• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hukum Islam Hukum Waris dan Ketentuan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Hukum Islam Hukum Waris dan Ketentuan"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

HUKUM WARIS DAN KETENTUAN PEMBAGIAN HARTA WARISAN DALAM ISLAM

Diajukan untuk:

Memenuhi Salah Salah Satu Syarat dalam Memperoleh Nilai Tugas Mata Kuliah Hukum Islam

Ditulis oleh:

Syifa Fauziah

0101 15 122

Semester II – D

Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pakuan Bogor

2016

(2)

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb.

Segala puji saya ucapkan kehadirat Allah SWT, karena berkat Rahmat dan Izin-Nya saya dapat mengerjakan tugas makalah ini. Saya menulis makalah ini sebagai persyaratan untuk memenuhi salah satu syarat dalam mendapatkan nilai tugas pada mata kuliah Hukum Islam pada Universitas Pakuan, Bogor.

Makalah ini, saya buat karena mendapatkan tugas dari dosen mata kuliah Hukum Islam dengan tema “Hukum Waris” dan judul “Hukum Waris dan Ketentuan Pembagian Harta Warisan dalam Islam”, yang juga menjadikan ini sebagai ilmu pengetahuan untuk saya dan juga untuk mendapatkan nilai tugas mata kuliah Hukum Islam dari Bapak Nandang Kusnadi, S.H., M.H.

Demikian, makalah inisaya tulis untuk melengkapi tugas dari dosen mata kuliah. Mohon maaf apabila ada tulisan yang kurang berkenan dalam karya ilmiah ini. Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu saya dalam menyelesaikan tugas ini.

Wassalamualaikum wr.wb.

Bogor, April 2016

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...ii

DAFTAR ISI...iii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah...5

1.2. Identifikasi Masalah...6

1.3. Tujuan...6

BAB II TINJAUAN UMUM...7

2.1. Ilmu Mawaris...7

2.1.1. Pengertian Ilmu Mawaris...7

2.1.2. Tujuan Ilmu Mawaris...8

2.1.3. Sumber Hukum Ilmu Mawaris...8

2.1.4. Kedudukan Ilmu Mawaris...11

2.1.5. Hukum Mempelajari Ilmu Mawaris...12

BAB III...13

PEMBAHASAN...13

3.1. Pembagian Waris Sebelum Turunnya Ayat Mawaris...13

3.2. Sebab Waris Mewarisi...14

3.3. Halangan Waris Mewarisi...15

3.4. Ahli Waris dan Furudhul Muqoddaroh...16

3.4.1. Ahli Waris dan Furudhul Muqoddaroh...16

3.4.2. Hijab...19

3.4.3. Dzawil Furudh dan Ashabah...20

3.5. Pelaksanaan Pembagian Harta Warisan...21

3.5.1. Perhitungan Bagian Masing-Masing Ahli Waris...22

3.6. Pemasalahan Tertentu yang Berkenaan dengan Pembagian Warisan...23

3.6.1. Masalah-Masalah...23

(4)

3.7. Hikmah Pembagian Warisan...23

BAB IV...24

PENUTUP...24

4.1. Simpulan...24

4.2. Saran...24

(5)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

Harta yang dimiliki seseorang sering kali menimbulkan permasalahan yang komplek dikalangan keluarga apabila sang pemilik harta telah meninggal dunia, dan harta ini dinamakan harta warisan. Berbagai permasalahan ditimbulkan, dari tata cara pembagian yang adil, ketentuan-ketentuan pembagiannya didalam keluarga, dan permasalahan lainnya.

Sehingga, apabila dirasakan adanya ketidakadilan dalam pembagian harta warisan ini menimbulkan pertengkaran antar sesama anggota keluarga yang merasa berhak atas harta warisan tersebut, terutama didalam keluarga yang buta akan pembagian harta warisan yang benar dan adil.

Islam telah mengatur tata cara pembagian harta warisan yang sesuai dengan ajaran islam dan secara terperinci dijelaskan dengan mengambil dasar hukum sesuai dengan syariat islam, yaitu melalui Alquran, Alhadits, Ijtihad,Ijma dan Qiyas.

Pada pembagian harta warisan menurut syariat islam ini merupakn tata cara pembagian yang adil antara ahli waris, terutama ahli waris yang utama yang mendapatkan harta warisan dari orang yang meninggal dunia.

Islam membedakan pembagian harta warisan yang didapatkan oleh wanita dan pria, hal ini dibedakan dikarenakan ada hak yang memang berbeda antara laki-laki dan perempuan itulah yang menjadi dasar dalam pembedaan bagian harta warisan.

