PENAFSIRAN AMINA WADUD
Skripsi:
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin
Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Agama
Disusun Oleh:
Ahmad Dziya’ Udin
1112034000162
PROGRAM STUDI ILMU AL-
QUR’
AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
v
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamualaikum Wr. Wb.
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karuniaNya kepada penilis, sehigga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Kritik Terhadap Konsep Keadilan Jender Dalam Penafsiran Amina
Wadud” Shalawat serta salam senantiasa selalu tercurah kepda junjungan nabi Muhammad SAW, sang teladan yang telah membawa kita ke zaman kebaikan.
Selawat serta salam senantiasa selalu tercurah kepada junjungan Nabi Muhammad
SAW, sang teladan yang telah membawa kita ke zaman kebaikan. Selan itu
ucapan terima kasih juga saya khususkan kepada ayahanda Abdul Mukhid dan
ibunda Siti Maslikhah selaku orang tua penulis yang telah sabar membesarkan
saya hingga saat ini. Juga tidak lupa kepada Qurratul Uyun, sebagai kakak.
Irsyadu Ibad dan Ayatu Lailatil Khusnah sebagai adik kandung penulis yang telah
mendukung secara moril.
Penelitian ini merupakan tugas akhir yang harus diselesaikan sebagai syarat
guna meraih gelar Sarjana Agama jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Fakultas
Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis
menyadari banyak pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian
penelitian ini. oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis ingin
menghaturkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu
hingga selesainya penyusunan penelitian ini baik secara langsung maupun tidak
vi
1. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan para pembantu
Dekan Fakultas Ushuluddin.
2. Ibu Dr. Lilik Ummi kaltsum. MA selaku Ketua Jurusan Ilmu Al-Qur’an
dan Tafsir. Dan Ibu Banun Binaningrum, MA. selaku Sekertaris Jurusan
Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir.
3. Bapak Dr. Yusuf Rahman. MA selaku dosen pembimbing skripsi yang
telah membantu, mengarahkan, membina dan meluangkan waktunya untuk
penyelesaian penelititan ini. Juga tak lupa kepada Bapak Muslih, Lc., MA.
selaku dosen pembimbing akademik.
4. Seluruh jajaran dosen jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Fakultas
Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Seluruh staf Tata Usaha serta Karyawan Fakultas Ushuluddin Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.yang telah membantu
mempermudah syarat administrasi dll.
6. Seluruh anggota kelas Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, yang tidak bisa saya
sebutkan satu persatu yang telah memberikan dukungan moril.
Teman-teman di FORMALA, IMAGE, HIMAM Ciputat dll,
7. Dan seluruh hal yang terkait dengan penulis khususnya yang tidak bisa
vii
Semoga penelitian ini bermanfaat dan semoga Allah SWT senantiasa meridhoi
setiap langkah kita, Aamiin ya rabbal aalamin.
Jakarta, 31 Agustus 2016
Penulis
viii
ABSTRAK
Ahmad Dziya’ Udin
“Kritik Terhadap Konsep Keadilan Jender Dalam Penafsiran Amina Wadud”.
Laki-laki dan perempuan adalah manusia dengan jenis kelamin yang berbeda, perbedaan ini bisa dikarenakan faktor kandungan hormonal dan anatomi biologisya, karena berbedanya tersebut dimungkinkan laki-laki dan perempuan memiliki perannya masing-masing. Penyesuaian peran dan harapan peran dihadirkan tidak sebagai upaya untuk membatasi jenis kelamin tertentu. Namun lebih pada upaya pemberian rasa keadilan, terhormat dan bermartabat. Meskipun demikian konstruksi tersebut tidak berdiri dalam kerangka yang kaku. Amina Wadud, salah satu aktifis feminis muslim yang selama ini sepak terjangnya dianggap kontroversial, karena telah mendekonstruksi sebuah pemaknaan terhadap doktrinasi agama, baik dalam ranah konseptual, maupun wilayah praktis, menjadi menarik ketika meninjau penafsirannya mengenai keadilan jender dalam al-Qur’an. Penelitian ini bertujuan untuk mengajukan kritik terhadap konsep keadilan jender yang diusung oleh Amina Wadud. Sebagai sebuah penelitian
pustaka (library research), skripsi ini bersumber dari bahan-bahan primer yang
berupa tulisan-tulisan Wadud serta bahan-bahan sekunder berupa buku, jurnal, disertasi dan tulisan ilmiah lainnya.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Wadud tidak menjelaskan secara
rinci bagaimana mengubah mekanisme yang telah ditetapkan oleh al-Qur’an
tersebut menjadi jauh lebih adil dalam hal talak, persaksian, dan dalam hak waris. Wadud hanya ingin menghilangkan kesewenang-wenangan hak spesial yang diterima oleh laki-laki atas perempuan. Bagi Wadud harusnya pelebihan itu diperuntukan untuk membangun hubungan yang saling melengkapi. Wadud tidak menjelaskan secara detail bagaimana mekanisme adil yang diidamkannya. Namun, semangat Wadud untuk menghilangkan kesewenang-wenangan atas hak spesial yang diterima oleh laki-laki atas perempuan patut diapresiasi.
ix
PEDOMAN TRANSLITERASI1
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
ا
Tidak dilambangkanB Be
T Te
ث
Ts Te dan esج
J JH H dengan garis bawah
خ
Kh Ka dan haد
D DeDz De dan zet
ر
R ErZ Zet
x
س
S Esش
Sy Es dan yeص
S Es dengan garis bawahض
D De dengan garis bawahط
T Te dengan garis bawahظ
Z Zet dengan garis bawahع
‘ Koma terbalik di atas hadap kananGh Ge dan ha
ف
F Efق
Q KiK Ka
ل
L Elم
M Emن
N Enxi
ه
H Haء
ˋ Apstrogي
Y YeVokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal
tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal,
ketentuan alih aksaranya adalah berikut ini:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
__/ A Fatẖah
―
ِ
I Kasrahِ
_
U Dammahxii
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ي__/ Ai A dan i
و__/ Au A dan u
Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ى ȃ A dengan topi diatas
ي ى Î I dengan topi diatas
و ى U dengan topi diatas
Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu
لاdialihaksarakan menjadi huruf /ǀ/, baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf
qamariyyah. Contoh: al-rijȃl bukan ar-rijȃl, al-dîwȃn bukan ad-dîwȃn.
Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan
xiii
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini
tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata
sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata adh dhoruuroh
tidak ditulis ad-darȗrah melainkan al-darȗrah, demikian seterusnya.
Ta Marbȗtah
Berkatan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marb tah terdapat pada kata
yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat
contoh 1di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marb tah tersebut diikuti
oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marb tah tersebut
diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/
(lihat contoh 3).
Contoh:
No Kata Arab Alih Aksara
1
ي ط
Tarîqah2
يماس
ﻹ
ا
م لا
al-jȃmiʻah al-islȃmiyyah3
دوجولا
ة حو
waẖdat al-wuj dHuruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih
xiv
yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara
lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan,
nama diri, dan lain-lain. Penting diperintahkan, jika nama diri didahului oleh kata
sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri
tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. (contoh: Ab Hȃmid al-Ghazȃlî
bukan Ab Hȃmid Al-Ghazȃlî, al-Kindi bukan Al-Kindi.
Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat diterapkan
dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic)
atau cetak tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku itu ditulis denga cetak
miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya. Demikian seterusnya.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal
dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialih aksarakan meskipun akar
katanya berasal dari kata Arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani, tidak
xv
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ... i
LEMBAR PENGESAHAN ... i
ABSTRAK ... viii
KATA PENGANTAR...v
TRANSLITERASI...ix
DAFTAR ISI... xv
BAB I...1
PENDAHULUAN...1
A. Latar Belakang ... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ... 6
C. Tujuan dan Manfaat ... 7
D. Tinjauan Pustaka ... 7
E. Metode Penelitian ... 15
F. Sistematika Penulisan ... 17
BAB II...19
KEADILAN JENDER DALAM PANDANGAN MUFASIR DAN AKTIVIS ... 19
A. Pengertian Adil ... 19
B. Pengertian kesetaraan gender ... 20
A. Konsep keadilan dan kesetaraan jender menurut mufasir dan aktifis ... 21
B. Konsep Keadilan dan Kesetaraan Jender menurut Mufasir Kontemporer ... 25
C. Konsep Keadilan dan Kesetaraan Jender Menurut Aktivis Jender ... 32
BAB III...37
PEMIKIRAN DAN BIOGRAFI AMINA WADUD....37
A. Biografi Amina Wadud...37
B. Pemikiran Amina Wadud (Hermeneutika Tauhid)...41
BAB IV ... 45
A. Contoh Ayat yang Berbicara Tentang Keadilan Jender ... 47
xvi
2. Ayat Tentang Hak Talak Suami dan Kemampuan Khulu’ Seorang Istri
(al-Baqarah 2:229-231) ... 57
3. Ayat Tentang Bobot Persaksian Laki-laki dan Perempuan (al-Baqarah 2: 282) .. 64
BAB V ... 71
KESIMPULAN DAN SARAN ... 71
A. KESIMPULAN ... 71
B. SARAN ... 72
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Laki-laki dan perempuan adalah mahluk Tuhan yang sama,1 meskipun
demikian antara laki-laki dan perempuan tetap memiliki sisi yang berbeda.2
Adanya perbedaan tersebut mengindikasikan bahwa keduanya tidak dapat
dipersamakan secara penuh dalam segala hal, karena mempersamakan seutuhnya
dalam dua hal yang jelas-jelas berbeda menjadikan salah satu dari keduanya
menyimpang dari kodratnya, dan itu merupakan sebuah bentuk pelecehan. Namun
tidak memberi hak-hak mereka sebagai manusia yang dianugerahi kodrat dan
kehormatan yang tidak kalah dengan apa yang di anugerahkan Allah kepada
1 Dalam kapasitas manusia sebagai makhluk tidak ada perbedaan antara laki-laki dan
perempuan. Keduanya memiliki potensi dan peluang yang sama untuk menjadi hamba ideal. Seperti diterangkan al-Qu’ran.
ْكاأ نِإ اوُفارااعا تِل الِئاابا قاو اًوُعُش ْمُكاانْلاعاجاو ىاثْ نُأاو ٍراكاذ ْنِم ْمُكاانْقالاخ َِإ ُسانلا ااه ياأاَ ار
ْنِِ ْمُُام ٌيِباخ ٌميِلاِ اَا نِإ ْمُكااقْ تاأ َِا اد
“Wahai manusia. Sungguh. Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah maha mengetahui, Maha
teliti” (Al-Qur’an QS. Al-Hujurât / 49: 13. cet, Kementrian Agama thn 2012, h. 745).
(Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender (Jakarta: Paramadina 2014, h. 248)
2 Ada dua perbedaan yang dikenal antara laki-laki dan perempuan, pertama. perbedaan
Nature (yang berarti sifat alamiah dari segi biologis atau kodrati ciptaan Tuhan karena itu bersifat tetap dan tidak berubah), seperti perbedaan perempuan mengandung, melahirkan, dan menyusui sedangkan laki-laki punya penis, sperma dll. (Husein Muhammad, Fiqh Perempuan:Rrefleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender (Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara, 2001, h, 8. Kedua. Nurture perbedaan karena konstruksi sosial dan faktor budaya, dengan melihat bahwa komposisi kimia dan struktur biologis perempuan berbeda dengan laki-laki, faktor ini yang kemudian menentukan status dan peran yang dimainkan keduanya.
laki juga merupakan bentuk pelecehan.3 Sebuah pranata yang adil kemudian dibutuhkan sebagai bahan mediasi antara persamaan dan perbedaan keduanya.
Salah satunya dengan pembagian struktur fungsional dan peran yang ideal.
Al-Qur’an sebagai salah satu pedoman hidup umat manusia (muslim)4
banyak berbicara tentang laki-laki dan perempuan beserta hak dan kewajibannya.5
Al-Qur’an juga menetapkan kerangka sosial, politik dan moral, namun bagi
Wadud kesemuanya itu tidak diungkapkan secara pasti.6 Sedangkan menurut
pakar yurisprudensi Islam, ‘Abd al-Wahâb Khalâf’ sesuatu hal yang sangat
diperinci penjelasannya dalam al-Qur’an merupakan hukum yang pasti yang tidak
membutuhkan ruang ijtihad lagi7, dan penjelasan mengenai hukum Islam yang
diterangkan secara rinci dalam al-Qur’an ada pada hukum keluarga dan dalam
kasus pembagian harta waris.8
Berbicara tentang perbedaan sudut pandang dalam menafsirkan al-Qur’an
baik yang mengatakan pastinya sebuah hukum keluarga dan tidak pastinya pranata
hukum keluarga dalam Islam oleh sementara ulama atau cendekiawan, bisa jadi
karena menggebu-gebunya semangat mereka dalam menampik bias atau
meluruskan kekeliruan, kesalahpahaman, dan pengamalan umat tentang ajaran
agama, sementara mereka sering kali melampaui batas sehingga lahir pandangan
3 Quraish Shihab, Perempuan (Tangerang Selatan: Lentera Hati, 2005), h. 34.
4Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi: Tafsir Tematik Islam Rahmatan lil’âlamîn (Jakarta: Grasindo, 2010), h. 205.
5 Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan: Bias Laki-laki dalam Penafsiran (Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara, 2003), h. 43.
6 Lihat, Amina Wadud, Quran Menurut Perempuan, Membaca Kembali Kitab Suci dengan Semangat Keadilan, tarj Abdullah ali (Jakarta: Serambi, 2006), h. 184.
7 ‘Abd al-Wahâb Khalâf’, Ỉlm Ushul Fiqh (Kairo: Maktabah al-Da’wah al-Islâmiyyah, 2004), h. 60.
8 Depag RI, Tafsir al-Quran Tematik: Kedudukan dan Peran Perempuan (T.tp.: PT.
yang justru tidak sejalan dengan pandangan agama.9 Semangat yang tinggi juga
sering lahir karena keinginan Mufasir dalam meredam superioritas laki-laki yang
justru memperoleh justifikasi dariagama. Terlebih teks-teks suci keislaman dalam
konteks ini adalah al-Qur’an dan Hadis,10 maupun produk tafsir ulama-ulama
dulu.11 Semangat yang tinggi tersebut menjadikan para Mufasir mengkaburkan
pesan-pesan agama yang sebenarnya.
Amina Wadud Muhsin, salah satu tokoh feminis muslim kontroversial,
karena telah mendobrak dinding paradigma konvensional yang dipertahankan
selama empat belas abad sebelumnya.12 Pendobrakan ini dilakukan oleh Amina
bukan hanya pada ranah konseptual, tetapi juga dibuktikan pada ranah praksis.13
Pada Jumat 18 Maret 2005, dunia Islam disuguhi tontonan yang ganjil, ketika
Amina menjadi khotib sekaligus memimpin shalat Jumat di sebuah Gereja
Katedral di Sundram Tagore Gallery 137 Greene Street.14 Terhadap kasus ini,
Syaikh al-Azhar, Muhammad Sayyid al-Tantâwî di Mesir menyatakan
9 Shihab, Perempuan, h. 34.
10Umma Farida, “Teks-teks Keislaman Dalam Kajian Kaum Feminis: Telaah Terhadap Pendekatan Studi Islam Dari Kalangan Feminis Muslim”.PALASTReN, Vol. III, No. 2, (Desember 2010): h. 204.
11 Shinta Nurani, “Implikasi Tafsir Klasik Terhadap Subordinat Gender: Perempuan Sebagai Makhluk Kedua”. Muwazah, Vol. VII, No. 2, (Desember 2015): h. 132.
12Sokhi Huda, Kontroversi Hak dan Peran Perempuan dalam Pemikiran Kontemporer Amina Wadud (Jombang: Universitas Hasyim Asy’ari Tebuireng. T.th)
13Kontroversi Wadud tersebut bukan hanya dilakukan satu kali, yang di memungkinkan Wadud hanya berupaya menunjukan bahwa dirinya berani menjadi khatib dan Imam shalat Jumat. Wadud juga meyakini bahwa hal seperti itu sah-sah saja. Di buktikan dengan menjadi Imam sekaligus khatib di Pusat Pendidikan Muslim MEC (Muslim Educational Center) Oxford, sekaligus menjadi pembuka konferensi Islam dan Feminisme yang di gelar di Wolfson College, Oxford. (https://www.arrahmah.com/read/2008/10/22/2497-jumatan-amina-wadud-manipulasi-hadits-ala-feminisme.html)
keberatannya dan Syaikh Yûsuf al-Qardhawî memvonis aksi tersebut tidak Islami
dan bid’ah.15
Wadud juga menolak adanya perbedaan-perbedaan esensial yang
disandarkan pada laki-laki dan perempuan, karena bagi Wadud nilai-nilai yang
dinisbahkan kepada berbagai perbedaan peran menggambarkan perempuan
sebagai manusia yang lemah,16 seperti halnya kecenderungan umum masyarakat
yang selalu melimpahkan segala bentuk perawatan anak kepada perempuan.
