• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN

A. Pemikiran Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara

a. Kehidupan Masa Kecil

Ki Hajar Dewantara dilahirkan pada tanggal 2 Mei 1889 di Soerjaningratan yang terletak di sebelah Timur pura Paku Alaman Yogyakarta. Ibu Ki Hajar adalah putri keraton di Yogyakarta, lebih dikenal sebagai pewaris Kadilangu, keturunan langsung dari Sunan Kalijogo. Ayah Ki Hajar adalah keturunan Sultan Hamengku Buwana II, putra sulung Paku Alam III yaitu G.P.H. Suryaningrat (Irna, 1985).

Ki Hajar Dewantara dilahirkan di kalangan kaum ningrat, kaum bangsawan, yang pada saat itu masih sangat dibedakan dengan lapisan masyarakat yang lain (Soeprapto, 1973).

Ki Hajar Dewantara menikah dengan Raden Ajeng Sutartinah, putri dari G.P.H. Sasraningrat, adik dari G.P.H. Suryaningrat yang merupakan ayah dari Ki Hajar Dewantara, jadi Ki Hajar dan istrinya adalah saudara sepupu (Suratman, 1990).

Ki Hajar selesai dari Sekolah Dasar kemudian melanjutkan ke Stovia Jakarta pada tahun 1905. Sebagai seorang murid Ki Hajar tidak hanya mendengarkan dan mencatat apa yang diajarkan oleh gurunya, akan tetapi pikiran Ki Hajar sendiri berkembang jauh, bahkan kadang-kadang sampai menimbulkan kejutan di kalangan teman-temannya. Kadang-kadang Suwardi menampilkan sifatnya yang berani, demonstratif. Hal itu selalu dilandasi dengan pikiran dan keyakinannya yang mapan dan mantap, di samping semangat perjuangan Ki Hajar yang membara (Oetomosoekranah, 1981).

Mengenai pendidikan Ki Hajar Dewantara, Komandoko (2006) berpendapat:

Nama kecil Ki Hajar Dewantara adalah Raden Mas Suwardi Suryaningrat. Ki Hajar bersekolah di ELS (Europesche Lagere School - Sekolah Dasar Belanda), setelah lulus ELS Ki Hajar

commit to user

Dewantara melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Guru (Kweekschool) di Yogyakarta namun tidak sampai tamat. Pada tahun 1905 Ki Hajar Dewantara mendapat beasiswa dan bersekolah di STOVIA, singkatan dari School tot Opleiding van Indische Artsen yang disebut juga Sekolah Dokter Jawa, di Batavia (Jakarta) (hlm. 172).

Di Jakarta inilah pandangan kebangsaan Suwardi semakin luas. Pelajar-pelajar STOVIA datang dari berbagai daerah di Indonesia. Pergaulan Suwardi dengan pelajar-pelajar STOVIA ini memperluas dan memperdalam rasa kebangsaan Suwardi (Sagimun, 1983).

Suwardi ternyata juga mempunyai kegemaran menulis. Melalui jiwa kerakyatannya yang kuat mendasar, Suwardi sering menuangkan masalah-masalah, pemikiran-pemikiran yang akurat di penerbitan-penerbitan pers waktu itu (Oetomosoekranah, 1981).

Ketika belajar di STOVIA, Ki Hajar sudah memperlihatkan bakat mengarangnya. Karangannya dimuat di surat kabar Sedyo Tomo (bahasa Jawa), De Express (bahasa Belanda) dan Midden Java (bahasa Belanda). Hatinya pun tergerak oleh penderitaan rakyat yang diperlakukan sewenang-wenang oleh pemerintah Belanda (Gustamin, 1993).

Mengenai pengalaman bekerja Ki Hajar Dewantara selain dalam bidang jurnalistik, Harahap & B. S. Dewantara (1980) berpendapat, “ Ki Hajar Dewantara meninggalkan STOVIA, lalu bekerja pada pabrik gula KaliBagor di Banyumas, kemudian sebagai asisten apoteker pada Rathkamp di Yogyakarta. Pekerjaan sebagai apoteker ternyata kurang cocok bagi Ki Hajar, kemudian Ki Hajar terjun ke dunia jurnalistik (hlm. 3).

