• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemikiran Amina Wadud (Hermeneutika Tauhid)

Adapun yang dimaksud dengan model hermeneutika adalah salah satu bentuk metode penafsiran yang dalam pengoprasiannya dimaksudkan untuk memperoleh kesimpulan makna suatu teks atau ayat, Disini Wadud menawarkan hermeneutika kritisnya yang cukup berbeda dengan yang lainnya, meskipun hermenutika ini

diklaim “baru”, tapi dengan penuh kejujuran, Wadud mengakui bahwa ia

terinspirasi dan bahkan sengaja mengggunakan metode yang pernah ditawarkan

oleh Fazlur Rahman.5 Dengan jujur Amina Wadud Muhsin katakan: Thus, I

attempt to use the method ofQur’nic interpretation proposed by Fazlur Rahman ( Pakistan United Stated 1919-1988)6 yaitu “ Hermenutika Tauhid” adalah cara

memahami al-Qur’an dengan mengunakan tiga model pendekatan. Yaitu:7

1. Dalam konteks apa al-Qur’an diwahyukan. Hal ini bisa dipahami sebagai

asbab al-Nuzul sebuah ayat ataupun surat.

2. Komposisi gramatikal teks (bagaimana al-Qur’an menuturkan pesan yang

dinyatakan).

3. Bagaimana bunyi teks secara keseluruhan. Weltanschaung atau pandangan

dunianya. sehingga bisa dipahami sebuah pemahaman yang utuh.

Secara perinci aktivitas di atas diuraikan sebagai berikut; 1) ayat yang hendak diinterpretasi harus dicarikan konteks-konteks yang meliputinya baik bersifat mikro maupun makro, 2) selanjutnya, ayat tersebut harus diletakkan

dalam tema-tema yang sama yang ada di dalam al-Qur’an untuk dikomparasi dan

5Amina Wadud. Quran Menurut Perempuan h. 19.

6 M. Masrur dalam buku M. Yusron, Dkk, Studi Kitab Tafsir Kajian Kontemporer,

(Yogyakarta: Teras, 2006), h. 88.

dianalisis, 3) kemudian, bahasa dan struktur sintaksis yang sama yang ada di

dalam al-Qur’an harus juga dianalisa, 4) selanjutnya, perlu juga menganalisa ayat

tersebut dengan prinsip-prinsil al-Qur’an yang menolaknya.8

Seringkali perbedaaan pendapat di antara para pakar berawal dari

perbedaan penekanan terhadap salah satu dari ketiga aspek di atas.9

Salah satu dari tujuan hermeneutika kritis tauhidnya adalah menjelaskan

dinamika antara hal-hal yang univesal dan partikular dalam al-Qur’an. Wadud

mengelompokkan tafsīr-tafsīr tentang perempuan menjadi tiga kategori:10 1. Metode Tradisional

Menurut Wadud model tafsir ini menggunakan pokok bahasan tertentu

sesuai dengan minat dan kemampuan mufassirnya, seperti hukum (fiqih), nahwu,

shorof, sejarah, tasawuf dan lain sebagainya. meski semua penekanan ini bisa menimbulkan perbedaan, namun terdapat kesamaan diantara karya-karya ini yaitu dengan metodelogi atomistik. Mungkin saja ada pembahasan mengenai hubungan antara ayat satu dengan ayat yang lainnya. Namun, ketiadaan metode hermeneutika atau metodelogi yang menghubungkan antara ide, struktur sintaksis,

atau tema yang serupa membuat pembacanya gagal menangkap weltanchaung al-

Qur’an.

Lebih lanjut menurut Wadud, tafsir model tradisional ini terkesan eksklusif, ditulis hanya oleh kaum laki-laki. Tidaklah mengherankan kalau hanya kesadaran dan pengalaman kaum pria yang diakomodasikan di dalamnya. Padahal mestinya pengalaman, visi dan perspektif kaum perempuan juga harus masuk di

8M. Rusydi. Relasi Laki-laki dan Perempuan dalam al-Qur’an Menurut Amina Wadud”, Jurnal MIQOT. Vol. XXXVIII No. 2. Juli-Desember 2014, h. 282.

