• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN

B. Implementasi Pemikiran Pendidikan Ki Hajar Dewantara

2. Perkembangan Taman Siswa

Taman Siswa yang awalnya hanya merupakan setitik pasir di padang gurun, kini telah berkembang pesat bahkan lontaran pemikirannya diakui di tingkat nasional. Dari murid yang hanya sekitar 30 orang kini Taman Siswa telah memiliki cabang hampir di seluruh tanah air (Oethomosoekranah, 1981).

Berdirinya Taman Siswa memberikan pengaruh terhadap perkembangan pergerakan Indonesia, seperti yang diungkapkan oleh Rahardjo (2009), kelahiran Taman Siswa adalah titik balik dalam pergerakan Indonesia. Kaum revolusioner yang mencoba menggerakkan rakyat secara radikal pun terpaksa memberikan ruang untuk gerakan ini” (hlm. 57).

Taman Siswa dipersiapkan mulai tahun 1921 di Yogyakarta, akan tetapi baru didirikan secara resmi pada tahun 1922. Sekolah ini menyatakan diri sebagai “lembaga pengajaran nasional”, dengan semboyan kembali dari Barat ke nasional, dengan salah satu konsekuensinya yang pertama yaitu pemakaian bahasa ibu sebagai bahasa pengantar dalam pengajaran, penghapusan permainan kanak-kanak dan lagu kanak-kanak, untuk diganti dengan yang nasional (Dewantara, 1977).

commit to user

Didirikannya Taman Siswa pastilah mempunyai tujuan/ cita-cita yang ingin dicapai, seperti yang diungkapkan Tauchid (1963) yaitu, “cita-cita Ki Hajar Dewantara dengan gerakan hidup Taman Siswa, yang dalam wujud geraknya merupakan lembaga pendidikan dan kebudayaan, ialah manusia salam bahagia, masyarakat tertib damai” (hlm. 33).

Di dalam Taman siswa, murid diharapkan memiliki intelektual serta kesusilaan yang tinggi, seperti yang diterangkan Dewantara (1977), bahwa:

Taman Siswa tidak hanya

menghendaki pembentukan intelektual, akan tetapi utamanya pendidikan dalam artian pemeliharaan dan latihan susila. Dalam Taman Siswa banyak sekali olah seni yang diajarkan, antara lain, seni lukis, seni musik, seni tari, bahkan ada yang mengisi dengan gamelan (hlm. 58).

Taman Siswa adalah wadah dan wujud ajaran hidup Ki Hajar Dewantara, berupa asas, sendi organisasi, sistem pendidikan dan perwujudan cita-cita kehidupan Taman Siswa. Melalui metode Among, Taman Siswa meletakkan pendidikan sebagai alat dan syarat untuk anak-anak hidup sendiri, mandiri dan berguna bagi masyarakat (Rahardjo, 2009).

Perbedaan antara sistem sekolah yang ada (waktu penjajahan kolonial Belanda sampai sekarang di Indonesia), Ki Hajar Dewantara mengatakan bahwa sekolah-sekolah tersebut merupakan sekolahan yang tidak berjiwa, tidak tampak kepribadiannya. Tidak berbeda seperti gudang dan pabrik yang di waktu pagi diisi dengan anak-anak yang belajar dan bermain, tetapi di waktu malam sepi tidak ada penghuninya. Berbeda dengan Perguruan Taman Siswa, murid-murid di waktu pagi, siang dan petang berkumpul di perguruan dengan kesibukan dan kegiatan pelajarannya, dengan olahraga, kegiatan seni, pramuka (Tauchid, 1979).

Langkah-langkah yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk membatasi pendidikan bagi rakyat Indonesia agar bangsa Indonesia tetap tidak berpendidikan sangat bermacam-macam, langkah ini dilakukan karena bangsa Belanda sadar bahwa perluasan sekolah-sekolah bagi rakyat Indonesia merupakan bahaya besar bagi kedudukannya sebagai penjajah.

commit to user

Sekolah yang didirikan kolonial Belanda bukan untuk mendidik bangsa Indonesia menjadi manusia cerdas dan terampil, akan tetapi tujuan utamanya adalah memberi kemudahan bagi pemerintah Belanda untuk memenuhi kebutuhan akan pegawai rendah (Rahardjo, 2009).