Ki Hajar Dewantara telah mencoba bermacam-macam pekerjaan, kemudian ternyata Ki Hajar lebih tertarik pada pekerjaan di lapangan jurnalistik, Mudyahardjo menerangkan bahwa Ki Hajar Dewantara memulai karier perjuangannya di lapangan jurnalistik, yang dipergunakan sebagai alat memberikan pendidikan politik kepada rakyat, melalui tulisan-tulisannya yang berisi cita-cita perjuangannya. Karier jurnalistik Ki Hajar dimulai di Yogyakarta sebagai pembantu harian “Sedyo Utomo” dan harian bahasa

commit to user

Belanda “Midden Java” di Semarang, kemudian pindah ke Bandung menjadi koresponden “De Expres” yang dipimpin oleh Douwes Dekker (2001).

Ki Hajar Dewantara kemudian memutuskan untuk tetap berkecimpung dalam bidang persuratkabaran, dan ternyata Ki Hajar lebih tertarik di lapangan jurnalistik daripada semua pekerjaan yang telah dijalani (Irna, 1985).

Bakat yang dimiliki Ki Hajar Dewantara dalam bidang jurnalistik digunakan sebagai alat memberikan pendidikan politik kepada rakyat dan mencurahkan rasa hati serta cita-cita perjuangan Ki Hajar Dewantara (Tauchid, 1963).

Ki Hajar Dewantara selain banyak berperan dalam bidang pendidikan juga aktif dalam berbagai bidang, sehingga mempunyai banyak predikat. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Suratman (1984) yang menyatakan:

Ki Hajar Dewantara mempunyai banyak predikat, sesuai dengan kepribadian Ki Hajar yang memang beraneka ragam (multifact), sehingga tergantung dari sudut mana memandangnya. Meskipun demikian dapat dirinci dalam tiga kategori predikat yang utama, yaitu pendidik, budayawan dan pemimpin rakyat (hlm. 2).

Perkenalan pertama antara Ki Hajar Dewantara dengan Douwes Dekker berlangsung sekitar tahun 1908. Ketika Douwes Dekker menjabat redaktur Bataviaasch Nieuwsblad yang dipimpin oleh Zaalberg, Douwes Dekker memasukkan beberapa pembantu redaksi dari orang Indonesia antara lain, Suryopranoto, Cipto Mangunkusumo dan Gunawan Mangunkusumo. Douwes Dekker dianggap berbahaya bagi keamanan orang-orang Belanda karena memasukkan pembantu redaksi dari orang Indonesia maka oleh redaksi dipecat dari Bataviaasch Nieuwsblad (Suratman, 1990).

Hubungan antara Douwes Dekker dan Ki Hajar Dewantara menjadi semakin akrab setelah Douwes Dekker membaca tulisan Ki Hajar Dewantara dalam harian-harian di Jawa Tengah, juga dalam harian De Express yang diasuh oleh Douwes Dekker sendiri akhirnya mengetahui tentang kehebatan Ki Hajar dalam jurnalistik. Douwes Dekker mengundang Suwardi untuk

commit to user

pindah ke Bandung dan ikut mengasuh De Express. Pada tahun 1912 di kota Bandung Suwardi kemudian menjadi Ketua Perhimpunan SAREKAT ISLAM didampingi oleh Abdul Muis dan A.H Wignyadisastra, pemimpin redaksi harian Kaoem Moeda (Harahap & B.S Dewantara, 1980).

Pada tahun 1912 Suwardi, Douwes Dekker dan Dr. Cipto Mangunkusumo mendirikan Indische Partij, yang secara terang-terangan menamakan dirinya sebagai badan “partai politik”, menuju kearah kemerdekaan nusa dan bangsa (Dewantara, 1952).

Usaha yang dilakukan oleh Ki Hajar dan kawan-kawannya dalam mempropagandakan “Indische Partij” sangat bermacam-macam, Harahap dan Dewantara (1980) menjelaskan:

Tiga Serangkai (Suwardi Suryaningrat, Douwes Dekker dan Cipto Mangunkusumo) itu menjelajahi pulau Jawa untuk mempropagandakan “Indische Partij” dan akhirnya mencapai sukses besar. Melalui alat media De Express dan penulisan serta penyebaran buletin dan brosur, gerakan nasional dari Tiga Serangkai ternyata menggemparkan masyarakat dan menggoyahkan sendi-sendi pemerintahan kolonial Hindia Belanda (hlm. 4).