Pembagian kerja ini sekalipun sesuai dengan sebagian keluarga, namun
bagaimanapun juga pembagian ini hanyalah salah satu solusi dan tidak di atur
dengan tegas dalam al-Qur’an.17 Meski demikian, Perbedaan peran di atas tidak
selamanya berimplikasi negatif terhadap superioritas inheren laki-laki atas
perempuan seperti kecemasan Wadud selama ini.18 Perbedaan dalam hal peran
publik bisa juga berfungsi sebagai nilai untuk mencapai tatanan yang adil dan
terhormat sebagai keberlangsungan sistem kehidupan masyarakat atau keluarga.19
Kegelisahan Wadud terkait fungsi peran lintas gender seolah menjebak
Wadud dalam konsep keadilan yang diidamkannya dengan solusi menyeluruh
yang dibicarakan al-Qur’an, seperti formula pembagian harta waris dua banding
yang dinilainya salah.20 Penilaian salah terhadap pembagian harta waris dua
banding satu bisa terjadi dikarenakan banyak hal, di antaranya adalah: Pertama:
karena melihat perempuan secara individual, bukan sebagai bagian dari anggota
15 Sokhi Huda, Kontroversi Hak 16 Wadud, Quran Menurut, h. 25. 17 Wadud, Quran Menurut, h. 155. 18 Lihat, Wadud, Quran Menurut, h. 110.
19
Disarikan dari. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat (Jakarta: Mizan Pustaka, 1996), h. 301-311.
keluarga yang terdiri dari sepasang suami dan istri yang saling melengkapi.
Kedua: karena pandangan tersebut bersifat parsial, artinya memahami ayat-ayat
al-Qur’an secara sepotong-sepotong sedangkan ayat-ayat al-Qur’an merupakan
satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya.21
Kegelisahan Wadud juga nampak ketika menafsirkan QS. al-Nisâ’ / 4: 34.
Ayat ini dipandang sebagai satu-satunya ayat yang paling penting terkait
hubungan laki-laki dan perempuan. Laki-laki Qawâm ʻalâ perempuan hanya
dibatasi berdasarkan dua hal yaitu; pelebihan seperti apa yang diberikan dan apa
yang laki-laki belanjakan dari harta mereka untuk menafkahi perempuan, jika dua
syarat ini tidak terpenuhi maka laki-laki tidak bisa di nilai Qawâm atas
perempuan. Di dalam keluarga tiap-tiap anggota memiliki tanggung jawab
tertentu. Berdasarkan alasan biologis yang jelas, tanggung jawab utama
perempuan adalah melahirkan anak, sedangkan kewajiban laki-laki harus sama
pentingnya, menjaga agar perempuan tidak terbebani peran tambahan yang dapat
membahayakan kewajiban utamanya, berarti segala sesuatu yang dibutuhkan
perempuan dalam menunaikan kewajibannya dengan nyaman harus disediakan
dalam masyarakat, dalam hal ini laki-laki berhak dalam perlindungan fisik
maupun nafkah materi, jika tidak maka itu merupakan penindasan serius terhadap
perempuan.22
Skenario ideal di atas mengandaikan suatu hubungan yang adil dan saling
bergantung, namun itu tidak selamanya sejalan dengan realitas saat ini, seperti
yang dialami negara-negara dengan kelebihan jumlah penduduk seperti India dan
21 Depag RI, Tafsir al-Quran tematik: Kedudukan dan Peran Perempuan (T.tp.: PT. Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 196.
Cina, atau dalam masyarakat kapitalis seperti Amerika yang mana pendapatan
tunggal tidak lagi memungkinkan untuk menopang gaya hidup yang tinggi.23
Model ayat yang terkesan mendiskreditkan jenis kelamin tertentu banyak
lagi terdapat dalam al-Qur’an, seperti halnya ayat tentang bobot persaksian
laki-laki dan perempuan ( QS. al-Baqarah / 2: 282), ayat tentang kepemilikan hak
talak suami dan kemampuan khulu’ seorang istri (QS. al-Baqarah / 2:229-231).
Bagaimana kemudian Wadud memformulasikan ayat-ayat di atas menjadi adil
yang ideal, dan bagaimana Mufasir memahami keadilan, keadilan yang dipandang
sebagai pesan utama al-Qur’an, dalam hal ini keadilan harusnya diartikan sebagai
keseimbangan, bukan sebagai sebuah kesamaan.24
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan oleh penulis, Berdasarkan
masalah di atas, dan mengingat pembahasan yang begitu luas mengenai
konsep keadilan penelitian ini memfokuskan diri hanya pada “KRITIK
TERHADAP KONSEP KEADILAN JENDER DALAM PENAFSIRAN
AMINA WADUD”, dalam buku “Qur’an and Women: Rereading Sacred
Text from Woman’s Perspective”. Pada ayat-ayat tentang kadar pembagian
harta waris antara laki-laki dan perempuan (QS. al-Nisâ’ / 4:11), ayat tentang
hak talak suami dan kemampuan khulu’ seorang istri (QS. al-Baqarah /
2:229-231), ayat tentang bobot persaksian laki-laki dan perempuan (QS.
23 Wadud, Quran Menurut, h. 127.
24Depag RI. Tafsir al-Quran tematik: Etika Berkeluarga, Bermasyarakat, dan Berpolitik
Baqarah / 2: 282), dan ayat-ayat tentang persamaan potensi laki-laki dan
perempuan (QS. al-Nahl / 16: 96, Âli‘imrân / 3: 195, QS. al-An‘âm / 6: 165)
2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka dapatlah di rumuskan masalah yang
hendak dijawab, yaitu:
Bagaimana Kritik terhadap konsep keadilan Jender dalam Penafsiran
Amina Wadud ?
C. Tujuan dan Manfaat
1. Tujuan Penelitian
Untuk menguji model keadilan jender dalam penasiran Amina Wadud.
Sebagai bacaan alternatif terhadap pemikiran feminis Muslim.
2. Manfaat Penelitian
A. Manfaat secara teoritis; penelitian ini bermanfaat untuk menguji atau
mengembangkan cara pandang Wadud dalam memahami keadilan gender.
B. Manfaat secara praktis; penelitian ini bermanfaat sebagai bahan bacaan
alternatif dalam mata kuliah Kajian Gender maupun Kajian Modern
Terhadap al-Qur’an.
D. Tinjauan Pustaka
Penelitian yang membahas tema perempuan dalam Islam memang
senantiasa menarik untuk dilakukan. Banyak faktor yang melatarbelakangi hal
tersebut, salah satunya adalah masih adanya gap antara yang ideal dan yang terjadi
terkait dengan isu perempuan. Namun jika membahas tentang perempuan dalam
kajian Islam kontemporer. Banyak nama yang tidak boleh dilupakan. Salah
tentang keadilan jender dalam Islam.25 Hal ini yang kemudian mendorong banyak intelektual untuk mencoba mengkaji epistemologi pemikirannya, terutama
mengenai diskursus perempuan dalam Islam. Secara sederhana kajian mengenai
pemikiran wadud ini dapat diklasifikasikan menjadi tujuh.
Pertama, kajian yang menitiberatkan pada kepemimpinan dalam keluarga.
Semisal dalam karya Hanum Rahmawati. “pemikiran Amina Wadud tentang
Kepemimpinan dalam Keluarga: Studi Perbandingan dalam Hukum Islam”.26 Dalam karya ini Hanum menekankan perhatiannya terhadap sikap Wadud
mengenai kepemimpinan dalam keluarga yang tidak hanya dimanipulasi oleh
laki-laki, tetapi wanita juga memiliki peran dan posisi sebagai pemimpin dalam
keluarga. Hanum juga membandingkan Amina dengan ulama-ulama terdahulu
dan memfokuskan pada kajian kepemimpinan dalam keluarga.
Kajian lain yang menekankan pada kepemimpinan dalam keluarga dapat
dilihat pada tulisan Nurul Yatim yang berjudul “Pandangan Mahmud Syaltut dan
Amina Wadud tentang konsep Kepemimpinan dalam Keluarga”.27 Skripsi yang ditulis oleh Nurul Yatim sama dengan yang ditulis oleh Hanum Rahmawati, letak
perbedaannya pada upaya komparatif Nurul. Dalam membandingkan pemikiran
tokoh Mahmud Syaltut dengan Amina. Karena ternyata Mahmud Saltut
memandang bahwa tugas laki-laki adalah pemimpin dalam keluarga. Hal ini tidak
25 Siti Muslikhati, Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam, h.
47.
26Hanum Rahmawati. “Pemikiran Amina Wadud tentang Kepemimpinan Dalam Keluarga:
Studi Perbandingan dalam Hukum Islam,” (Skripsi S1 Perbandingan Madzhab dan Hukum Fakultas Syari’ah, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2002).