Hal umum yang diketahui masyarakat mengenai pembagian harta warisan antara laki-laki dan perempuan ini yaitu apabila laki-laki mendapatkan dua (2) bagian maka perempuan hanya mendapatkan 1 bagian saja, dan itu merupakan hal yang adil, dimana karena seorang laki-laki merupakan seorang kepala keluarga untuk keluarganya, sedangkan prempuan hanyalah seorang pengikut bagi suaminya kelak.

(6)

Oleh sebab itulah, dalam makalah ini saya membahas mengenai hukum waris dan pembagiannya yang sesuai dengan syariat islam agar sesame muslim dapat menegakkan keadilan dan dapat membagikan harta warisan yang sesuai dengan hak masing-masing perorangan ahli waris.

1.2. Identifikasi Masalah

Pada penulisan ini, saya mencoba mengemukakan permasalahan sebagai berikut:

1) Bagaimana gambaran umum mengenai hukum waris dalam islam? 2) Bagaimana gambaran umum mengenai ketentuan pembagian harta

warisan dalam islam?

Dari uraian diatas dapatlah dirumuskan permasalahan yang akan ditulis, yaitu:

“Bagaimana hukum waris dan ketentuan pembagian harta warisan dalam islam?”

1.3. Tujuan

Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah sebagai berikut: 1) Untuk memperoleh gambaran umum mengenai hukum waris dalam

islam.

2) Untuk memperoleh gambaran umum mengenai ketentuan pembagian harta warisan dalam islam.

BAB II

TINJAUAN UMUM 2.1. Ilmu Mawaris

(7)

Secara etimologi, mawaris (ثراوم) merupakan bentuk jamak dari

miiraats (ثث اررييمم) yang artinya harta yang diwariskan, berasal dari kata

waratsa-yaritsu-wartsun-tuwaatsun.

Secara terminologi, ilmu waris yaitu ilmu tentang pembagian harta peninggalan seseorang setelah meninggal dunia, atau disebut juga sebagai ilmu faraidh ضم ئماررفر (ilmu yang mempelajari ketentuan yang diperoleh oleh ahli waris menurut ketentuan syara. Adapun definisi ilmu mawaris, yaitu:

“Alfiqhul muta’allaqi bil irtsi wa ma’rifatul hisaabil muushilu ilaa

ma’rifati qadril waajibi minattirkati likulli dzii haqqin”1

Artinya: “Ilmu Fiqih yang bersangkut paut dengan pembagian harta warisan, mengetahui perhitungan yang dapat meyampaikan kepada mengetahui kadar yang wajib dari harta pusaka yang telah menjadi milik

tiap orang yang berhak”2

Dengan kata lain, dapat didefinisikan bahwa ilmu mawaris atau faraidh adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang ketentuan-ketentuan pembagian harta pusaka bagi ahli waris menurut syara’ ( ketentuan hukum islam).

Ada beberapa istilah yang sering digunakan dalam ilmu mawaris, diantaranya:

1) Al-Muwarritsun, ialah orang yang meninggal yang

meninggalkan harta yang dibagikan untuk ahli waris.

2) Al-Waaritsun, ialah orang memiliki hubungan kekeluargaan

yang akan mewarisi harta peninggalan.

3) Mauruts, ialah harta yang akan dibagikan kepada ahli waris

setelah memenuhi kewajiban orang yang meninggal.

2.1.2. Tujuan Ilmu Mawaris

Adapun tujuan ilmu mawaris, yaitu:

1) Mengetahui secara jelas ahli waris dan jumlah bagian yang berhak diterimanya.

2) Membagi harta warisan, kepada yang berhak menerimanya agar tidak terjadi perselisihan dan sengketa terhadap masalah harta warisan yang ditinggalkan.

1Anggota IKAPI, FIQIH (CV Armico:Bandung,1988),hlm.42. 2 Ibid.

(8)

3) Melaksanakan ketentuan-ketentuan Allah mengenai faraidh yang tercantum dalam naskh Al-Quran dan Al-Hadits.

