• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISA KONSEP HUKUMAN DALAM PENDIDIKAN ISLAM PERSPEKTIF ABDULLAH NASHIH ULWAN

B. Pemikiran Abdullah Nashih Ulwan Terhadap Konsep Hukuman dalam Pendidikan Islam

Mengenai hukuman dalam pendidikan Islam, Ulwan merupakan tokoh ulama Islam orisinil artinya jarang mengutip pendapat dari orang-orang Islam. Dilihat dari kacamata pendidikan, Nabi Muhammad dianggap oleh sahabat sebagai guru sehingga pendidikan yang diajukan oleh Abdullah Nashih Ulwan adalah hasil dari interpretasi dan modifikasinya terhadap Al-Qur‟an.

Dengan demikian seorang pendidik harus mampu merefleksikan perilaku pendidikan yang telah dilakukan oleh Nabi Muhammad yang sangat menomorsatukan perhatiannya kepada umat.

Syariat Islam yang mulia dan adil, beserta prinsip-prinsipnya yang komperehensif itu menjamin terpenuhinya semua kebutuhan dasar manusia, yang manusia tudak bisa hidup tanpanya. Syariat Islam memberi sanksi atau hukuman yang keras dan menyakitkan bagi orang yang melanggarnya. Ketika orang dewasa atau sudah baligh melakukan kesalahan atau dosa maka ada hukuman dari kesalahan yang dibuat. Hukuman ini dalam syariat Islam dikenal dengan nama hudud (hukuman yang telah ditentukan oleh syariat) dan ta’dzir (hukuman yang diserahkan kepada kebijakan pemimpin).

a. Hudud

Abdullah Nashih Ulwan mengatakan bahwa: “Hudud adalah hukuman yang telah ditentukan oleh syariat yang merupakan hak Allah ta‟ala. Hudud tersebut meliputi: hukuman bagi orang murtad, bagi orang yang membunuh, bagi orang yang mencuri, menuduh orang berzina, membuat kerusakan di Bumi, dan peminum

khamr”52.

Hukuman (had) merupakan perangkat pengancam yang ditetapkan Allah swt agar orang tidak mengerjakan sesuatu yang dilarang-Nya atau meninggalkan sesuatu

yang diperintahkan-Nya, karena tabiat manusia cenderung menuruti hawa nafsunya, sehingga kenikmatan sesaat membuat dia melupakan ancaman akhirat. Allah menetapkan ancaman dengan hukuman-hukuman (had) yang dapat menjatuhkan harga dirinya, sehingga larangan-larangan Allah swt tidak dilanggar oleh manusia, dan perintah-perintahnya ditaati.

1) Hukuman (had) bagi orang yang murtad, yaitu dibunuh. Ini jika ia benarbenar meninggalkan agama atau menjadi atheis (tidak percaya adanya Tuhan), dan ia tidak mau bertaubat atas perbuatannta itu. Setelah dihukum bunuh, ia tidak boleh dimandikan dan dikafani. Ia juga tidak boleh disholatkan dan dikuburkan di pemakaman kaum Muslimin.

Al-Riddah berarti menolak agama Islam dan memeluk agama lain baik melalui perbuatan atau secara lisan. Dengan demikian perbuatan murtad mengeluarkan seseorang dari lingkungan Islam. Bila seseorang menolak prinsip-prinsip dasar kepercayaan (iman) seperti adanya Allah atau Nabi Muhammad saw sebagai utusan-Nya sebagaimana tercakup dalam kalimat syahadah. Begitu juga menolak mempercayai Al-Qur‟an sebagai kitabullah.

Dasar dari hukuman yaitu Hadits yang diriwayatkan oleh Kutubus Sittah dan oleh Ahmad, dari Ibnu Mas‟ud ra bahwa Rasulullah bersabda, “Tidak halal darah seorang Muslim kecuali karena suatu dari tiga perkara: orang yang sudah menikah

lalu berzina, jiwa dibalas jiwa (membunuh), meninggalkan agama dan memisahkan diri dari jamaah”.