27 Nurul Yatim, “Pandangan Mahmud Syaltut dan Amina Wadud tentang Konsep
lebih tugas khusus yang telah disesuaikan dengan kemampuan kodrati laki-laki
atas perempuan.
Kedua, kajian yang menitiberatkan pada pandangan Amina mengenai hak
waris. Sebagai misal adalah karya Retna Wulandari, “Perempuan dalam Sistem
Kewarisan Menurut Amina Wadud Muhsin”.28 Retna dalam skripsi ini membahas
tentang perempuan dalam sistem kewarisan menurut Amina, dia mengatakan
adanya unsur diskriminatif terhdap wanita dalam hukum waris Islam karena dari
sekian ayat al-Qur’an wanita selalu mendapatkan warisan lebih sedikit dari pada
laki-laki. Hal ini menjadi fokus perhatian penulis dalam mengkaji pandangan
Amina sebagai seorang yang secara representatif mengusung wacana kesetaraan
dan keadilan.
Ketiga. Kajian yang mengambil fokus bagian pada nusyuz. Sebagai misal
adalah karya Dakwatul Khairoh, “Analisis terhadap Pemikiran Amina Wadud
tentang Nusyuz Ditinjau dari Maslahah Mursalah”.29 Skripsi ini ingin
menyampaikan pemikiran Amina tentang nusyuz di tinjau dari maslahah
mursalah. Khairoh mendeskripsikan pemikiran Amina Wadud tentang nusyuz
yang dianalisis dari maslahah mursalah. Dengan alasan apabila nusyuz ditinjau
dari analisis maslahah tidak lagi dimonopoli oleh kaum perempuan sebagai istri
akan tetapi juga berlaku bagi suami.
Kajian lain yang menekankan pada masalah nusyuz dapat dilihat juga pada
tulisan Husni Mubarok, “Nusyuz : Studi Komparatif Imam asy-Syafi’i dan Amina
28 Retna Wulandari, “Perempuan dalam Sistem Kewarisan Menurut Amina Wadud
Muhsin,” (Skripsi S1 fakultas Syari’ah, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2006).
29 Dakwatul Chairoh, “Analisis Terhadap Pemikiran Amina Wadud tentang Nusyuz ditinjau
Wadud”.30 Skripsi ini berfokus pada kajian adanya ikatan antara suami-isteri
yaitu hak isteri untuk dipenuhi oleh suami dan sebaliknya, serta hak bersama yang
harus ditanggung bersama. Bila hak dan kewajiban yang ada dalam rumah tangga
terpenuhi sesuai porsinya masing-masing, maka akan tercipta keluarga yang baik
serta harmonis dan sebaliknya apabila hak dan kewajiban tidak dilaksanakan
dengan baik oleh suami atau isteri, maka akan menumbuhkan konflik yang dapat
merongrong stabilitas keluarga tersebut. Kalau al-Qur’an menyebutnya sebagai
Nusyuz, Wadud dan Imam Asy-Syafi’i berbeda pendapat dalam menetapkan
pemukulan sebagai salah satu solusi penyelesaian nusyuz di mana Wadud tidak
setuju menyertakan tindakan ini dalam solusi penyelesaian nusyuz.
Adapun dalam penetapan solusi bagi suami nusyuz kedua ulama tersebut
juga berbeda pendapat. Imam asy-Syafi’i cenderung berpandangan bahwa pihak
isteri adalah pihak yang lemah dan solusinya adalah al-Sulhu ala al-inkar dalam
proses perdamaian (sulhu). Sedangkan Wadud menolak solusi penyelesaian
nusyuz oleh suami.
Kajian lain yang menekankan pada masalah nusyuz dapat dilihat pada
tulisan Siti Khomsiatun, “Nusyus dalam Pandangan Zamakhsari dalam al
-Kasysyaf dan Amina Wadud dalam Quran and Women (study kompratif)”.31
Skripsi ini fokus membahas tentang konflik dalam keluarga secara global,
keluarga sakinah bukan keluarga yang tidak punya masalah tetapi keluarga yang
30 Husni Mubarok, “Nuyuz : Studi Komparatif Imam asy-Syafi’i dan Amina Wadud,”
(Skripsi S1 Perbandingan Madzhab Dan Hukum Fakultas Syari’ah, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarat, 2009).
31 Siti Khomsiatun, “Nusyus dalam pandangan Zamakhsari dalam al-Kasysyaf dan Amina
bisa mencari solusi ketika terjadi konflik keluarga. Dalam skripsi ini juga penulis
membahas tentang menagemen konflik.
Keempat, Kajian yang menekankan pada poligami dapat dilihat juga pada
tulisan Iis Kartika, “Poligami dalam Pandangan Amina Wadud Muhsin dan
Wahbah Az-Zuhaili”.32 Skripsi ini ingin mendiskripsikan seorang istri yang dipoligami karena alasan yang cendrung memojokkan istri sebagai penyebab dari
suaminya berpoligami seperti mandul, ingin banyak anak dan alasan kesehatan.
Kajian lain yang menekankan pada poligami dapat dilihat pada tulisan Inin
Nastain, “Istimbat Hukum Muhammad Abduh dan Amina Wadud Muhsin Dalam
Hal Istri Mandul Sebagai Alasan Poligami”.33 Skripsi ini secara substansi sama
dengan yang di atas, yang membedakan hanya perbandingan tokoh.
kajian lain yang menitiberatkan pada permasalahan poligami seperti yang
dilakukan oleh Nur Chabibah, “Studi Analisis Hukum Islam Terhadap pemikiran
Amina Wadud Tentang Tidak diperbolehkannya Poligami”.34 Nur Chabibah mencoba menjawab pertanyaan tentang Bagaimana epistimologi dan latar
belakang yang digunakan Wadud dalam pengambilan hukum tentang pelarangan
poligami. Sehingga pada akhir skripsi ini berbicara tentang boleh tidaknya
poligami harus dipahami secara kaffah, kalaupun alasan suami berpoligami karena
32 Iis Kartika, “Poligami dalam Pandangan Amina Wadud Muhsin dan Wahbah
Az-Zuhaili,” (Skripsi S1 Fakultas Syari’ah, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarat, 2007).
33Inin Nastain, “Istimbat Hukum Muhammad Abduh dan Amina Wadud Muhsin dalam
Hal Istri Mandul Sebagai Alasan Poligami,” (Skripsi S1 Fakultas Syari’ah, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarat, 2007).
34 Nur Chabibah, “Studi Analisis Hukum Islam Terhadap pemikiran Amina Wadud
istri mandul atau alasan lainnya yang oleh undang undang atau hukum Islam itu
diperbolehkan.
Kelima. Kajian yang menekankan pada kesetaraan jender dapat dilihat
juga pada Sulaiman. “Kesetaraan Jender (Dalam Pemikiran Amina Wadud dan
Siti Musdah Mulia)”.35 Skripsi ini sama dengan yang diatas yang membahas
tentang jender, perpedaanya hanya pada perpaduan dua tokoh feminis, dalam
skripsi ini tokohnya Amina dan Siti Musdah Mulia.
Kajian lain yang menitiberatkan pada wanita dalam ranah sosial
(kesetaraan jender) seperti yang dilakukan oleh Habibi Ibnu HS, “Kesetaraan
Jender dalam al-Qur’an Perspektif Amina Wadud”.36 Skripsi ini membahas tentang Amina yang ingin membangkitkan peran perempuan dalam kesetaraan
dan relasi gender, dengan berprinsip pada keadilan sosial dan kesetaraan gender.
Dia juga ingin menyelamatkan perempuan dari konservatifisme Islam. Menurut
Wadud banyak hal yang menyebabkan penafsiran miring tentang perempuan;
kultur masyarakat, kesalahan paradigma, latar belakang para mufasir yang
kebanyakan laki-laki.
Keenam. Kajian yang menekankan pada peran wanita dalam ruang publik
dapat dilihat juga pada Yuslam Chanafi, “Perbandingan Antara Saksi Perempuan
dengan Laki-Laki”.37 Skripsi ini membahas tentang kekuatan kesaksian wanita
baik dalam muamalah atau yang lainnya. Menurut Wadud, bahwa adanya dua
35 Sulaiman. “Kesetaraan Jender (Dalam Pemikiran Amina Wadud dan Siti Musdah
Mulia),” (Skripsi S1 Fakultas Syari’ah, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarat, 2006).
