• Tidak ada hasil yang ditemukan

TRANSGENDER DALAM KITAB TAFSIR (Studi Analisis QS. al-nisā [4]: 119 dan QS. al-rūm [30]: 30 Perspektif Ibn Asyūr)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TRANSGENDER DALAM KITAB TAFSIR (Studi Analisis QS. al-nisā [4]: 119 dan QS. al-rūm [30]: 30 Perspektif Ibn Asyūr)"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

1 Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh:

Irda Oktaviani 11140340000184

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR‟AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1442H/2020M

(2)
(3)

dc

PENGESAHAN SIDANG MUNAQASYAH

Skripsi yang berjudul TRANSGENDER DALAM KITAB TAFSIR (KAJIAN ANALISIS QS. AL-NISĀ’/4 :119 DAN QS. AL- RŪM/ 30 :30 PERSPEKTIF IBN ‘ĀSYŪR telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 12 Oktober 2020. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag) pada Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir.

Jakarta, 12 Januari 2021 Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Dr. Eva Nugraha, M.Ag Fahrizal Mahdi, Lc.MIRKH NIP. 19710217 199803 1 002 NIP. 19820816 201503 1 004

Anggota,

Penguji I, Penguji II,

Dr. Abd. Moqsith, M.A Ala’i Nadjib, M.A NIP. 19710607 200501 1 002 NIP. 19711205 200501 2 004

Pembimbing,

Drs. Ahmad Rifqi Muchtar.M.A NIP. 19690822 199703 1 002

(4)
(5)

i

Transgender dalam Kitab Tafsir (Kajian Analisis QS. al-Nisā [4]:119 dan QS. al-Rūm [30]: 30Perspektif Ibn „Āsyūr)

Skripsi ini membahas tentang transgender perspektif Ibn

„Āsyūr yang dielaborasikan dengan beberapa kitab tafsir.Istilah trangender merupakan tema abstrak yang tidak memiliki redaksi yang eksplisit di dalam al-Qur‟an. Namun ditemukan ekpsresi yang sama tentang mengubah bentuk ciptaan-Nya. Permasalahan yang muncul adalah para mufasir sebelumnya masih mengutip membicarakan merubah bentuk ciptaan-Nya seperti mengebiri, memotong anggota hewan dengan tujuan tertentu. Dalam hal ini Ibn „asyūr hadir dengan gaya penafsiran yang berbeda dengan berasaskan kepada kemaslahatan.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research). Penelitian ini dilakukan dengan teknik pengumpulan data dengan cara mencari, mengamati, dan menelaat sumber terkait. Sumber utama (primer) dalam penelitain ini adalah kitab Tafsir Ibn „Āsyūr yang berjudul “al-Tahrīr wa al- Tanwīr”.sedangkan sumber sekundernya yaitu buku-buku, jurnal, artikel dan lainnya yang masih berkaitan dengan tema ini.

Berdasarkan penelitian ini, penulis menyimpulkan bahwa menurutIbn „Āsyūr transgender dengan cara mengubah bentuk kelamin merupakan tindakan yang dilarang oleh agama.Bagi Ibn

„Āsyūr, mengubah bentuk ciptaan Allah diperbolehkan dengan catatan memiliki kemaslahatan, seperti: berkhitan untuk kesehatan, mencukur rambut, kuku berguna untuk memudahkan beraktivitas. Berbeda halnya dengan trangender yang tidak memiliki basis kemaslahatan, karena bisa berdampak buruk bagi dirinya baik di dunia maupun di akhirat.

Kata Kunci : Transgender, Maslahat, Ibn „Āsyūr

(6)

ii

ئيش لك ىلع زداق ئيش لك قلخ يرّلا لله دمحلا

Segala puji milik Allah SWT yang selalu memberikan kepada kita semua rahmat, semoga kita selalu istiqamah menjadi seorang hamba yang selalu patuh kepada-Nya. Sholawat untuk Nabi Muhammad SAW, sebagai ayah yang tidak lelah dalam berjuang, seorang pemimpin yang diberi gelar al-Āmin, untuk memperjuangkan agama Allah, semoga kita diberikan Syafa‟at (pertolongan) dikemudian nanti.

Sebagai salah satu syarat menyelesaikan studi dan mencapai gelar Strata Satu (S1) di Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta adalah membuat karya tulis ilmiah dalam bentuk skripsi. Berbagai hambatan selama menyusun skripsi,karena masih kurang pengetahuan untuk menyelesaikannya, Alhamdulillah dengan izin Allah dengan niat dan tekad yang sungguh, dapat menyelesaikan tugas akhir ini.

Kendati, ini semua tidak terlepas dari dukungan dan banyak pihak. Oleh karenanya, penulis mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Prof. Dr. HJ.Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc.,MA.

Selaku Rektor Universitas Islam Negeri Jakarta

2. Dr. Yusuf Rahman, MA. Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin 3. Dr. Eva Nugraha, MA. Sebagai Ketua Jurusan Ilmu al-Qur‟an

dan Tafsir

(7)

iii

5. Drs. Ahmad Rifqi Muchtar. MA sebagai Dosen Pembimbing skripsi yang selalu meluangkan waktu dan pikirannya selama menjadi pembimbing, terimakasih banyak semoga menjadi amal jariyah.

6. Dr. Mafri Amir. MA sebagai Dosen Pembimbing Akademik 7. Kepada seluruh Dosen-dosen Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir, Prof.

Dr. H. Said Agil Husin Al Munawar M.A.,Prof. Dr. H.

Zainun Kamaluddin Fakih M.A, Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar M.A, Dr. Abd. Moqsith, M.Ag, Rifqi Muhammad Fatkhi, M.A., dan semuanya yang pernah mengajar saya dari semester I-VII, Jazākumullah Wanafa„anā bi „Ulūmihim.

8. Terimakasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua bapak H.Ikrom dan ibu Hj.Darsiah, dan kakak tercinta ang ova dan ang muklis yang selalu mendoakan, memberi nasehat, dukungan, dan memperhatikan kesehatan. Semoga Allah senantiasa melindungi dan mengampuni kesalahan.

9. Seluruh Sahabat-sahabat Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir angkatan 2014, teman seperjuangan, teman untuk berdiskusi. Semoga Allah memberikan keberkahan dalam pertemuan kita.

10. Teman KKN 047, sebulan kita mengabdi semoga menjadi amal kebaikan kita dan menjadi keberkahan untuk mereka.

11. Teman grup “nikahin kita dong” terimakasih atas dukungan selama ini yang selalu mengingatkan tugas akhir kuliah ini, dan terimakasih juga kepada suami saya Bayu Mega yang selalu ada dalam susah maupun senang.

(8)

iv

kebaikan pula. Āmīn Ya Rabba al-„Alamīn.

Sekali lagi, terimakasih dukungan dan bantuannya semoga menjadi amal kebaikan untuk kita semua

Ciputat 8 September 2019

IRDA 11140340000184

(9)

v

keputusan bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor: 158 Tahun 1987 dan Nomor: 0543b/U/1987.

1. KOSONAN TUNGGAL

Berikut ini daftar huruf bahasa Arab dan transliterasi ke dalam aksara latin Yaitu:

NO Huruf Arab

Huruf

Latin Keterangan

1. ا Tidak dilambangkan

2. ب B Be

3. ت T Te

4. ث Ṡ Es (dengan titik atas)

5. ج J Je

6. ح Ḥ H (dengan titik bawah)

7. خ Kh Ka dan Ha

8. د D De

9. ذ Ż Z (dengan titik atas)

10. ز R Er

11. ش Z Zet

12. س S Es

13. ش Sy Es dan Ya

14. ص Ṣ Es (dengan titik di bawah)

15. ض Ḍ De (dengan titik di bawah)

(10)

vi

bahasa Indonesia, yaitu terdiri dari vokal tunggal ( monoftong) dan vocal rangkap (diftong). Berikut untuk vokal tunggal ketentuan aksarannya adalah:

16 ط Ṭ Te (dengan titik di bawah) 17 ظ Ẓ Zet (dengan titik di bawah) 18 ع „ (Koma terbalik di atas hadap kanan)

19 غ G Ge

20 ف F Ef

21 ق Q Ki

22 ك K Ka

23 ل L El

24 م M Em

25 ن N En

26 و W We

27 ه H Ha

28 ء ˋ Apostrof

29 ي Y Ye

(11)

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Keterangan Latin

َ A Fatḥah

َ I Kasrah

َ U Ḍammah

Dan untuk vocal rangkap atau disebut diftong adapun ketentuan aksaranya sebagai berikut :

Tanda Vokal Tanda Vokal Keterangan

Arab Latin

ا ي Ai Fatḥah dan ya

ا و Au Fatḥah dan wau

3. VOKAL PANJANG

Vokal panjang yaitu kententuan alih aksara vikal panjang (mad) yang dalam bahasa dilambangkan dengan huruf dan harakat adalah :

Tanda Vokal Tanda Vokal Keterangan

Arab Latin

با Ā a (dengan garis di atas)

ةي Ī i (dengan garis di atas)

ب و Ū u (dengan garis di atas)

(12)

4. KATA SANDANG

Kata sandang yaitu dalam system aksara Arab dilambangakan dengan huruf, seperti dialihaksarankan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsyiah maupun komariah. Contohnya seperti: : al-rijāl bukan ar-rijāl, al- dīwān bukan ad-dīwān.

