• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : PELACURAN ANAK DIBAWAH UMUR

A. Pemidanaan

1. Menurut Hukum Islam.

Pemidanaan atau hukuman, dalam bahasa Arab disebut ‘uqubat. Lafaz ini diambil dari lafaz (عاقب)74 yang sinonimnya (جزا سواء بما فعل), artinya:

74

Ali Mutahar, Kamus Mutahar Arab- Indonesia. (Jakarta: PT. Ikrar Mandiri Abadi, 2005). Cet ke- 1, h. 735.

membalasnya sesuai dengan apa yang dilakukannya.75 Dalam hukum Islam perbuatan yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain atau masyarakat, baik anggota badan maupun jiwa, harta, perasaan, keamanan, dapat dikatakan sebagai perbuatan jarimah.

Jarimah berasal dari kata (م ﺮ )76 yang sinonimnya ( ﻄ و آ) artinya: berusaha dan bekerja, pengertian usaha disini adalah usaha yang tidak baik. Pengertian jarimah tersebut adalah pengertian yang umum, dimana jarimah itu disamakan dengan ( ﺬ ا) atau (dosa) dan (ﺔ ﻄ ا) atau (kesalahan), karena pngertian akat- kata tersebut adalah pelanggaran terhadap perintah dan larangan terhadap agama, baik pelanggaran tersebut mengakibatkan hukuman duniawi maupun ukhrawi.77 Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa Islam menyebut kata pemidanaan dengan menggunakan kata Jarimah atau tindak pidana dan Uqubah atau hukumannya.

Pengertian jarimah sebagaimana dikemukakan oleh Imam Al- Mawardi adalah sebagai berikut :

ﺮ ﺰ وأ

ﺎﻬ

ﻰ ﺎ

ﷲا

ﺮ زﺔ

ﺮﺷ

تارﻮﻈ

ا

ﺮ ا

78 75 http://hukum-Islam.co.cc/?p=32. 76

Abu Khalid, Kamus Arab- Indonesia Al- Huda. (Surabaya: Fajar Mulya). Cet ke-1, h. 91.

77

Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, (Jakarta: Sinar Grafika Offfset, 2004), h, 9.

78

Al- Mawardi, al Ahkam As Sulthaniyah, (Mesir: Maktabah Mustafa al Baby al Halaby, 1997 ). Cet ke- 3, h. 219.

”Jarimah adalah perbuatan- perbuatan yang dilarang oleh syara’, yang diancam dengan hukuman had dan ta’zir.”

Dalam istilah lain jarimah disebut juga dengan jinayah. Menurut Abdul Qadir Audah pengertian jinayah adalah :

ﺎ ﺮﺷ

مﺮ

ا

ﺔ ﺎ ﺎ

,

ﻚ ذ

وأ

لﺎ وأ

ا

و

ءاﻮ

79

”Jinayah adalah suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang oleh syara’, baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta, atau lainnya.”

Dalam hukum Islam tujuan pokok dari penjatuhan hukuman ialah pencegahan

(ar- rad’u waz- zajru), pengajaran serta pendidikan (al- islah wat- tahdzib).80 Tujuan hukum pada umumnya adalah menegakan keadilan berdasarkan kemauan pencipta manusia sehingga terwujud ketertiban dan ketentraman masyarakat.81 Hal ini berdasarkan dalil hukum surat Annisa ayat 65:

⌧ ⌧ ☺ ☺ ⌧ ☯ ☺ ☺ ☺ Artinya : 79

Abd Al- Qadir Audah, At- Tasyri’ Al- Jinaiy Al- Islamiy, Juz I, Dar Al- Kitab Al- ’Arabi, Deirut, tanpa tahun, h. 67.

80

A. Hanafi., Asas- asas hukum pidana Islam., (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), cet ke- 1.h. 279.

81

”Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”

Mengenai tujuan pemidanaan sendiri, Islam mempunyai tujuan yang memang akan dicapai dalam pemberian sanksi hukumannya. Yaitu :

1. Perbaikan dan Pendidikan,82 adalah untuk mendidik pelaku jarimah agar ia menjadi orang yang baik dan menyadari kesalahannya. Setelah mendapatkan hukuman, diharapkan akan timbul dalam diri pelaku suatu kesadaran, sehingga pelaku tidak akan mengulangi perbuatan jarimah lagi.