Pada bulan Juli 1913 bersama Cipto Mangunkusuko, mendirikan panitia untuk memperingati 100 tahun kemerdekaan “Nederland”, disingkat

komite bumiputera”, untuk memperotes rencana perayaan 100 tahun

kemerdekaan Nederland dari penjajahan Perancis, yang akan dilaksanakan pada tanggal 15 November 1913 di Indonesia dengan memungut biaya dari rakyat secara paksa (Sudiyat, 1989).

Program-program dalam Indische Partij menunjukkan perlawanan terhadap pemerintah Belanda sehingga Ki Hajar, Douwes Dekker dan Cipto Mangunkusumo dibuang ke negeri Belanda selama 6 tahun (1913-1919) (Komandoko, 2006).

Tindakan yang dilakukan oleh Tiga Serangkai itu ternyata menimbulkan akibat yang cukup serius, Tauchid (1963) mengatakan “berdasarkan keputusan Pemerintah Hindia Belanda tanggal 18 Agustus 1913 no. 2a, Ki Hajar Dewantara di internir ke Bangka, Tjipto Mangunkusumo ke Banda dan Douwes Dekker ke Timur Kupang” (hlm. 22).

commit to user

Menurut ketentuan yang ada apabila diinginkan Suwardi, Tjipto dan Douwes Dekker boleh meninggalkan Hindia Belanda. Berdasarkan persetujuan dan kehendak ketiganya, maka negeri Belanda dipilih sebagai tempat pengasingan, dengan pertimbangan agar di luar negeri nanti masih dapat melanjutkan kegiatan politik (Irna, 1985).

Dalam pembuangan Suwardi, tentunya Belanda menginginkan agar Suwardi bisa jinak, akan tetapi putra bangsawan itu memang tidak mudah menyerah dengan keadaan, justru keadaan yang sulit itu dimanfaatkan untuk belajar di bidang pendidikan. Suwardi juga mendirikan Persbiro Indonesia dan juga menyibukkan diri dalam organisasi mahasiswa Indische Vereniging (Oethomosoekranah, 1981).

Masa pengasingan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh Ki Hajar Dewantara, diantaranya dengan memperdalam jurnalistik, belajar seni drama, menjadi redaktur majalah “Hindia Poetera”, membantu mingguan “De Indier”, berkeliling memberi ceramah tentang aspirasi rakyat Indonesia yang sesungguhnya, memperoleh Akta Mengajar (12 Juni 1915) (Sudiyat, 1989).

Tanggal 17 Agustus 1917, sesudah empat tahun kurang satu hari dalam pembuangan, putusan hukuman pembuangan Ki Hajar Dewantara dicabut, boleh kembali ke tanah air sebagai orang bebas, tetapi berhubung dengan masih mengamuknya perang dunia, baru dapat kembali ke tanah air pada tanggal 6 September 1919 (Tauchid, 1963).

Pada tahun 1919 Ki Hajar Dewantara diundang oleh kongres yang pertama di Den Haag, sebagai ahli kesusastraan Jawa yang dibuktikan dengan pandangan Ki Hajar Dewantara yang tajam dan diarahkan jauh ke depan, yaitu Ki Hajar Dewantara menyatakan keyakinan bahwa bahasa Melayulah yang nantinya akan menjadi dasar dari bahasa persatuan bangsa Indonesia (Soeprapto, 1973).

Ki Hajar Dewantara yakin bahwa, keadaan yang berjiwa kolonial tidak akan hilang jika hanya dilawan dengan pergerakan politik, tetapi harus mampu menyebarkan benih hidup merdeka dikalangan rakyat Indonesia

commit to user

sendiri dengan jalan pengajaran disertai pendidikan nasional (Obor Rakyat, 1961).