36Habibi Ibnu HS, “Kesetaraan Jender dalam al-Qur’an Perspektif Amina Wadud” (Skripsi S1 Ushuluddin, Universitas Islam Syarif Hidatullah Jakarta, 2007).
saksi perempuan sama dengan satu saksi laki-laki, karena dalam masyarakat
umumnya perempuan mudah dipaksa, sehingga jika saksi yang dihadirkan hanya
seorang perempuan, maka ia akan menjadi sasaran empuk kaum pria tertentu yang
ingin memaksanya agar memberi kesaksian palsu, dan jika ada dua orang saksi
perempuan mereka bisa saling mendukung satu sama lain; jika yang seorang lupa
(tudilla), maka seorang lagi dapat mengingatkannya (tudzakkira) akan perjanjian
muamalah.
Kajian lain yang menitiberatkan pada peran wanita dalam ruang publik
seperti yang dilakukan Ahmad Baidowi. “Tafsir Feminis (StudiPemikiran Amina
Wadud dan Nash Hamid Abu Zaid)”.38 Dalam disertasi ini Baidawi menguraikan gagasan Amina Wadud dan Nasr Hamid Abu Zaid dengan menggunakan
pendekatan filosofis hermeneutis untuk mengungkap asumsi-asumsi filosofis
mengenai penafsiran feminis. Dari analisis disertasinya mengungkap bahwa kedua
tokoh feminis muslim ini memahami tafsir bukan sebagai tindakan menjelaskan
teks-teks al-Qur’an secara aktual sebagaimana yang lazim dilakukan para penafsir
tradisional. Keduanya memahami penafsiran sebagai upaya mengaitkan teks
al-Qur’an dengan problem realitas kontemporer dalam rangka menemukan solusi yang qurani atas berbagai problem masyarakat saat ini, terutama yang sangat
menyudutkan eksistensi wanita.
Ketujuh. Kajian yang menitiberatkan pada permasalahan wanita sebagai
imamah seperti yang dilakukan oleh Kokom Komariah, “Pandangan Ulama
tentang Imam Salat Perempuan: Telaah Kritis Terhadap Pemikiran Amina
38Ahmad Baidowi. “Tafsir Feminis (Studi Pemikiran Amina Wadud dan Nash Hamid Abu
Wadud”.39 Skripsi ini membahas tentang Pandangan ulama tentang imam salat
perempuan, pada tahun 1994 Amina menyampaikan khotbah Jum’at di Masjid
Claremont, Cape Town, Afrika Selatan, dan pada Jum’at, 18 Maret 2005, 100
orang laki-laki dan perempuan menyelenggarakan shalat Jumat di sebuah gereja
Anglikan, hal memicu respons dari pihak-pihak yang setuju dengan tindakannya
ini. Sedangkan Syekh Yusuf Qardhawi, serta Syekh al-Azhar Mesir, Muhammad
Sayyid al-Thanthawi mengajukan keberatan atas aksi Amina Wadud ini.
Adapun beberapa literatur pembahasan terkait adil adalah:
“Berbuat Adil Jalan Menuju Bahagia”.40 Dalam buku ini penulisnya
membahas tentang sifat adil yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin (Ulil
Amri) dan balasan dari Allah bagi orang yang berlaku adil, serta balasan bagi
orang yang berbuat zalim.
“Konsep Adil dalam Poligami (Analisis Perspektif Hukum Islam dan
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974”.41 Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Syarif Hidatullah jakarta, 2010. Skripsi ini membahas tentang
sikap adil yang harusnya dilakukan oleh seorang suami yang melakukan poligami,
didasarkan pada hukum Islam dan hukum Negara. Sifat adil seperti apa yang
harusnya dilakukan oleh suami kepada anak dan istri, adalah dalam pembagian
waktu berkumpul bersama keluarga.
39Kokom Komariah, “Pandangan Ulama Tentang Imam Salat Perempuan: Telaah Kritis
Terhadap Pemikiran Amina Wadud,” (Skripsi S1 Fakultas Syariahdan Hukum, Universitas Islam Syarif Hidatullah Jakarta, 2006).
40 Yusuf Abdullah Daghfaq, “Berbuat Adil Jalan Menuju Bahagia”. (Jakarta: Gema Insani Press. 1992)
“Analisis Konsep Adil Berpoligami Perspektif Hukum Islam”.42Skripsi ini hampir sama dengan skripsi di atas hanya saja sifat adil yang di kaji dalam skripsi
ini berfokus pada keadilan yang harusnya dilakukan oleh seorang suami ketika dia
berpoligami menurut hukum Islam.
“Keadilan dalam al-Quran (Analisis Kata al-Qisth Pada Berbagai
Ayat)”.43 Pada skripsi ini penulis mencoba membahas tentang konsep keadilan
dalam al-Quran lewat kata al-Qisth. Keadilan yang bersifat seimbang, dipakai
untuk menjelaskan sifat orang-orang yang berilmu. Juga perlakuan terhadap
hak-hak anak yatim. Maupun ketika berjual beli.
Pembahasan tentang keadilan dalam al-Qur’an masih bisa diperluas lagi.
Dari penjelasan mengenai literatur di atas terdapat sejumlah persamaan dengan
apa yang akan penulis kaji dari alasan sisi epistemologi, mengapa Amina Wadud
memahami ayat al-Qur’an seperti itu, dan perbedaannya ada pada “ Kritik
Terhadap Konsep Keadilan Atas Penafsiran Amina Wadud” hal inilah yang
menjadikan skripsi ini menjadi layak di lakukan.
E. Metode Penelitian
Dalam penulisan ini, nantinya digunakan beberapa metode sebagai
berikut :
a. Metode Pengumpulan Data
42 Nuri Faat, Analisis Konsep Adil Berpoligami Perspektif Hukum Islam”. Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Syarif Hidatullah jakarta, 2007.
43 Alfionitazkiyah, Keadilan dalam al-Quran (Analisis Kata Al-Qisth Pada Berbagai
Penelitian ini termasuk jenis penelitian (library research),44 merupakan jenis penelitian kualitatif dengan pengalian bahan-bahan
pustaka yang koheren dengan obyek pembahasan,45 yakni dengan cara
menuliskan, mengedit, mengklasifikasikan, mereduksi, dan menyajikan
data. Data diambil dari berbagai sumber tertulis, sumber yang dimaksud
adalah berupa buku-buku, bahan-bahan dokumentasi dan sebagainya.
b. Sumber Data
Penelitian ini menggunakan sumber data kepustakaan yang berkaitan
dengan penafsiran Amina. Sumber data yang dimaksud dalam penelitian adalah
subyek dari mana data diperoleh. Adapun sumber data dalam penelitian ini
adalah:
1. Sumber data primer
Sumber data primer adalah sumber pokok penelitian skripsi ini.
Adapun data primer dalam penelitian ini adalah al-Qur’an dan buku karya
Amina Wadud Muhsin yang berjudul: “Quran Menurut Perempuan:
Membaca Kembali Kitab Suci dengan Semangat Keadilan”. Terjemah Abdullah Ali (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006)
2. Sumber data sekunder
Sumber data sekunder adalah sumber informasi yang tidak secara
langsung mempunyai wewenang dan tanggung jawab terhadap informasi
44library research juga disebut sebagai kajian pustaka. kajian literatur yang merupakan sebuah uraian atau deskripsi tentang literatur yang relevan dengan bidang atau topik tertentu.Memberikan tinjauan mengenai apa yang telah dibahas atau dibicarakan oleh peneliti atan penulis. teori dan hipotesis yang mendukung, permasalahan penelitian yang diajukan atan dinyatakan, metode dan metodologi yang sesuai. Lihat Punaji Setyosari. Metode Penelitian Pendidikan dan Pengembangan (Jakarta: Kencana Prenadamedia, 2013), h. 95.
45 Ronny H Sumintro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, cet. Ke-4 (Jakarta:
yang ada. Adapun yang dijadikan sumber sekunder dalam skripsi ini adalah
buku-buku, kamus, jurnal, dan karya lain yang relevan dengan pembahasan
tersebut.
c. Metode Analisis Data
Analisa data dalam skripsi ini penulis menggunakan metode kualitatif
dengan metode deskriptif analisis. Dan metode analisis kritis. Sedangkan
pendekatan yang penulis gunakan adalah pendekatan deduktif-analitik, sebagai
prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan mengambarkan atau
melukiskan keadaan sebuah subyek atau obyek penelitian.46 Mempelajari karya
tokoh yang bersangkutan dengan membuat analisis mengenai semua konsep
pokok satu persatu, agar dapat dibangun suatu sintesis. Pola pikir ini digunakan
untuk menganalisis pembacaan ulang al-Qur’an yang bersemangat keadilan
versi Amina Wadud Muhsin. Sehingga dapat ditarik kesimpulan yang bisa
menguatkan ataupun melemahkan pendapatnya.
d. Teknik Penulisan
Panduan penulisan skripsi ini berdasarkan pada Pedoman penulisan
skripsi47 yang terdapat dalam Pedoman Akademik Tahun 2012/2013 Program
Strata 1 Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. yang
diterbitkan oleh Biro Adimistrasi dan Akademik UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Penulisan catatan kaki untuk kutipan kedua dan seterusnya, hanya
menyertakan nama populer penulis atau nama belakang dan dua kata dari judul
beserta halaman.