5. Syaddah (Tasydîd)

Syaddah atau tasydìd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkandengan sebuah tanda (tasydid) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerimatanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah.

Misalnya, kata (ةرورضلا)tidak ditulis ad-ḏarūrah melainkan al- ḏarūrah, demikian seterusnya.

6. Ta Marbūṯah

Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûṯah terdapatpada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûah tersebut diikuti oleh kata sifat (na‟t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marbūṯah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/

(13)

ix

2 ةيملاسلاا ةعماجلا al-Jāmi„ah al-Islāmiyyah

3 دوجولا ةدحو Wahdat al-wujūd

7. Huruf Kapital

Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf tidak dikenal, dalam alihaksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang berlaku dalam Ejan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf capital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. Contoh:

Abū Hāmid al-Gazālī bukan Abū Hāmid Al-Gazālī, al-Kindi bukan Al-Kindi. Beberapa ketentuan lain dalam EBI sebetulnya juga dapat diterapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic) atau cetak tebal (bold).

(14)

x DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 1

C. Pembatasan dan perumusan Masalah ... 6

D. Tujuan Penelitian ... 7

E. Manfaat Penelitian ... 7

F. Tinjauan Pustaka ... 8

G. Metode Penelitian ... 8

1. Metode Pendekatan ... 8

2. Metode Pengumpulan Data ... 9

3. Metode Pengelolah dan Analisis Data ... 9

H. Sisetematika Penulisan ... 11

BAB II BIOGRAFI DAN PEMIKIRANNYA IBN ‘ĀSYŪR A. Biografi Ibn ‘Āsyūr ... 13

B. Pemikiran Ibn „‘Āsyūr ... 16

C. Prinsip Dasar dalam Penafsiran Ibn „‘Āsyūr ... 22

D. Karakteristik kitab Tafsīr al-Tahrīr wa al- Tanwīr ... 25

BAB III SEJARAH DAN PERKEMBANGAN TRANSGEDER A. Definisi Transgender ... 31

(15)

xi

B. Sejarah Munculnya Transgender ... 35

C. Transgender dengan Cara Mengubah Kelamin ... 38

D. Faktor Terjadinya Transgender... 39

E. Karakter Berdasarkan Gender ... 41

BAB IV BAHAYA TRANSGENDER PERSPEKTIF IBN ‘ĀSYŪR A. Transgender Perspektif Tafsir Kontemporer ... 46

B. Larangan Transgender ... 53

C. Antisipasi Tindakan Transgender ... 58

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 63

B. Saran ... 63

DAFTAR PUSTAKA

(16)

1 A. Latar belakang masalah

Al-Qur‟an merupakan kitab pedoman yang berisikan tentang nilai insāniyyah.1Al-Qur‟an menjadi rujukan utama dalam Islam untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang terus hadir. Isu-isu yang diselesaikan tidak hanya persoalan yang ada pada masa Nabi Muhammad, tetapi juga isu-isu saat ini berkembang. Salah satunya adalah perbicangan tentang transgender.Menurut Nanis damayanti transgender adalah orang yang cara berprilaku atau penampilannya tidak sesuai deengan peran gender pada umumnya. Transgender merupakan orang yang dalam berbagai level

“melanggar”norma cultural mengenai bagaimana pria atau wanita itu sendiri transgender berhenti hanya pada aspek prilaku atau penampilan (zahir) saja.2

Dalam al-Qur‟an, istilah transgender merupakan tema abstrak yang tidak ditemukan secara eksplisit di dalam al- Qur‟an, hanya saja dapat dikaitkan dengan eksresi dan tindakan pelaku transgender. Term yang digunakan adalah taghyīr dan tabdīl yang terdapat di dalam QS. al-Nisā‟ [4]:

119 dan QS. al-Rūm [30]: 30.Kedua ayat ini memberikan informasi terkait larangan mengubah bentuk ciptaan.

1Wāfī „Asyūr Abū Zaid, Nahwā Tafsīr Maqāṣidī li al-Qur‟ān al-Karīm Ru‟yah Ta‟sisiyyah li Manhaj Jadīd fī Tafsīr al-Qur‟ān (al-Ribāṭ: Mufakkarūn, t.th.), h. 5.

2 Gibtiah, fiqih kontemporer,(Palembang: Karya Sukses Mandiri, 2015), hlm 272.

(17)

َُُلَو

َُّنُرّْ يَغُ يَلَ فُْمُهَّ نَرُم َلََوُِماَعْ نَْلاَُناَذآَُّنُكّْتَبُيَلَ فُْمُهَّ نَرُم َلََوُْمُهَّ نَ يّْ نَمَُلَوُْمُهَّ نَّلِض

ُاًناَرْسُخُ َرِسَخُ ْدَقَ فُِوَّللاُ ِنوُدُ ْنِمُاِّيِلَوَُناَطْيَّشلاُِذِخَّتَ يُ ْنَمَوُِوَّللاَُقْلَخ اًنيِبُم

“Dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka meubahnya".

Barangsiapa yang menjadikan syaitan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata”.

MenurutWahbah al-Zuhaili, redaksi taghyīr memiliki dua pandangan. Pertama merujuk kepada historis ayat yang menceritakan orang jahiliiyyah yang mengubah anggota tubuh hewan mereka. Kedua, pandangan mayoritas ulama bahwa terma yughayyir adalah mengubah agama.3 Pandangan ini juga sejalan dengan Rasyīd Rida. Menurutnya, kata taghyīr memiliki dua maksud yaitu merubah taghyīr bihissi yaitu mengubah yang bisa diindrawi seperti mengebiri (khiṣā‟). Pendapat ini banyak dikutip dari periwayatan Ibn

„Abbās dan Anas b. Mālik. Menurutnya, segala bentuk mengubah bentuk bahkan membuat yang menyerupai manusia itu diharamkan dalam syari‟at. Meskipun dalam historisnya menjelaskan tentang mengubah telinga hewan dengan cara dipotong itu sama saja hukumnya apabila

3 Wahbah al-Zuhailī, al-Tafsīr al-Munīr fī al-„Aqīdah wa al-Syarī‟ah wa al- Manhaj, (Beirut: Dār al-Fikr, 2009), jilid III, h. 287-288

(18)

seseorang melakukan perubahan dengan cara memotong telinga mereka sendiri, mengubah hidung, mata, dan lainnya.

Karena ini merupakan perbuatan orang jahiliyyah. Tentunya ini tidak memiliki legitimasi yang membolehkan melakukan hal tersebut.4Sedangan taghyīr bi al-ma‟nawī adalah merubah agama mereka. pandangan ini juga merupakan mayoritas ulama tafsir melalui jalur periwayatan Ibn „Abbās. Agama di sini diartikan sebagai fitrah.

Ayat kedua yaitu QS. al-Rūm [30]: 30 dengan redaksi sebagai berikut:

ُمِقَأَف

ُّْدلِلَكَهجَو فيِنَحُِني

َُتَرطِفا

َُطَفُیِتَّلٱُِوَّللٱ ُ بَتُ َلَُاَهيَلَعَُساَّنلٱَُر

لَِلخَُلي ُِد

ُِقُ

ُِوَّللٱ

َُذ 

َُكِل ⁠ لٱُُنيّْدلٱ ُ كَأَُّنِكٰ َلَوُُمّْي َُق

َُرَ ثُ

عَيُ َلَُِساَّنلٱ

َُنوُمَل

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui

Menurut Wahbah al Zuhailī, dalam terjemahan mufradatnya tidak jauh berbeda dengan sebelumnya.Yaitu mengubah fitrah manusia yang memiliki agama dan mengubah ciptaan. Dalam tafsirannya, mengubah agama adalah tindakan yang keluar dari fitrah manusia. Karena tindakan syirik merupakan keluar dari fitrah manusia.

Solusinya tetapi setia dengan mengikuti agama yang bertauhid yaitu Islam.

4 Muhammad Rasyīd Rida, Tafsīr al-Manār: Tafsīr al-Qur‟an al-Hakīm, (Mesir:

Dār al-Manār, 1947), h. 428

(19)

Dalam pandanganyaRayīd Rida yang mengutip pandangan Muhammad Abduh memiliki kesamaan dengan Wahbah al-Zuhailī. Kesamaan ini juga ditemukan penafsiran- penafsiran klasik. Bahwa QS. al-Rūm [30]: 30 merupakan penafsiran dari QS. al-Nisā [4]: 119. Inilah yang menjadikan pendapat yang berbeda di kalangan mufassir. Sehingga pendapat yang lebih kuat adalah mengubah agama. tetapi tidak menutup kemungkinan, bahwa mengubah bentuk ciptaan juga pendapat yang banyak dipakai ulama tafsir.

