• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II BIOGRAFI DAN PEMIKIRANNYA

B. Pemikiran Ibn „‘Āsyūr

Ibn „Āsyūr mengemukakan gagasannya yang lahir dari kritiknyaterhadap Syātibī, menurut Ibn „Āsyūr rumusan al-Syātibī tentang limakebutuhan dasar manusia dinilai kurang komprehensif untuk duniamodern. Dia mengusulkan kebebasan, kesetaraan, kesucian, toleransi dankeadilan sebagai bagian dari kebutuhan dasar manusia.

1. Perbedaan maqāṣid al-syarī‟ah Ibn „Āsyūr dan al-Syātibī Pandangan umum tentang maqāshid al-syarī‟ah, seperti diklaim sendiri olehal-Syātibī,telah mencapai kemapanan secara sistematis dan metodologis.5 Al-Syātibī (peletak kembali dasar ilmu ushūl) dalam konsep Maqāṣid-nya(induktif/istiqra‟) bertumpu general untuk mewujudkan konsep partikular, ia tidaksaja menandai pergeseran epistemologis di bidang usul fiqh, melainkan juga dibidang tafsir dan hermeneutika al-Qur‟an.6

Ibn „Âsyûr (w.1394 H) mengelaborasi konsep maqāṣid yang telah dibangunoleh al-Syātibī, namun ia bertolak dari yang konsep lintas batas partikular untuk mewujudkan konsep-konsep yang partikular dalam memahami hukum-hukum dan mencari solusi dari

5 „Abd al-Rahmān al-Kaylānī menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh para ulama sebelum al-Syātibī di bidang Maqāṣid al-syarī‟ah bernilai sama seperti sebuah pengantar (muqaddimah) jika dibandingkan dengan apa yang ditulisnya dalam Muwāfaqāt. Lihat „Abd Rahmān Ibrāhīm Kaylānī, Qawā„id Maqāṣid „Inda al-Imām al-Syātibī, (al Ma'had Al a'limiy lil fikri al Islamiy, 2000), h. 14. Sementara itu,

„Abd al-Muta„āli al-Sa„īdi bahkan membandingkan jasa al-Syātibī dalam perumusan Maqāṣid al-syarī‟ah dengan jasa al-Syāfi„ī dalam perumusan usul fiqh. Lihat Hammādi al-„Ubaydī, Al-Syātibī wa Maqāṣid al-Syarī‟ah, hal. 132.

6 Lihat David Johnston, “A Turn in the Epistemology and Hermeneutics of Twentieth Century Usūl al-Fiqh”, dalam Islamic Law and Society, Vol. 11, No. 2, (Juni 2004), h. 252-253

kompleksitas pelbagai problematika sosial yang berkembang dimasyarakat,dengan mendahulukan kepentingan umum atau mayoritas atas individu.Konsep ini disinyalir mirip dengan model ijtihad fiqh Tārīkhiy seperti yang pernah dilakukan oleh Baqr Shadr dan fazlur Rahmân.7 Maqāṣid al-syarī‟ah yang dibangun al-Syātibī disebut „Ābid al-Jābiri sebagai „I‟ādah ta‟sīl al-ushīl, yaitupeletakan kembali dasar-dasar ilmu ushul yang kemudian diikuti oleh muridnya Abdul Majīd Turkiy merupakan titik awal bertumpunya dasarmetodologi dalam beristinbath hukum.

Ibnu „Āsyūr mengelaborasi pandangan pendahulunya yang disebutnya dengan,hal ini disinyalir, bahwa teori yang diusung Ibn „Āsyūr berusaha menggali dan menemukan cara pandang sejarah secara ilmiah dan metodologis yang digunakan untuk penelitian dan peletakan dasar secara integral, karena lanjutantentang kajian ilmu maqāṣid ini berbeda dengan kajian ilmu ushul, menurutnya penelitian dari kajian ushul tidak kembali pada esensi hikmah al-tasyrī‟. Namun sebaliknya, iahanya berputar-putar pada permasalahan istinbath hukum dari nash sharīh melaluikaidah-kaidah yang digunakan pakar (fuqahā‟) untuk beristinbath hukum dari cabang-cabang ataupun sifat-sifat („illat) hukum yang diambil dari Al-Qur‟an, sebagai kajian untuk

