• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III RIFFAT HASSAN DALAM TELAAH KEADILAN GENDER

C. Dasar Pemikiran Riffat Hassan

Berdasarkan pengalaman dan pengamatan terhadap fenomena disekitarnya, ia berpendapat bahwa yang pertama sekali harus dilakukan adalah memeriksa landasan teologis di mana semua argumen anti perempuan tersebut berakar, dan melihat apakah suatu kasus benar-benar bisa dibuat untuk menegaskan bahwa dari sudut pandang Islam normatif, laki-laki dan perempuan pada dasarnya setara, kendati ada perbedaan biologis dan perbedaan lainnya.

Kondisi ini juga rupanya yang mendorong Riffat untuk memecahkan masalah diskriminasi dan ketidakadilan terhadap perempuan dalam masyarakat Islam, melalui reinterpretasi atas teks al-Qur‟an. Sebab menurutnya, adanya diskriminasi terhadap perempuan berakar dari asumsi-asumsi teologis yang keliru dan oleh karena itu harus dibongkar melalui reinterpretasi terhadap al-Qur‟an yang merupakan sumber nilai tertinggi bagi umat Islam (Mustaqim, tt: 172).

47

Pencariannya ke dalam akar teologis dan problem ketidakadilan laki-laki dan perempuan dalam tradisi Islam menuntunnya menindaklanjuti kajian studi dalam dua wilayah signifikan. Pertama, melalui kepustakaan hadis terutama kitab shahih Bukhari dan Muslim yang dianggap otoritatif setelah al-Qur‟an. Berkaitan dengan diskursus perempuan dalam teologi Islam maka tergeraklah untuk memeriksa dengan teliti hadis-hadis yang berkaitan dengan perempuan. Kemudian, Riffat mengkaji karya penting yang ditulis oleh para teolog feminis Yahudi dan Kristen yang secara kebetulan juga melacak sumber teologis mengenai gagasan dan sikap anti feminis dalam tradisi mereka masing- masing.

Kesungguhannya untuk meneliti, mengkaji ulang, dan melakukan interpretasi yang terdapat dalam prinsip-prinsip ajaran Islam sebagai upaya mewujudkan suatu sistem relasi dan struktur masyarakat yang adil tanpa adanya diskriminasi (baik laki-laki maupun perempuan). Meluruskan pandangan yang selama ini bertendensi mempengaruhi citra perempuan dengan membongkar bangunan teologi yang mengakar pada narasi besar Islam.

Membangun kerangka dasar paradigmatik dalam konteks Islam mengenai isu gender, lebih peduli terhadap ketidakadilan, struktur dan sistem relasi laki-laki dan perempuan. Berdasarkan hasil penelusurannya, ia berkesimpulan bahwa tidak hanya dalam tradisi Islam bahkan dalam tradisi Yahudi dan Kristen terdapat tiga asumsi teologis yang

48

menunjukkan superioritas laki-laki atas perempuan ditegakkan. Ketiga asumsi ini yaitu: (1) Ciptaan Tuhan yang utama adalah laki-laki, bukan perempuan. karena mereka diyakini telah diciptakan dati tulang rusuk laki- laki, secara ontologis berfifat derivatif dan sekunder. (2) Perempuan (bukan laki-laki) adalah penyebab utama dari apa yang biasanya

dilukiskan sebagai “kejatuhan” atau pengusiran manusia dari Surga Adn.

Maka semua “anak perempuan Hawa” harus dipandang dengan rasa benci,

curiga, dan jijik. (3) Perempuan diciptakan tidak saja dari laki-laki tapi juga untuk laki-laki yang membuat eksistensinya semata-mata bersifat instrumental dan tidak memiliki makna yang mendasar.

Melihat tiga asumsi diatas muncullah tiga pertanyaan berkaitan dengan eksistensi perempuan, yaitu bagaimana perempuan diciptakan, apakah mereka bertanggungjawab atas kejatuhan manusia, dan mengapa perempuan diciptakan. Disinilah Riffat bersikeras memusatkannya sebagai perhatian utama mengenai isu penciptaan manusia karena baginya baik secara filosofis maupun teologis hal ini lebih penting dan mendasar. Menurutnya jika laki-laki dan perempuan diciptakan setara oleh Allah, penentu nilai tertinggi, maka untuk selanjutnya secara hakiki mereka akan setara pula. Disisi lain jika diciptakan berbeda oleh Allah maka tidak akan setara pada waktu selanjutnya.