Hemat penulis, bahwasanya mengubah ciptaan Allah dapat berarti mengubah agama Allah dan menggantinya dengan kekafiran, menghalalkan apa yang diharamkan Allah dan mengharamkan apa yang dihalalkan-Nya. Seperti mengubah penampilan fisik contohnya laki-laki berpenampilan perempuan atau sebaliknya perempuan berpenampilan laki-laki. didalam tafisr al-misbah memaparkan mengubah ciptaan Allah termasuk menusuk mata unta yang telah berlarut-larut mereka kendarai atau member tato sebagai hiasan, tetapi hakikatnya memperburuk wajah atau bentuk tubuh. Termasuk pengertian kata ini mengfungsikan makhluk Allah tidak sesuai dengan fungsi yang sesungguhnya, seperti mempertruhkan binatang, dan menjadikan sebagai tanda-tanda persitiwa tertentu. Pengertian kata ini termasuk juga dalam pengertian mengubah ciptaan

(20)

Allah tindakan mengebiri, homoseksual, dan lesbian, serta praktek-praktek yang tidak sesuai fitrah. 5

Permasalahan yang muncul adalah dari beberapa mufasir penulis kutip, tidak berbicara tentang dampak dari perbuatan tersebut. Penafsiran sebelumnya banyak berbicara tentang pelarangan yang kemungkinan pelaku trangender tetap mau melakukan hal tersebut. dalam hal ini Ibn „Āsyūr memberikan penafsiran yang cukup berbeda. diartikan mengubah sesuatu yang berlebihan. Dalam hal ini Ibn „Āsyūr melihat dari sisi kemaslahatan. Apabila tindakan tersebut memiliki dampak yang baik itu tidak dipermaslahkan.

Misalnya memotong kuku untuk bisa beraktivitas, mencukur rambut, melubangi telinga bagi perempuan untuk bisa dipasang anting-anting. Bahkan Ibn „Āsyūr menjelaskan termasuk khitan juga diperbolehan. Satu sisi itu merupakan anjuran syari‟at tetapi juga memiliki dampak maslahata bagi laki-laki tersebut. Kemaslahatannya adalah untuk kesehatan.

Demikianlah syari‟at, meskipun ada legitimiasi untuk berkhitan, tetapi juga ada dampak kemaslahatan.6

Dari permaslahan ini penulis merumuskan penelitian yang berjudul “Transgender dalam Tafsir (Kajian Analisi QS.

al-Nisā‟ [3]: 119 dan QS. al-Rūm [30]: 30 perspektif Ibn

„Āsyūr)”.

5M.Quraish shihab, Tafsir al-misbah,( Jakarta:lentera hati, 2002) hal 566 volume 2

6Tāhir Ibn „Āsyūr, al-Tafsīr al-Tahrīr wa al-Tanwīr, (Tunisia: al-Dār al-Tunisia li Nasyar, 1984), jilid, III, h. 204

(21)

B. Identifikasi masalah

1. Tema transgender merupakan tema abstrak yang tidak memiliki redaksi yang eksplisit di dalam al-Qur‟an.

2. Mayoritas mufasir menafsirkan ayat tentang mengubah bentuk ciptaan masih merujuk kepada penafsiran- penafsiran sebelumnya yang berkaitan tentang mengkebiri. Padahal trangender merupakan tindakan mengubah bentuk kelamin.

3. Ibn „Āsyūr salah satu mufasir yang membicarakan tentang kemaslahatan bagi pelaku mengubah ciptaan. Salah satunya berkhitan yang memiliki kemasalahatan bagi kesahatan diri.

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Mengingat begitu luasnya ruang lingkup penelitian ini, penulis melakukan pembatasan dalam penelitiannya.

Pembatasan masalah ini dilakukan agar permasalahan tetap pada ruang lingkup yang sesuai dan terarah, maka penulis membatasi tentang pembicaraan transgender melalui QS. al- Nisā‟ [4]: 119 dan QS. al-Rūm [30]: 30 perspektif Ibn „Āsyūr dan dielaborasikan penafsiran-penafsiran ulama lainnya.

Dalam skripsi ini penulis merumuskan masalah yaitu;

Bagaimana memahami trangender dalam al-Qur‟an perspektif Ibn „Āsyūr ?

(22)

D. Tujuan penelitian

Dalam suatu penelitian atau kajian tentu mempunyai tujuan yang mendasari tulisan ini, yaitu sebagai berikut : 1. Minimalisir terjadinya transgender di Indonesia 2. Untuk mengetahui penafsiran ayat transgender

3. Untuk memenuhi sebagian syarat-syarat menyelesaikan studi stara satu(S1) dan memeperoleh gelar S.Ag

E. Manfaat penelitian

1. Dengan adannya kajian ini penulis, dapat menambah wawasan keilmuan khususnya alam bidang tafsir.

2. Dengan adanya kajian ini penulis berharap mudah- mudahan dapat dijadikan sebagai litelatur dan dorongan untuk mengkaji masalah tersebut lebih lanjut.

F. Tinjauan pustaka

Penelitian tentang transgender ini perlu dikaji dan diteliti berbagai aspek, karena masalah transgender ini sudah banyak dimana-mana, tetapi penulis tidak menemukan apa yang ingin dibahas penulis. Penelitian yang berjudul “ Transgenderdalam Kitab Tafsir: Kajian Analisis QS. al- Nisā [4]:119 dan QS. al-Rūm [30]: 30 Perspektif Ibn

„Āsyūr.”Judul ini ingin mengupas tentang bagaimana penafsiran Ibn „Āsyūr tentang trangender dan dielaborasikan dengan penafsiran kontemporer.

Dari hasil yang telah di temukan litelatur berbentuk skripsi, tesis,dan jurnal yang menyerupai pembahasan ini:

(23)

1. Skripsi ini ditulis oleh Resti hadi juwanti yang berjudul

“kepemimpinaan transgender dalam presfektif fiqih siyasah dan hukum positif” skripsi ini membahas tentang di larangnnya transgender menjadi seorang pemimpin dalam pandangan fiqih siyasah dan hukum positif.

2. Jurnal ini dibuat oleh Winda novtatika anggareni yang berjudul “tindakan sosial pemuka agama Islam terhadap keberadaan transgender “disini lebih membahas tentang kedudukan transgender dalam pandangan alim ulama.

3. Skripsi ini dibuat oleh Ijah ramadina yang berjudul

“Tinjauan yuridis terhadap transgender di kota Makassar”

skrispi ini lebih mencondong bagaimana perlindungan transgender didalam hukum islam dan HAM di Makassar 4. Jurnal ini dibuat oleh Adelia yang berjudul“ transgender

dalam presepsi masyarakat”Jurnal ini lebih membahas tentang keberadaan transgender di kota Makassar yang sebgaian orang lebih menerima adanya trangender karena kuntungan mereka dengan sosial , ekonomi , atau politik.

G. Metode penelitian

Metode penelitian dalam pembahasan skripsi ini meluputi berbagai hal sebagai berikut:

1. Metode pendekatan

Melalui metode ini, penulis menggunakan metode pendekatan penafsiran Al-Qur‟an dari segi tafsir muqaran.

Yakni, menghimpun ayat-ayat al-Qur‟an yang memiliki

(24)

tujuan yang sama, menyusunnya secara kronologis selama memungkinkan dengan memperhatikan sebab turunnya, menjelaskannya, mengaitkannya dengan surah tempat ia berada, menyimpulkan dan menyusun kesimpulan tersebut ke dalam kerangka pembahasan sehingga tampak dari segala aspek, dan menilainya dengan kriteria pengetahuan yang sahih.

Untuk lebih jelasnya, penulis menghimpun ayat- ayat al-Qur‟an yang berkenaan dengan, mengubah larangan ciptaan kemudian menyusunnya berdasarkan kronologis serta sebab turunnya ayat-ayat tersebut, sehingga diketahui pengklasifikasiannya. Apakah ia tergolong ayat-ayat makkiyah atau Madaniyyah.

2. Metode pengumpulan data

Mengenai pengumpulan data, penulis menggunakan metode atau teknik library research, yaitu mengumpulkan data-data melalui bacaan dan literatur- literatur yang ada kaitannya dengan pembahasan penulis.

Dan sebagai sumber pokoknya adalah tafsir al-Tahrīr wa al-Tanwīr karya Ibn „Āsyūr, serta sebagai penunjangnya yaitu buku-buku keIslaman yang membahas secara khusus tentang Tafsir, disiplin ilmu Bahasa dan buku-buku yang membahas secara umum dan implisitnya mengenai masalah yang dibahas.

3. Metode penglolah data dan Analisis Data

Mayoritas metode yang digunakan dalam pembahasan skripsi ini adalah kualitatif, karena untuk

(25)

menemukan pengertian yang diinginkan, penulis mengolah data yang ada untuk selanjutnya di interpretasikan ke dalam konsep yang bisa mendukung sasaran dan objek pembahasan.Agar pembahasan ini menjadi akurat, maka untuk mendapatkan data yang diperoleh, penulis menggunakan metode pengolahan dan analisis data yang bersifat deskriptif-analitis,7yaitu penelitian yang memaparkan kemudian menganalisa yang pelaksanaannya tidak hanya terbatas pada pengumpulan data. Setelah mendapatkan sumber data, kemudian pengambilan ayat-ayat al-Qur‟an dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode maudhu‟i (tematik). Metode maudhu‟i ialah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban al-Qur‟an dengan cara mengumpulkan ayat-ayat al-Qur‟an yang mempunyai tujuan satu, yang bersama- sama membahas topik atau judul tertentu, dan menertibkannya sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya. Kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan, dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain yang kemudian mengambil hukum- hukum darinya.

7Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&B, (Bandung:

Alfabeta, 2017), h. 245

(26)

H. Sistematika penulisan

Untuk mempermudah dan memberikan arah serta gambaran materi yang terkandung dalam skripsi ini, maka penulis menyusun dengan sistematika sebagai berikut:

Bab pertama merupakan bab pendahuluan yang teridiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tinjauan pustaka, tujuan penelitian, metode penelitian dan penulisan serta sistematika penulisan.

Bab kedua berbicara tentang biografi dan pemikiran Ibn

„Āsyūr. Bab ini berguna untuk langkah awal mengetahui cara berpikir Ibn „Āsyūr dan instrumen yang digunakan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an/

Bab ketigamembicaraan tentang trangender. Dalam bab ini terbagi beberapa subbab yang memberikan informasi tentang sejarah trangender, definisi trangender, faktor trangender dan karakter gender. Penjelasan ini berguna untuk melacak ayat-ayat yang berkaitan dengan trangender yang telah dijelaskan beberapa informasi di dalam bab ini

Bab keempat yaitu emrupakan bab ini yang menganalisis ayat-ayat yang berkaitan dengan trangender dalam al-Qur‟an. analisis yang pertama melalui penafsiran- penafsiran ulama dan dielaborasikan dengan penafsiran Ibn

„Āsyūr. Dalam bab ini juga menjelaskan tentang perspektif Ibn „Āsyūr terkait dengan kemaslahatan dan arti kebebasan dari pelaku transgender. Diakhir pembahasan, bab ini membicarakan tentang solusi untuk mencegah pelaku ingin berbuat trangender berdasarkan al-Qur‟an.

(27)

Bab kelima merupakan bab penutup terdiri dari kesimpulan dan saran-saran. Dalam bab ini menemukan kesimpulan hasil dari rumusan masalah, dan saran-saran dari hasil penelitian ini.

(28)

13

Untuk memahami pemikiran dan kepribadian Ibn „Āsyūr, makadiperlu pembahasan yang mendetail terkait pemikiran dan kepribadiannya. Pemikirannya tentunya akan banyak ditemukan dalam kitab tafsirnya yang berjudul al-tahrīr wa tanwīr, yang merupakan kitab tafsir yang banyak didominasi cara berpikir maqāṣid al-syarī‟ah.1

A. Biografi Ibn „Asyūr

Muhammad Tāhir Ibn „Āsyūr adalah seorang reformis dan pembaharuTunisia yang hidup pada dua periode perubahan; pertama periode penjajahan Tunismulai tahun (1298 H/1881) sampai (1363 H/1956 M) kedua periode KemerdekaanTunis tahun (1956 M-1973 M/1393 H) yang terakhir ini adalah tahun wafatnya,demikian tulis Ismaîl Hasani dalam Nazhariyyah al-Maqāshid „ind Ibn

„Āsyūr.2Iahir disaat gejolak pembaruan dan perubahan terhadap pandangan yang jumud danbudaya taqlid yang sudah mengakar di seantero dunia khususnya pada generasi diTimur Tengah, daerah kelahirannya adalah al-Marsā‟ī sekitar 20 kilo dari IbukotaTunisia pada tahun 1879 M/ 1296 H dimana kakek Ibn „Āsyūr tinggal. Mulai itulahIbn „Āsyûr diasuh

1 Maqāṣid al-Syarī‟ah berkembang di dalam kajian yurisprudensi Islam sebagai perangkat ilmu yang independen. Tetapi dalam kajian tafsir, istilah ini kemudan bertransformasi menjadi tafsīr maqāṣidī yang memiliki defenisi yang berbeda. Menurut Ibn „Asyūr, tafsīr maqāṣidī adalah merupakan corak penafsiran yang baru berkembang, tidak banyak para ulama memberikan definisi tafsīr maqāṣidī independensi hanya saja masih mengambil definisi yang berkonsep dari maqāṣid al-syari‟ah yaitu memberikan kemaslahatan dan menolak kerusakan. Lihat; Muhammad Tāhir Ibn „Asyūr, Maqāṣd al- Syarī‟ah al-Islāmiyyah (Tunisia: Maktabah al Istiqāmah), h. 65

(29)

kakeknya Muhammad al-„Azīz Bū‟attūr, disebut demikian karenadi daerah tempat tinggalnya tersebut dijadikan tempat persinggahan kapal kapal laut. kemudian jalan menuju tempat ini sekarang diabadikan dengan nama Syaikh Imām Muhammad Thāhir Ibn „Āsyūr.2

Kakek Ibn „Āsyūr merupakan ulama penting dalam bidang Islamic Studies. Beliau dikenal sebagai ulama ahli ilmusastra, nahwu dan fiqih. Ia seorang guru,mufti Maliki,dan anggota majlis al-kabīr.Beliau merupakan ulama yang palingdihormati pada abad ke-19 Sejak kecil Ibn „Āsyūr tumbuh dan berkembang di lingkungankeluarga yang mencintai ilmu pengetahuan.Seluruh keluarga baik darikedua orang tua dan kakeknya selalu mendidik dan mengarahkan dirinyauntuk mencintai ilmu pengetahuan. Diantara faktor pembentuk pola fikirdan wawasan keilmuannya adalah faktor kecerdasannya sejak kecil, danfaktor keluarga yang selalu mengarahkan kepada kecintaan terhadap ilmupengetahuan dengan akidah ahli sunah waljamaah.Juga faktor pengaruh guru-gurunya yang telah memberikan pengajaran dan keilmuan besar bagi karakter, jiwa danilmunya.3

2 Ayād Khālid Thabbā‟, „Ulamāu wa Mufakkirīn Mu‟āshirīn, lanmahātu min hayātihim wa ma‟rifatu bimu‟allafātihim, (Damaskus: Dār al-Qalam, 2005), h.25. Lihat juga; „Abdul Qādir Muhammad Shālih dalam al-Tafsīr wa al-Mufassirūn fī al-„Ashri al-Hadîts, menurutnya, Ibn „Âsyûr termasuk pakar tafsir umum kontemporer (tafsīr al-

„Ām). Lihat IsmaīlHasani, Nazhariyyah hal. 75-82. diadopsi dari al-Shahabiy al-„Atīq, al-Tafsīr wa al-Maqāshid ind Syaikh Muhammad Thāhir Ibn „Asyūr (Tunisa: Dār Tūnis al-Sanābil, 1989), h. 1

3 Arnold H. Green, The Tunisian Ulama 1873-1915: Social Structure and Respone to Ideological Currunts, (Leiden: E. J. BRILL: 1978), h. 249 Muhammad al- Jib ibn al-Khawjah, Shaykh al-Islā al-Imām al-Akbar Muhammad Tāhir ibn Āshūr(Beirut: Dār Mu‟assasah Manbū‟li al-Tawzī‟, 2004), jilid. I, h. 154

(30)

Pendidikan Ibn „Āsyūr diperoleh dari kedua orang tuanya, dan segenap keluarganya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Iabanyak menyerap ilmu dari kakeknya yakni Muḥammad al-Azīz b.Bu‟atur. Ibn „Āsyūr mempelajari ilmu al-Qur‟an dan menghafalkannya di rumah keluarganya Sekitar awal abad 14 H. Ibn „Āsyūr memulai rihlah-intlektualtentang Islam dengan bergabung dalam lembaga pendidikan Zaitunah, Tunisia Selama delapan tahun mengenyam ilmu pengetahuan di Universitas Zaitunah, Ibn

„Āsyūr diangkat sebagai guru pada tahun 1320 H/ 1903 M di Zaitunah. Karirnya terus meningkat dalam bidang pengajaran sehingga ia terpilih menjadi tenaga pengampu di sekolah al- Ṣadiqiah pada tahun 1321 H/ 1904 M.kemudian ia diangkat sebagai anggota di bidang akademis pada sekolah yang sama pada tahun 1326 H/ 1909 M.4 Ibn „Āsyūr diangkat menjadi qāḍi (hakim) mazhab Maliki pada tahun 1913 dan diangkat menjadi pemimpin mufti mazhab Maliki di Negara itu pada tahun 1972. Ia juga seorang mufasir, ahli bahasa, ahli nahwu dan ahli di bidang sastra. Ia terpilih menjadi anggota Majma’

al-Lugah al-„Arabiyyah di Mesir dan Damskus pada tahun 1950 dan anggota Majma’ al-Ilmi al-‘Arabi di Damaskus pada tahun 1955.

4 Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik- Modern (Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2012), h. 104-105

(31)

B. Pemikiran Ibn „Āsyūr

Ibn „Āsyūr mengemukakan gagasannya yang lahir dari kritiknyaterhadap al-Syātibī, menurut Ibn „Āsyūr rumusan al- Syātibī tentang limakebutuhan dasar manusia dinilai kurang komprehensif untuk duniamodern. Dia mengusulkan kebebasan, kesetaraan, kesucian, toleransi dankeadilan sebagai bagian dari kebutuhan dasar manusia.