Ki Hajar Dewantara semasa hidupnya selalu mengumandangkan aspirasinya tentang pendidikan, sehingga pemerintah kemudian memberikan penghargaan baik yang berupa satya Lencana Kemerdekaan, Pahlawan Nasional Perintis Kemerdekaan, termasuk pemberian gelar doktor honoris causa oleh UGM karena pengabdian Ki Hajar yang dalam di bidang kebudayaan (Pikiran Rakyat, 1979).

b. Pendidikan yang diperoleh 1) Pendidikan Jawa

Salah satu hal yang turut membentuk kepribadian seseorang selain potensi kodrati sebagai garis kehidupannya, juga kondisi lingkungan yang memberikan pengalaman rohani dan jasmani, begitu pula dengan Suwardi, seperti yang dinyatakan oleh Suratman (1990) yaitu, “Suwardi adalah keturunan Sri Paku Alam III. Kehidupan dalam Kepangeran dengan segala tradisi dan peraturan kehidupan kebangsawanan merupakan lingkungan hidup yang sangat berpengaruh” (hlm 3).

Pengaruh hidup keluarga itu terus menerus dialami oleh anak-anak mulai anak itu kecil hingga besar, maka budi pekerti tiap orang itu selain terbentuk oleh dasar pembawaannya, sebagian besar dipengaruhi juga oleh pengalaman anak-anak pada waktu masih dalam “gevoelige periode”, yaitu pada waktu kecilnya berumur 7 tahun (Dewantara, 1943).

Suwardi mendapatkan pendidikan agama dari Pesantren Kalasan di bawah asuhan K.H. Abdurrahman. Sejak awal, pengasuh pesantren telah melihat adanya keistimewaan pada sosok Suwardi. K.H. Abdurrahman menjuluki Suwardi sebagai “Jemblung Trunogati” atau “anak mungil berperut buncit, tetapi mampu menghimpun pengetahuan yang luas” (Rahardjo, 2009).

Pangeran Suryaningrat sangat menyukai musik dan soal-soal keagamaan yang bersifat filosofis dan ke Islaman. Tulisan Pangeran Suryaningrat banyak berbentuk syair dan bersifat filosofis-religius sesuai

commit to user

dengan pandangan hidup Pangeran Suryaningrat ialah Islam-Jawa (Suratman, 1990).

Ayah Ki Hajar Dewantara sangat taat menjalankan ajaran agamanya. Ki Hajar Dewantara adalah seorang bangsawan Mataram, sehingga diharuskan mempelajari kesusteraan Jawa dan mendalami kesenian. Sejak kecil Ki Hajar banyak menonton wayang dan mengenal sekali cerita-cerita wayang dan ajaran-ajaran yang terkandung dalam cerita tersebut. Tokoh

Kresna dan Yudhistira menjadi tokoh pujaan Ki Hajar Dewantara. Sifat-sifat

dan watak kedua tokoh tersebut besar pengaruhnya terhadap perkembangan jiwa Ki Hajar Dewantara. Adil, jujur, tidak pendusta, selalu menepati janji, suka damai dan penuh cinta kasih merupakan pedoman hidup Ki Hajar Dewantara (Sagimun, 1983).

Jiwa kerakyatan Suwardi Suryaningrat juga tampak dari pola pemikirannya yang dituangkan dalam tulisan, satu diantaranya yang cukup terkenal yaitu, Andai aku seorang Belanda, tulisan bernada protes perhadap pemerintah Belanda waktu itu (Pikiran Rakyat, 1979).

Ki Hajar Dewantara adalah seorang bangsawan, namun Ki Hajar selalu berjiwa kerakyatan, karena sejak kecil Ki Hajar sering dan senang bermain dengan anak-anak orang biasa. Bahkan kerika kecil sering tidur bersama anak-anak orang biasa di masjid. Ketika di penjara Ki Hajar menolak perlakuan istimewa. Ki Hajar ditahan bersama orang-orang penjara lainnya, bahkan Ki Hajar ikut melakukan kerja paksa, tidak mau diperlakukan berbeda dengan orang lain hanya karena Ki Hajar seorang bangsawan, anak seorang pangeran (Sagimun, 1983).