Berdasarkan hasil penelitiannya, mitos tersebut berakar dalam Genesis 2: 18-24 tentang penciptaan, namun tidak ada sama sekali dasarnya dalam al-Qur‟an. Cerita Injil mengenai penciptaan pasangan

49

manusia pertama dari dua sumber yang berbeda, yaitu Rahib (The Yahwist) dan Pendeta (The Priestly), lahir dua tradisi yang menjadi subyek dari banyak kontroversi ilmiah di kalangan Yahudi dan Kristen. Ada empat rujukan bagi penciptaan perempuan dalam Genesis: (1) Genesis 1: 26-27 abad ke-5 SM, tradisi Kependetaan, (2) Genesis 2: 7 abad ke-10 SM tradisi Kerahiban, (3) Genesis 2: 18-24 abad ke-10 SM tradisi Kerahiban, (4) Genesis 5: 1-2 abad ke-5 SM tradisi Kependetaan. Kajian terhadap teks-teks di atas menunjukkan istilah Ibrani “Adam”

(secara literal berarti tanah, berasal dari kata adamah: “tanah”) sebagian

besar berfungsi sebagai istilah generik untuk manusia. Dari keempat teks yang mengacu pada penciptaan ini, tidak diragukan lagi yang paling berpengaruh adalah Genesis 2: 18-24 yang menyatakan bahwa perempuan tercipta dari laki-laki. Melalui teks ini disimpulkan tiga isu mendasar tersebut (Hassan, 1995: 45).

Secara kronologis, asal-usul kejadian manusia tidak dijelaskan oleh al-Qur‟an. Cerita penciptaan manusia banyak diketahui melalui hadis,

kisah isra‟iliyat, dan riwayat yang bersumber dari kitab Taurat, Injil, dan

Talmud. Substansi asal-usul kejadian Adam Hawa juga tidak dibedakan secara tegas. Memang, ada isyarat bahwa Adam diciptakan dari tanah, dari Adam ini diciptakan Hawa, namun isyarat ini diperoleh dari hadis. Kata Hawa yang selama ini dipersepsikan sebagai perempuan yang menjadi istri Adam, sama sekali tidak pernah disinggung dalam al-Qur‟an. Bahkan

50

klaim bahwa Adam sebagai manusia pertama dan berjenis kelamin laki- laki masih dipertanyakan oleh beberapa kalangan (Hassan, 2009: 174).

Kesungguhan Riffat meneliti dan mengkaji ulang prinsip-prinsip ajaran al-Qur‟an demi mencapai tujuan yang diperintahkan agama adalah bentuk personal commitment terhadap ajaran agama yang dipeluknya. Sedangkan bahasa yang dipakai Riffat juga mencerminkan seorang aktor dari dalam. Dia merasakan sebagai pelaku korban dari diskriminasi sistem patriarkhi. Dari sini, maka dapat dilihat bahwa fundamental struktur dari teologi feminisme yang hendak dibangun Riffat adalah bagaimana agar terwujud suatu sistem relasi dan struktur masyarakat yang adil tanpa diskriminasi antara laki-laki dan perempuan di bawah sinar petunjuk al-

Qur‟an (Mustaqim, tt: 177).

Usaha dalam rangka membangun paradigma teologi feminis yang erat kaitannya dengan isu-isu keperempuanan, Riffat menggunakan dua pendekatan, yaitu:

Pertama, pendekatan normatif-idealis, artinya bahwa teologi feminis yang hendak dirumuskan itu mengacu kepada norma-norma yang bersumber dari ajaran Islam yang ideal. Dengan kata lain pendekatan normatif-idealis adalah suatu pendekatan di mana ketika seseorang peneliti berkehendak mengkaji persoalan, maka ia perujuk kepada yang bersifat ideal normatif. Menurut Riffat, sumber utama dan pertama yang dijadikan rujukan itu adalah al-Qur‟an yang diyakininya sebagai sumber nilai tertinggi. Model pendekatan ini bersifat deduktif, melihat sisi ideal

51

normatif dalam al-Qur‟an mengenai perempuan kemudian melihat kenyataan empiris dalam masyarakat (Mustaqim, tt: 179-180).

Kedua, pendekatan historis-empiris. Setelah melihat secara cermat dan kritis bagaimana sebenarnya pandangan ideal normatif al-Qur‟an, Riffat mencoba melihat bagaimana kenyataan secara empiris historis kondisi perempuan dalam masyarakat Islam. Sehingga di satu sisi Riffat mendapatkan gambaran teoritis bersifat normatif-idealis mengenai pandangan al-Qur‟an terhadap perempuan. Melihat nasib perempuan yang masih memprihatinkan berarti ada something wrong dalam sejarah keperempuanan (Mustaqim, tt: 180-180).