Untuk memupuk semangat juang orang-orang Taman Siswa, pada bulan Agustus 1930 diadakan kongres yang pertama. Sehingga Taman Siswa merasa semakin kuat setelah digodog dalam kawah candradimuka-nya perjuangan (Probohening, 1987)

Taman Siswa yang didirikan Ki Hajar Dewantara berdasarkan pada nasionalisme, Mudyahardjo (2001) berpendapat, “nasionalisme yang dianut dan hendak diwujudkan oleh Ki Hajar Dewantara adalah nasionalisme

kebudayaan bertrikon, yaitu berakar pada kebudayaan sendiri yang terus

berasimilasi dengan unsur-unsur budaya luar” (hlm. 297).

Sistem sekolah Taman Siswa, yang dimulai oleh Ki Hajar Dewantara pada tahun 1922, menolak Islam pembaharu dan memakai kebudayaan Jawa sebagai dasar filosofis bagi ciri nasional yang baru (Rickhlefs, 1989).

Tujuan Taman Siswa yaitu menjadi suatu gerakan pendidikan, oleh karena itu menurut Ki Hajar Dewantara rakyat perlu dipersiapkan untuk memiliki jiwa merdeka, pikiran dan intelektual maju, serta jiwa yang sehat. Dari kesadaran itulah maka lahir Taman Siswa sebagai bentuk gerakan pendidikan untuk melawan sistem pendidikan kolonial yang saat itu tidak sesuai dengan semangat bangsa Indonesia (Rahardjo, 2009).

Taman Siswa meskipun pergerakan swasta, tapi telah mampu melakukan loncatan yang jauh dan bisa menjadi partner (mitra kerja) sekolah-sekolah negeri. Probohening (1987) mengungkapkan, “Taman Siswa telah berhasil mencetak tokoh-tokoh nasional yang berbobot dan terkemuka, sementara sekolah-sekolah Taman Siswa juga tersebar luas di seluruh tanah air. Mulai dari Taman Indria (TK), SD (Taman Siswa), SMP (Taman Madya) sampai dengan mendirikan perguruan tinggi” (hlm. 3).

Cita-cita pendidikan Ki Hajar Dewantara dan Taman Siswa ialah membina manusia yang merdeka lahir dan batin. Sagimun (1983)

commit to user

menjelaskan bahwa Ki Hajar Dewantara dan Taman Siswa mendidik agar orang berpikir merdeka dan bertenaga merdeka. Manusia merdeka menurut Ki Hajar Dewantara ialah orang yang lahir dan batinnya tidak terikat. Orang yang merdeka adalah orang yang hidupnya tidak bergantung pada orang lain. Mengekang kemerdekaan anak-anak berarti menghambat kemajuan dan perkembangan jiwa anak-anak tersebut (hlm. 36).

Pendidikan dalam Taman Siswa mengutamakan pemeliharaan latihan susila, dengan contoh-contoh teladan perbuatan “Kehidupan dan kegiatan pendidikan” berjalan sepanjang hari penuh (Tauchid, 1979).

Sifat dari pendidikan Taman Siswa hampir sama dengan pendidikan pesantren yang mana murid selalu berkumpul dengan murid setiap hari, Rahardjo (2009) menyatakan:

Sifat pendidikan Taman Siswa adalah kultural nasional. Maka, Taman Siswa berbentuk perguruan yang berarti tempat berguru, tempat para murid mendapat pendidikan, dan tempat kediaman guru. Oleh karena itu gedung pendidikan tidak hanya digunakan untuk mengajar, tetapi juga tempat anak-anak berkumpul dengan guru, sehingga terjalin hubungan batin dan rasa kekeluargaan di antara guru dan murid (hlm. 60).

Ki Hajar Dewantara dalam menerima kebudayaan yang datang dari luar selalu bersikap selektif, Sagimun menjelaskan bahwa Ki Hajar Dewantara dalam cita-cita mengembangkan Kebudayaan Nasional Indonesia, selalu berpangkal pada unsur-unsur kebudayaan sendiri, akan tetapi Ki Hajar juga bersikap terbuka dan tidak menolak unsur-unsur kebudayaan asing. Ki Hajar Dewantara juga bersedia menerima unsur-unsur kebudayaan dari luar, asalkan unsur tersebut bermanfaat dan dapat memperkaya kebudayaan bangsa Indonesia (1983).

