• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMIKIRAN MUHAMMAD ABDUH TENTANG IJTIHAD DAN MODERNISASI PENDIDIKAN

Dalam dokumen BUNGA RAMPAI SEJARAH KEBUDAYAAN PEMIKIRA (1) (Halaman 72-108)

Muhamad Berkah, Lu`Lu Aturrahmah, dan Marta Kusuma Wardani A. Muhammad Abduh

Pada agenda reformulasi Muhammad Abduh melaksanakannya dengan cara membuka kembali pintu Ijtihad. Ijtihad adalah penerapan segenap daya upaya untuk menentukan suatu hukum dengan secara rinci dan jelas. Ijtihad sendiri merupakan salah satu asas tegaknya fiqih didalam kehidupan, baik kehidupan beragama dan kehidupan seperti manusia biasanya. Maka dari itu, urusan agama dan urusan dunia tidak akan terlepas sedikitpun dari ijtihad. Ijtihad dalam Islam mempunyai kedudukan yang sangat penting, karena tanpa ijtihad akan terjadi berhentinya perkembangan hukum itu sendiri.1

Studi pendidikan, biasa di sebut juga sebagai “pendidikan islam” pada

umumnya dipahami sebagai suatu ciri khas, yaitu jenis pendidikan yang memiliki latar belakang keagamaan yang kelembagaannya seperti Pesantren, Madrasah dan sekolah Agama. Pada pendidikan seperti ini ada tiga unsur penting yang bisa dilihat dari pendidikan Islam.Pertama, berkaitan dengan kelembagaan. Kedua, berkaitan dengan proses berlangsungnya pendidikan yang terjadi didalam lembaga tersebut. Ketiga berkaitan dengan materi. Materi disini harus dipahami makna dari pembahasannya, bukan hanya sekedar mata pelajaran Agama Islam akan tetapi seluruh mata pelajaran atau ilmu-ilmu yang dapat menyadarkan pendidik akan posisinya sebagai manusia yang seperti sudah dikehendaki dalam sebuah konsep Islam.2

Pada dasarnya pendidikan tidak harus didalam sebuah sekolah, pesantren maupun yang lainnya tetapi juga didalam lingkungan, baik lingkungan keluarga maupun lingkungan bermasyarakat juga dapat mempengaruhi sebuah pendidikan.

Pemikiran Muhammad Abduh ini sesuai dengan sistem pendidikan yang ada saat itu yaitu pembaharuan yang hanya menekankan pada perkembangan aspek intelektual yang diwarisi pada abad ke-20, tipe pertama yaitu sekolah-sekolah agama dengan lembaga pendidikan yang berlevel tinggi. Sedangkan tipe kedua adalah sekolah-sekolah modern, baik yang dibangun oleh pemerintah mesir maupun yang didirikan oleh bangsa Asing. Dari kedua tipe tersebut, masing0masingnya berdiri sendiri dalam memenuhi kebutuhannya dan mencapai tujuan pendidikan ataupun harapan yang mereka harapkan. Sekolah-sekolah agama itu sebenarnya baik bagi kita semua, karena sekolah-sekolah agma berjalan berdasarkan garis-garis tradisional yang sangat baik, baik kurikulum maupun metode pengajaran yang diterapkannya.Pada saat itu ilmu-ilmu barat tidak di berikan disekolah-sekolah agama, jadi pendidikan agama kala itu tidak mementingkan perkembangan intelektual, padahal Islam mengajarkan untuk mengembangkan aspek jiwa yang sesuai dan tepat dengan

1

Imam Mustofa, Ijtihad Kontemporer Menuju Fiqh Kontekstual (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), 5.