Dalam riwayat lain disebutkan, “Siapa saja yang berganti agama, maka bunuhlah dia”.Orang yang tidak mengakui agama Allah adalah orang yang berdosa besar terbukti dengan adanya Hadits sebagai pedoman kedua setelah Al-Qur‟an. Selain itu keempat madzhab juga mengatakan hal sama bahwa hukuman oranyang murtad adalah dibunuh.

2) Hukuman orang yang membunuh manusia adalah dibunuh, jika :

pembunuhan itu dilakukan dengan sengaja. Allah Ta‟ala berfirman:

     

      

        

     

       

     

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka . Barang siapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu

rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih”. (QS. Al-Baqarah: 178)

Pembunuhan dengan sengaja adalah membunuh orang lain dengan alat, seperti besi tajam yang dapat memotong daging, atau benda yang berat seperti batu dan kayu. Tindakan ini merupakan pembunuhan yang sengaja. Dan harus dijatuhi hukuman had pembunuhan (qishash). Menurut Imam Syafi‟i, wali darah korban pembunuhan itu bebas memilih antara memilih hukum qishash atas pelaku pembunuhan itu dan meminta diyat darah korban. Sedangkan Abu hanifah berpendapat wali darah korban hanya memiliki hak untuk menuntut qishash atas pelaku pembunuhan itu. Ia tidak dapat meminta diyat kecuali jika pelaku pembunuhan itu sendiri yang menawarkan untuk membayar diyat.

Islam mengajarkan agar manusia senantiasa saling menyayangi bukan saling membunuh. Membunuh adalah perbuatan yang keji dan dibenci oleh Allah. Keluarga yang ditinggalkanpun akan sedih ketika salah satu keluarganya dibunuh oleh sesamanya sendiri.

3) Hukuman bagi orang yang mencuri adalah dipotong tangannya, mulai batas pergelangan, jika ia mencuri bukan karena kebutuhan mendesak.

     

        

Artinya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al-Maidah: 38)

Didalam buku karangan Imam Al-Mawardi, mengatakan bahwa:

“Hukuman potong tangan bagi pencuri, sama bentuknya baik itu pencuri laki-laki maupun perempuan, berstatus merdeka atau hamba sahaya, beragama Islam atau kafir. Sedangkan seorang anak kecil tidak dijatuhi hukum poting tangan jika ia mencuri. Demikian juga dengan seorang yang tidak sadar atau mabuk, jika ia mencuri dalam keadaan seperti itu, ia tidak dijatuhi hukum potong tangan. Demikian juga halnya seorang ayah yang mencuri harta anaknya. Namun, Dawud (Azh-Dzahiri) berpendapat, kedua orang itu, baik si hamba maupun si ayah, harus dijatuhi hukum potong tangan”53.

Hukuman bagi mereka yang mencuri adalah potong tangan. Akan tetapi, tidak serta merta langsung diterapkan. Cari tahu dulu akar permasahannya apa. Jika alasannya karena memang sudah kebiasaan maka memang harus dihukum potong tangan. Akan tetapi jika mencuri untuk makan atau untuk memberi obat maka penyebab sebenarnya adalah kemiskinan dan kemiskinan itulah yang harus dipotong. Solusinya yaitu diberikan pekerjaan atau tunjangan kesejahteraan. Sariqah atau

53 Imam Al-Mawardi, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam

pencurian juga termasuk cara yang tidak sah dalam mengambil hak orang lain. Seorang pencuri laki-laki maupun perempuan, sedangkan pencurian itu dianggap lengkap oleh para fuqara bila terdapat unsur-unsur berikut ini:

a) Harta diambil secara sembunyi

b) Diambil dengan maksud jahat

c) Barang yang dicuri benar-benar milik sah dari orang yang hartanya dicuri

d) Barang yang dicuri itu telah berada dalam penguasaan si pencuri

e) Barang gersebut harus mencapai nisab pencuri

4) Hukuman bagi orang yang menuduh baik-baik berzina adalah dicambuk delapan puluh kali, dan kesaksiannya tidak diterima. Ini sesuai dengan firman Allah,

      

      

      

Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik”.