7 Muhammad Syaikh Mahdi Syamsuddîn, al-Ijtihād fī al-Islam majalah Ijtihād (Beirut: Dār al-Ijtihâd Beirut, 1990), h. 49-50.

menginterpretasikan lafadz-lafadz yang diyakini sebagai kehendak Tuhan (sebatas kemampuan seorang faqîh dalam berijtihad).8

Gagasan yang dlakukan Ibn „Āsyūr tentang ilmu maqāṣid al-syarī‟ah baginya sangat berhubungan erat dengan penelitian lain, yang mempunyai muara esensi tujuan yang sama yakni penelitian tentang norma-norma/aturan sosial kemasyarakatan yang Islami.Dalam pandangan Ibn „Āsyūr bahwa pemerhati penelitian tentang tema besar ini membutuhkan kaidah dan instrumen yang luas.Barometer yang menjadi esensi muara dari kajian ini adalah; sejauh mana pencapaian kemaslahatan terealisasikan dalam kehidupan sosial berkemanfaatan secara berkesinambungan.9

2. Trobosan Ibn „Āsyūr dalam maqāṣid al-syarī‟ah

Ia melakukan trobosan baru dan merekonstruksi maqāṣid al-syarī‟ahyang di antaranya: pertama, maqāṣid al-syarī’ahāmmah yang diartikan sebagai makna-makna atau hikmah-hikmah yangdiperhatikan syar‟i dalam semua atau sebagian besar ketetapan syari‟at, dimana tidak tertentu pada hukum-hukum syari‟at (fiqih) semata.

Termasuk dalam kategori ini sifat-sifat syari‟at, tujuan-tujuan yanguniversal, hikmah-hikmah yang menjadi pusat perhatian syara‟ dan hikmah yang dipandang pada

8 Ismaīl Hasani, Nazhariyyah al-Maqāṣid „ind Ibn „Āsyūr, (Herendun USA:al Ma‟had al-„Ā'limiy lil fikri al Islamiy, 1995), h.. 98-102 dan 113-114.

9 Saīd Ramadhān al-Būty,Dhawābit al-maslahāh fī syarī‟ah Islāmiyah (muassasah Risalah, 1987), h. 29-30

beberapa hukum, sekalipun tidak pada keseluruhan hukum.10

Menurut pemikiran Ibn „Āsyūr terdapat empat dasar pokok dalam bangunan maqāṣid syarī’ah, yaitu: (1) al-fitrah, yaitu fitrah manusia berarti setiap sesuatu yang diciptakan pada diri manusia, meliputi jasad dan akal, baik bersifat zahir maupun batin. (2) al-Samāhah (toleransi) Islam adalah agama samāhah, syari‟atnya bersifat mudah, toleran, dan moderat. Syari‟at Islam bertujuan menjadikan pemeluknya menjadi pribadi dan umat yang berada pada dimensi pertengahan (moderat).

(3) al-Musawah (egaliter) yaitu menganggap umat Islam berposisi sederajat (sama) di hadapan hukum Islam. Tiada berbedaan sedikitpun dalam hukum Islam antara orang yang kuat, lemah, mulia, hina dan sebagainya. Hal ini bertumpu pada asas yang mendasar, yaitu Islam sebagai agama fitrah. Setiap hal yang dipandang sama dalam fitrah maka diperhitungkan sederajat pula dalam syari‟at Islam.

(3) al-Ḥurriyah (Kebebasan) diartikan dua makna yaitu ubūdiyah berarti perbudakan dan kebebasan dalam kemampuan seseorang untuk bertindak pada diri dan segala hal sesuka kehendaknya tanpa ada pihak yang menentang. Kebebesan sebagai mana yang diungkkap oleh Bintu Syatī‟, ada empat kategori kebebasan di dalam

10 Ibn „Āsyūr,Tafsir Al-Tahrīr wa Al-Tanwīr (Tunisa: al-Dār al Tunisiyyah linnatsr, 1884), jilid 1, h. 56.

al-Qur‟an, yaitu kebebasan dari perbudakan, kebebasan berakidah, kebebasan berpikir, dan kebebasan berkehendak. Dari empat kategori ini yang menjadi langkah etis dalam pluralitas umat beragama adalah kebebasan dalam berakidah (beragama).11