2

Zuhairi, “Asas Teologis dan Filosofis Pendidikan Islam Menuju Masyarakat Madani,” Jurnal Sosial Budaya dan Pemikiran Islam Volume 15 Nomor 1 (Juni 2010): 7.

perkembangan aspek jiwa yang lain. Ini dikarenakan Muhammad Abduh juga melihat segi-segi negatif dari permasalahan ini yaitu agama Islam akan tertinggal jauh sehingga menyebabkan tidak berkembangnya agama.3

Situasi yang demikian terjadilah dapat melahirkan pemikiran Muhammad Abduh dalam bidang pemikiran, baik secara formal maupun nonformal. Yang di maksud dengan pendidikan non formal adalah jalur pendidikan diluar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Hasil dari pendidikan non formal ini nantinya dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah dia melalui beberapa ujian atau beberapa proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar pendidikan nasional.Dan seperti pendidikan formal, pendidikan nonformal ini juga sebenarnya memiliki asas, tugas-tugas, sifat-sifat, syarat-syarat dan kegiatan.4

Pendidikan akal juga mementingkan pendidikan spiritual agar dapat melahirkan generasi yang mampu berfikir dan mempunya akhlak yang mulia dan jiwa yang bersih. Tujuan pendidikan yang demikian dapat diwujudkan dalam seperangkat kurikulum sejak dari tingkat dasar sampai ketingkat yang lebih atas atau tinggi. Pendidikan yang mampu mendukung pembangunan pendidikan dimasa yang akan datang dengan mengidentifikasi serta mengembangkan potensi yang dimiliki oleh setiap individu, sehingga dari pendidikan tersebut akan menghasilkan keberhasilan-keberhasilan yang sesuai dengan tujuan. Keberhasilan yang dapat mencapai tujuan belajar tersebut bergantung pada bagaimana kegiatan belajar yang telah dialami siswa. Sedangkan guru bertugas menciptakan sebuah situasi atau kondisi belajar seoptimal mungkin untuk meningkatkan semangat siswa agar mendapatkan hasil belajar yang memuaskan. Seorang guru juga memiliki kewajiban untuk menimbulkan suasana belajar mengajar yang aman, nyaman, dan tentram bagi peserta didiknya.5

Guru harus terampil dalam memilih dan memilah metode apa yang tepat serta media seperti apa yang sesuai dengan kegiatan belajar yang akan disampaikan. Selain itu, guru diharapkan menjadi fasilitator yang baik dan bertutur kata yang baik untuk memberi umpan balik seperti memberi hadiah kepada peserta didik yang berprestasi, baik berupa tepuk tangan, hadiah yang berupa barang dan lain sebagainya, karena untuk menghargai semangat belajar dari peserta didik tersebut. Dengan demikian motivasi belajar akan meningkat dan belajar tidak akan dianggap sebagai sesuatu yang membosankan.

Pendidikan yang berkembang baik pada dasarnya harus mempunyai seseorang yang unggul agar peserta didik berkembang dengan baik pula. Dengan pendidikan yang berkualitas maka peserta didik akan bersemangat dalam kualitas sumber daya unggul menjadi kunci utama dalam menentukan aktivitas diberbagai sektor pembangunan fisik dan non fisik. Guru yang bermutu adalah guru yang berprofesional. Guru yang

3

Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Putra Grafika, 2007), 247.

4

Mokthtaridi Sudin, “Analisis Kebijakan dan Problematika Pendidikan Islam Non

-Formal,” Jurnal Sosial Budaya dan Pemikiran Islam Volume 15 Nomor 2 (Juli 2010): 173.

5Dedi Wahyudi dan Habibatul Azizah, “Strategi Pembelajaran Menyenangkan dengan

berbrofesional adalah guru yang memiliki kompetensi yaitu perilaku rasional guna mencapai tujuan yang dipersyaratkan sesuai dengan kondisi yang di harapkan.6

Seorang guru pendidikan agama Islam harus memahami berbagai keserdasan yang dimiliki peserta didiknya agar materi tersampaikan dengan baik dan benar. Maka penggunaan strategi belajar mengajar harus tepat agar proses belajar mengajar berjalan dengan baik dan peserta didik dapat memahami dengan baik sehingga dapat meraih prestasi belajar yang berlipat ganda.7

