya ingin cari perhatian dengan menceritakan keadaan keluarganya.

Subjek 1 ingin menjadi pribadi yang tidak mementingkan diri sendiri, lebih percaya diri, dan tidak mudah goyah karena omongan orang lain. Sementara subjek 2 ingin dapat menghargai dirinya sendiri, dapat mengendalikan pikiran dan emosinya sehingga tidak meledak dan memiliki keinginan/pikiran yang negatif (merusak dan

merugikan dirinya sendiri). Ia juga ingin menjadi pribadi yang tidak menjadikan orang lain sebagai sasaran amarah seperti yang ia lihat ada di Ayahnya.

Dalam hubungan interpersonal, subjek 1 merasa kesulitan dalam menjalin hubungan interpersonal karena masalah keluarganya dan subjek 2 yakin bahwa orang lain tidak dapat melihat sisi positif dari dirinya. Mereka juga membandingkan keadaan keluarga mereka dengan keadaan keluarga teman. Saat melihat kehangatan hubungan antara teman dengan Ayahnya, mereka merasa iri dan sedih karena tidak pernah mendapatkan dan mengalami hal serupa walaupun mereka sangat menginginkannya.

Mereka memiliki kebutuhan untuk bercerita pada orang lain sebagai tempat berbagi keluh kesan dan beban mereka. Kedua subjek memiliki hubungan yang erat dengan teman dekat masing-masing. Dalam menjalin hubungan, mereka berusaha memberikan perhatian bagi orang lain. Walaupun mereka memiliki keluarga yang

broken, mereka memiliki keinginan untuk memberikan dan menampilkan yang

terbaik saat mereka berada di tengah lingkungan untuk menunjukkan bahwa keadaan keluarga tidak menjadi penghalang bagi mereka untuk menjadi pribadi yang berguna bagi orang di sekitarnya.

Dokumen terkait