Lingkungan merupakan tempat yang paling dominan membentuk karakter dari Suwardi, seperti diungkapkan Suratman (1990) yaitu, “di dalam lingkungan keluarga Suwardi dilakukan kegiatan berolah sastra. Suasana religius dengan adanya langgar dan masjid di dekat rumah Suwardi, mempertebal keyakinan agamanya. Suwardi menerima ajaran agama Islam dari Pangeran Suryaningrat” (hlm. 7).

commit to user 2) Pendidikan Barat

Ketika Ki Hajar putus sekolah kemudian tidak membuat Ki Hajar menjadi patah semangat. Ki Hajar Dewantara yang telah aktif dalam pergerakan nasional menyalurkan ekspresi perjuangannya melalui tulisan-tulisannya. Berbagai tulisan-tulisan Ki Hajar dimuat di berbagai media massa, di antaranya Sedya Tama, Midden Java, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, De Expres, Tjahaja Timoer, dan Poesara (Komandoko, 2006).

Pada tahun 1913 Ki Hajar Dewantara diasingkan di negeri Belanda terkait dengan tuduhan atas tulisan Ki Hajar yang menyinggung pemerintah kolonial Belanda, padahal sebenarnya Ki Hajar tidak bermaksud seperti itu. Tanah pengasingan yang mestinya salah satu wujud sistem hukuman agar manusia jera, ternyata dimanfaatkan secara baik oleh Suwardi untuk menambah pengetahuan dan pengalamannya dengan tetap berjuang untuk kepentingan nusa dan bangsa Indonesia (Suratman, 1989).

Di dalam pembuangan Ki Hajar Dewantara menggunakan waktu yang sebaik-baiknya yaitu belajar menjadi guru di Den Haag, anggota aktif dari perkumpulan mahasiswa di Negeri Belanda “Indische Vereeniging” yang kemudian lebih dikenal dengan Perhimpunan Indonesia (Soeprapto, 1973).

Tanah pembuangan Belanda dimanfaatkan Ki Hajar untuk mengembangkan diri. Ki Hajar mempelajari secara sistematis pengetahuan dan keterampilan jurnalistik dari S de Roode, kemudian mempelajari seni drama dari Herman Kloppers serta mempelajari ilmu dan praktek pendidikan dari berbagai sumber. Pada tanggal 12 Juni 1915 sempat memperoleh akta guru (Ki Supriyoko, 1995).

Ketika dalam pengasingan di negeri Belanda, Ki Hajar mengobarkan perjuangan kemerdekaan dan mengabarkan pada dunia internasional tentang penderitaan rakyat Indonesia akibat penjajahan Belanda melalui pidato-pidatonya di kota Amsterdam, Groningen, Den Haag dan Utrech, bahkan Ki Hajar sempat menambah ilmu tentang pendidikan hingga memperoleh ijazah keguruan (Gustamin, 1993).

commit to user

Hukuman pengasingan yang dijalani Ki Hajar Dewantara di Belanda, baik itu penahanan dan penjara tidak menjadikan Ki Hajar jera maupun mematahkan kegiatan serta semangat perjuangannya dalam mencapai cita-cita, akan tetapi menjadikan Ki Hajar semakin tangguh dan ulet (Suratman, 1990).

Di Belanda Ki Hajar pun mengembangkan kemampuan pers dan jurnalistik yang dimilikinya, sempat menjadi redaktur majalah “Indische Vereeniging”, membantu majalah “Indische Partij” dan lain-lain. Dalam hal ini Ki Hajar benar-benar mengaplikasikan ilmu “ngeti ning ora beli”: seolah-olah dapat menerima perlakuan masyarakat Belanda tetapi pendirian anti kolonial tetap terpatri di dadanya. Ki Hajar juga memberikan ceramah-ceramah pada masyarakat Belanda maupun masyarakat Indonesia yang ada di Belanda mengenai keadaan Indonesia

Ki Hajar Dewantara adalah seseorang yang hebat, karena sanggup menghadapi 2 unsur kebudayaan yang masuk dalam kehidupan Ki Hajar dan memadukannya secara serasi, seperti diungkapkan Rahardjo (2009) yaitu sebagai berikut:

Ki Hajar Dewantara tidak ingin berpisah dengan rakyat dan selalu ingin berada bersama rakyat untuk selalu berjuang bersama-sama. Pemahaman seperti ini Ki Hajar dapatkan dari dua kultur pendidikan yang berbeda, yaitu Jawa dan Barat. Ki Hajar tampak seperti sosok yang mampu memadukan unsur-unsur baik dari dua kultur tersebut. Meskipun mendapatkan pendidikan Barat, Ki Hajar tidak kemudian menjadi individualistik, dan meskipun mendapat pendidikan Jawa, Ki Hajar juga tidak langsung menjadi seorang Jawa kolot. Pemahaman bahwa seseorang haruslah bekerja keras untuk melayani dan bukan untuk dilayani menjadi bukti bahwa Ki Hajar adalah seorang sosok yang mengombinasikan nilai-nilai luhur dua kultur, yaitu Jawa dan Barat (hlm. 108).

commit to user 2. Pemikiran Pendidikan

a. Pendidikan sebagai pembebasan (ada perbandingan antara pemikiran Ki Hajar dengan pemikiran Paulo Freire dan Montessori)

1). Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara

Pengertian dari pendidikan sangatlah luas. Rahardjo (2009) mengartikan pendidikan sebagai berikut:

Pendidikan merupakan tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Artinya, pendidikan akan menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu agar anak-anak sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang tinggi (hlm. 75).

Mengenai konsep pendidikan yang diberikan oleh Belanda kepada bangsa Indonesia, Ki Hajar Dewantara (1977) berpendapat, “Pendidikan dan pengajaran yang diberikan oleh pemerintah Belanda kepada rakyat Indonesia, didasarkan pada azas dan dasar kolonial, yaitu untuk kepentingan penjajahan dari bangsa Belanda” (hlm. 147).

Lahirnya Taman Siswa dinyatakan Ki Hajar Dewantara sebagai jalan kembalinya pendidikan bangsa Indonesia ke yang nasional, yang ditandai dalam usaha pengajarannya dengan penggunaan bahasa ibu menjadi bahasa pengantar dalam pelajaran di Taman Siswa, serta penghapusan permainan dan nyanyian anak-anak Belanda dengan yang nasional (Tauchid, 1979).

Tujuan pendidikan selama periode kolonial Belanda memang tidak pernah diwujudkan, Rifa’i menyimpulkan mengenai tujuan dari pendidikan yang diberikan pemerintah kolonial bahwa tujuan pendidikan antara lain untuk memenuhi keperluan tenaga buruh kasar kaum modal Belanda, sebagian ada yang dilatih dan dididik untuk menjadi tenaga administrasi, tenaga teknik, tenaga pertanian, dan pekerjaan lain yang dianggap pekerja-pekerja kelas dua atau kelas tiga (2011).

Pengajaran yang tidak didasarkan pada semangat kebudayaan hanya akan membentuk intelektual saja, sehingga intelektualisme akan semakin berkembang di kalangan sebagian rakyat, yang akan menuntut pendidikan dan pengajaran secara Eropa, dengan sendirinya melepaskan diri dari

commit to user

masyarakat. Selain materialisme dan intelektualisme, hasil yang ditimbulkan dari sistem pengajaran secara Barat yaitu rasa perseorangan atau individualisme yang memisahkan orang yang satu dengan orang lain, sehingga hilanglah “rasa keluarga” antara rakyat Indonesia yang sebenarnya bisa menjadi tali yang suci dan kuat serta dasar yang kokoh untuk menciptakan kehidupan yang tertib dan damai. Individualisme inilah yang dapat mengakibatkan terpecah belahnya rasa persatuan keluarga bahkan bangsa (Dewantara, 1977).

Tujuan pendidikan mengalami pergeseran, yang awalnya memiliki target menciptakan manusia memiliki watak kemanusiaan, berubah kearah materialisme (Sarjono dan Nurudin, 2000)

Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional dan pendiri perguruan Taman Siswa telah menciptakan suatu sistem pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia, berdasarkan garis hidup dan kebudayaan bangsanya. Lahirnya pendidikan nasional merupakan reaksi positif terhadap pendidikan kolonial yang berlaku waktu itu dengan kultur yang melandasinya (Suratman, 1980).