Pendidikan akal dalam pemikiran Muhammad Abduh juga mementingkan pendidikan spiritual agar dapat melahirkan generasi yang mampu berfikir dan mempunya akhlak yang mulia dan jiwa yang bersih. Tujuan pendidikan yang demikian diwujudkan dalam seperangkat kurikulum sejak dari tingkat dasar sampai ke tingkat atas atau yang lebih tinggi, yaitu kurikulum Al-Azhar, Tingkat sekolah dasar, dan tingkat atas. Ketiga paket kurikulum di atas merupakan gambaran umum dari kurikulum pelajaran agama yang diberikan dalam setiap tingkat. Dalam hal ini Muhammad Abduh tidak memasukkan ilmu-ilmu barat ke dalam kurikulum yang direncanakan. Dengan demikian, dalam bidang pendidikan formal Muhammad Abduh menekankan pemberian pengetahuan yang pokok, yitu fqih, sejarah islam, akhlak dan bahasa. Meskipun agaknya kurikulum yang dirancang Muhammad Abduh sukar diterapkan secara utuh, lebih-lebih di sekolah umum seperti yang diharapkannya, tetapi dari materi-materi pelajaran yang demikian dapat dijangkau pemikirannya, dari yang menghargai ilmu agama, sama dengan penilaiannya terhadap ilmu-ilmu yang datang dari Barat. Abduh meninginkan agar sekolah-sekolah umum menerapkan kurikulum yang demikian, sama halnya dengan keinginanya agar al-Azhar mengubah sistem pengajarannya, antara lain dengan menerapkan ilmu-ilmu yang datang dari Barat.8

Bagi Umat Islam dengan kemajuan sains Barat menjadi permasalahan yang perlu ditangani. Kemajuan Barat termasuk dalam menaklukkan dunia. Karena akan mempengaruhi suatu pendidikan yang terlalu banyak mengandung unsur negatif. Perluasan islam yang mengalami keredupan, malah digantikan dengan Barat yaitu melakuakn penyebaran kekuasaan melalui teknologi maupun ilmu pengetahuan. Kekuasaan Barat yaitu dalam ilmu pengetahuan, dimana mereka menguasainya dengan kajian-kajian Barat.9

Selain dalam pendidikan formal pun Muhammad Abduh menekankan pentingnya pendidikan akal yang berperan penting dalam mencapai pengetahuan yang hakiki tentang iman. Akal dalam sistem teologi Abduh bahkan memiliki kekuatan yang sangat tinggi. Berkat akal, orang dapat mengetahui adanya Tuhan dan sifat-sifatNya, mengetahui adanya hidup diakhirat, mengetahui kewajiban terhadap Tuhan, mengetahui keajaiban

6Akla, “Problem Pendidikan Indonesia: Mengulas Kualitas Pendidikan Nasional,” Jurnal Sosial Budaya dan Pemikiran Islam Volume 16 Nomor 1 (Juni 2011): 67.

7 Dedi Wahyudi dan Tuti Alafiah, “Studi Penerapan Strategi Pembelajaran Berbasis Multiple Intelligences dalam Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam,” Jurnal Kajian Pendidikan Islam Volume 8 Nomor 2 (Desember 2016): 263.

8

Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, 250.

9 Dedi Wahyudi dan Rahayu Fitri AS, “Islam dan Dialog Antar Kebudayaan (Studi Dinamika Islam di Dunia Barat),” Jurnal Fikri Volume 1 Nomor 2 (Desember 2016): 277.

dan kejahatan, serta mengetahui kewajiban membuat hukum-hukum. Namun menurutnya akal masih membutuhkan wahyu sebagai petunjuk hidup mereka. Sebab wahyu tersebut memiliki dua fungsi utama, yakni menolong akal untuk mengetahui secara rinci mengenai kehidupan akhirat, dan menguatkan akal agar mampu mendidik manusia untuk hidup secara damai dalam lingkungan sosialnya. Dalam bidang hukum, ada tiga prinsip utama pemikiran Abduh, Al-Qur‟an sebagai sumber syariat, memerangi

taklid, dan berpegang kuat pada akal dalam memahami ayat-ayat

Al-Qur‟an menurutnya, syariat itu ada dua macam, qath‟i (pasti) dan zhanni

(tidak pasti). Dan ketika merancang sebuah pemikiran pasti ada perbedaan pendapat sikap terbaik yang harus di ambil umat Islam dalam menghadapi perbedaan pendapat adalah dengan kembali pada sumber aslinya,