Kebebasan secara etimologi sebagaimana ditegaskan Ibn ‟Āsyūrdalam karyanya Ushul al-Nidham al-Ijtimā‟i al-Islāmi ia berarti lawan dari perbudakan dan penghambaan (al-Riqq wa al-‟Ubūdiyyah), secara dzahirterm inimemiliki makna terlepas (al-takhallash) dari unsur penghambaandan perbudakan. Disisi lain ia dapat dikatakan merupakan kebebasan keinginanindividu dalam berinteraksi dengan lingkungannya tanpa ada yang menghalanginya. Begitu juga menurut ‟Allāl al-Fāsi melihat bahwakebebasan (al-Hurriyyah) bukan berarti manusia berbuat semaunya danmeninggalkan apa yang diingininya (yatruk mā yurīd). Akan tetapi, berbuat sesuaidengan keyakinan bahwa dirinya sebagai mukallaf dari yangdiperbuatnya mempunyai nilai kebaikan bagi kemaslahatan kemanusiaan secaraumum.12

Kedua,maqāṣid al-syarī’ah khāṣṣah yaitu tujuan syari‟at khusus yang berkaitan dengan muamalat, yang di dalamnya mengupas berbagai isu maqāṣid al-syarī’ah,

11 „Āisyah „Abd al-Rahman b. al-Syāṭi‟, Maqāl fī al-Insān Dirāsah Qur‟aniyya, (al-Qāhirah: Dār al-Ma‟ārif, 1969), h. 62-117

12 TāhirIbn „Āsyūr,Uṣūlu al-Nidzhām al-Ijtimā‟i fī al-Islam, (al-Jazā‟ir: Syirkah al-Tunisiyyah Littawzī‟ wa Dār alwathaniyyah lilkitab, 1985), h. 150-1. lihat juga

„Allāl al-Fāsī, Maqāṣid al-Syarī‟ah al-Islāmiyah wa Makārimuhā, (Dār al-Baidhā‟:

Maktabah al-Wihdah al-„Arabiyyah,1963), h. 244-256.

misalnyahukum keluarga, penggunaan harta, hukum perundang-undangan dan kesaksian. Pada masing-masing kelompok hukum terdapat maqāṣidal-syarī’ah khusus yang menjadi acuan seluruh hukum persial yang tercakup dalam masing-masing rumpun yang dimaksud.

Trobosan Ibn „Āsyūr ini kemudian dielaborasi kembali oleh tokoh kontemporer yaitu Jasser Auda salah satu tokoh maqāṣid yang terkenal dengan system approach. Ia membagikan tiga macam terkait jaungkauan maqāṣid. Pertama, maqāṣid umum (maqāṣid

al-„ammah/general maqāṣid), yaitumaqaṣid yang bisa diperhatikan dalam fikih secara keseluruhan.

Kedua,maqāṣid khusus (al-maqāṣid al-khassah/specific maqāṣid), maqāṣid yang bisadiperhatikan dalam pembahasan tertentu dari fikih. Contohnya kesejahteraananak dalam bahasan fikih keluarga, mencegah kejahatan dalam bahasanhukum pidana, serta mencegah monopoli. Ketiga, maqāṣid parsial (almaqāṣidal-juz‟ῑyyah/partial maqāṣid), ialah maksud yang terkandung dalamteks tertentu. Contohnya tujuan terungkapnya kebenaran dalam penentuan saksi tertentu dalam kasus hukum tertentu. Maksud meniadakan kesukarandalam kebolehan orang sakit yang tak berpuasa.13

13 D. Aqraminas, “Kontribusi Jasser Auda dalam Kajian al-Qur‟an: Interpretasi Berbasis Sistem, Ushuluna: Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol. 4, No. 2, (2018), h. 133-134.

Lihat pula; Jasser Auda, Fiqh al-Maqāsid: Ināṭah al-Ahkām al-Syar‟īyah bi Maqāṣidiha (London: al-Ma‟had al-„Alī li al-Fikr al-Islamiī, 2006), 15-17

Dokumen terkait