2.1.3. Sumber Hukum Ilmu Mawaris

Beberapa sumber hukum mengenai ilmu waris, baik dalam alquran maupun alhadits, yaitu:

1) Al-Quran

Terdapat banyak didalam Al-quran ayat-ayat yang membahas tentang masalah waris, diantaranya:

a. Q.S. An-Nisa (4) ayat 7, yang berbunyi:

“Bagi laki-laki ada bagian dari harta yang ditinggalkan oleh ibu- bapak dan kerabatnya dan bagi wanita ada bagian dari harta yang ditinggalkan oleh ibu-bapaknya dan kerabatnya baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.”(4:7)

b. Q.S An-Nisa (4) ayat 11-12, yang berbunyi:

(9)

pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak

perempuan272; dan jika anak itu semuanya perempuan

lebih dari dua273, maka bagi mereka dua pertiga dari

harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfa'atnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”(4:11)

“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah

(10)

dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi

mudharat (kepada ahli waris)274. (Allah menetapkan

yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.” (4:12)

2) Al-Hadits

Seperti yang diriwatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim dari Ibnu Abbas ra, yaitu:

) : - -

اوققححللأأ ملسو هيلع هللا ىلص هحللألاأ لقوسقرأ لأاقأ لأاقأ امأهقنلعأ هقللألاأ يأضحرأ سسابلأعأ نحبلا نحعأ

,

رسكأذأ لسجقرأ ىلأولأألح وأهقفأ يأقحبأ امأفأ اهألحهلأأبح ضأئحارأفأللاأ ) “Dari Ibnu Abbas ra, Rasulullah SAW bersabda: ‘Berikanlah harta pusaka kepada orang-orang yang berhak, sesudah itu sisanya untuk orang laki-laki yang lebih utama (lebih dekat).” (H.R. Imam Bukhori dan Muslim)

2.1.4. Kedudukan Ilmu Mawaris

(11)

ضضولبققلمأ ءضورقملا ىنلحاحفأ سأانلألا اهأولمقللحعأوأضأئحرأفأللا اولمقللأعأتأوأ سأانلألا هقولمقللحعأوأنأآرلققللا اولمقللأعأتأ

)

دمحا هدرخا امأهقرلبحخليق اددحأاأ نحادأجحيأ لأفأ ةحضأيلرحفأللا ىفح نحانأثلا فألحتأخليأ نلأأ كقشحوليقوأ عضولفقرلمأ مقللعحللاوأ ىتطقردلاو ئاسنلاو

“Palajarilah Alquran dan ajarkanlah kepada manusia, dan pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkan juga kepada manusia. Karena aku (Rasulullah) adalah orang yang akan direnggut (mati), ilmu itu akan diangkat (dihilangkan). Hampir saja dua orang yang bertengkar tentang pembagian pusaka, maka mereka berdua tidak menemukan seorang pun yang dapat member fatwa kepada mereka” (HR. Imam Ahmad, An-Nasai, dan Ad-Daruquthny)

Dapat disimpulkan bahwa kedudukan ilmu faraidh terhadap Alquran adalah sebagai usaha mensistemalisir dan merinci cara pembagian warisan yang telah tersusun dalam Alquran.

2.1.5. Hukum Mempelajari Ilmu Mawaris

Pada sumber hukum mengenai ilmu mawaris, dapat diambil bahwa hukum mempelajari ilmu mawaris atau faraidh hukumnya adalah Fardu Kifayah. Sebagai umat Islam wajib mengetahui mengenai ketentuan yang berkaitan dengan ilmu faraidh. Rasulullah SAW bersabda:

)

دوواد وبا و ملسم هاور هحللا بحاتأكح ىلأعأ ضحئحارأفأللا لحهلاأ نأيلبأ لأامأللا اومقسأقلأأ

“Berikanlah harta benda diantara ahli-ahli waris menurut kitabullah” (HR.Imam Muslim dan Imam Abu Daud)

Selain itu, Rasulullah juga bersabda:

)

ةجام نبا هاور ىتحملأاق نلمح عقفأرليق ئسيحشأ لقولأاأ وأهقوأ ىسأنليق وأهقوأ محللعحللا فقصلنح اهأنلأاحفأ اهأولمقللأعأوأ ضأيحرأفأللا اومقللأعأتأ ىنطقردلاو

“Pelajarilah Faraidh dan ajarkanlah kepada manusia karena dia adalah separoh ilmu dan dia mudah dilupakan orang dan itu adalah sesuatu yang akan dicabut pertama kali dari umatku” (HR Ibnu Majah dan Ad-Daruquthni)

(12)

BAB III PEMBAHASAN

3.1. Pembagian Waris Sebelum Turunnya Ayat Mawaris

Sebelum ayat-ayat tentang warisan diturunkan, pembagian warisan didasarkan kepada sifat kekeluargaan patrilineal (kebapakan). Latar belakang geografis pada waktu itu ikut menentukan.3

Jadi, dasar-dasar perwarisan yang digunakan sebelum ayat-ayat mawaris adalah:

a) Hubungan kerabat (Annasabu wal Qarabahu), terbatas kepada laki-laki yang sudah dewasa dan fisiknya kuat, terdiri dari anak laki-laki-laki-laki, saudara laki, bapak, paman, keponakan laik-laki, dan anak laki-laki paman.