Al-Qur‟an dan As-Sunnah. Muhammad Abduh pernah menyarankan aga para

ahli fiqih membentuk tim yang bekerja untuk mengadakan penelitian tentang pendapat yang terkait diantara penadapat-pendapat lain.10

Suatu Pendidikan pasti memiliki tantangan seperti pendidikan Islam dalam memperdayakan umat. Pemberdayaan yang dimaksud adalah kemampuan untuk berdiri sendiri, mandiri, dan mampu, berkompetisi dengan umat lain. Salah satu aspek yang harus unggul adalah masalah pendidikan Islam. Sehingga pendidikan Islam menjadi salah satu icon atau symbol peradaban islam yang mengagumkan bagi semua insan. Namun demikian, untuk mejadi unggul ternyata banyak meghadapi tantangan dan hambatan. Tantangan yang paling berat dihadapi oleh pendidikan Islam diantaranya adanya dikotomi pendidikan, kurikulum yang belum relevan, dan manajemen pendidikan Islam yang belum kompeten.11

Munculnya ide-ide pendidikan Muhammad Abduh lebih melatarbelakangi faktor situasi, yaitu situasi sosial keagamaan dan situasi pendidikan yang ada pada saat itu. Yang dimaksud dengan situasi sosial keagamaan dalam hal ini adalah akhlak ketika menerapkan ajaran agama Islam dalam kehidupan sehari-hari. Maka Abduh berpandangan pendidikan bahwa sudah saatnya untuk diperbaiki supaya pendidikan berkembang dengan baik, terutama dalam masalah administrasi dan pendidikan didalamnya, termasuk perluasankurikulum, mencakup ilmu-ilmu modern.12

Pada dasarnya terdapat dua corak pemikiran yang selalu mempengaruhi cara berpikir umat Islam. Pertama, pemikiran tradisionalis yang berciri sufi dan mengembangkan pola pendidikan sufi. Yaitu memperdalam ilmu akhlak, hukum dan lain-lain. Pola pendidikan ini sangat memperhatikan aspek-aspek batiniyah dan akhlak atau budi pekerti manusia. Kedua, pemikiran rasionalis yang berciri liberal, terbuka, inovatif dan konstruktif. Corak pemikiran ini menimbulkan pendidikan yang empiris rasional. Pola pendidikan bentuk ini memperhatikan pendidikan intelektual dan penguasaan material. Kedua corak pemikiran inilah yang kelihatannya pada saat kejayaan Islam berlangsung satu padu, saling mengisi satu sama lain. Orang tidak lagi mau membedakan mana yang harus mereka

10

Herry Mohammad, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20 (Jakarta: Gema Insani Press, 2006), 228.

11Suparta, “Tantangan Pendidikan Islam dalam Pemberdayaan Umat dan Implikasinya

Terhadap Kesejahteraan Umat,” Jurnal Pemikiran Islam Volume 20 Nomor 2 (Juli 2015): 361.

12 Maslina Daulay, “Inovasi Pendidikan Islam Muhammad Abduh,” Jurnal Darul ‘Ilmi Volume 1 Nomor 2 (Juli 2013): 89.

pelajari, yang jelas baik ilmu agama yang bersumber dari wahyu maupun ilmu pengetahuan yang bersumber dari nalar mereka pelajari.13

Perkembangannya zaman Muhammad Abduh menerapkan suatu modernisasi yang mengandung pikiran, aliran, gerakan, dan usaha untuk mengubah paham, adat-istiadat, institusi lama dan sebagainya, agar semua itu dapat disesuaikan dengan pendapat-pendapat dan keadaan baru yang timbul oleh kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi modern. Karena kata modernisasi lebih dikenal luas yang bersumber dari Barat yang mengandung makna negatif, kata modernisasi lebih dikenal luas dengan pembaharuan. Modernisasi atau pembaharuan juga berarti proses pergeseran sikap dan mentalitas mental sebagai warga masyarakat untuk bisa hidup sesuai dengan tuntunan hidup masa kini. Jadi modernisasi pendidikan Islam adalah proses penyesuaian pendidikan Islam dengan kemajuan zaman. Sehingga tidak menurangi sedikitpun tata tertib dalam keagamaan.14

Demikian semakin majunya zaman bukan berarti menghilangkan kebiasaan atau tradisi pada masa lalu, tetapi meningkatkan merubah sebaik mungkin untuk memperbaiki supaya lebih baik lagi. Sehingga dapat mengikuti masa modern yang selalu berkembang, dan ilmu, pikiran, aliran, gerakan, adat-istiadat tidak akan hilang dengan perlahan bahkan sebaliknya.