Kemajuan Taman Siswa merupakan duri dimata kaum penjajah Belanda, karena bisa saja menumbangkan kedudukan kolonial Belanda di Indonesia, Sagimun (1983) menyatakan:

Perguruan yang berdasar atas kebangsaan sangat dibutuhkan oleh rakyat Indonesia yang mulai sadar akan rasa kebangsaannya. Taman Siswa yang mencita-citakan kemerdekaan bangsa Indonesia merupakan ancaman dan bahaya yang besar bagi kelangsungan

commit to user

penjajahan Belanda di tanah air. Oleh karena itu segala usaha atau cara yang dijalankan oleh penjajah Belanda untuk merongrong dan menghancurkan Taman Siswa serta perguruan-perguruan nasional lainnya (hlm. 23).

Tujuan dari didirikannya Taman Siswa yaitu membangun budayanya sendiri, jalan hidup sendiri dengan mengembangkan rasa merdeka dalam hati setiap orang melalui media pendidikan yang berlandaskan pada aspek-aspek nasional. Landasan filosofisnya adalah nasionalistik dan universalistik. Nasionalistik maksudnya adalah budaya nasional, bangsa yang merdeka dan independen baik secara politis, ekonomis maupun spiritual. Universal artinya berdasarkan pada hukum alam (natural law), segala sesuatu merupakan perwujudan dari kehendak Tuhan. Prinsip dasarnya adalah kemerdekaan, merdeka dari segala hambatan cinta, kebahagiaan, keadilan dan kedamaian tumbuh dalam diri (hati) manusia (Rahardjo, 2009).

Ki Hajar Dewantara dalam membenahi Taman Siswa, berkiblat pada pemikiran sistem pendidikan Barat yang dinilainya kurang relevan dengan sistem Timur. Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan yang berlangsung di negara Barat sangat mengabaikan kecerdasan, budi pekerti, mendewakan angan-angan yang justru menimbulkan kemurkaan diri, intelektualisme dan individualisme dikhawatirkan akan menghancurkan ketentraman dan kedamaian dalam hidup bermasyarakat (pikiran rakyat, 1979).

Jasa yang diberikan Ki Hajar dan Taman Siswa tidak sedikit dalam membina bahasa Indonesia menjadi bahasa nasional. Pendidikan Taman Siswa berdasar pada kebangsaan dan bersendi peradaban bangsa dalam arti yang seluas-luasnya. Segala sesuatu yang merupakan kemajuan bangsa diusahakan dan dipergunakan oleh Taman Siswa sebagai dasar pendidikan (Sagimun, 1983).

Bentuk organisasi Taman Siswa berbeda dengan perhimpunan lainnya. Seperti yang diungkapkan Darsiti Suratman (1985) yaitu:

Sifat Taman Siswa diwujudkan sebagai “Keluarga Besar yang Suci” yang mempunyai sifat lahir dan batin. Di dalam organisasi Taman Siswa ada pengurus. Ki Hajar Dewantara dianggap sebagai Ayah, yaitu bapak bagi “Keluarga Besar dan Suci”, dan wajib menjaga

commit to user

kemurnian asas Taman Siswa. Ki Hajar Dewantara berkedudukan sebagai Pemimpin Umum. Paham yang dianut dalam organisasi Taman Siswa yaitu Demokrasi dengan Kepemimpinan ( hlm. 93).

Ki Hajar Dewantara mengemukakan bahwa pada zaman dahulu bangsa Indonesia sudah memiliki rumah pengajaran sekaligus rumah pendidikan, yang dinamakan Pondok Pesantren, sedangkan pada zaman Budha dinamakan “pawiyatan” atau “asrama” atau pasraman. Asrama tidak hanya rumah tempat tinggal guru dan tempat pengajaran agama saja akan tetapi tempat pengajaran berbagai ilmu agama, ilmu alam, ilmu falak, ilmu hukum, ilmu bahasa, filsafat, seni, keprajuritan, sedangkan pondok pesantren hanya tempat pendidikan agama (Tauchid, 1979).

Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa Taman Siswa merupakan badan perjuangan yang berjiwa nasional, serta badan pembangunan masyarakat dan kebudayaan. Taman Siswa sebagai badan perjuangan mempunyai tugas mewujudkan sistem pendidikan dan pengajaran nasional. Hal ini berarti bahwa Taman Siswa teguh mempertahankan dan memelihara asas-asas dan dasar-dasar Taman Siswa dari segala bahaya, baik itu yang bersumber dari perorangan maupun ancaman dari luar (Mudyahardjo, 2001).