b) Janji setia (Alhalafu wal Mu’aqodah), dalam ikatan janji setia, salah seorang laki-laki berikrar kepada temannya “Darahku darahmu, pertumpahan darahku pertumpahan darahmu, perjuanganku perjuanganmu, perangku perangmu, damaiku damaimu, kau mewarisi hartaku dan aku mewarisi hartamu, engkau dituntut membela kematianku, aku menuntut bela kematianmu, engkau membayar denda sebagai pengganti nyawaku, dan aku membayar denda sebagai

(13)

pengganti nyawamu”. Adanya janji setia mengakibatkan masing-masing menerima bagian seperenam jika salah seorang meninggal. c) Pengangkatan anak (Attabanniy), yaitu mengangkat anak laki-laki

orang lain, dipelihara, dan dimasukkan kepada keluarga yang mengangkat dan berstatus sebagai anak kandung sendiri.

d) Hijrah, saat misi perjuangannya, Rasulullah SAW beserta rombongan sahabat-sahabatnya berhijrah meninggalkan mekah menuju madinah. Guna memperkuat rasa solidaritas diantara mereka, jika ada yang sebagian meninggal dunia, maka harta peninggalan diwarisi oleh kerabat yang sama-sama ikut berhijrah, sedangkan ahli waris yang tetap ditinggalkan di Mekah, tidak ikut berhijrah tidak berhak mendapat warisan.

e) Mu’akhah, disini dimaksudkan sebagai jalinan persaudaraan antara

kaum muhajirin dan golongan anshar yang dijadikan dasar saling mewarisi.

3.2. Sebab Waris Mewarisi

Tidak semua orang dapat mewarisi terhadap yang lain, tetapi karena sebab-sebab tertentu yang diatur oleh syariat islam maka dapat waris mewarisi. Adapun sebab-sebab seseorang dapat mewarisi orang yang meninggal itu adalah karena:

1) Pertalian darah atau nasab (nasab haqiqi), yaitu dengan sistem kekeluargaan bilateral/parental. Bilateral dalam hukum islam tidak bersifat mutlak, pihak laki-laki dan perempuan sama-sama berhak menerima warisan, akan tetapi bagian laki-laki dua kali lebih banyak dari bagian perempuan. Dalam hal ini ada beberapa yang dihapus dari sebab waris mewarisi setelah turunnya ayat Alquran, yaitu:

 Janji setia (Alhalafu wal Ma’aqadahu) dihapus oleh firman Allah surat Al-Ahzab ayat 6. Namun golongan hanafiah masih tetap menggunakan janji setia sebagai dasar perwarisan pada urutan yang terakhir, berdasarkan surat An-Nisa ayat 33.

 Surat Al-Ahzab ayat 6 juga mempunyai maksud menghapuskan hijrah dan Mu’akhah sebagai dasar perwarisan. Dan ditegaskan lagi dengan sabda Rasulullah yang berkaitan dengan

(14)

terbebasnya kaum Muhajirin dan kembali ke kampung halamannya dikota makkah, yang artinya: “Tidak ada hijrah setelah terbebasnya Makkah” (Sepakat AlHadits)

 Tabanni (anak angkat/adopsi) juga dihapuskan oleh surat Al-Ahzab ayat 4-5 dan ayat 40.

Kerabat ini bila ditinjau dari segi penerimannya dapat dikelompokkan menjadi:

a) Ashabul Furudhi Nasibayah, yaitu orang-orang yang

karena hubungan darah berhak mendapatkan bagian tertentu.

b) Ashabah Nashbiyah, yaitu orang-orang yang karena

hubungan darah berhak menerima sisa bagian ashabul furudh.

c) Dzawil Arham, yaitu kerabat agak jauh hubungannya

dengan yang mati.

2) Perkawinan yang sah / semenda (Mushaaharah), yaitu perkawinan yang sah menurut syariat islam, menyebabkan adanya saling mewarisi antara suami-istri, apabila yang meninggal pada waktu status perkawinannya masih utuh atau dianggap utuh (dalam masa iddah talak raj’iy).

3) Pemerdekaan budak / Wala’ (Nasab Hukmi), hak wala’ ini timbul atas dasar memerdekakan budak meskipun tidak ada hubungan darah dan telah diberikan hak untui mewarisi budak yang telah dimerdekakan.