1. Perbedaan maqāṣid al-syarī‟ah Ibn „Āsyūr dan al-Syātibī Pandangan umum tentang maqāshid al-syarī‟ah, seperti diklaim sendiri olehal-Syātibī,telah mencapai kemapanan secara sistematis dan metodologis.5 Al-Syātibī (peletak kembali dasar ilmu ushūl) dalam konsep Maqāṣid-nya(induktif/istiqra‟) bertumpu general untuk mewujudkan konsep partikular, ia tidaksaja menandai pergeseran epistemologis di bidang usul fiqh, melainkan juga dibidang tafsir dan hermeneutika al-Qur‟an.6

Ibn „Âsyûr (w.1394 H) mengelaborasi konsep maqāṣid yang telah dibangunoleh al-Syātibī, namun ia bertolak dari yang konsep lintas batas partikular untuk mewujudkan konsep-konsep yang partikular dalam memahami hukum-hukum dan mencari solusi dari

5 „Abd al-Rahmān al-Kaylānī menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh para ulama sebelum al-Syātibī di bidang Maqāṣid al-syarī‟ah bernilai sama seperti sebuah pengantar (muqaddimah) jika dibandingkan dengan apa yang ditulisnya dalam al- Muwāfaqāt. Lihat „Abd al-Rahmān Ibrāhīm al-Kaylānī, Qawā„id al-Maqāṣid „Inda al- Imām al-Syātibī, (al Ma'had Al a'limiy lil fikri al Islamiy, 2000), h. 14. Sementara itu,

„Abd al-Muta„āli al-Sa„īdi bahkan membandingkan jasa al-Syātibī dalam perumusan Maqāṣid al-syarī‟ah dengan jasa al-Syāfi„ī dalam perumusan usul fiqh. Lihat Hammādi al-„Ubaydī, Al-Syātibī wa Maqāṣid al-Syarī‟ah, hal. 132.

6 Lihat David Johnston, “A Turn in the Epistemology and Hermeneutics of Twentieth Century Usūl al-Fiqh”, dalam Islamic Law and Society, Vol. 11, No. 2, (Juni 2004), h. 252-253

(32)

kompleksitas pelbagai problematika sosial yang berkembang dimasyarakat,dengan mendahulukan kepentingan umum atau mayoritas atas individu.Konsep ini disinyalir mirip dengan model ijtihad fiqh Tārīkhiy seperti yang pernah dilakukan oleh Baqr Shadr dan fazlur Rahmân.7 Maqāṣid al-syarī‟ah yang dibangun al-Syātibī disebut „Ābid al-Jābiri sebagai „I‟ādah ta‟sīl al-ushīl, yaitupeletakan kembali dasar-dasar ilmu ushul yang kemudian diikuti oleh muridnya Abdul Majīd Turkiy merupakan titik awal bertumpunya dasarmetodologi dalam beristinbath hukum.

Ibnu „Āsyūr mengelaborasi pandangan pendahulunya yang disebutnya dengan,hal ini disinyalir, bahwa teori yang diusung Ibn „Āsyūr berusaha menggali dan menemukan cara pandang sejarah secara ilmiah dan metodologis yang digunakan untuk penelitian dan peletakan dasar secara integral, karena lanjutantentang kajian ilmu maqāṣid ini berbeda dengan kajian ilmu ushul, menurutnya penelitian dari kajian ushul tidak kembali pada esensi hikmah al-tasyrī‟. Namun sebaliknya, iahanya berputar-putar pada permasalahan istinbath hukum dari nash sharīh melaluikaidah-kaidah yang digunakan pakar (fuqahā‟) untuk beristinbath hukum dari cabang-cabang ataupun sifat-sifat („illat) hukum yang diambil dari Al-Qur‟an, sebagai kajian untuk

7 Muhammad Syaikh Mahdi Syamsuddîn, al-Ijtihād fī al-Islam majalah Ijtihād (Beirut: Dār al-Ijtihâd Beirut, 1990), h. 49-50.

(33)

menginterpretasikan lafadz-lafadz yang diyakini sebagai kehendak Tuhan (sebatas kemampuan seorang faqîh dalam berijtihad).8

Gagasan yang dlakukan Ibn „Āsyūr tentang ilmu maqāṣid al-syarī‟ah baginya sangat berhubungan erat dengan penelitian lain, yang mempunyai muara esensi tujuan yang sama yakni penelitian tentang norma- norma/aturan sosial kemasyarakatan yang Islami.Dalam pandangan Ibn „Āsyūr bahwa pemerhati penelitian tentang tema besar ini membutuhkan kaidah dan instrumen yang luas.Barometer yang menjadi esensi muara dari kajian ini adalah; sejauh mana pencapaian kemaslahatan terealisasikan dalam kehidupan sosial berkemanfaatan secara berkesinambungan.9

2. Trobosan Ibn „Āsyūr dalam maqāṣid al-syarī‟ah

Ia melakukan trobosan baru dan merekonstruksi maqāṣid al-syarī‟ahyang di antaranya: pertama, maqāṣid al-syarī’ahāmmah yang diartikan sebagai makna-makna atau hikmah-hikmah yangdiperhatikan syar‟i dalam semua atau sebagian besar ketetapan syari‟at, dimana tidak tertentu pada hukum-hukum syari‟at (fiqih) semata.

Termasuk dalam kategori ini sifat-sifat syari‟at, tujuan- tujuan yanguniversal, hikmah-hikmah yang menjadi pusat perhatian syara‟ dan hikmah yang dipandang pada

8 Ismaīl Hasani, Nazhariyyah al-Maqāṣid „ind Ibn „Āsyūr, (Herendun USA:al Ma‟had al-„Ā'limiy lil fikri al Islamiy, 1995), h.. 98-102 dan 113-114.

9 Saīd Ramadhān al-Būty,Dhawābit al-maslahāh fī syarī‟ah Islāmiyah (muassasah Risalah, 1987), h. 29-30

(34)

beberapa hukum, sekalipun tidak pada keseluruhan hukum.10

Menurut pemikiran Ibn „Āsyūr terdapat empat dasar pokok dalam bangunan maqāṣid al-syarī’ah, yaitu: (1) al- fitrah, yaitu fitrah manusia berarti setiap sesuatu yang diciptakan pada diri manusia, meliputi jasad dan akal, baik bersifat zahir maupun batin. (2) al-Samāhah (toleransi) Islam adalah agama samāhah, syari‟atnya bersifat mudah, toleran, dan moderat. Syari‟at Islam bertujuan menjadikan pemeluknya menjadi pribadi dan umat yang berada pada dimensi pertengahan (moderat).

(3) al-Musawah (egaliter) yaitu menganggap umat Islam berposisi sederajat (sama) di hadapan hukum Islam. Tiada berbedaan sedikitpun dalam hukum Islam antara orang yang kuat, lemah, mulia, hina dan sebagainya. Hal ini bertumpu pada asas yang mendasar, yaitu Islam sebagai agama fitrah. Setiap hal yang dipandang sama dalam fitrah maka diperhitungkan sederajat pula dalam syari‟at Islam.

(3) al-Ḥurriyah (Kebebasan) diartikan dua makna yaitu ubūdiyah berarti perbudakan dan kebebasan dalam kemampuan seseorang untuk bertindak pada diri dan segala hal sesuka kehendaknya tanpa ada pihak yang menentang. Kebebesan sebagai mana yang diungkkap oleh Bintu Syatī‟, ada empat kategori kebebasan di dalam

10 Ibn „Āsyūr,Tafsir Al-Tahrīr wa Al-Tanwīr (Tunisa: al-Dār al Tunisiyyah linnatsr, 1884), jilid 1, h. 56.

(35)

al-Qur‟an, yaitu kebebasan dari perbudakan, kebebasan berakidah, kebebasan berpikir, dan kebebasan berkehendak. Dari empat kategori ini yang menjadi langkah etis dalam pluralitas umat beragama adalah kebebasan dalam berakidah (beragama).11

Kebebasan secara etimologi sebagaimana ditegaskan Ibn ‟Āsyūrdalam karyanya Ushul al-Nidham al-Ijtimā‟i al-Islāmi ia berarti lawan dari perbudakan dan penghambaan (al-Riqq wa al-‟Ubūdiyyah), secara dzahirterm inimemiliki makna terlepas (al-takhallash) dari unsur penghambaandan perbudakan. Disisi lain ia dapat dikatakan merupakan kebebasan keinginanindividu dalam berinteraksi dengan lingkungannya tanpa ada yang menghalanginya. Begitu juga menurut ‟Allāl al-Fāsi melihat bahwakebebasan (al-Hurriyyah) bukan berarti manusia berbuat semaunya danmeninggalkan apa yang diingininya (yatruk mā yurīd). Akan tetapi, berbuat sesuaidengan keyakinan bahwa dirinya sebagai mukallaf dari yangdiperbuatnya mempunyai nilai kebaikan bagi kemaslahatan kemanusiaan secaraumum.12

Kedua,maqāṣid al-syarī’ah khāṣṣah yaitu tujuan syari‟at khusus yang berkaitan dengan muamalat, yang di dalamnya mengupas berbagai isu maqāṣid al-syarī’ah,

11 „Āisyah „Abd al-Rahman b. al-Syāṭi‟, Maqāl fī al-Insān Dirāsah Qur‟aniyya, (al-Qāhirah: Dār al-Ma‟ārif, 1969), h. 62-117

12 TāhirIbn „Āsyūr,Uṣūlu al-Nidzhām al-Ijtimā‟i fī al-Islam, (al-Jazā‟ir: Syirkah al-Tunisiyyah Littawzī‟ wa Dār alwathaniyyah lilkitab, 1985), h. 150-1. lihat juga

„Allāl al-Fāsī, Maqāṣid al-Syarī‟ah al-Islāmiyah wa Makārimuhā, (Dār al-Baidhā‟:

Maktabah al-Wihdah al-„Arabiyyah,1963), h. 244-256.