2. Pencegahan,83 adalah menahan orang yang berbuat jarimah agar ia tidak mengulangi perbuatan jarimahnya, atau agar ia tidak terus- menerus melakukan jarimah tersebut. Pencegahan juga mengandung arti lain, yaitu mencegah orang lain selain pelaku agar tidak ikut- ikutan melakukan jarimah, sebab ia bisa mengetahui bahwa hukuman yang dikenakan kepada pelaku juga akan dikenakan terhadap orang lain yang juga melakukan perbuatan yang sama.

Berdasarkan tujuan hukum Islam diatas, dapat dirumuskan bahwa tujuan hukum pidana Islam adalah memelihara jiwa, akal, harta masyarakat secara umum,

82

http://hukum-Islam.co.cc/?p=32.

83

Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Hukum Pidana Islam, Fikih Jinayah,. (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2004), cet ke- 1. h. 137

dan keturunan. Oleh karena itu kedudukan hukum Islam amat penting dalam kehidupan bermasyarakat.

Setelah membahas mengenai unsur- unsur jarimah, kali ini penulis akan membahas mengenai macam- macam jarimah, yang paling penting adalah pembagian yang ditinjau dari segi hukumannya. Jarimah ditinjau dari segi hukumannya terbagi kepada tiga bagian, yaitu jarimah hudud, jarimah qishash dan diat, dan jarimah ta’zir

1. Jarimah Hudud.

Kata hudud adalah jamak dari bahasa arab ”Hadd” yang berarti pencegah, pengekangan, larangan, dan kkarnanya ia merupakan suatu peraturan yang bersifat membatasi atau mencegah atau undang- undang dari Allah berkenaan dengan hal- hal boleh (halal) dan terlarang (haram). Dalam hukum islam, kata ”hudud” dibatasi untuk hukuman karena tindak pidana yang disebutkan oleh alqur’an atau sunnah Nabi SAW, sedangkan hukuman lain ditetapkan dengan pertimbangan Qadhi atau penguasa yang disebut ”Ta’zir” (mempermalukan pelaku pidana).84

Menurut Ahmad Wardi Muslich, didalam bukunya yang berjudul Hukum Pidana Islam, memberikan spesifikasi mengenai ciri khas jarimah hudud, yaitu:85 a. Hukumannya tertentu dan terbatas, dalam arti bahwa hukuman tersebut telah

ditentukan oleh syara’ dan tidak ada batas minimal dan maksimal.

84

Abdur Rahman, Tindak Pidana Dalam Syari’at Islam. (Jakarta: PT. Melton Putra, 1992). Cet ke-1, h.6.

85

b. Hukuman tersebut merupakan hak Allah semata- mata, atau kalau ada hak manusia disamping hak Allah maka hak Allah yang lebih dominan.

2. Jarimah Qishash dan Diat.

Jarimah qishash dan diat adalah jarimah yang diancam dengan hukuman qishash atau diat. Baik qishash atau diat kedua- duanya adalah hukuman yang sudah ditentukan oleh syara’. Perbedaannya dengan hukuman had adalah bahwa hukuman had merupakan hak Allah (hak masyarakat), sedangkan qishash dan diat merupakan hak manusia (hak individu). Disamping itu, perbedaan yang lain adalah karena hukuman qishash dan diat merupakan hak manusia maka hukuman tersebut bisa dimaafkan atau digugurkan oleh korban atau keluarganya, sedangkan hukuman had tidak bisa dimaafkan atau digugurkan. Mengenai jarimah qishash dan diat ini dikenakan atas dua macam perbuatan pidana, yaitu: pembunuhan dan penganiayaan. Namun apabila diperluas, jumlahnya ada lima macam; pembunuhan sengaja, pembunuhan menyerupai sengaja, pembunuhan karena kesalahan, penganiayaan sengaja, dan penganiayaan tidak sengaja.