46 Hadawi Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1995), h. 63.
47 Tim Penyusun, Pedoman Akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
F. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini disusun menjadi empat bab. Bab I merupakan
pendahuluan yang berisi asumsi-asumsi yang melatarbelakangi pemilihan tema
penelitian ini, kemudian rumusan masalah yang akan dijawab dalam skripsi ini.
Tujuan dan kegunaan dari penelitian, telaah terhadap buku-buku atau
tulisan-tulisan lain yang pernah dilakukan sebelumnya mengenai tema ini, serta
pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini. Karena pembahasan dalam
skripsi ini terfokus pada Kritik Terhadap Konsep Keadilan Jender. Maka penulis
menjadikan Bab ke II untuk menelaah model-model penafsiran tentang keadilan
yang telah dilakukan oleh para mufasir-mufasir dan para aktifis jender.
Biografi dan pemikiran Amina Wadud penulis kemukakan pada BAB III.
Berikut bagaimana Wadud mengunakan metode Hermeneutika Tauhid dalam
menafsirkan al-Qur’an yang di adopsi dari Fazlur Rahman. Yaitu teori doubel
movement.
Penafsiran Amina Wadud mengenai keadilan jender dalam al-Quran,
penulis kemukakan dalam Bab IV. Penulis mencoba mengumpulkan ayat-ayat
al-Quran yang terkesan timpang jender, kemudian menguraikan bagaimana
penafsiran Amina Wadud terhadap ayat-ayat tersebut, dan bagaimana seharusnya
konsep keadilan ideal bagi kebanyakan ulama tafsir dalam merespon konsepsi
Amina Wadud.
Kajian ini akan diakhiri dengan Bab V yang berisi kesimpulan dari
pembahasan secara keseluruhan, dan saran-saran penyusun dalam kaitannya
19
BAB II
KEADILAN JENDER DALAM PANDANGAN MUFASIR DAN AKTIVIS
A. Pengertian Adil
Menurut kamus besar bahasa indonesia (KBBI) adil diartikan sebagai (1)
sama berat, tidak berat sebelah; dan tidak memihak. (2) berpihak pada kebenaran
dan (3) sepatutnya tidak sewenang-wenang.1 Kata adil dalam bahasa Indonesia
awalnya diserap dari kata ‘adl dalam bahasa arab yang terambil dari kata ‘adala
yang terdiri dari huruf ‘ain, dal dan lam. Rangkaian huruf ini kemudian
menghasilkan dua makna yang bertolak belakang yaitu “lurus dan sama” serta “bengkok dan berbeda”.2 Dari makna pertama kata ‘adl bisa diartikan sebagai
menetapkan suatu hukum dengan benar. Jadi seorang yang ‘adl adalah berjalan
lurus dan sikapnya selalu mengunakan ukuran yang sama, “persamaan itulah yang
merupakan makna asal kata ‘adl.3 Kedua, ‘adl dalam arti ‘seimbang’. Bermakna
memberikan sesuatu kepada seseorang sesuai dengan kelayakannya sehingga
terdapat kesesuaian kedudukan dan fungsinya dibanding dengan individu lain.4
Sedangkan dalam bahasa Inggris kata adil diterjemahkan sebagai just.5 Arti kata
Inggris itu kira-kira sama dengan yang dimaksud oleh kata adil dalam bahasa
Indonesia.6
1 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai
Pustaka, 2005), h. 4.
2 Ibnu Faris, Mu’jam Maqâyis al-Lugah, (t.t: t.p, t.th. Vol III), h. 745. 3Ensiklopedi al-Qur’an: Kajian Kosakata (Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 5.
4 Hafidz Taqiyuddin, Argumen Keadilan dalam Hukum Waris Islam: Studi Konsep ‘Awl
dan Radd, (Tangerang Selatan: Cinta Buku Media, 2014), h. 18.
5 John M.Echols dan Hassan Shadly, Kamus Inggis- Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 1996), h. 338.
6 Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep
Firdaus al-Hisyam dan Rudy Hariyanto mengatakan bahwa kata adil
diartikan sebagai. Just, fair, impartial, rightful, lawful, honest (secara pantas, adil,
tidak berat sebelah, berdasarkan keadilan, hukum yang sah, lurus hati).7
Sedangkan adil secara istilah (umum) merupakan arti dari ‘meletakkan sesuatu pada tempatnya’.8
B. Pengertian kesetaraan gender
Kata setara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berasal dari
kata tara yang berarti yang sama (tingkatannya, kedudukannya) kemudian
mendapatkan tambahan kata depan se- menjadi setara yang berarti sejajar (sama
tingginya), sama tingkatnya (kedudukannya), sebanding, sepadan atau seimbang.9
Dalam bahasa Inggris, kesetaraan dikenal dengan equality, yang bermakna
persamaan.10 Setara juga dapat diartikan sebagai seimbang, tidak berat sebelah
dan tidak membeda-bedakan.11
Sehingga kesetaraan gender dapat diartikan sebagai wujud kesamaan
kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta
hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan
politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan
keamanan nasional (hankamnas, serta kesamaan dalam menikmati hasil
7 Firdaus al-Hisyam dan Rudy Hariyanto, Kamus Lengkap 3 Bahasa: Arab Indonesia
Inggris, (Surabaya: Gitamedia Press, 2006), h. 523.
8 Basri Iba Asghary, Solusi al-Quran tentang Problem Sosial Politik Budaya, (Jakarta: PT
Reineka Cipta, 1994), h. 116.
9 http://kbbi.web.id/tara http://kbbi.web.id/tara
10 John M.Echols dan Hassan Shadly, Kamus Inggis- Indonesia, h. 217.
11 Elvira Suryani, Sosialisasi Kesetaraan Gender pada Pegawai Kantor Kesejahteraan
pembangunan tersebut. Kesetaraan juga meliputi penghapusan diskriminasi dan
ketidakadilan struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan.12
Kesetaraan bukan berarti semua orang identik sama. Kesetaraan hanya
dapat dipahami dalam hal-hal yang paling fundamental dan tertentu.13 Seperti
halnya yang telah diuraikan diatas, kesetaraan lebih cenderung bermakna
memberikan perlakuan yang sama dalam hal-hal yang mendasar, sebagai hak
dasar kemanusiaan.
C.Konsep Keadilan dan Kesetaraan Jender Menurut Mufasir dan Aktifis
1. Konsep Keadilan dan Kesetaraan Jender menurut Mufasir Klasik:
al-Zamakhsyarî14, dan al-Qurtubî15
Dalam memahami tentang ketidakmampuan seorang suami berbuat adil
diantara istri-istrinya seperti yang tertera dalam surah QS. al-Nisâ’ / 4: 129.
Al-Qurtubî menafsirkan dengan kondisi manusia yang diciptakan dalam kapasitas
tidak memiliki (kemampuan mengontrol kecenderungan) hatinya kepada
12 Ali Masykur Musa, Membumikan Islam Nusantara: Respon Islam Terhadap Isu-isu Aktual (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2014), hal. 62.
13 Saut Hamonangan Sirait, Politik Kristen di Indonesia: Suatu Tinjauan Etis (Jakarta:
Gunung Mulia, 2006), hal. 31.