Abdur Rahman I Dia mengatakan bahwa: “Qadzaf merupakan suatu pelanggaran yang terjadi bila seseorang berbohong menuduh seseorang Muslim berzina atau meragukan silsilahnya. Ia merupakan kejahatan yang besar dalam Islam”54.

Adapun lima syarat yang harus terpenuhi dalam diri pihak yang dituduh membuat zina (maqdzuuf) adalah:

a. Ia telah mencapai usia baligh b. Berakal

c. Beragama Islam d. Berstatus merdeka

e. afiif (akhlak dan kredibilitas pribadinya baik)

Sedangkan orang yang dituduh berbuat zina seorang anak kecil, orang gila dan berstatus hamba sahaya, atau orang kafir maupun orang nama baiknya telah tercemar karena pernah melakukan perbuatan zina dan telah dikenakan hukum had atas perzinaannya itu, maka orang yang menuduhnya berbuat zina tidak dijatuhi hukuman hadqadzaf (menuduh seseorang berbuat zina).

Tiga syarat yang harus dipenuhi pada diri penuduh pezina itu adalah:

1. Telah mencapai usia baligh 2. Berakal

3. Berstatus merdeka

Jika yang menuduh orang berbuat zina itu adalah seorang anak kecil atau orang gila, ia tidak dijatuhi hukuman had juga tidak dikenakan ta‟zir.

5) Hukuman bagi orang yang berzina adalah dicambuk seratus kali untuk orang yang belum menikah. Sedangkan untuk orang yang sudah menikah hukumannya adalah dirajam sampai mati. Ini sesuai dengan firman Allah,

       

      

        

    

Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman”. (QS. An-Nuur: 2)

Menurut Ensiklopedi hukum Islam dalam buku karangam M. Nurul Arifin, mengatakan bahwa: “Zina berarti hubungan seksual antara laki-laki dan seorang wanita yang tidak atau sudah diikat pernikahan tanpa disertai unsur keraguan dalam hubungan seksual tersebut dan tidak ada hubungan kepemilikan”55.

Zina berarti berhubungan kelamin diantara seorang laki-laki dan perempuan dan tidak menjadi masalah apabila salah seorang atau kedua belah pihak memiliki

pasangan hidup masing-masing ataupun belum menikah. Oleh karena itu, Islam melarang seseorang untuk berbuat zina.

Firman Allah yaitu:

        



Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk”. (QS. Al-Isra‟: 32)

Didalam firman-Nya telah dikatakan bahwa zina itu dilarang. Apabila kita sebagai manusia atau makhluk ciptaan Allah maka manusia itu harus taat dan patuh terhadap perintah Allah. Setiap perbuatan yang keji pasti ada balasannya dan Allah membuat aturan pasti ada maknanya dan pasti bermanfaat bagi manusia itu sendiri.

Menurut Imam Syafe‟i, pezina laki-laki dan perempuan (yang belum menikah) juga harus diasingkan selama satu tahun. Ini menurut sunnah. Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah, pengasingan satu tahun itu tidak wajib, namun merupakan Siyasah Syar’iyah yang keputusannya diserahkan kepada kebijaksanaan Imam (pemimpin).

Sedangkan hukuman rajam sampai mati adalah sesuai dengan Hadits mengenai perbuatan zina Ma‟iz bin Malik dengan wanita dari suku Ghamidi. Rasulullah memerintahkan utuk merajam keduanya, karena masing-masing telah menikah.

“Para Fuqoha sepakat bahwa perjaka atau perawan melakukan zina, masing-masing dihukum dera 100 kali. Menurut Malik dan Al-Auza‟i, perjaka saja yang wajib diasingkan, sedangkan perawan tidak perlu diasingkan, karena betapapun wanita itu aurat. Sedangkan hukuman bagi pezina yang mukhsan (laki-laki) atau mukhsanat (perempuan) adalah rajam yakni dilempar batu yang sedang sampai mati”56.

Penetapan perbuatan zina dilakukan dua hal yaitu pengakuan dan pembuktian. Penetapan melalui pengakuan, jika seseorang yang berakal dan telah sampai usia baligh mengaku tanpa paksaan bahwa telah berzina, baginya dijatuhi hukuman had. Sedangkan melalui pembuktian adalah jika ada empat orang laki-laki yang mempunyai kredibilitas yang baik dan diantara keempat orang itu tidak ada yang berkelamin wanita dan memberikan persaksian bahwa ada seorang individu telah berzina dan mereka menyaksikan sendiri.