3. Jarimah Ta’zir.

Ta’zir secara harfiah berarti membinasakan pelaku kriminal karena tindak pidana yang memalukan. Dalam ta’zir, hukuman itu tidak ditetapkan dengan

ketentuan hukum, dan hakim yang diperkenankan mempertimbangkan baik bentuk ataupun hukuman yang akan dikenakan.86

Jarimah ta’zir adalah jarimah yang diancam dengan hukuman ta’zir. Pengertian ta’zir menurut bahasa adalah ta’dib, artinya memberi pelajaran. Sedangkan menurut istilah adalah, hukuman pendidikan atas dosa (tindak pidana) yang belum ditentukan hukumannya oleh syara’.87

Dari definisi tersebut, dapat diketahui bahwa hukuman ta’zir adalah hukuman yang belum ditetapkan oleh syara’, dan wewenang untuk menetapkannya diserahkan kepada ulil amri. disamping itu, dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa ciri khas jarimah ta’zir adalah sebagai berikut :

a. Hukumannya tidak ditentukan dan tidak terbatas. Artinya, hukuman tersebut belum ditentukan oleh syara’ dan ada batas minimal dan maksimalnya.

b. Penentuan hukuman tersebut adalah hak penguasa (ulil amri).

Pemidanaan Terhadap Anak diBawah Umur.

Allah mengetahui perbuatan baik dan buruk yang akan dilakukan manusia, namun tiap- tiap manusia bebas (tidak terikat) dalam berbuat hal tersebut. Apabila seseorang berbuat dosa maka hal itu karena kehendaknya sendiri. Sehingga ia bertanggungjawab sepenuhnya atas perbuatannya, karena tanggungjawab dibebankan

86

A. Rahman,. Hudud dan Kewarisan. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996). Cet ke-1,. h. 15.

87

kepadanya karena akalnya, kehendaknya, kecondongan hati (kecenderungannya), dan pilihannya.

Pertanggungjawaban pidana dalam syari’at Islam adalah pembebanan seseorang akibat perbuatannya (atau tidak berbuat dalam delik omisi) yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri, dimana ia mengetahui maksud- maksud dan akibat- akibat dari perbuatannya itu.88 Pertanggungjawaban pidana ditegakan atas tiga hal, yaitu:

1. Adanya perbuatan yang dilarang; 2. Dikerjakan dengan kemauan sendiri;

3. Pembuatannya mengetahui terhadap akibat perbuatan tersebut.

Dengan demikian, maka hanya manusia berakal fikiran, dewasa, dan berkemauan sendiri yang dapat dibebani tanggungjawab pidana. Oleh karena itu tidak ada pertanggungjawaban pidana bagi anak- anak, orang gila, orang dungu, orang yang hilang kemauannya, dan orang yang dipaksa atau terpaksa.

Mengenai dasar penghapusan pidana, ada pembagian antara: dasar pembenar, dan dasar pemaaf. Dalam hukum Islam alasan atau dasar pembenar itu ada dalam hal- hal sebagai berikut:

1. Bela diri (legal defense).

2. Penggunaan hak.

3. Menjalankan wewenang atau kewajiban.

88

Topo Santoso. Menggagas Hukum Pidana Islam. (Bandung: Asy Syaamil Press & Grafika, 2000). Cet ke-1,. h. 165

4. Dalam olah raga.

Sementara dosa pemaaf ada dalam hal- hal sebagai berikut: 1. Anak- anak.

2. Orang gila.

3. Mabuk.

4. Daya paksa dan keadaan darurat.

Jadi dapat disimpulkan menurut berbagai pendapat diatas, bahwa seorang anak tidak dapat dikenakan hukuman had atas kejahatan yang dilakukan, karena tidak ada istilah beban hukum bagi anak kecil. Misalkan anak- anak yang belum mencapai usia puber, maka hakim masih berhak menegur kesalahan atau menetapkan beberapa batasan yang akan membantu memperbaiki dan menghentikan tindak kejahatan untuk masa yang akan datang. Menurut Abu Zaid Al- Qayrawani, ulama Madzhab Maliki, tidak ada hukuman had bagi anak kecil bahkan dalam kasus tuduhan zina yang palsu

(Qadzaf) atau ia sendiri yang melakukan zina.89 Namun menurut salah satu buku ”Fiqih Wanita” mengatakan, bagi anak yang sudah pernah dikawin, meski sekarang sudah kembali menduda atau menjada, apabila berbuat zina hukumannya lain dengan yang belum pernah kawin (ghairu mughsan). Untuk pezina mughsan hukumannya adalah rajam, yakni dilempar batu sedang sampai mati, apabila pezina itu memenuhi syarat sebagai berikut:

1. Mukallaf;

89

2. Merdeka;

3. Sudah pernah bersetubuh sebelumnya dengan perkawinan yang sah.

Untuk syarat yang ketiga maksudnya, bahwa pezina itu sudah pernah menikah secara sah dan mengalami persetubuhan sekalipun belum sempat inzal (mengeluarkan mani). Artinya, kalau ada seseorang yang sudah pernah kawin sah, dan telah terjadi pula persetubuhan dengan istrinya dalam perkawinan tersebut, kemudian bercerai, lalu berzina dalam keadaan tidak beristri, maka atasnya dikenakan hukuman rajam. Dan demikian pula orang perempuan yang sudah pernah bersuami, kemudian bercerai, lalu berzina ketika menjadi janda, maka dia tetap disebut seorang mughsan dan dikenai hukuman rajam.90

2. Menurut Hukum Positif.

Pemidanaan merupakan bagian terpenting dalam hukum pidana, karena merupakan puncak dari seluruh proses mempertanggungjawabkan seseorang yang telah bersalah melakukan tindak pidana. Hukum pidana tanpa pemidanaan berarti menyatakan seseorang bersalah tanpa ada akibat yang pasti terhadap kesalahannya tersebut.91 Maka dari pada itu, dalam bab ini akan membahas pengertian- pengertian mengenai pemidanaan dari berbagai macam sumber.

90

Ibrahim Muhammad Al- Jamal. Alih Bahasa: Anshori Umar, Fiqih Wanita (Semarang:CV. Asy Syifa’:____tanpa tahun), h. 474.

Kata ”Pidana” berarti hal yang ”dipidanakan”, yaitu oleh instansi yang berkuasa dilimpahkan kepada seorang oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakannya dan juga hal yang tidak sehari- hari dilimpahkan.92 Menurut Kamus Besar bahasa Indonesia, pemidanaan adalah proses, cara, perbuatan memidana.93 Pemidanaan atau hukuman merupakan salah satu perangkat dalam hukum pidana sebagai bentuk balasan bagi pelaku tindak kriminal, karena ia merupakan representasi dari perlawanan masyarakat terhadap para kriminil dan terhadap tindak kejahatan yang dilakukannya.94

Secara lebih singkat Andi Hamzah memberikan arti sistem pidana dan pemidanaan itu sebagai susunan (pidana) dan cara (pemidanaan).95 Sementara menurut Jean Paul Sartre, pemidanaan dianggap sebagai cara status quo untuk melindungi dirinya terhadap orang- orang (individu) yang akan membebaskan diri dari eksploitasinya.96 Berkenaan dengan pemidanaan, umumnya para penulis berpandangan bahwa, ”looking backward’ to the offence for purposes of punishment,

91

Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada

Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), cet ke- 2, h. 126

92

Wirjono Prodjodikoro, Asas- asas hukum Acara Pidana di Indonesia, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2003)., cet. ke- 1, h. 1.

93

Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), cet ke- 3. h. 871

94

http://hukum-Islam.co.cc/?p=32.

95

Sholehuddin, System Sanksi Dalam Hukum Pidana Ide Dasar Double Track System Dan Implementasinya, (Jakarta : Rajawali Pers,2003), h. 55.

96

Ibid, 92.

to lokking forward’ to the likely impact of sentence on future be havior of the offender, and some instances, on potential offender in community at large”. Dengan demikian, cara pandang ke belakang dilakukan dengan melihat tindak pidana yang dilakukan pembuat, yang kemudian menentukan tujuan pemidanaan. Sementara itu, cara pandang kedepan dilakukan untuk melihat dampak dari pemidanaan bagi masa depan pembuat dan pihak- pihak lain yang mempunyai kemungkinan melakukan tindak pidana dalam masyarakat yang lebih luas.97

Dalam bentuk hukum dan intersubjektivitasnya, pemidanaan adalah cara (alat) untuk mempertahankan penghambaan seseorang terhadap pembatasan kebebasan diri yang absolut dan proyeksi diri. Namun pada intinya, pemidanaan diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana, yang mana penjatuhan pemidanaan itu dapat merampas keeksistensiannya atau kemerdekaannya sebagai seorang subjek hukum.

Menentukan batas pemidanaan dan bobot pemidanaan adalah masalah yang penting dalam pemidanaan karena akan menentukan pencapaian atas keadilan, baik kepada pelaku atau kepada korban kejahatan. Pemidanaan harus menghindarkan rasa

injustice dengan mencapai apa yang dikenal dengan konsistensi dalam pendekatan terhadap pemidanaan (consistency of approach to sentencing). Dari kondisi ini pemidanaan harus menegaskan tentang menentukan batas pemidanaan (the limit of sentencing) dan bobotpemidanaan (the level of sentencing).