9Amina Wadud. Quran Menurut Perempuan h. 19. 10Amina Wadud. Quran Menurut Perempuan, h. 16-18.

dalamnya, sehingga tidak terjadi bias patriarki yang bisa memicu dan memacu

kepada ketidakadilan gender dalam kehidupan keluarga atau masyarakat.11

2. Tafsir Reaktif,

Yaitu tafsir yang berisi reaksi para pemikir modern terhadap sejumlah

hambatan yang dialami perempuan yang dianggap berasal dari al-Qur’an.

Persoalan yang dibahas dan metode yang digunakan seringkali berasal dari

gagasan kaum feminis dan rasionalis,12 yang melihat keterpasungan perempuan

sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat yang dilekatkan dengan al-

Qur’an. Dalam kategori inilah banyak perempuan atau orang yang menentang

kuat pesan al-Qur’an (atau lebih tepatnya, islam). Mereka menggunakan status

perempuan yang lemah dalam masyarakat muslim sebagai pembenaran atas

“reaksi” mereka.13 Namun, reaksi mereka juga tidak mampu membedakan antara

penafsiran dan teks al-Qur’an. Tujuan yang ingin dicapai dan metode yang

digunakan sering kali berasal dari cita-cita dan pemikiran kaum feminis. tapi tanpa dibarengi analisis yang komprehensif terhadap ayat-ayat yang bersangkutan menyebabkan mereka memperbaiki kedudukan perempuan berdasarkan alasan- alasan yang sama sekali tidak sejalan.

3.Tafsir holistik

Tafsir holistik adalah tafsir yang menggunakan metode penafsiran yang komprehensif dan mengaitkannya dengan berbagai persoalan sosial, moral,

11Amina Wadud. Quran Menurut Perempuan, h. 16-17.

12 Andik Wahyun Muqoyyidin, “Wacana Kesetaraan Gender: Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Gerakan Feminisme Islam”, Jurnal Al-Ulum. Vol. 13. No, II, Desember 2013, h. 505.

ekonomi, plotik, termasuk isu-isu perempuan yang muncul di era modernitas.14 Dalam kategori inilah Wadud memposisikan karyanya. Kategori ini relatif baru, dan belum ada kajian substansial yang secara khusus membahas isu perempuan

dari sudut pandang keseluruhan al-Qur’an dan prinsip-prinsip utamanya. Wadud

bermaksud menyusun “pembacaan” al-Qur’an berdasarkan pengalaman

perempuan, tanpa melibatkan steorotipe yang sudah menjadi kerangka penafsiran laki-laki. Tak pelak lagi, pembacaan seperti ini akan bertabrakan dengan sebagian

kesimpulan yang telah ada. Karena Wadud sedang menganalisis teks al-Qur’an,

bukan tafsirnya.

Meski demikian menurut Wadud tidak ada metode penafsiran al-Qur’an

yang benar-benar objektif. Setiap mufasir menetapkan beberapa pilihan subjektif, Uraian tafsir mereka sebagian mencerminkan pilihan subjektif itu dan tidak selalu

mencerminkan maksud dari teks yang mereka tafsirkan.15

14 Nor Saidah. “Bidadari dalam Konstruksi Tafsir al qur’an: Analisis Gender atas

Pemikiran Amina Wadud Muhsin dalam Penafsiran Al Qur’an”. PALASTREN, Vol. VI, No. 2, Desember 2013, h. 457.