3.3. Halangan Waris Mewarisi

Halangan mewarisi ada 3 (tiga) macam, yaitu:

1) Pembunuhan, yaitu pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap muwarrisnya. Berdasarkan hadits Nabi, yang artinya: “Tidak ada hak bagi pembunuh mewarisi sedikitpun” (HR.Nasai)

(15)

3) Perbudakan, masih disebutkan dalam beberapa ayat bahwa status mereka sebagai orang yang tidak cakap berbuat sesuatu. Maka budak tidak dapat menerima warisan dari keluarganya. Diri dan segala bendanya adalah milik tuannya.

3.4. Ahli Waris dan Furudhul Muqoddaroh 3.4.1. Ahli Waris dan Furudhul Muqoddaroh

Ahli waris adalah orang-orang yang berhak menerima pusaka atau bagian dari harta warisan atau bagian dari harta warisan. Ditinjau dari sebab-sebabnya, maka dapat diklasifikasikan dua bagian, yaitu:

Pertama, ahli waris sababiyah yaitu orang yang berhak menerima bagian harta peninggalan atau harta warisan karena terjadinya hubungan perkawinan dengan orang yang meninggal yaitu suami istri.4

Kedua, ahli waris nasabiyah, yaitu orang yang berhak menerima harta peninggalan atau harta warisan karena ada hubungan pertalian darah atau keturunan dengan orang yang meninggal dunia. Ahli waris nasabiyah ini dibagi menjadi tiga kelompok yaitu Ushul AlMayyit ( Bapak, ibu, kakek, nenek, dan seterusnya sampai keatas), Furu’al Mayyit ( Anak cucu dan seterusnya sampai kebawah), dan Alhawasyis ( saudara, paman, bibi, serta anak-anak mereka).5

Dari segi jenis kelamin, ahli waris dibagi menjadi dua jenis ahli waris, yaitu:

1) Ahli Waris Laki-laki, semuanya ada 15 termasuk Mu’tiq (orang yang memerdekakan budak), yaitu:

a) Anak laki-laki b) Bapak

c) Suami

d) Cucu laki-laki dari garis laki-laki e) Kakek dari ayah

f) Saudara laki-laki sekandung g) Saudara laki-laki seayah h) Saudara laki-laki seibu

i) Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung j) Anak laki-laki saudara laki-laki seayah k) Paman (dari ayah) kandung

l) Paman (dari ayah) seayah

4 Team guru Bina PAI MA, Fiqih XI (Akik Pusaka:Sragen, 2014),hlm.37. 5 Ibid.

(16)

m) Anak laki-laki paman sekandung n) Anak laki-laki paman seayah

o) Orang laki-laki yang membebaskan budak

2) Ahli waris perempuan, semuanya ada 10 termasuk wanita yang memerdekakan budak, yaitu:

a) Anak Perempuan

b) Cucu perempuan dari garis laki-laki c) Ibu

d) Istri

e) Saudara perempuan sekandung f) Nenek dari garis ibu

g) Nenek dari garis bapak h) Saudara perempuan sebapak i) Saudara perempuan seibu

j) Orang perempuan yang membebaskan budak

Dari seluruh ahli waris diatas, maka ada yang berhak, menerima peninggalan. Adapun jumlah bagian yang berhak diterima oleh ahli waris diatas atau yang disebut Furudhul Muqaddarah, yaitu:

1) Ahli waris yang mendapatkan bagian setengah (1/

2), yaitu:

a) Anak perempuan tunggal, sesuai dengan Q.S An-nisa ayat 11. b) Cucu perempuan dari anak laki-laki, tetapi apabila ayah dari cucu

perempuan itu masih ada maka ia terhalang (Mahjub Hirman). c) Saudara perempuan kandung tunggal dan saudara perempuan

seayah bila saudara perempuan sekandung tidak ada, sesuai dengan Q.S An-Nisa ayat 176.

d) Suami, apabila istri yang meninggal itu tidak mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki (laki-laki atau perempuan) sesuai dengan Q.S. An-Nisa ayat 12.

2) Ahli waris yang mendapat bagian seperempat (1/

4), yaitu:

a) Suami, bila istri yang meninggal dunia itu mempunyai anak (laki-laki atau perempuan) atau cucu dari anak (laki-laki-(laki-laki, sesuai dengan Q.S. An-Nisa ayat 12.

b) Istri (seorang atau lebih), apabila suami tidak mempunyai anak, baik dari istri sendiri atau istri yang lain atau cucu dari anak laki-laki, sesuai dengan Q.S. An-Nisa ayat 12.