6) Hukuman bagi orang yang membuat kerusakan di Bumi adalah dibunuh atau disalib, atau dipotong kaki dan tangannya bersilangan, atau diusir (diasingkan). Dasar pendapat ini adalah firman Allah,

       

        

        

         

Artinya: “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki 56 Anshori Umar, Fiqih Wanita (Semarang: CV. Asy Syifa, 1986), h. 471-474.

mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar”.(QS. Al-Maidah: 33)

7) Hukuman bagi peminum khamr (minuman keras) adalah dicambuk empat puluh hingga delapan puluh kali. Diriwayatkan oleh Abu Sa‟id AlKhudhri bahwa Rasulullah memukul peminum khamr empat puluh kali. Sedangkan delapan puluh kali adalah usulan Umar bin Khaththab. Para sahabat musyawarah untuk meningkatkan hukuman menjadi delapan puluh kali karena sebagian orang ketagihan minum arak. Sebenarnya hukuman bagi peminum khamr empat puluh kali pukulan. Namun Imam dapat menambah hingga delapan puluh kali jika cambukan empat puluh kali tidak membuat efek jera, seperti yang telah dilakukan oleh Khalifah Umar Ibnul Khathab ra.

Setiap minuman yang memabukkan, banyak ataupun sedikit, seperti khamr

ataupun anggur adalah berstatus sebagai minuman yang haram. orang yang dipaksa minum khamratau ia meminumnya dengan tanpa mengetahui bahwa yang ia minum diharamkan, ia tudak dijatuhi hukuman had. Sedangkan juka ia meminumnya karena untuk menghilangkan haus, ia dijatuhi hukuman had. Karena minuman tersebut tidak menghilangkan hausnya. Sedangkan jika ia meminumnya sebagai obat, maka ia dijatuhi hukuman had karena mungkin saja minuman itu dapat menyembuhkan penyakitnya. Dan jika ia meyakini bahwa khamr itu hukumnya boleh, kepadanya dijatuhi hukuman had, meskipun ia tetap berada dalam status yang baik.

Para fuqoro berbeda pendapat tentang batasan kondisi mabuk. Abu Hanifah berpendapat bahwa batasannya adalah jika seseorang hilang akal, sehingga ia tidak bisa lagi membedakan antara langit dan bumi, dan tidak dapat membedakan antara ibu dan istrinya. Sedangkan menurut madzhab Syafi‟i, batasan mabuk adalah jika orang yang meminum minuman keras sudah berbicara terputus-putus, makna perkataannya sudah tidak teratur, tindakannya sudah tidak karuan, dan berjalan sempoyongan.

b.Ta’dzir

Ta’dzir adalah hukuman yang tidak ditentukan oleh syariah sebagai hak Allah, atau hukuman bagi manusia yang melakukan pelanggaran yang tidak ada ketentuan

had dan kafarah (penghapusnya). Hukuman ini dimaksudkan untuk menimbulkan efek kejut dan sebagai pendidikan untuk perbaikan bagi umat. Semua manusia sama didepan kebenaran, tidak ada perbedaan antara orang Arab dan orang asing, juga kulit putih dan kulit hitam. Yang membedakan hanyalah taqwa. Ini juga yang dimaksud sabda Rasulullah saw,

اهدي تعطقص تقرس دملحم تنب ةملطاف ّنا وص هديب يسفن يذصاو

“Demi zat yang jiwaku ada di tangn-Nya, jika Fatimah binti Muhammad mencuri akan kupotong juga tangannya”. 57

Hukum qhishash maupun sanksi disiplin adalah terapi efektif bagi problematika bangsa, memperbaiki umat, dan mengokohkan pilar-pilar keamanan dan stabilitas di masyarakat. Umat yang hidup tanpa adanya sanksi dan hukuman bagi para prilaku kriminal adalah umat yang bebas, liar dan kehilangan eksistensinya, terputusnya ikatan dan jalinan sosial. Umat seperti itu akan senantiasa hidup dalam kekalutan sosial dan tercekam oleh kriminalitas.