14 Nama aslinya adalah Abû Qâsim Jârullâh Mahmud ibn Umar Zamakhsyarî al-Khawarizmi, lahir tanggal 27 Rajab 467 H/ 8 Maret 1075 M di Zamakhsyar, sebuah desa di Khawarizm (Turkistan), Ayahnya adalah seorang Imam Masjid di desa Zamakhsyar, Tidak banyak yang diketahui tentang latar belakang keluarga al-Zamakhsyarî. Yang jelas bahwa keluarganya adalah keluarga yang taat terhadap ilmu juga taat dalam beribadah. Pada tahun 526 H ia menetap
selama tiga tahun di Makkah, dan dikota inilah ia menulis karya monumentalnya “Tafsir al-Kasyaf
An Haqo’iq al-Tanzil Wa 'Uyun Al-Aqawil Fi Wujuh Al-Ta'wil “ ia di kenal menganut faham Mu’tazilah sehingga berimplikasi pada karya tafsirnya yang lebih tendensius rasionalitas, di kenal
dengan tafsir al-Ra’yi. (Faizah Ali Syibromalisi, dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern (Tangerang Selatan: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2011, 40-43)
15Nama lengkapnya Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr bin Farh, al-Anshari al-Khazraji al-Qurthubi. Lahir di Spanyol pada tahun 580 H bertepatan dengan tahun 1184 M. Seorang ulama besar, ahli fiqh, tafsir dan hukum, memiliki kearifan dan wawasan luas. Ia bermadzhabkan Maliki, Tafsirnya al-Jami; li ahkam al-Qur’an, merupakan suatu karya ensiklopedi yang menyatukan hadits dengan masalah-masalah ibadah, hukum dan linguistik. Dan informasi tentang kehidupannya hanya sedikit sekali diketahui. (Muhammad Ayub, Qur’an dan Penafsirnya
sebagain atas sebagain yang lain (istri-istri). Karna kecenderungan ini bersifat
nonmateri, maka manusia tidak memiliki kendali untuk membaginya dengan adil.
maka dari itu, menurut al-Qurtubî yang diambil dari riwayat mujahid. Seorang
suami dilarang dengan sengaja berbuat jelek terhadap mereka (istri-istri), tetapi
(suami) berkewajiban untuk menyamaratakan dalam membagi dan memberi
nafkah.karena hal itulah yang bisa diusahakan (lakukan).16 Konsep pemahaman
tentang keadilan dan kesetaraan pada al-Qurtubî bisa di ambil dari penafsirannya
tentang ayat-ayat al-Qur’an yang menyingung tentang keadilan dan kesetaraan
dalam hubunganya dengan kemanusiaan. Karena pada masa itu sulit sekali
dimungkinkan telah berkembang perdebatan tentang kajian feminis secara intens.
Dan terfokus.
menyoal tentang keadilan gender dalam penafsiran al-Qurtubî, tidak bisa
dilepaskan dari pembahasan menyangkut ayat al-Nisa 34. Al-Qurtubî
menafsirkan ayat di atas dengan pelebihan atau (Qawâm-nya) laki-laki atas
perempuan dikarenakan laki-laki memiliki kewajiban memberikan nafkah dan
mahar, atau pengutamaan tersebut bisa juga dikarenakan secara kapasitas
intelektual dan menejerial, sehingga laki-laki diberikan kewajiban mengurusi
perempuan.17 bisa dikatakan, secara tidak langsung al-Qurtubî menilai al-Qur’an
memberikan mekanisme yang adil menyangkut relasi laki-laki dan perempuan.
Terutama dalam urusan rumah tangga. Sehingga pembagian harta waris yang
diatur dengan sangat rinci dalam al-Qur’an merupakan suatu kesatuan yang adil
dalam ketetapan-Nya.
16 Syaikh Imâm Al-Qurtubî, Al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur’ân. Tarj, Ahmad Rijali Kadir
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), Vol, 5, h. .965.
Ayat di atas juga dipahami sebagai petunjuk dalam menetapkan kewajiban
laki-laki dalam mendidik istri, sehingga ketika para istri-istri sudah menjaga
hak-hak suaminya, maka tidak diperbolehkan seorang laki-laki (suami) berlaku buruk
terhadap istrinya.18
Dari pemahaman diatas kemudian menghasilkan kesimpulan bahwa
dimungkinkan adanya pemahaman bahwa al-Qurtubî membedakan antara
keadilan berdasarkan pembagian nafkah antara istri-istri yang dinikahi dengan
pembagian adil dalam hak waris. Dikarnakan keduanya memiliki masalah yang
berbeda. Pembagian hak waris dinilai adil dikarnakan bobot dan tangungan di
antara laki-laki dan perempuan berbeda. Sedangkan pembagian nafkah pada
istri-istri yang dinikahi harus sama-rata baru bisa dikatakan adil.
Sedangkan ketika membahas tentang mekanisme persaksian, yaitu dua
saksi laki-laki dalam hal transaksi keuangan, yang boleh digantikan dengan
seorang laki-laki dan dua orang perempuan, al-Qurtubî mengatakan mekanisme
yang demikian bisa diganti dengan satu orang laki-laki saja. Ataupun dua orang
perempuan saja, dengan disertai sumpah. Namun Imâm ‘Abu Hanîfah beserta
pengikutnya membantah alternatif tersebut, karena bagi mereka ketentuan Allah
dalam masalah persaksian telah ditetapkan berdasarkan perannya
masing-masing.19 Pembagian peran inilah yang mempengaruhi bobot persaksian laki-laki
dan perempuan.
Sedangkan menurut al-Zamakhsyarî, persaksian antara seorang laki-laki
dan dua peremuan hanya dibolehkan dalam masalah transaksi finansial, tidak
dibolehkan dalam masalah hudûd, dan qisâs. Sedangkan dua persaksian dua
perempuan tersebut untuk mengingatkan, jika sebagian saksi lupa, satunya lagi
bisa mengingatkan. Namun Zamakhsyarî tidak menerangkan lebih detail
mengapa perempuan diprediksi lupa20
Sedangkan ketika menafsirkan QS. al-Nisâ’ / 4: 11. Al-Zamakhsyarî
mengatakan bahwa ketetapan yang memerintahkan pembagian waris bagi anak
perempuan adalah sama dengan seorang laki-laki, hal ini merupakan ketentuan
yang adil dan membawa pada kemaslahatan.21
Al-‘Alûsî berpandangan bahwa dengan ayat ini, manusia tidak sepatutnya mempertanyakan hukum Allah tentang warisan, mengapa yang satu lebih besar
bagiannya di banding yang lain, atau mengapa ada yang mendapat bagian ada
pula yang tidak.22
Ayat-ayat al-Qur’an lain yang dinilai diskriminatif terhadap perempuan
adalah. QS. Al-Baqarah / 2: 229, untuk meresponnya al-Qurtubî mengatakan,
bahwa batas maksimal talak yang bisa dirujuk kembali adalah dua kali talak, hal
ini juga dimaksudkan sebagai penghapusan terhadap apa yang telah menjadi
kebiasaan masa lampau, namun jika setelah terjadi talak dua dan dikehendaki
rujuk kembali, suami boleh merujuk istrinya lagi dengan memperlakukannya
dengan baik. Ataupun jika memilih menceraikannya, maka seyogyanya
20‘Abi al-Qâsim Jârullah Mahmûd bin ‘Umar al-Zamakhsyarî al-Khowarizmi, Tafsir al-Kasyâf An Haqo’iq al-Tanzil Wa 'Uyun Al-Aqawil Fi Wujuh Al-Ta'wil (Lebanon: Dar al-Ma’arif,
2009), H .155
21al-Zamakhsyarî, Tafsir al-Kasyâf, h. 222.
22 Syihâb al-Dîn al-Sayid Mahmûd al-‘Alûsî al-Baghdadi, Rûh al-Ma’ânî fi Tafsîr
meninggalkan dengan syarat memenuhi segala haknya tanpa berbuat zalim.23 Dengan demikian hak talak yang di berikan terhadap suami, bukan
mencerminkan sikap diskriminatif dan arogan, melainkan sikap adil, karena
disertai dengan prasyarat lain.
2. Konsep Keadilan dan Kesetaraan Jender menurut Mufasir Kontemporer:
Sayyid Qutb,24‘Alî al-Sâbûnî,25 dan Quraish shihab.26
Dalam pandangan Quraish Shihab laki-laki dan perempuan adalah
manusia yang sama, dikarnakan keduanya bersumber dari ayah dan ibu yang
sama.27
ٍضْعَ ب ْنيم ْمُكُضْعَ ب ىَثْ نُأ ْوَأ ٍرَكَذ ْنيم ْمُكْيم ٍليماَع َلَمَع ُعييضُأ ََ يَِّأ ْمُهُ بَر ْمََُ َباَجَتْساَف
23Al-Qurtubi, Al-Jâmi’, Vol, 3, h. 277
24 Nama lengkapnya Sayyid Qutb Ibrâhim Husin Shazalî. Dilahirkan pada 9 Oktober 1906 di sebuah desa di Hulu Mesir, Kampung Musyah, Asyut, Mesir. Ayahnya Haji Quthb Ibrahim berasal dari keluarga berada dan sangat di segani. Ibunya bernama Fâtimah Husin
‘Uthmân yang juga erasal dari keluarga berada dan terhormat. Ia mendapatkan pendidikan resmi di sekolah yang terleta di kampungnya tahun 1912 dan tamat pada tahun 1918 di Kota Kuttab. Pada tahun 1925 M, ia masuk ke institusi diklat keguruan, dan lulus tiga tahun kemudian, setelah itu melanjutkan studi ke Universitas Dâr al-‘Ulûm (Universitas Mesir Moderen) hingga memperoleh gelar sarjana. Sayyid Qutb mengalami pergolakan pemikiran, dari seorang sastrawan kemudian
menjadi seorang yang “fanatik” terhadap Islam sepulang dari Amerika. (Salah Abdul Fattah,
Pengantar Memahami Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, terj. Salafuddin Abu Sayyid (Solo: Era Intermedia, 2001, h. 44).