3) Ahli waris yang mendapat seperdelapan (1/

(17)

a) Istri (seorang atau lebih), apabila suami mempunyai anak (baik dengan hasil perkawinan dengannya atau dengan istri yang lain) atau jika tidak ada anak tetapi mempunyai cucu, dalam keadaan semacam ini istri baik istri itu seorang atau lebih dari satu maka bagian istri itu seperdelapan. Hal ini sesuai dengan Q.S. An-Nisa ayat 8.

4) Ahli waris yang mendapat dua pertiga (2/

3), yaitu:

a) Dua orang anak perempuan atau lebih mendapat bagian dua pertiga jika tidak ada anak laki-laki.

b) Dua orang cucu perempuan atau lebih dari anak laki-laki jika tidak ada anak perempuan, hal ini diqiyaskan kepada anak perempuan. c) Dua orang saudara perempuan kandung atau lebih, sesuai dengan

Q.S. An-Nisa ayat 176.

d) Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih. 5) Ahli waris yang mendapat sepertiga (1/

3), yaitu:

a) Ibu, apabila anaknya tidak mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki atau ia tidak mempunyai saudara (laki-laki atau perempuan) sekandung, seayah atau seibu.

b) Dua orang saudara atau lebih (laki-laki atau perempuan yang seibu).

6) Ahli waris yang mendapat seperenam (1/

6), yaitu:

a) Ibu, apabila anaknya yang meninggal itu memiliki anak atau cucu dari anak laki-laki atau saudara-saudara (laki-laki atau perempuan), sekandung, seayah, atau seibu.

b) Bapak, apabila yang meninggal itu mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki.

c) Nenek (ibu dari ibu atau ibu dari bapak) apabila ibu tidak ada. d) Cucu perempuan dari anak laki-laki seorang atau lebih, apabila

yang meninggal mempunyai anak perempuan tunggal (seorang saja). Jika anak perempuan lebih dari seorang maka cucu perempuan tidak mendapat bagian.

e) Kakek, apabila yang meninggal mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki sedang bapaknya tidak ada.

f) Seorang saudara seibu (laki-laki atau perempuan).

(18)

g) Saudara perempuan seayah seorang atau lebih, apabila saudara perempuan sekandung ada dua orang atau lebih, maka saudara sebapak tidak mendapat bagian.

3.4.2. Hijab

Hijab artinya satir, dinding, atau penutup. Maksudnya adalah penghalang bagi ahli waris yang semestinya mendapat bagian menjadi tidak mendapatkan, atau masih menerima tetapi jumlahnya berkurang, karena ada ahli waris yang hubungan kerabatnya lebih dekat. Orang yang menghalangi disebut hijab dan yang terhalang disebut mahjub. Hijab ada dua macam, yaitu:

1) Hijab Hirman, yaitu penghalang yang menyebabkan seseorang ahli

waris tidak dapat bagian sama sekali, karena ada ahli waris yang lebih dekat kekerabatannya. Misalnya : cucu laki-laki terhalang sama sekali oleh anak laki-laki.

2) Hijab Nuqshan, yaitu penghalang yang mengurangi bagian yang

seharusnya diterima, karena ada ahli waris lainnya. Misalnya: istri mendapatkan bagian seperempat jika tidak ada anak, tetapi karena ada anak maka bagian diterimanya adalah seperdelapan.

Adapun ahli waris yang tidak akan terhalang meskipun semua ahli waris ada, yaitu tetap akan mendapat bagian harta warisan adalah ahli waris yang dekat yang disebut al-aqrabun.

3.4.3. Dzawil Furudh dan Ashabah

1) Dzawil Furudh, yaitu ahli waris yang bagian warisnya telah ditentukan. Ahli waris yang termasuk dzawil furudh adalah suami, istri, anak perempuan, anak perempuan dari anak laki-laki (cucu), ibu, ayah (suatu ketika dapat menjadi ashabah), saudara perempuan sekandung, saudara perempuan seayah, saudara perempuan/laki-laki seibu, kakek (suatu ketika dapat menjadi ashabah), dan nenek.

(19)

furudh. Ahli waris yang tergolong ashabah adalah anak laki-laki, cucu laki, ayah, kakek, saudara kandung laki, saudara seayah laki-laki, anak laki-laki saudara laki-laki kandung, anak laki-laki saudara laki-laki seayah, paman kandung, paman seayah, anak laki-laki paman kandung, anak laki-laki paman seayah, dan orang yang memerdekakan. Ashabah ada tiga macam, yaitu:

a) Ashabah binafsihi, yaitu orang yang menerima harta warisan dengan sendirinya, kerabat laki-laki yang dipertalikan dengan yang meninggal dunia tanpa diselingi oleh orang perempuan.