Adanya pembaharuan dan pembangunan pendidikan, diharapkan bisa menunjang pembangunan bangsa, dalam arti yang luas. Melalui pendidikan agar bisa menghasilkan tenaga-tenaga pembangunan yang cakap dan terampil. Menguasai ilmu dan teknologi sesuai dengan kebutuhan dan laju pembangunan, di samping itu mendidik manusia dan masyarakat Indonesia yang berintegritas nasional. Memiliki moral dan pandangan hidup Pancasila (Probohening, 1987).

Tujuan pendidikan yang bersifat individual adalah individu-individu yang mencapai kemerdekaan lahir dan batin. Sehubungan dengan hal ini, Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa cita-cita pendidikan Taman Siswa adalah membangun orang yang berpikir merdeka, ialah manusia yang merdeka lahir dan batin. Tujuan sosial pendidikan adalah membangun bersama-sama dengan segenap individu yang merdeka lahir dan batin, suatu

commit to user

masyarakat yang berkebudayaan-kebangsaan yang khas berdasarkan adab-kemanusiaan, sehingga terwujud kehidupan bersama yang tertib-damai, yang di dalamnya terdapat kemerdekaan pribadi, kebangsaan dan kemanusiaan yang seimbang dan seiring sejalan (Mudyahardjo, 2001).

Melalui organisasi pendidikan pertama kali yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara, yaitu Taman Siswa, pendidikan nasional mulai menemukan jati dirinya, sebagai bentuk pendidikan yang diorientasikan pada manusia sejati, manusia merdeka, berkaitan dengan soal budaya, bahasa, adat istiadat, moral, baca tulis, menghitung (Rifa’i, 2011).

Sejak tahun 1930 Taman Siswa menjadi lebih kuat daripada masa-masa sebelumnya, seperti yang diungkapkan oleh Darsiti Suratman (1985) yaitu:

Kongres juga memutuskan untuk membuka Taman Guru di Yogyakarta dengan tujuan agar perluasan pendidikan nasional di kalangan rakyat menjadi lebih cepat. Salah satu keputusan dari konverensi yaitu Taman Siswa harus mempunyai percetakan sendiri, agar dapat memenuhi kebutuhan mencetak yang ketika itu sudah cukup banyak (hlm. 94).

Taman Siswa di bawah pimpinan Ki Hajar Dewantara memperoleh kemajuan yang pesat sekali, seperti pernyataan Sagimun (1983) yaitu, “pada masa akhir pemerintahan Hindia Belanda, Taman Siswa sudah mempunyai 199 cabang, jumlah murid Taman Siswa kurang lebih 20.000 orang, jumlah guru Taman Siswa yang tersebar kurang lebih 650 orang” (hlm. 30).

Mudyahardjo (2001) menjelaskan mengenai arti pendidikan yaitu, “pendidikan adalah proses pembudayaan kodrat alam, maka isi pendidikan keseluruhan jenis pendidikan di Taman Siswa pada dasarnya kebudayaan yang dapat memelihara dan memajukan pertumbuhan jiwa raga anak, sesuai dengan garis-garis kodrat alamnya” (hlm. 306).

Majalah atau Surat Kabar merupakan alat yang sangat penting bagi suatu lembaga yang membutuhkan perluasan penyebaran cita-citanya kepada masyarakat luas, maka dikeluarkanlah brosur-brosur dan majalah-majalah oleh Taman Siswa. Pada tahun 1928 mulai terbit majalah “Wasita”, sampai

commit to user

tahun 1930, majalah “Wasita” ditujukan untuk orang-orang dalam lingkungan Taman Siswa sendiri. Pada tahun 1931 majalah “Wasita” dihentikan penerbitannya dan diganti dengan “Pusara”, yang sampai sekarang tetap menjadi organ Persatuan. Selain “Wasita” dan “Pusara”, pada zaman Penjajahan Belanda juga dikeluarkan majalah lain yaitu

“Keluarga” dan “Keluarga Putera”, yang terbit pada 1936 ( Darsiti

Suratman, 1985).

Taman Siswa meskipun mengalami banyak rintangan dan kesulitan, namun Taman Siswa terus maju. Berkat kebenaran dan kesucian cita-cita Taman Siswa, sampai pada akhir masa pemerintahan Hindia Belanda Taman Siswa mencapai kemajuan yang sangat menggembirakan. Perguruan nasional Taman Siswa banyak menggembleng patriot-patriot muda Indonesia, banyak digembleng nasionalis-nasionalis yang memiliki semangat kebangsaan yang tahan uji (Sagimun, 1983).

Dokumen terkait