45

BAB IV

KRITIK TERHADAP PENAFSIRAN AMINA WADUD TENTANG KONSEP KEADILAN

Permasalahan mengenai jender sudah terjadi sekian lama. Perdebatan tentang laki-laki dan perempuan apakah berbeda ataukah sama, berbeda untuk sebagaian kasus dan sama dalam kasus yang lain ataukah laki-laki dan perempuan sesungguhnya sama dalam segala hal. Perdebatan semacam ini memang tidak ada habisnya, persoalan yang demikian adanya kemudian menggerakkan para pakar untuk merumuskan alternatif terbaik dalam merespon keduanya, dengan menghadirkan pemikiran tentang kesetaraan dan keadilan jender.

Bagi para ulama dan pemikir muslim, landasan teori dalam menghasilkan

dua jenis pemikiran tersebut sama-sama bersumber dari Al-Qur’an, hadits nabi

dan pendapat-pendapat ilmiah lainnya. Perdebatan yang demikian tersebut sebenarnya tidak menjadikan masalah selama tidak berdampak negatif terhadap struktur kemasyarakatan dan tatanan sosial yang egaliter. Pada kenyataannya, yang terjadi di masyarakat perbedaan fungsi dan peran sosial dipandang negatif, sebab akan berimplikasi terhadap kesewenang-wenangan laki-laki atas

perempuan.1

Wacana tentang keadilan jender dimulai Wadud dengan pertanyaan- pertanyaan dasar yang menetapkan basis paradigmatik bagi makna kemanusiaan. Pertanyaan-pertanyaan seperti; apakah perempuan sama dengan laki-laki; berbeda

1 Ansori, Penafsiran Ayat-ayat Jender Menurut Muhammad Quraish Shihab (Jakarta:

atau tidak identik; sama dan tidak sederajat, berbeda dan sederajat2, berbeda dan tidak sedrajat ataukah sama dan sederajat.

Berbagai pertanyaan di atas, Wadud cenderung memilih antara laki-laki dan perempuan memiliki beberapa perbedaan, namun perbedaan-perbedaan

tersebut tidak terkait dengan hal-hal dasar.3 Perbedaan dasar di sini sering

diartikan sebagai perbedaan unsur kemanusiaan, ketakwaan, dan potensi spiritual

diantara keduanya.4

Wadud sendiri berpendapat bahwa perbedaan peran antara laki-laki dan

perempuan yang terekam dalam al-Qur’an bertujuan untuk membangun hubungan

fungsional yang harmonis, saling mendukung dan menjadikan masyarakat

berjalan lancar dalam memenuhi kebutuhannya. Namun al-Qur’an tidak

mendukung peran tunggal, tentang seperangkat peran yang dikhususkan untuk

laki-laki, dan bagi perempuan di semua tempat.5

Seperti halnya ayat yang menerangkan tentang Qawâm-nya laki-laki atas

perempuan, bagi Wadud Qawâm-nya laki-laki atas perempuan tersebut bukan

berarti tanpa syarat, Qawâm-nya laki-laki atau dalam hal ini berarti suami

ditentukan atas apa yang mereka nafkahkan untuk membiayai hidup perempuan (istri), berbanding lurus dengan ketetapan pelebihan materi dalam hal waris. Ini menunjukkan adanya hubungan timbal balik, antara hak istimewa berupa

2Wadud, Quran Menurut, h. 180. 3Wadud, Quran Menurut, h. 25.

4Lihat,Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender (Jakarta: Paramadina 2014) 5Wadud, Quran Menurut, h. 28.

pelebihan materi dan tangung jawab pemberian nafkah. Meski demikian Wadud

menilai pelebihan seperti itu tidak bersifat mutlak, hanya saja lebih disukai. 6

Pemahaman di atas mengindikasikan bahwa adanya ketetapan yang adil

menyangkut pembagian peran antara laki-laki dan perempuan dalam al-Qur’an.

Hal ini akan berdampak pada pemahaman, ketetapan persaksian, talaq dan saksi, yang akan dibahas selanjutnya.

Dokumen terkait