b) Ashabah bilghair, yaitu orang yang mendapatkan sisa bagian harta warisan karena bersama ahli waris laki-laki yang setingkat, seperti anak perempuan bila bersama dengan anak laki-laki, cucu perempuan dari anak laki-laki bila bersama cucu laki-laki dari anak laki, saudara perempuan sekandung bila bersama saudara laki-laki sekandung, saudara perempuan seayah bila bersama saudara laki-laki seayah.

c) Ashabah Ma’al Ghair, yaitu ahli waris perempuan yang mendapat sisa bagian harta warisan ketika bersama dengan ahli waris perempuan lain (dalam garis lain), seperti saudara perempuan sekandung bila bersama dengan anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki, saudara perempuan seayah bila bersama dengan anak perempuan atau cucu perempuan dari ana laki-laki.

3.5. Pelaksanaan Pembagian Harta Warisan

Sebelum harta peninggalan itu dibagikan kepada ahli waris, maka harus diselesaikan terlebih dahulu hal-hal sebagai berikut:

1) Biaya perawatan jenazah/tajhiz

Mulai saat meninggalnya jenazah hingga penguburannya, seperti biaya memandikan, mengkafani, mengusung dan menguburkannya biayanya diambil dari harta si mayit.

2) Pelunasan hutang

(20)

Hal ini sesuai dengan hadits riwayat Imam Bukhori dan Ibnu Abbas, yang artinya:

“Seorang laki-laki menghadap Nabi Muhammad SAW, dan berkata Ibuku telah meninggal dan punya tanggungan puasa satu bulan, apakah aku harus menunaikannya? Beliau menjawab, ‘kalau ibumu punya hutang apakah engkau membayarnya? Ia berkata: ya, beliau bersabda: ‘kalau begitu hutang kepada Allah itu lebih berhak dibayar’.” (H.R Imam Bukhori)

Dari hadits diatas, para ulama membedakan jenis hutang menjadi dua macam, yaitu:

a) Pertama: Daimullah (hutang kepada Allah), seperti: zakat, haji, pembayaran kafarat, dsb.

b) Kedua: Dainul Ibad (Hutan kepada sesame manusia), seperti hutang uang atau benda-benda lainnya.

3.5.1. Perhitungan Bagian Masing-Masing Ahli Waris

Sebelum menentukan bagian masing-masing ahli waris, karena bagian yang diberikan kebanyakan adalah berupa pecahan seperti ½, 1/

3, ¼, atau 1/6.

Maka untuk menentukan penerimaan masing-masing ahli waris dapat ditempuh sistem Asal Masalah (KPT = Kelipatan Persekutuan Terkecil) yang dapat dibagi oleh angka penyebut yang ada. Dalam pembuatan asal masalah ada empat jenis pecahan yang perlu diketahui, yaitu:6

1) Mumatsalah, yaitu apabila ada angka pecahan dua atau lebih yang masing-masing angka penyebutnya sama. Seperti angka 1/

3 dengan 2/3. Maka asal masalahnya aalah menetapkan angka yang sesuai dengan angka penyebutnya yaitu 3.

2) Mudakhalah, yaitu apabila angka pecahan dua atau lebih yang mana

angka penyebut yang besar dapat dibagi tepat oleh angka penyebut yang kecil. Seperti ½ dan 1/

6. Angka 6 dapat dibagi 2 = 3. Maka asal masalahnya adalah menetapkan angka penyebut yang terbesar, yaitu angka 6.

(21)

3) Muwafaqah, yaitu apabila ada angka pecahan dua atau lebih, yang masing-masing angka penyebutnya dapat dibagi tepat oleh angka yang sama seperti ¼ dan 1/

6 atau 1/6 dengan 1/8. Maka akar masalahnya adalah dengan cara menggandakan salah satu penyebut dengan hasil bagi penyebut lainnya, 4 x (6:2) = 12, 6 x (8:2) = 24

4) Mubayarah, yaitu apabila angka-angka penyebut bagian ahli waris

yang ada tidak sama, tidak bisa dibagi oleh penyebut yang kecil. Seperti ½ dengan 1/

3, atau 1/3 dan ¼. Maka asal masalahnya adalah dengan mengalikan angka penyebutnya, ½ dan 1/

3 = 2 x 3 = 6, 1/3 dan ¼ = 3 x 4 = 12.

Adapun hal-hal yang berkaitan dengan sisa pembagian harta warisan, yaitu:

a) Al-Aul, yaitu cara mengatasi masalah pembagian harta yang kurang

dengan jalan cara merubah asal masalahnya menjadi besar.

b) Ar Radd, yaitu cara mengatasi masalah pembagian harta yang lebih

dengan cara mengembalikan sisa harta pusaka kepada ahli waris.