Gagasan program modernisai pendidikan Islam mempunyai

akar-akarnya tentang “modernisasi” pemikiran dan institusi Islam secara keseluruhan. Dengan kata lain, “modernisasi pendidikan Islam yang tidak

bisa dipisahkan dengan gagasan dan program modernisasi Islam.

Kerangka dasar yang berada dibalik “modernisasi” Islam secara keseluruhan adalah modernisasi” pemikiran dan kelembagaan Islam

merupakan prasyarat bagi kebangkitan kaum muslim di masa modern. Karena itu, pemikiran dan kelembagaan Islam termasuk pendidikan yang harus saling mempertahankan kelembagaan Islam “tradisional”, meskipun

dengan metode, teknik dan teknologi yang berbeda. Hadirnya lembaga pendidikan Islam modern, baik pesantren atau non pesantren, telah mendapat respon yang berbeda. Kaum yang fanatik dengan tradisionalisme pesantren menuduh lembaga pendidikan umum, sebab tidak mempelajari kitab-kitab kuning sebagai dasar ilmu. Adapun yang merespon positif melihat dari perspektif lowongan kerja. Mereka berpendapat pembaruan ini sebagai langkah maju dan relevan dengan tuntunan zaman. Pengaruh pembaruan pada masa ini terhadap masyarakat adalah wawasan keislaman umat Islam semakin luas, pola pikir semakin rasional, alumni pesantren dapat melanjutkan pendidikan ke universitas baik dalam maupun luar negeri.15

Pendidikan ditunjukan untuk manusia agar dapat mengembangkan potensi pengetahuannya yang dimiliki dengan memanfaatkannya sebaik-baik mungkin, untuk keluar dari kebodohan, menciptakan suatu kemakmuran dan membuat perdamaian. Di dalam Al-Qur-an sudah dijelaskan bahwa umat manusia dapat mengambil hikmah pengetahuan

13 Siswanto, “Menimbang Pemikiran Muhammad Abduh,” Jurnal Tadris: Rekontruksi Pendidikan Islam Volume 4 Nomor 1 (2009): 5.

14

Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Rajawali Press, 2010), 187.

15

didalam al-qur‟an dengan cara belajar dan mendalami suatu pendidikan,

baik pengetahuan Islami maupun pengetahuan umum. Tetapi pada masa modern umat Islam mulai meninggalkan ilmu agama demi meningkatkan dunia Barat dan mengembangkan teknologi yang belum tentu dimanfaatkan dengan benar.16

Meskipun dunia ini sudah berkembang jauh sesuai dengan zamannya namun ijtihad masih digunakan untuk menentukan sebuah hukum tetapi dengan metode dan penerapan yang berbeda sehingga untuk ijtihad masa modern ini masih terus berkembang serta diikuti dengan pendidikan yang mulai mempelajari pengetahuan umum untuk menambah pengetahuan peserta didik selain mendalami ilmu agama.

B. Referensi

Abuddin Nata. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Rajawali Press, 2010.

Akla. “Problem Pendidikan Indonesia: Mengulas Kualitas Pendidikan

Nasional.” Jurnal Sosial Budaya dan Pemikiran Islam Volume 16

Nomor 1 (Juni 2011).

Dedi Wahyudi dan Habibatul Azizah. “Strategi Pembelajaran

Menyenangkan dengan Konsep Learning Revolution.” Jurnal

Attarbiyah Volume 26 Nomoor 1 (Desember 2016).

Dedi Wahyudi dan Rahayu Fitri AS. “Islam dan Dialog Antar Kebudayaan

(Studi Dinamika Islam di Dunia Barat).” Jurnal Fikri Volume 1 Nomor 2 (Desember 2016).