Ki Hajar Dewantara (1977) menjelaskan bahwa untuk menciptakan hasil pendidikan yang memiliki lahir dan batin yang luhur maka pengajaran yang didasarkan pada semangat keduniawian (materialisme), semangat kenadlaran (intelektualisme), serta semangat perseorangan (individualisme) dengan demokrasi Barat yang memecah belah rasa keluarga maupun kekuatan yang lain, harus diganti dengan semangat ketimuran, yaitu sebagai berikut:

a. Pengajaran rakyat harus didasarkan pada semangat keluhuran budi manusia, sehingga mementingkan nilai-nilai kebatinan (mental culture) dan menghidupkan semangat idealisme.

b. Pengajaran rakyat harus mendidik ke arah kecerdasan budi pekerti, yaitu matangnya jiwa seseorang secara utuh (character building)

c. Pengajaran rakyat harus mendidik ke arah kekeluargaan, yaitu merasa bersama-sama hidup, bersama-sama susah dan senang, bersama-sama tanggung jawab; mulai keluarga dalam lingkup kecil sampai keluarga yang besar, misalnya kekeluargaan bangsa-bangsa (hlm. 139).

commit to user

Pendidikan memang selalu menjadi masalah bagi negara-negara berkembang. Suratman (1989) menyatakan:

Di negara-negara berkembang, masalah pendidikan memang merupakan masalah nasional dan masalah sosial. Masalah nasional karena pendidikan terkait langsung dengan masa depan bangsa tersebut. Menjadi masalah sosial, karena pendidikan melibatkan kepentingan seluruh warganya” (hlm. 17).

Pendidikan adalah untuk mendidik manusia, jadi sebenarnya merupakan kewajiban utama bagi setiap pemerintah dan menjadi hak bagi setiap warga untuk menikmati pendidikan, akan tetapi kesempatan pendidikan bukan semakin bertambah tetapi sebenarnya berkurang. Masalah yang dihadapi manusia bukannya berkurang tapi sebaliknya bertambah kompleks. Ini ironis karena sebenarnya oleh penguasaan manusia terhadap teknologi, manusia berhasil mengontrol alam untuk kebutuhannya. Suatu ancaman besar muncul dari horison kemanusiaan dalam bentuk eksploitasi penduduk dunia disertai disertai dengan eksploitasi polusi lingkungan manusia sendiri. Apabila masalah ini tidak segera diatasi, berarti manusia sedang menciptakan “bom waktu” untuk dirinya sendiri (Pikiran Rakyat, 1975).

Ketika bangsa Indonesia belum kedatangan bangsa Belanda, Indonesia sudah memiliki sistem pendidikan yang lebih sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia, Tauchid (1979) berpendapat:

Sistem pendidikan baru yang berdasarkan kebudayaan dan kepribadian nasional, yang mengutamakan pembentukan watak untuk manusia merdeka lebih tinggi nilainya, yaitu sistem paguron, dengan tidak mengabaikan segi-segi baik dari nilai-nilai sistem sekolah yang modern (hlm. 29).

Ketika Menteri Pendidikan Sjarif Thajeb berpidato menyambut Hari Pendidikan, Sjarif Thajeb menegaskan bahwa bangsa Indonesia akan meneruskan garis-garis pokok kebijaksanaan pembaharuan pendidikan yang telah dijalani selama ini. Tapi pembaharuan itu memerlukan proses yang cukup lama, dan mungkin hasil pembaharuan pendidikan itu baru bisa dilihat pada satu generasi yang akan datang (Pikiran Rakyat, 1974).

commit to user

Pengajaran Nasional dan Pengajaran Kolonial itu sangat berbeda. Pengajaran Nasional bertujuan untuk mendidik intelektual masyarakat Indonesia, agar masyarakat kelak menjadi penegak keluhuran tanah dan bangsa Indonesia, sedangkan Pengajaran Kolonial itu bertujuan mendidik rakyat untuk dijadikan sebagai pembantu kekuasaan kolonial. Syarat-syarat dari pengajaran kolonial itu sangat merugikan rakyat, karena guru-gurunya harus orang Belanda sehingga masyarakat Indonesia mendapatkan saran-saran keliru bahwa kita orang Indonesia tidak pandai dalam memberikan pengajaran, kemudian masyarakat kita dididik oleh orang Belanda, sehingga lambat laun bisa saja memiliki watak seperti orang Belanda dan jauh dari

Dokumen terkait