Allah Ta‟ala menetapkan aturan hukuman bagi hamba-Nya dan Dialah yang paling tahu terhadap semua yang dia berlakukan kepada mereka. Jika dia tidak tahu bahwa hukuman tersebut dapat mewujudkan keamanan, niscaya Dia tidak akan mensyariatkan hudud dan tidak akan menetapkan hukum-hukum untuk mencegah suatu tindak kejahatan dalam syari‟atnya yang abadi.

Sanksi hukuman yang dijalankan para pendidik disekolah atau dirumah juga bisa bermacam-macam bentuknya, berikut ini cara-cara yang dijalankan Islam dalam memberi hukuman pada anak.

a Berinteraksi dengan lemah lembut dan kasih sayang

Diriwayatkan dalam Al-Bukhari dalam Adabul Mufrad, “Kalian harus bersikap lembut dan hindarilah bersikap keras dan keji”.

Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Musa Al-Asy‟ary ra. bahwa Nabi saw pernah mengutusnya bersama Mu‟adz ke Yaman dan beliau bersabda pada mereka

berdua, “Mudahkanlah dan jangan kalian mempersulit. Ajarkanlah ilmu, dan janganlah membuat mereka lari”.

Diriwayatkan oleh Al-Harits, Ath-Thayalusi, dan Baihaqi, “Ajarkanlah ilmu dan janganlah kalian bersikap keras, karena seorang pengajar ilmu lebih baik dari pada orang yang keras”.

Seorang anak masih masuk dalam peioritas utama dari arahan-arahan Nabi ini, karena merekalah yang harus mendapat pengayoman dan curahan kasih sayang. Contoh teladan Rasulullah tentang perlakuan santun dan lemah lembut terhadap anak, perhatian beliau terhadap anak-anak, kasih sayang beliau kepada mereka, serta canda beliau bersama mereka.

M. Fauzi Rahmad mengatakan bahwa: “Mengajak anak kecil bermain dan bersikap lemah lembut kepadanya merupakan sikap kasih sayang dan menunjukkan pemahaman seseorang tentang agama. Meninggalkan hal baik tersebut merupakan sifat kasar dan keras”58.

Apabila pendidik berinteraksi dengan lemah lembut kepada peserta didik maka peserta didikpun akan mendengarkan ucapan pendidik dan biasanya komunikasi dengan cara ini akan membuat anak mengerti dan memahami maksud yang disampaikan pendidik.

58 M. Fauzi Rachmad, Islamic Parenting: Pendidikan Anak di Usia Emas (Jakarta: Erlangga, 2011), h. 76.

b Memperhatikan karakter anak yang bersalah sebagai dasar pemberlakuan hukuman

Selain berinteraksi dengan kasih sayang, Nabi juga mengajarkan kepada peserta didik agar ketika anak melakukan kesalahan maka terlebih dahulu kita tahu karakter anak. Karakter anak disini maksudnya apakah anak memiliki sifat yang lembut, kasar, pemalu atau yang lainnya. Abdullah Nashih Ulwan juga menerapkan ajaran Nabi kepada peserta didiknya. Anak-anak memiliki tingkat kecerdasan, fleksibilitas, dan responsibilitas yang berbeda-beda. Karakter setiap anak juga tidak sama. Ada yang tenang dan damai, tapi ada juga yang emosional dan agresif. Semuanya kembali kepada keturunan, pengaruh lingkungan dan faktor-faktor pertumbuhan dan pendidikan.

Untuk sebagian anak, sebuah tatapan tajam sudah sebagai peringatan baginya untuk berhenti melakukan pelanggaran memperbaiki sikapnya. Namun untuk anak yang lain, terkadang harus digunakan cara kecaman sebagai hukuman. Bahkan, ada anak yang baru jera setelah duhukum dengan pukulan tongkat.