3.6. Pemasalahan Tertentu yang Berkenaan dengan Pembagian Warisan 3.6.1. Masalah-Masalah

a) Masalah Gharrawain, yaitu dua yang sangat terang.

b) Masalah Musyarakah, atau masalah hajariah atau himariyah. c) Kakek bersama saudara.

d) Masalah Akdariyah, yaitu mengeruhkan atau menyusahkan. e) Banci (Khuntsa)

f) Orang yang meninggal bersama-sama. g) Orang-orang yang hilang (AlMafqud)

3.7. Hikmah Pembagian Warisan

1) Menciptakan suatu keadilan yang hakiki menurut ketentuan hukum Al-Quran dan Hadits.

2) Menjunjung tinggi dan melestarikan sunnah rasul, sesuai dengan hadits yang artinya:

(22)

“ilmu itu ada tiga yang lain hanya sebagai anjuran, yaitu ayat yang mukhamat (kongkret), sunnah yang diikuti, dan pembagian waris yang adil” (H.R. Abu Dawud dan Ibnu Majah)

3) Mementingkan dan memperhatikan kepentingan anak yatim.

4) Menghindarkan terjadinya perselisihan dan persengketaan yang disebabkan oleh masalah pembagian warisan.

BAB IV PENUTUP 4.1. Simpulan

Secara terminologi, ilmu waris yaitu ilmu tentang pembagian harta peninggalan seseorang setelah meninggal dunia, atau disebut juga sebagai ilmu faraidh ضم ئماررفر (ilmu yang mempelajari ketentuan yang diperoleh oleh ahli waris menurut ketentuan syara.

Adapun tujuan dari mempelajari ilmu mawaris untuk membagikan harta warisan kepada ahli waris yang berhak menerimanya dan menjalankan perintah Allah SWT.

Sumber dasar hukum dari ilmu mawaris ini adalah Al-Quran, Hadits, Ijtihad, Ijma dan Qiyas. Didalam al-quran pada surat An-Nisa menjelaskan tentang tata cara pembagian harta waris bagi umat islam.

Kedudukan ilmu mawaris adalah sebagai suatu pedoman untuk mengatur pembagian harta warisann dengan ketentuan dan aturan yang sudah pasti yang berasal dari Allah SWT.

Pada sumber hukum mengenai ilmu mawaris, dapat diambil bahwa hukum mempelajari ilmu mawaris atau faraidh hukumnya adalah Fardu Kifayah. Sebagai umat Islam wajib mengetahui mengenai ketentuan yang berkaitan dengan ilmu faraidh.

4.2. Saran

(23)

tidak ada ketentuan mengenai waris yang jelas dan terperinci menjelaskan mengenai pembagian harta warisan.

DAFTAR PUSTAKA Anggota IKAPI. FIQIH. 1988. Bandung: CV Armico.

Team guru Bina PAI MA. Fiqih XI. 2014. Sragen: Akik Pusaka.

Referensi

Dokumen terkait

(2006:208) Analisis BEP adalah suatu cara atau teknik yang di gunakan oleh seorang manajer perusahaan untuk mengetahui pada volume (jumlah) penjualan dan volume produksi berapakah

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan, maka ruang lingkup penelitian dibatasi pada media pembelajaran dengan alat pembelajaran yang berbeda (bola soft-volley

Aliran ini sambil mengalir melakukan pengikisan tanah dan bebatuan yang dilaluinya (Ilyas, 1990 dalam Setijanto, 2005). Sungai merupakan bentuk ekosistem perairan mengalir

Τα αποτελέσματα της ανάλυσης των δεδομένων έδειξαν πως δέν υπάρχει στατιστικώς σημαντική διαφορά ως προς την επιλογή των αρσενικών

23 PEMANFAATAN PROGRAM GEOGEBRA DALAM UPAYA MENINGKATKAN PEMAHAMAN PADA POKOK BAHASAN SEGITIGA DITINJAU DARI HASIL BELAJAR SISWA KELAS VII. Adi

Pengendalian gulma dengan pengelolaan air Pengendalian biologi Hama Padi... KONDISI TANAH PERTANIAN

Praktik Pengalaman Lapangan adalah kegiatan intra kurikuler yang wajib diikuti oleh mahasiswa Program Kependidikan Universitas Negeri Semarang, sebagai pelatihan untuk

Peningkatan Kemampuan koneksi Matematis Siswa Dengan Menggunakan Pendekatan CTL, Universitas Syiah Kuala Lumpur, Jurnal Pendidikan Matematika PARADIGMA, vol 6 Nomor