97

Mengenai tujuan pengenaan pidana atau pemidanaan, umumnya dihubungkan dengan dua pandangan besar, yaitu :98

1. Retributivism, paham ini sangat berpengaruh dalam hukum pidana, terutama dalam menentukan tujuan pemidanaan. Paham ini menentukan bahwa tujuan pengenaan pidana atau pemidanaan adalah membalas perbuatan pelaku.

2. Utilitarianism, pemidanaan mempunyai tujuan berdasarkan manfaat tertentu (teori manfaat atau teori tujuan), dan bukan hanya sekedar membalas perbuatan pembuat. ’Mencegah’ pembuat mengulangi dan masyarakat melakukan tindak pidana tersebut.

Sama halnya dengan tujuan pemidanaan, namun dalam teorinya pemidanaan terbagi menjadi tiga, yaitu :

1. Absolut atau Mutlak,99 yaitu setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana – tidak boleh tidak – tanpa tawar- menawar. Dalam hal ini ”pembalasan”

(Vergelding) oleh banyak orang dikemukakan sebagai alasan untuk mempidana suatu kejahatan. Kepuasan hatilah yang dikejar, yang lain tidak.

2. Relatif atau Nisbi,100 yaitu suatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan suatu pidana. Untuk ini, tidaklah cukup adanya suatu kejahatan, tetapi harus dipersoalkan perlu dan manfaatnyasuatu pidana bagi masyarakat atau bagi sipenjahat sendiri. Dengan demikian, teori ini juga dinamakan teori ”tujuan”.

98

Ibid, 128

99

Wirjono., Asas- asas Hukum Pidana di Indonesia, h. 23

100

3. Gabungan (Verenigings),101 yaitu gabungan antara kedua teori diatas, antara teori absolut dan teori relatif, lalu muncul teori ketiga yang disatu pihak mengakui adannya unsur ”pembalasan”, akan tetapi dipihak lain, mengakui pula unsur prevensi dan unsur memperbaiki kejahatan yang melekat pada tiap pidana.

Jelaslah bahwa tidak ada pemidanaan bagi pelacuran anak dibawah umur, karena dibentuknya hukum mengenai kejahatan ini di tujukan untuk melindungi kepentingan hukum anak- anak dari perbuatan- perbuatan melanggar kesusilaan umum yang dapat merusak jiwa dan watak anak.102

Dengan jelas pemidanaan hanya di jatuhkan kepada orang yang menyebabkan dan memudahkan perbuatan cabul yang biasa disebut germo, disebut pencabulan karena orang dewasa melakukannya kepada anak kecil atau anak dibawah umur yang dirumuskan kedalam Pasal 296, sesuai dengan apa yang telah dijelaskan dalam Bab II sebelumnya.

Pemidanaan dapat pula dijatuhkan kepada seorang dewasa, sesuai dengan Pasal 287 KUHP (1) yaitu: ”Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.”

101

Ibid, 27

102

Adami Chazawi. Tindak Pidana Mengenai Kesopanan. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), cet ke- 1,. h. 84.

Perbuatan perempuan tersebut yang belum berumur lima belas tahun tetap merupakan perbuatan turut berzina. Namun terhadapnya tidak boleh dipidanakan, karena perbuatannya tersebut kehilangan sifat melawan hukumnya perbuatan. Tetapi, dikenakan kepada si laki- laki tersebut tentu dengan adanya penuntutan dari pihak korban.

Ketentuan tersebut juga dipertegas didalam Undang- undang Nomor 23 tahun 2002 Pasal 81 ayat (1) dan Pasal 83 (dalam hal memperdagangkan, menjual, dan menculik anak) namun ancaman pidananya sama, yaitu: ”Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun dan paling singkat tiga tahun dan denda paling banyak Rp.300.000.000,00 dan paling sedikit Rp.60.000.000,00”.

Walaupun anak dibawah umur tersebut tidak dapat dijatuhkan pidana, tetapi bukan berarti pemerintah membiarkannya begitu saja. Apabila perbuatan pelacuran tersebut dilakukan anak dibawah umur itu dengan berulang- ulang kali, apalagi dengan kehendaknya sendiri, maka sesuai dengan apa yang tercantum didalam Pasal 24 ayat (1) Undang- undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, yaitu: a. Mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh;

b. Menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja; atau

c. Menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak dibidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.

Dokumen terkait