Bagi kebanyakan ahli pendidikan Islam, seperti Ibnu Sina, Al-Abdari, dan Ibn Khaldun, tidak memperbolehkan pendidik menggunakan hukuman kecuali dalam kondisi yang terdesak. Ia juga tidak boleh memukul, kecuali setelah menggunakan ancaman dan minta tolong kepada orang yang mamiliki pengaruh terhadap anaknya itu, guna memperbaiki anak serta membentuk akhlak dan mentalitasnya.

Ibnu Khaldun didalam muqadimah-nyayang dikutip oleh Abdullah Nashih Ulwan menyatakan bahwa:

“Sikap kasar yang berlebihan terhadap anak justru akan membuatnya lemah, penakut dan lari dari kewajiban hidup. Ia berkata, „Siapa yang mendidik dengan keras dan memaksa terhadap siapapun, niscaya paksaan itu hanya akan membuat anak didik tertekan jiwanya, lalu menghilangkan semangat hingga sang anak malas, suka berdusta dan bertindak keji, karena takut akan pukulan dan paksaan. Ia juga akan biasa menipu dan berkhianat, yang akan menjadi kebiasaan dan akhlaknya. Lalu rusaklah nilai-nilai kemanusiaannya‟. Efek buruk yang ditimbulkan oleh penggunaan kekerasan dan pemaksaan, serta sikap kasar pada anak. Ia berkata, “orang yang selalu diperlakukan kasar akan menjadi beban bagi orang lain. Sebab, ia tidak akan mampu mempertahankan kehormatan diri dan keluarganya, karena sudah kehilangan semangat dan gairahnya. Ia juga tidak mau meraih berbagai keutamaan dan akhlak yang baik. Maka, jiwanya akan melenceng dari tujuannya dan nilai kemanusiaannya”59.

Yang dikatakan oleh Ibnu Khaldun di atas sesuai dengan arahan Nabi yang telah disebutkan sebelumnya, mengenai prilaku santun dan lemah lembut. Ia juga sejalan dengan interaksi yang lembut dan penuh cinta kasih yang dilakukan oleh Rasulullah terhadap semua anak-anak. Ia juga selaras dengan terapi bijak yang

dilakukan oleh Rasulullah untuk menyembuhkan manusia dari beragam tingkat usia dan strata sosialnya. Bahkan para tokoh salaf dan orang mulia memperlakukan anak-anaknya dengan bijak, santun dan lembut. Mereka tidak menggunakan hukuman berat kecuali saat nasihat dan kecaman tak mempan lagi.

Diantaranya kisah yang diperlihatkan oleh buku-buku sejarah bahwa khalifah Harun Al-Rasyid meminta kepada Ahmar, guru anaknya, untuk tidak melewatkan waktu sedikitpun tanpa mengisinya dengan hal-hal yang bermanfaat baik anaknya, tanpa membuatnya sedih sehingga mematikan perasaannya. Juga tidak memberinya kelonggaran yang hanya membuang-buang waktu saja. Juga untuk meluruskannya sebisa mungkin dengan pendekatan yang lemah lembut. Namun jika ia mengabaikannya, maka boleh menggunakan cara keras dan kasar.

Seorang pendidik atau orang tua harus bijak dalam menggunakan hukuman, yang harus sesuai dengan tingkat intelektual, pengetahuan dan karakter anak. Dan itupun dilakukan sebagai langkah terakhir.

c Terapi bertahap, dari yang ringan ke yang berat

Seorang pendidik laksana seorang dokter, kata Imam Al-Ghazali. Seorang dokter tidak boleh mengobati pasiennya deangan satu cara pengobatan saja, karena khawatir dapat membahayakannya. Demikian pula seorang pendidik, ia tidak boleh berusaha memperbaiki akhlak anak hanya dengan satu cara saja, misalnya kecaman. Sebab, itu dikhawatirkan akan menambah penyimpangan pada sebagian anak atau

menimbulkan kelainan pada sebagian lainnya. Ini juga berarti seorang pendidik harus memperlakukan anak dengan perlakuan yang tepat. Ia juga harus mencari faktor penyebab kesalahan sesuai dengan tingkat anak, tingkat pengetahuan, dan lingkungan tempatnya beradaptasi. Semua itu akan membantu pendidik untuk mendeteksi faktor