(36)

misalnyahukum keluarga, penggunaan harta, hukum perundang-undangan dan kesaksian. Pada masing-masing kelompok hukum terdapat maqāṣidal-syarī’ah khusus yang menjadi acuan seluruh hukum persial yang tercakup dalam masing-masing rumpun yang dimaksud.

Trobosan Ibn „Āsyūr ini kemudian dielaborasi kembali oleh tokoh kontemporer yaitu Jasser Auda salah satu tokoh maqāṣid yang terkenal dengan system approach. Ia membagikan tiga macam terkait jaungkauan maqāṣid. Pertama, maqāṣid umum (al-maqāṣid al-

„ammah/general maqāṣid), yaitumaqaṣid yang bisa diperhatikan dalam fikih secara keseluruhan.

Kedua,maqāṣid khusus (al-maqāṣid al-khassah/specific maqāṣid), maqāṣid yang bisadiperhatikan dalam pembahasan tertentu dari fikih. Contohnya kesejahteraananak dalam bahasan fikih keluarga, mencegah kejahatan dalam bahasanhukum pidana, serta mencegah monopoli. Ketiga, maqāṣid parsial (almaqāṣidal-juz‟ῑyyah/partial maqāṣid), ialah maksud yang terkandung dalamteks tertentu. Contohnya tujuan terungkapnya kebenaran dalam penentuan saksi tertentu dalam kasus hukum tertentu. Maksud meniadakan kesukarandalam kebolehan orang sakit yang tak berpuasa.13

13 D. Aqraminas, “Kontribusi Jasser Auda dalam Kajian al-Qur‟an: Interpretasi Berbasis Sistem, Ushuluna: Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol. 4, No. 2, (2018), h. 133-134.

Lihat pula; Jasser Auda, Fiqh al-Maqāsid: Ināṭah al-Ahkām al-Syar‟īyah bi Maqāṣidiha (London: al-Ma‟had al-„Alī li al-Fikr al-Islamiī, 2006), 15-17

(37)

C. Prinsip Dasar dalam Penafsiran Ibn „Āsyūr

Prinsip diartikan sebagai instrument dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an. Dalam hal ini penulis mengutip dalam pengantar untuk kitab tafsirnya, Ibn „Āsyūr menulis sebuahmukaddimah yang dibaginya beberapaprinsip, antara lain:

1. berbicara tentang tafsir dan ta‟wil,dia menegaskan tafsir merupakan ilmu Islam yang pertama. Dalam literatur ulūm al-Qur‟an banyak yang telah merumuskan definisi terkait tafsir. begitu juga dengan Ibn „Āsyūr memberikan definisi yang tidak jauh berbeda dengan sebelumnya.

Misalnya, kata Tafsīr yang diartikan sebagai

فشكلاُوُحاضيلإاُوُنايبلا

Maksudnya adalah menjelaskan, memperjelaskan, dan menyikapi makna.14Dalamkajian„ulūm al-Qur‟an, al- Suyūṭī menjelaskan bahwa tafsīr diterminologikan sebagai berikut:

دارلداُمهفُوُنيعلداُنايب

14 Kata tafsīr sudah diperbincangkan dari kalangan sahabat ketika turun QS. al- Furqān [25]: 33. Pada ayat ini terdapat term tafsir yang masing-masing sahabat memiliki perbedaan pandangan, misalnya Mujāhid kata tafsir diartikan sebagai bayān (menjelaskan), sedangkan Ibn „Abbās berpendapat kata ini diartikan sebagai tafsīl (meringkas). Meskipun berbeda pandangan, dalam kajian tafsir perbedaan justru bisa saling melengkapi, dengan demikian kedua istilah ini bisa digunakan sebagai: tafsir yaitu menjelaskan serta merinci. Lihat, al-Ṭabarī, Jāmi‟ al-Bayān fī Ta‟wīl al-Qur‟ān, (al-Qāhirah: Markaz al-Buhūts wa al-Dirāsāt al-„Arabiyyah wa al-Islāmiyyah, 2001), jilid XIX, h. 297.Badingkan dengan definisi yang disusun oleh ulama sebagai berikut:

Ahmad b. Ibn Fāris b. Zakariyā, Mu‟jam Maqāyīs al-Lugah (Bairut: Dār al-FIkr, 1979), jilid IV, h. 504. Liha juga, Jamāl al-Dīn Muhammad b. Makram Ibn Manzūr, Lisān al-

„Arab (Bairut: Dār al-Ṣādir, 1994), jlid V, h. 55

(38)

Menjelaskan makna dan memahami maksud kandungan al-Qur‟an.15 Penjelasan mengenai tafsir sangatlah beragam di kalangan sarjana al-Qur‟an, di antaranya:

Pertama, tafsir definisikan sebagai penjelasan isi kandungan al-Qur‟an dengan menyingkapi ketentuan nash baik itu dengan isyarahnya maupun intisarinya.16Kedua, tafsir merupakan insturumen ilmu pengetahuan untuk memahami kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dan menjelaskan maksud-maksud al- Qur‟an sehingga mengeluarkan hukum-hukum dan hikmah.17

Ketiga, tafsir ialah satu istilah nama ilmu pengetahuan yang membahas tentang penjelasan maksud- maksud al-Qur‟an dan berfungsi untuk meringkas dan memperluas penjelasan.18Keempat, tafsir merupakan refleksi ilmu yang membahas isi kandungan al-Qur‟an dengan meneliti dilālah kehendak Allah sesuai kemampuan manusia.19

15 Jalāl al-Dīr „Abd al-Rahman al-Suyūṭi, al-Itqān fī „Ulūm al-Qur‟ān (Bairut:

Dār Ibn Katsīr, 1996), jilid II, h. 1190-1191

16 Ibn Juzī al-Kalbī al-Garnāṭī, al-Tashīl li ‟Ulūm al-Tanzīl (Bairut: Dār al-Arqam b. Abī al-Arqam, 1995), jilid I, h. 15

17 Badr al-Dīn Muhammad b. „Abdullah al-Zarkasyī, al-Burhān fī „Ulūm al- Qur‟ān (Bairut: Dār al-Ma‟rifah, 1957) jilid I, h. 13

18 Muhammad Ṭahir Ibn „Asyūr, Tahrīr al-Ma‟na al-Sadīd wa Tanwīr al-„Aql al- Jadīd min Tafsīr al-Majīd: al-Tahrīr wa al-Tanwīr (Tūnis: al-Dār al-Tunisiyyah, al-Dār al-Jamā‟hiriyyah, 1983), jilid I, h. 11

19 Muhammad „Abd al-„Adzīm al-Zarqānī, Manāhil al-Irfān fi „Ulūm al-Qur‟an (Bairut: Dār al-Kitab al-„Alamiyyah, 1988), jilid II, h. 3. Lihat pula; Dayu Aqraminas, Tafsir Maqāṣidī dan Pluralitas Umat Beragama Perspektif Jasser Auda, (Jakarta:

Milenia, 2020), h. 28

(39)

2. Sedangkan ta‟wīl dalam perspektif Ibnu „Āsyūr menyerupai pandangan yang pernahdiusung pendahulunya seperti al-Zamakhsyari dan „Ali Shabunī. Termasuk juga al-Qattān, sedangkan al-Tsa‟labiy, Ibn A‟rabī, dan Abū Ubaidah, ketiga terakhir inimereka mengadopsi pandangan Rāghib al-Asfahānī yang menyatakan persamaanantara tafsir dan ta‟wīl dalam mukaddimah kitab tafsirnya al-Tahrīr wa al-Tanwīr,sebagian Ulama berpandangan bahwa tafsir menerangkan makna zhāhir (tersurat)sedangkan ta‟wīl menjelaskan makna mutasyābih (tersirat),mereka berpandanganbahwa ta‟wīl adalah dengan membalikkan makna lafadz dari makna yang tersuratkepada makna lain yang tersirat didalamnya sebagai keterangan atas ayat tersebutdalam hal ini Ibn

„Āsyūr menyatakan sebagai ma‟nā ushūlī.20

3. Ibnu „Āsyūr memaparkan tentang istimdād (perangkat pengetahuan sebagai alat bantu) penafsiran yang sudah ada sebelum ilmuitu ada. Seperti ilmu gramatikal, linguistik arab, ushūl al-fiqh, ilmu kalam, ilmuma‟ānīdan bayān, ilmu badī, majāz, dan syair-syair arab untuk mengenalkanbeberapa kosakata al-Qur`an, al-Qirā‟āt, akhbār al-„arab.21