Dedi Wahyudi dan Tuti Alafiah. “Studi Penerapan Strategi Pembelajaran

Berbasis Multiple Intelligences dalam Mata Pelajaran Pendidikan

Agama Islam.” Jurnal Kajian Pendidikan Islam Volume 8 Nomor 2

(Desember 2016).

Herry Mohammad. Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20. Jakarta: Gema Insani Press, 2006.

Imam Mustofa. Ijtihad Kontemporer Menuju Fiqh Kontekstual. Jakarta: Rajawali Pers, 2013.

Maslina Daulay. “Inovasi Pendidikan Islam Muhammad Abduh.” Jurnal

Darul ‘Ilmi Volume 1 Nomor 2 (Juli 2013).

Mokthtaridi Sudin. “Analisis Kebijakan dan Problematika Pendidikan Islam

Non-Formal.” Jurnal Sosial Budaya dan Pemikiran Islam Volume 15

Nomor 2 (Juli 2010).

Samsul Nizar. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Putra Grafika, 2007.

Siswanto. “Menimbang Pemikiran Muhammad Abduh.” Jurnal Tadris:

Rekontruksi Pendidikan Islam Volume 4 Nomor 1 (2009).

Suparta. “Tantangan Pendidikan Islam dalam Pemerdayaan Umat dan

Implikasinya Terhadap Kesejahteraan Umat.” Jurnal Pemikiran Islam

Volume 20 Nomor 2 (Juli 2015).

Zuhairi. “Asas Teologis dan Filosofis Pendidikan Islam Menuju Masyarakat

Madani.” Jurnal Sosial Budaya dan Pemikiran Islam Volume 15 Nomor

1 (Juni 2010).

16

Dedi Wahyudi dan Rahayu Fitri AS, “Islam dan Dialog Antar Kebudayaan (Studi Dinamika Islam di Dunia Barat),” 275–76.

Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Pribumisasi Islam Evi Yulia Sari dan Lilia Kusuma Ningrum

A. Biografi Abdurrahman Wahid

Abdurrahman Wahid merupakan seorang tokoh yang terkenal khususnya bagi umat Islam di Indonesia melalui gayanya yang fenomenal dengan keunikan tersendiri dan sangat khas, serta sepak terjangnya dalam dunia Islam yang sangat kontroversial.

Abdurrahman Wahid dilahirkan pada tanggal 4 Agustus 1940 di Denanyar Jombang, tepatnya di rumah kakek dari pihak ibunya. Nama kecil beliau ialah Abdurrahman Addakhil, yang merupakan anak pertama dari enam bersaudara. Adapun nama dari saudara-saudara Abdurrahman Wahid ialah Aishah, Salahuddin, Ummar, Chodijah, dan Hasyim.

Ayahnya K.H. Abdul Wahid Hasyim pernah menjadi Menteri Agama RI pertama yang berperan aktif dalam Panitia Sembilan untuk merumuskan Piagam Jakarta.1 K.H. Abdul Wahid Hasyim adalah putra KH Hasyim

Asy‟ari pendiri pondok pesantren Tebuireng dan pendiri Jam‟iyah Nahdlatul Ulama. Sedangkan ibunya Nyai Hj. Sholihah juga putri tokoh besar NU K.H. Bisri Syamsuri pendiri pondok pesantern Denanyar Jombang dan Rais

„Am Syuriah PBNU.2

Ayahnya pula. Nahdlatul Ulama sendiri terkenal sebagai salah satu dari berbagai organisasi keagamaan Islam yang ternama dengan jumlah pengikut yang cukup besar di Negara Indonesia bahkan di dunia.

Abdurrahman Wahid akrab dipanggil dengan nama Gus Dur, Gus disini merupakan nama kehormatan yang diberikan kepada putra kyai yang berarti mas.3

Melihat dari aspek genetik yang dimiliki oleh Gus Dur baik dari garis ayah maupun ibu, Gus Dur dapat dinilai sebagai sosok yang menempati strata sosial tinggi dari masyarakat Indonesia dan bahkan dapat tergolong dari nashab para ulama besar atau kalangan ningrat. Terlihat dari kedua kakeknya baik K.H. Hasyim Asy‟ari maupun K.H. Bisri Syamsuri yang dikenal sebagai tokoh ulama terkemuka Nahdlatul Ulama (NU) dan tokoh besar di Indonesia.