25 ‘Alî bin Jamil al-Sâbûnî dilahirkan pada tahun 1347 H/1928 M. Seorang dosen di
fakultas Syari’ah dan Dirasah Islamiyah di Makkah. Kecilnya belajar di Suria sampai tingkat
Tsanawiyah. Kemudian meneruskan belajar di Universitas al-Azhar Mesir, sehingga mendapatkan gelar Lc tahun 1952. Setelah itu al-Sâbunî meneruskan belajar di Universitas yang sama dan mendapatkan gelar Magister pada tahun 1954 dalam bidang spesialisasi hukum syar’i. Dan pada
tahun 1381 H, ia menyusun karya monumentalnya Safwah al-Tafâsîr. Kitab ini terdiri dari tiga juz dan mengabungkan antara model bi al-Ma’tsûr dan bi al-Ma’qûl (‘Alî al-Sâbûnî, Safwah al-Tafâsîr (Beirut: Dâr al-Qur’ân al-Karîm, 1981), vol.I. h. 20.
26M. Quraish Shihab, MA. Lahir di Rappang Sulawesi Selatan, 16 Februari 1944, Beliau berasal dari keturunan Arab yang terpelajar, ayahnya bernama Abdur Rahman Shihab
(1905-1986), alumni Jami’atul Khair. Salah satu lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Pendidikan formal Quraish Shihab di mulai dari sekolah dasar di Ujung Pandang, kemudian melanjutkan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) di Malang sambil nyantri di Darul Hadis al-Falaqiyyah. Untuk mendalami studi keislaman Shihab di kirim oleh ayahnya ke al-Azhar Kairo pada tahun 1958 lebih dari 40 judul buku ditulisnya, di antara karya-karyanya yang paling sering di baca dan apresiasi adalah Membumikan al-Qur’an (1994), Tafsir al-Mishbah (2003) Dia Ada Di Mana-Mana (2004) dan masih banyak lain. (Hilman Latif dan Zezen Zainal, Islam dan Urusan Kemanusiaan (Jakarta: Serambi Ilmu. 2015), h. 168).
Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), Sungguh Aku tidak menyia-nyiakan amalan orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun perempua, (karena) sebagian kamu adalah (keturunan) dari sebagian yang lain (ali-Imran 3:195)
Ayat di atas mengandung arti bahwa sebagian laki-laki berasal dari
pertemuan ovum perempuan dan sperma laki-laki dan sebagian yang lain (umat
manusia yang berjenis perempuan) demikian juga halnya, dan tidak ada perbedaan
diantara mereka dari segi asal kejadian serta kemanusiaannya.28 Yang
membedakan kemuliaan antara keduanya di sisi Allah hanyalah kadar ketaqwaan,
bukan keturunan, suku atau jenis kelamin tertentu.
Tabiat kemanusiaan laki-laki dan perempuan hampir (dapat dikatakan)
dalam batasan yang sama. Allah telah menganugrahkan kepada perempuan,
sebagaimana menganugrahkan kepada laki-laki, potensi yang cukup untuk
memikul aneka tangung jawab.29 Meskipun demikian, Allah juga telah
menetapkan kodrat pada setiap sesuatu seperti dalam QS. al-Qamar / 54: 49.
ٍرَدَقيب ُاَْقَلَخ ٍءْيَش الُك اَإ
“Sesungguhnya sesuatu Kami ciptakan dengan qadar”Qadar diartikan sebagai ukuran-ukuran atau sifat-sifat yang ditetapkan
oleh Allah swt pada segala sesuatu. Demikian juga laki-laki dan perempuan,
keduanya sebagai makhluk individu dan jenis kelamin memiliki kodratnya
masing-masing,30 sehingga mempersamakan seutuhnya dua hal yang jelas berbeda
juga merupakan sebuah ketidak tepatan. Lebih baik bagi masyarakat untuk
28 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat
(Jakarta: Mizan Pustaka, 1996), h. 299. 29Shihab, Perempuan, h. 6. 7.
menjadikan laki-laki tetap laki-laki dan perempuan tetap perempuan.31 Laki-laki dan perempuan tetaplah manusia yang sama, sebagai hamba Tuhan yang
dimuliakan asal kejadiannya, namun juga berbeda. Meskipun demikian,
perbedaan tersebut tidak mengurangi kedudukan salah satu pihak dan melebihkan
yang lain.32
Menurut Quraish Shihab perbedaan laki-laki dan perempuan bukan hanya
terletak pada perbedaan sex (jenis kelamin) yang nampak pada fisik, yang
kemudian melahirkan kecenderungan psikologis tertentu, juga terdapat pada
kandungan struktur biologis diantara keduanya.
Struktur kromosom laki-laki dan perempuan juga berbeda. Seorang
manusia yang terlahir sebagai laki-laki memiliki pasangan kromosom X dan Y,
sedangkan pasangan kromosom bagi perempuan terdiri dari X dan X.
Selain itu perbedaan hormonal antara laki-laki dan perempuan juga
berbeda. Kadar darah merah pada perempuan lebih sedikit dibanding laki-laki,
begitu juga pada kemampuan bernafas perempuan lebih rendah dari laki-laki, dan
otot-ototmya tidak sekekar laki-laki.33 Paru-paru laki-laki menghirup udara lebih
banyak dari perempuan,dan denyut jantung perempuan lebih cepat dari laki-laki.
Hal demikian tersebut kemudian mempengaruhi kecenderungan masing-masing
jenis kelamin dalam pekerjaan dan sifat. Laki-laki secara umum cenderung pada
31 Shihab, Perempuan, h. 6. 32 Shihab, Perempuan, h. 6.
33 M. Quraish Shihab, Dia Ada Dimana-mana, Tangan Tuhan di balik Setiap Fenomena
tantangan dan perkelahian. Seperti olahraga dan berburu, sedangkan perempuan
cenderung pada kedamaian dan keramahan, seperti merias diri dan kecantikan.34
Kerangka di atas tersebut kemudian dijadikan Quraish Shihab dalam
membangun landasan teologis dalam memandang kesetaraan dan keadilan gender.
Yang kemudian menghasilkan berbagai rumusan sebagai berikut.
Laki-laki dan perempuan adalah mahluk yang sama dari sisi kemanusiaan
dan berhak mendapatkan berbagai bentuk perlakuan yang sama, baik dalam hak
mendapatkan perlakuan hukum, belajar, mengajar, hak dibidang politik,
keamanan, hak perlakuan baik dan lain-lain.35
Namun dari sekian banyak hak kesamaan dan kesetaraan antara laki-laki
dan perempuan, ada pula hal-hal yang telah diatur dengan jelas dalam al-Qur’an,
yang bisa jadi mengambarkan sesuatu yang tidak setara (tidak adil). Seperti.
1. Bagian anak laki-laki dalam warisan dua kali bagian perempuan.
2. Kesaksian perempuan setengah dari kesaksian laki-laki.
3. Keharusan adanya wali bagi perempuan dalam pernikahan.
4. Hak perceraian berada ditangan suami.
Ketetapan hukum yang demikian itu tidak lain adalah penyesuaian yang
sangat adil terhadap berbagai macam perbedaan kodrat, jati diri, fungsi serta peran
baik laki-laki maupun perempuan.36 Ini semua harusnya dipahami sebagai
34 Shihab, Perempuan, h. 8-14.
35 M. Quraish Shihab, Wanita Islam Indonesia dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual:
Kumpulan Makalah Seminar (Jakarta: INIS, 1993), h. 11-16.
kebijakan Tuhan dalam mementukan kemaslahatan bersama dunia dan akhirat,
bukan sebagai tuduhan akan Tuhan yang maskulin.
Keadilan menurut Quraish Shihab dalam hubungan manusia antar lawan
jenis bisa dilihat dari penafsiranya terhadap kata tuqsitu dan ta’dilu dalam QS.
al-Nisâ’ / 4: 3. Kedua kata tersebut diartikan sebagai adil, tetapi sebagian
ulama-ulama ada yang membedakan dengan mengatakan tuqsitu adalah berlaku adil
antara dua orang atau lebih. Sedangkan ‘adl (adil) adalah berlaku baik terhadap
orang lain maupun diri sendiri, walaupun keadilan tersebut, bisa saja tidak
menyenangkan salah satu pihak.37
Pengertian di atas bisa mengindikasikan bahwa menurut Quraish