4. Instrumen selanjutnya, Ibnu „Āsyūr menerangkan tentang keabsahan tafsirtanpa nukilan (ma‟tsūr) dan makna tafsir berdasarkan nalar (bi ar-ra‟yī). Iamenghindari penafsiran

20 Ibn „Āsyūr, Tafsīr al-Tahrīr wa al-Tanwīr,h. 15-17.

21 Ibn „Āsyūr, Tafsīr al-Tahrīr wa al-Tanwīr,h. 18-27

(40)

dengan akal yang pernah dilarang langsung oleh NabiMuhammad Shallawwahu „alaih wasallam. Namun tidak juga menutup pintu ijtihad yang dihasilkan melalui rasionalitas.22

5. Langkah selanjutnya juga, Ibn „Āsyūr menjelaskan bahwa penafsir harusmengerti tentang unsur-unsur pembentuk perubahan.Diantaranya: reformasi keyakinan, reformasi etika, reformasi legislasi hukum, dan reformasi politik penyelenggaraan umat.Kemudian dia memaparkan bahwa diantara mufasir ada yang membatasi diri pada halyang lahiriah saja dari teks, sebagian yang lain mencari kesimpulan dari apa yangberada dibalik teks yang lahiriah itu.23

6. Ia juga membicarakan tentang konteks turunnya ayat (asbāb al-nuzūl). dinsinyalir bahwa tidak semua ayat-ayat AlQur‟ân memiliki kronologi sebab-sebab turunnya ayat, hal ini perlu ditekankan.24

D. Karakteristik Kitab al-Tahrīr wa Tanwīr 1. Metode Penulisan

Dalam kajian tafsir ada beberapa metode yang digunakan para ulama tafsir, sebagaimana yang diregulasikan oleh al-Farmawi, metode penafsiran diklasifikasikan menjadi empat bagian antaranya: Ijmālī,

22 Ibn „Āsyūr, Tafsīr al-Tahrīr wa al-Tanwīr,h. 28.

23 Ibn „Āsyūr, Tafsīr al-Tahrīr wa al-Tanwīr,h. 31-37

24Ibn „Āsyūr, Tafsīr al-Tahrīr wa al-Tanwīr, h. 38

(41)

Tahlilī, Muqaran, dan Maudhū‟ī.25 Dalam kitab al-Tahrīr wa Tanwīr, dituliskan berdasarkan metode analisis (tahlili), karenapenafsiran dimulai dari al-Fātihah atau berdasarkan susunan surahsurahyang ada di Mushaf, menjelaskan dan menafsirkan ayat perayat.26

Tafsir Ibn „Āsyūr tendensi kepada tafsir bi al-ra’y, karena Ibn „Āsyūr dalam memaparkan tafsirnya banyak menggunakan logika kebahasaan, karena ia ingin mengungkap sisi kebalagahan al-Qur‟an. Sedangkan corak penafsiran tafsir ini merupakan tafsir al-Ijtimā’i yakni karya tafsir yang mengungka ketinggian bahasa al- Qur‟an serta mendialogkannya dengan realita sosial kemasyarakatan.27

2. Sumber Penafsiran

Sumber tafsir atau dikenal dengan istilah maṣādir al-tafsīr diklasifikasian oleh para ulama menjadi dua bagian: tafsīr bi ma‟ṡūr dan bi al-ra‟yī. Adapun tafsīr bi al-ma‟ṡūr merupakan salah satu jenis penafsiran yang muncul petama kali dalam sejarah khazanah intelektual Islam. Praktik penafsirannya adalah ayat-ayat yang terdapat dalam al-Quran ditafsirkan dengan ayat-ayat

25Abū al-Hayy Al-Farmawī, al-Bidayah Fi ala Tafsir al-Maudhu‟iy (Mesir : Maktabah al-Jumhuriyyah, 1977), h. 25

26 Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik- Modern, h. 122

27 Abd. Halim, “Kitab Tafsir al-Tahrīr wa al-Tanwīr karya Ibn „Āsūr dan Kontribusinya terhadap Keilmuan Tafsir Kontemporer” Jurnal Syahadah, Vol. 2, No. 2 (Oktober 2014), h. 24

(42)

yang lain atau dengan riwayat dari Nabi Muhammad, para sahabat dan juga para tabi‟in.28

Sedangkan bi al-ra‟yī yaitu sumber yang berpusat kepada rasionalitas yang ilmiah. Penafsiran ini tidak hanya menguras akal saja tetapi juga menggunakan dalil al-Ma‟ṡūr hanya saja yang menjadi dominasi adalah rasionalitas. Pada sumber kedua ini sangat banyak ditemukan di tafsir-tasir para ulama seperti, Fakhr al-Dīn al-Rāzi (mafātih al-ghaib), al-Qurtubī (Jāmi‟ li ahkām al- Qur‟ān), al-Sya‟rāwī (khawātir al-Qur‟ān), dan lain sebagainya.

Aksentuasi mengetahui sumber penafsiran sebuah karya tafsir sangat penting untuk mengetahui sejauh mana kapasitas riwāyah (naql) dan kapasitas ra‟y (aql) dalam tafsir tersebut. Atau hasil campuran (kolaborasi) dari tafsir bi al-ma‟tsūr dan tafsir bi alra‟yi. Setelah dianalisis, dalam tafsirnya Ibn „Āsyūr bersumber kedua-duanya, yaitu ma‟tsūr dan ra‟yi. Dengan demikian, tafsir ini mengkolaborasikan antara riwayat-riwayat, baik itu riwayatNabi, perkataan sahabat maupun perkataan tabiin, yang dikenaldengan bi al ma’ṡūr, dengan sumber tafsir bi al-ra’yi atau bi al-naqliatau dengan ijtihad individu Ibn

„Āsyūr.29

28Suryadilaga, Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Teras, 2005), 42.

29 Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik- Modern, h. 122.

(43)

3. Sistematika Penulisan

Tafsir al-Tahrīr wa al-Tanwīryang ditulis oleh Tāhir b. „Āsyūr disusun dengan tartīb mushafī, yaitu ditulis berdasarkan urutan surat dan ayat dalam Mushaf Utsmani yaitu dimulai QS. al-Fātihah [1] sampai dengan QS. al-Nās [114]. Sistematika dalam kitab ini bisa ditelusuri dari berbagai aspek, di antaranya:

a. Formulasi sistem ayat dengan ayat

Metode ini dikenal dengan istilah al-ma‟tsūr, yaitu interpretasi berbasis naqli (ayat dengan ayat).

Misalnya menjelaskan kata dzulmun dalam QS. al-

„An‟ām [6]: 82. Ibn „Āsyūr dalam tafsirnya menjelaskan ayat ini dengan menggunakan ayat yang lain, yaitu kata dzulmun diartikan sebagai syirik yang terdapat di dalam QS. Luqmān [31]: 13.30

b. Penjelasan al-mufradat

Dalam tafsir ini juga ditemukan penjelasan kata seperti yang dilakukan dalam penafsiran yang menggunakan tahlili secara dominan. Penjelasan kata menjadi keunggulan dalam tafsir ini, karena berbasis kepada kebahasaan. Misalnya kata waswas al-khannas dalam QS. al-„Alaq [96]: 1. Term iqra‟ berasal dari kata qara yang diambil dari makna masdar-nyayaitu qira‟ah yang diartikan dengan

ٍُبْلَ قُِرْهَظُىلَعٍُظوُفَْمَُْوأُ ٍبوُتْكَمٍَُّيََّعُمٍُملاَكِبٌُقْطُن

30Muhammad Tāhir b. „Āsyūr, Tafsīr al-Tahrīr wa al-Tanwīr, (Tunisa: al-Dār al- Tūnisiyyah li Nasyr, 1984)

(44)

Yaitu, pelafalan kata yang ditentukan dalam tulisan atau dihafal dalam hati.31

c. Penjelasan dengan ma‟na al-jumālī (global)

Makna ini biasanya menggunakan penjelasan secara ringkas dan padat makanya dinamakan dengan makna global. Dalam kitab ini ia juga memberikan penjelasan kata dengan menggunakan makna al-jumalī (global). Dalam tafsir ini jarang ditemukan makna ijmāl, karena Ibn „Āsyūr sering sekali menjelaskan makna secara komprehensif. Hanya saja teks ayat yang sama ditafsirkan secara ijmāl Sebagai contoh, ia menjelasakankata li al-„ālamīndi dalam QS. al-Furqān [25]: 1, ia tafsirkan sebagai berikut

ُِعْوَّ نلاُىلَعوُِسْنِلجاُىلَعُُقَلْطُيََُلَاعلاَُّن ِلُ؛ِرَشَبلاَُنِمُِمَمُلاُُعيَِجَ