Tidak hanya itu, jika melihat dari segi detail dan lebih khusus, nashab

kakeknya yakni K.H Hasyim Asy‟ari sudah terbilang dari keluarga kyai,

yakni ayah K.H Hasyim Asy‟ari adalah pendiri Pesantren Keras, sedangkan

kakeknya K.H Usman pengasuh Pesantren Nggedang.4 Akan tetapi, dalam sejarah kehidupannya Gus Dur tidak mencerminkan kehidupan sebagai

1

M. Misbah, Islam Kultural “(Telaah atas Pemikiran Abdurrahman Wahid)” dalam Ibda`, (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto: P3M STAIN Purwokerto), Vol. 3, No. 1, Jan-Jun 2005, 2.

2

Ainul Fitriah, “Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Pribumisasi Islam”, dalam Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam, (Surabaya: Fakultas Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama (STAI) AL-Rasyid), Vol. 3, No. 1 Juni 2013,41

3

M. Khoirul Hadi, “Abdurrahman Wahid Dan Pribumisasi Pendidikan Islam”, dalam Hunafa: Jurnal Studia Islamika, (Jember: Sekolah Tinggi Islam Syalafiyah Kencong Jember), Vol. 12, No. 1, Juni 2015,186

4

Herry Mohammad, Dkk, Tokoh-Tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20, (Jakarta: Gema Insani Press, 2006),h. 21

seorang ningrat, ia berproses dan hidup sebagaimana layaknya masyarakat pada umumnya.

Semasa kecilnya Gus Dur menghabiskan waktunya untuk belajar dalam lingkungan Pesantren yakni pada Pesantren Tebuireng Jombang milik kakeknya K.H. Hasyim Asy‟ari, dan pondok pesantren Denanyar Jombang milik K.H. Bisri Syamsuri, dari sini awal mula ia menempuh pendidikannya dalam ruang lingkup dunia Pesantren, yang terkenal dengan kitab-kitab kuning dengan tulisan dan bahasa arab tanpa dilengkapi dengan arti Indonesia maupun Jawa. Adapun ilmu ataupun pelajaran yang mulai dikenalkan olehnya, seperti diajarkan mengaji dan belajar membaca al-Qur‟an.

Kemudian berkat bimbingan dari ibunya, pada usia 4 tahun Gus Dur telah mampu membaca Alquran beserta ilmu tajwidnya.5 Pada usia ini pula, Gus Dur mulai tinggal bersama ayahnya di daerah Menteng Jakarta Pusat. Adapun latar belakang Gus Dur harus tinggal bersama ayahnya, pertama, ia selalu diajak kemanapun ayahnya pergi, kedua, sebab pekerjaan dari ayahnya, yang mana pada saat itu Wahid Hasyim dipercayai sebagai kepala Shumubu (seperti kantor utusan agama atas permintaan pemerintah Jepang).

Secara otomatis, ketika Gus Dur tinggal di Jakarta diperkenalkan dengan suasana baru, lingkungan baru, dan bahkan dunia yang baru. Kehidupan di Jakarta berbeda dengan kehidupan yang ada di pesantren, di mana pesantren sebagai tempat ia dilahirkan dan di asuh langsung oleh ibunya, kemudian saat di Jakarta ia dapat merasakan dunia perkotaan yang cukup kosmopolitan. Akan tetapi, bukan berarti sejak ia tinggal di Jakarta bersama dengan ayahnya ia tidak mendapat bimbingan.

Saat berada di Jakarta Gus Dur mendapatkan bimbingan langsung oleh ayahnya untuk mendapatkan wawasan yang cukup. Dapat dikatakan pula bahwa pada usia yang masih terbilang kanak-kanak Gus Dur telah

Dalam dokumen BUNGA RAMPAI SEJARAH KEBUDAYAAN PEMIKIRA (1) (Halaman 72-108)

Dokumen terkait