Dua pendekatan tersebut dilakukan secara dialektis-integratif dan fungsional. Artinya, keduanya tidak dipisah-pisahkan. Berawal dengan melihat sisi ideal normatif itulah, Riffat kemudian melihat sisi yang empiris-realistis. Pada level normatif, Riffat merujuk kepada al-Qur‟an sebagai sumber nilai tertinggi dalam Islam. Sedangkan pada level historis, melihat bagimana praktik perlakuan terhadap perempuan yang terjadi dalam masyarakat Islam (Mustaqim, tt: 182). Jika dalam al-Qur‟an mengandung spirit pembebasan, keadilan, kesejajaran, penghormatan atas hak asasi kemanusiaan maka seharusnya teraktualisasikan dalam kehidupan nyata.

Selanjutnya, Riffat Hassan mencoba mengembangkan tiga prinsip metodologis sebagai operasionalisasi metode yang ditawarkannya,

52

terutama ketika ia mencoba melakukan penafsiran tandingan (counter exegeses). Ketiga prinsip metodologis tersebut yaitu:

1. Memeriksa ketetapan makna kata (language accuracy) dari berbagai konsep yang ada dalam al-Qur‟an dengan menggunakan analisis semantik. Mencari makna kata yang sebenarnya dari konsep tertentu berdasarkan kata aslinya, kemudian meletakkan pengertian tersebut sesuai dengan konteks masyarakat di mana konsep tersebut digunakan. Hal ini dimaksudkan untuk menguji konsep-konsep yang telah terderivasi.

2. Melakukan pengujian atas konsistensi filosofis dari penafsiran yang telah ada. Ini berarti teori kebenaran yang dipakai adalah teori koherensi. Memahami al-Qur‟an sesungguhnya harus secara integral, sebab ia merupakan satu kesatuan makna yang terenyam dan terajut secara dialektis. Sehingga kesan adanya kontradiktif dapat dihindari atau minimal dapat dieliminir, dan hal itu dijadikan untuk menilai dan menguji sumber dan sistem nilai lainnya.

3. Menggunakan prinsip etis, yang didasarkan pada prinsip keadilan yang merupakan pencerminan dari justice of God atau keadilan Tuhan. Hasil penafsiran-penafsiran yang ada harus diuji dengan prinsip etis yang menekankan aspek keadilan. Suatu penafsiran akan dinilai benar secara metodologis, jika

53

selaras dengan prinsip-prinsip keadilan. Demikian sebaliknya, suatu hasil penafsiran akan dinilai salah jika mengabaikan prinsip-prinsip keadilan. Karena dapat menyebabkan penindasan dan ketidakadilan bagi perempuan khususnya dan manusia pada umumnya.

Secara terbuka Riffat melabeli dirinya sebagai feminis, terkait dengan pendekatan feminis Saparinah Sadly mengungkapkan Feminist Perspective yang didasarkan pada suatu kerangka teori feminis, mengusulkan bahwa dalam suatu kegiatan penelitian perempuan perlu diterima dan dihargai sebagai sesama manusia yang mempunyai potensi (kemampuan) untuk berkembang. Kaum perempuan juga mempunyai kemampuan untuk mengembangkan kondisi lingkungan hidupnya dan sangat bisa ikut memberi arah kepada pengembangan masyarakat, ekonomi, politik, dan pribadi. Kaum perempuan memiliki berbagai macam kualitas manusia yang bisa meningkatkan mutu hidupnya, seperti yang dimiliki kaum laki-laki.

Metodologi feminis diharapkan dapat mengatasi persoalan androsentrisme dan representasi perempuan, mengakui perbedaan cara berpikir dan berpengetahuan perempuan dan laki-laki, dan mempertimbangkan pengalaman hidup perempuan beserta keseluruhan sujektivitasnya mengartikan dunia dalam membangun pengetahuan. Kita telah menyaksikan bagaimana selama ini perempuan tidak terepresentasikan, tidak terdengar suaranya, dan terkooptasi oleh

54

interpretasi universal yang berstandar laki-laki dalam pembangunan ilmu pengetahuan. Pengalaman itu menuntun kita untuk menggagas metodologi yang lebih adil dan mampu menjawab keberbedaan yang tak terelakkan antara laki-laki dan perempuan (Nurhayati, 2006: 12).

Adapun karya-karya Riffat Hassan baik dalam bentuk buku maupun artikel, antara lain:

1. The Role and Responbilities of Women in The Legal and Ritual Tradition of Islam.

2. Equal Before Allah?; Women-Man Equality in Islamic Tradition. 3. Feminis Theology and Women in The Muslim World.

4. What does it mean to be a Muslim To Day? 5. Women Living Under Muslim Laws

6. Muslim Women and Post Patriarchal Islam

7. The Issue of Women-Men Equality in Islamic Tradition.

8. Jihad fi Sabilillah; A Muslim Woman‟s Faith Journey from Struggle to Struggle

9. Women‟s and Men‟s Liberation

10.Women‟s Rights in Islam 11.Women Religion and Sexuality

55

Dokumen terkait