Yaitu kata ālam merupakan kata plural dari kata umam memiliki makna basyar.32

d. Penjelasan dengan ma‟na tahlilī

Makna tahlili biasanya diartikan sebagai penjelasan secara analitis. Penjelasan secara mendetail dan padat. Dalam kitab ini juga ditemukan penjelan makna secara tahlili. Misalnya lafadzsalatsah quru‟pada QS. al-Baqarah [2]: 228, Redaksi ini ia memberikan makna yang beragam dengan merujuk pandangan ulama sebelumnya. Dengan teks sebagai berikut:

31 Muhammad Tāhir b. „Āsyūr, Tafsīr al-Tahrīr wa al-Tanwīr,

32Muhammad Tāhir b. „Āsyūr, Tafsīr al-Tahrīr wa al-Tanwīr,

(45)

َُرَ تْشُمُوىوُاهّْمَضوُ ِفاقلاُِحْتَفِبٍُءْرَ قُُعَْجَُُءوُرُقلاو

ُِرْهُّطلاوُِضْيَحْلِلٌُك

ُْوأُ،ِضْيَلحاُلىإُِرْهُّطلاَُنِمُ ِلاقِتْن ِلاِلٌُعوُضْوَمُُوَّنإُ:َةَدْيَ بُعُوُبأَُلاقو

،ِرْهُّطلاُلىإُِضْيَلحاَُنِم

Ia mengawali makna mufradat bahwa kata quru‟

memiliki makna yang beragam, baik itu haid maupun suci. Merujuk kepada ungkapan „Ubaidah bahwa quru‟ adalah perpindahan dari masa suci ke masa haid atau sebaliknya. Kemudian ia menjelaskan pandangan Fuqahā‟.

ُِوْيَلَعُيِذَّلاوُ،ِةَيلَاُِهِذَىُفيُ،ِءوُرُقلاَُنِمُِدارُلداُفيُُءامَلُعلاُ َفَلَ تْخاو

ُوُهُْجَوُ،ِةَنيِدَلداُُءاهَقُ ف

ُُلْوَ قُاذَىوُ.ُرْهُّطلاُوىُ:َءْرَقلاَُّنأُ،ِرَثلاُ ِلْىأُُر

ُنِمُ ،ِةَباحَّصلاُ َنِمُ ٍةَعا َجَوُ،َرَمُعُ ِنْباوُ، ٍتِباثُ ِنْبُ ِدْيَزوُ،َةَشِئاع

ُ. ٍلَبْنَحُِنْباوُ،ِوْيَملاَكُ ِحَضْوأُفيُ،ّْيِعِفاّشلاوُ،ٍكِلاموُ،ِةَنيِدَلداُِءاهَقُ ف

ُُعِقاولاُُرْهُّطلاُِوِبُُدارُلداو

ُ،ٍدوُعْسَمُُنْباوُ،ُرَمُعوُ،ّّيِلَعَُلاقوُ.ِْيََّمَدَُْيََّ ب ُ

ُِنَعوُ.ُضْيَلحاُُوَّنإُ:ٌةَعاَجَوُ،ىلْيَلُ ِبِأُ ُنْباوُ ُّيِرْوَّ ثلاوُ،َةَفيِنَحُوُبأو

ُِضْيَلحاُلىإُُونِمُُلَقَ تْنُلداُُرْهُّطلاُُوَّنأُ،ِوْيَلْوَ قُِدَحأُفيُ،ّْيِعِفاّشلا

Dalam perbincangan ulama fiqih terjadi perbedaan pandangan. Menurut mayoritas Ahl Atsar makna quru‟

adalah suci. Merujuk kepada pandangan „Āisyah, Zaid b. Tsābit, Ibn „Umar, mayoritas Sahabat dari Madinah, Imam Mālik, Imam al-Syāfi‟ī, dan Ibn Hanbal.

Sedangkan kata quru‟ diartikan dengan masa haid adalah „Alī, „Umar, Ibn mAs‟ūd, Abū Haīfah, al- Tsaurī, Ibn Abī Lailī.33Penjelasan makna tahlili ini tidak hanya hasil ijtihad saja, tetapi juga merujuk pandangan ulama yang dielaborasikan dengan system muqāran (perbandingan)

33 Muhammad Tāhir b. „Āsyūr, Tafsīr al-Tahrīr wa al-Tanwīr,

(46)

31 A. Definisi Transgender

Transgender merupakan isu hadir kembali menjadi berita hangat di kalangan media sosial dengan adanya salah satu selebgram yang mengubah kelaminnya. Secara etimologis transgender berasal dari dua kata trans dan kata gender. Kata trans yaitu pindah (tangan:tanggungan) pemindahan.1Sedangkan kata gender yaitu jenis kelamin.

Gender menjadi dua makna yaitu secara biologis kata gender adalah jenis kelamin secara sosiologis kata gender adalah karakteristik laki-laki dan perempuan berdasarkan dimensi sosial kultural yang tampak dari nilai dan tingkah laku. Kata gender sediri dalam kamus bahasa Indonesia dan kamus bahasa Inggris tidak secara jelas dibedakan pengertian antara kata sex dan kata gender. Sehingga sering kali kata gender di persamakan dengan kata sex. Setalah sekian lama terjadi proses pembagian peran dan tanggung jawab terhadap kaum laki-laki dan perempuan yang telah berjalan bertahun-tahun bahkan berabad-abad maka sulit dibedakan pengertian seks (laki-laki dan perempuan) dengan gender.2

Sedangkan secara terminologis transgender diartikan dengan suatu gejala ketidakpuasan seseorang karena merasa

1 Pius A. partantodan M. dahlan al-Barry,kamusilmiahpopuler (Surabaya:Arkola) hal 757

2 RiantNugroho, Gender danStrategiPengarusUtamanya di Indonesia (Yogyakarta: PustakaPelajar, 2011), h. 2

(47)

tidak adanya kecocokan antara bentuk fisik dan kelamin dengan kejiwaannya. Beberapa ekspresi yang dapat dilihat ialah bisa dalam bentuk dandan ( makeup) , gaya dan tingkah laku, bahkan sampai kepada operasi kelamin.3

Menurut Nanis damayanti transgender adalah orang yang cara berprilaku atau penampilannya tidak sesuai deengan peran gender pada umumnya. Transgender merupakan orang yang dalam berbagai level

“melanggar”norma cultural mengenai bagaimana pria atau wanita itu sendiri transgender berhenti hanya pada aspek prilaku atau penampilan (zahir) saja.4

MenurutBettcher didefinisikan sebagai berikut.

Transgender adalah orang yangtidak berpenampilan sama dengan peranangender yang telah diterima sejak lahir.Sedangkan transeksual adalah individuyang secara hormonal atau pembedahanmelakukan „perubahan‟ pada alat kelamindan tubuhnya. Secara sederhana merujukpada individu yang mengalami genderdysphoria atau terperangkap pada tubuhyang salah.5 Menurut forum Gay, Lesbian,Straight, Education Network (GLSEN)juga memberikan definisinya mengenaitransgender dan transeksual sebagai berikut.Transgender adalah payung untuk individuyang berekspresi gender tidak sesuai denganseksnya, contohnya transeksual, cross dresser,dragking dan dragqueens.

3Mahjuddin,Masā‟ilal-Fiqiyah berbagai kasus yang dihadapihukumislam masa kini (Jakarta:kalammulia, 2005), h. 25.

4 Gibtiah, fiqihkontemporer,(Palembang: KaryaSuksesMandiri, 2015), h. 272.

5 N. C.Garland,Hate Crime: Impact, Causes and Responses, (London: SAGE Publication, 2009), h. 75

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan dari penelitian ini adalah pertama metode yang digunakan oleh Muhammad ‘Ali< Al-S}a>bu>ni> dalam menafsirkan ayat-ayat tentang

Bersumpah adalah mengucapkan kalimat sumpah. Bersumpah itu merupakan salah satu upaya yang telah dilakukan manusia dalam rangka untuk menyakinkan orang lain bahwa

Perbedaan tesis Rahmat Fauzi dengan tesis yang akan diteliti penulis adalah Rahmat Fauzi meneliti tentang pemikiran Jaser Auda tentang Tafsīr Maqāșidī sedangkan penulis

Segala puji bagi Allah subhanahu wata'ala yang telah memberikan rahmat dan nikmat-Nya kepada manusia di bumi dan kepada penulis sehingga penulis dapat

Allah tidak mengharuskan anak kecil dan pelayan (budak) dalam setiap waktu untuk menghindari kesulitan karena sering keluar masuk; mereka.. melayani kamu, dan

Hal ini telah tertanam di dalam fitrah manusia sejak awal (QS al-A’ra>f/7: 172). Ikhwani, Pribadi yang Dicintai Allah; Menjadi Hamba Rabbani , h. Ikhwani, Pribadi yang

Berdasarkan pertanyaan- pertanyaan tersebut, Maka turunnya surah ini adalah sebagai penjelas kepada orang-orang kafir tersebut dan hanya Allah lah yang dapat mengetahui kapan tibanya

Thullab: Jurnal Riset Publikasi Mahasiswa, 3 1 Juni 2023 | 12 Lanjutan dari penggalan ayat diatas yaitu dalam Firman Allah, َّخُّشنا ―Kekiran‖ , pada mulannya digunakan untuk kekikiran